thatausaha

The Truth.

Jeonghan berjalan menuju penjual martabak dekat apartemennya, perjalanan yang tidak sampai 5 menit itu cukup membuatnya lelah. Apalagi usia kandungannya yang sudah menginjak usia 8 bulan, dimana seharusnya ia tidak perlu repot-repot mencari keinginannya. Tapi apa boleh buat, saat ini ia sendiri jadi mau tak mau harus melakukannya sendiri. Sesekali ia berhenti, untuk sekedar mengatur nafas atau melihat kakinya yang sudah mulai membengkak.

“Dikit lagi nyampe, Han.” Ucapnya menyemangati dirinya sendiri.

Sampai akhirnya ia sampai di tempat yang ia tuju.

“Bang, martabak asin spesialnya satu ya.”

“Oh iya mas, duduk dulu mas.” Jeonghan pun duduk di kursi yang disediakan oleh penjual martabak itu.

“Kok sendirian mas? Suaminya mana? Lagi hamil kok dibolehin pergi sendiri? Bahaya tau.” Tanya penjual martabak itu.

Jeonghan tersenyum miris, kalau saja saat ini keadaannya tidak runyam seperti ini mungkin ia akan mengaku kalau suaminya sedang bekerja dan belum pulang. Oh ya, ini sudah tiga bulan Seungcheol meninggalkan dirinya.

“Suami saya—.”

“—sayang, kok beli sendiri? Kan tadi mas bilang tunggu mas aja.”

Demi tuhan, jantung Jeonghan serasa turun ke perut. Hampir saja ia terjungkal dari tempat duduknya, ketika ia melihat Seungcheol ada di sana.

“Pak—.”

“—ealah untung suaminya dateng, kasian banget kalo mas nya jalan sendiri, tadi saya liat mas nya berhenti beberapa kali karena capek mungkin.” Lagi-lagi ucapan Jeonghan terpotong.

“Iya nih pak, gak sabaran padahal saya bilang saya aja yang beli.” Jeonghan terpaku ketika tangan Seungcheol merangkul pinggangnya.

Lalu Seungcheol mengajak Jeonghan untuk duduk kembali—dengan tangan yang masih bertengger di pinggang Jeonghan.

“Hai, kok diem aja?” Bisik Seungcheol ditelinga Jeonghan.

Tapi Jeonghan tidak kunjung menjawab, sampai ia sadar ketika tangan sebelah Seungcheol mengelus-elus perut buncitnya.

Beberapa menit kemudian martabak pesanan Jeonghan jadi, Seungcheol langsung membayarnya dan langsung mengajak Jeonghan untuk masuk ke mobilnya. Setelah memasangkan seat belt pada Jeonghan dan dirinya sendiri Seungcheol langsung menjalankan mobilnya. Selama menyetir Seungcheol tersenyum karena dari ekor matanya ia melihat Jeonghan yang masih termenung menatapnya.

Sesampainya di besmen apartemen, Seungcheol membuka seat belt keduanya dan mengajak Jeonghan menuju unit apartemen Jeonghan.

Seungcheol memencet password apartemen Jeonghan—yang belum Jeonghan ganti sejak dulu. Setelah masuk, Seungcheol langsung mendudukkan Jeonghan dan ia menuju dapur untuk menyiapkan martabak tadi serta membawa minum untuk Jeonghan.

Sedangkan Jeonghan? Ia masih mematung, masih mencerna apa yang terjadi. Ia berkali-kali berkedip untuk memastikan bahwa Seungcheol ada di sana—dengan dirinya.

“Han?”

Jemari Jeonghan bergerak menyusuri wajah yang ia rindukan selama 3 bulan ini.

“Pak Seungcheol? Ini beneran bapak?” Air mata Jeonghan tiba-tiba saja turun tanpa izinnya.

Seungcheol mengambil tangan Jeonghan yang berada di pipinya lalu mengecupnya. “Ini saya, Han. Ayahnya si bayi.”

Tanpa meminta izin, Jeonghan memeluk erat tubuh Seungcheol—dengan menangis tentunya. Dengan senang hati Seungcheol membalas pelukan itu—walaupun harus terhalang oleh perut buncit Jeonghan.

“Maaf ya pak maaf kalo lancang, tapi saya kangen banget sama bapak. Dada saya rasanya sampai sakit banget, karena saya ga bisa deket-deket sama bapak. Maaf sekali lagi, pak.” Jeonghan menangis terisak-isak dipelukan Seungcheol. Seungcheol dengan sabar mengelus-elus punggung Jeonghan.

“Sudah ya nangisnya? Nanti dadanya tambah sakit.” Tapi tangisan Jeonghan malah makin kencang.

“Jeonghan, jangan kayak gini dong. Sakit nanti dada kamu, kasian juga bayinya sedih kamu kayak gini.”

Jeonghan melepaskan pelukannya, ia menghapus air matanya lalu kembali menatap Seungcheol—memastikan lagi kalau ini nyata.

“Minum dulu.” Jeonghan menerima minum dari Seungcheol, ia menenggaknya hampir setengah gelas.

“Sudah tenang? Mau dengar saya dulu atau makan martabaknya dulu?”

“Makan dulu, saya laper pak.” Jawaban Jeonghan membuat Seungcheol tertawa, lalu ia mengambil kerdus martabak itu dan ia sodorkan ke Jeonghan. Jeonghan memakannya dengan lahap.

“Memangnya tidak bisa beli pakai aplikasi online? Bahaya sekali kamu keluar malam-malam, apalagi sedang hamil.”

“Tadi niatnya mau sekalian jalan-jalan malam, tapi malah capek sendiri.” Jawab Jeonghan

“Tidak minta tolong Jun atau Wonwoo?”

Jeonghan menggeleng. “Jun lagi ada makan malem sama mamanya Wonwoo, saya gak mau ganggu pak.”

“Ya sudah, makan yang banyak. Tapi kalau sudah kenyang jangan dipaksa ya?”

. . . . . . . . . . . .

Flashback on.

Setelah Jeonghan melepaskannya, keesokan harinya Seungcheol berniat untuk mendatangi rumah Donita. Karena menurutnya, Donita lah yang ia mau sampai sekarang.

Dengan membawa bunga dan cincin yang waktu itu niatnya ingin ia kasih pada Donita, Seungcheol memantapkan hatinya.

“Eh udah sampe, yuk masuk pak.” Donita membuka pintu dan mempersilahkan Seungcheol masuk.

Di dalam, Seungcheol disambut oleh mama dari Donita.

“Udah lama loh nak Seungcheol gak mampir kesini.” Ucap mama Donita

“Iya mah, pak Seungcheol beberapa bulan ini kayak abis di hipnotis jadinya ga inget sama aku.” Donita menjawab tanpa menatap Seungcheol.

“Oh gara-gara si biang masalah itu ya, nit?”

Seungcheol melihat Donita mengangguk. “Biang masalah? Kalau boleh tau siapa ya tante?”

“Itu loh anak tetangga sebelah yang di usir, si Jeonghan. Problematik itu anak, katanya sekarang hamil ya? Pasti pergaulannya gak bener, keluarganya aja ga bener.”

Demi tuhan, Seungcheol sakit hati mendengarnya. Tangannya mengepal dibawah meja makan, tidak tau kenapa ia tidak suka Jeonghan dipandang remeh seperti itu. Jeonghan itu papa dari bayinya.

“Sudah hamil, tidak bekerja, tinggalnya di apartemen lagi duit darimana coba kalo bukan jual diri? Untung aja nak Seungcheol cepet sadar, kalau engga pasti nak Seungcheol sudah di porotin habis-habisan sama dia.” Seungcheol menatap enggan makanan di depannya—rasanya mood makannya hilang begitu saja.

“Pak, mau tambah?”

Seungcheol menggeleng. “Cukup kok, don.” Lalu mau tak mau ia melanjutkan makannya.

“Nak Seungcheol sendiri memangnya belum kepikiran untuk berumah tangga?” Tanya mama Donita

“Sudah Tante, tinggal cari pasangannya saja.”

“Duh kenapa harus cari jauh-jauh, kalau di dekat kamu saja ada.”

“Mama, jangan gitu ah.” Donita tersenyum malu.

“Tante bener, kenapa saya harus cari jauh-jauh kalau sebenarnya dia ada di dekat saya. Bahkan sangat dekat.”

Skip time.

Donita dan mamanya mengantar Seungcheol ke depan rumahnya.

“Eh jeng Elina, kok baru keliatan?” Seungcheol melihat seorang wanita yang menurutnya walaupun sudah berumur tapi masih cantik—cukup mengingatnya pada seseorang.

“Iya, sibuk soalnya. Siapa ini? Calon mantu?” Wanita yang dipanggil Elina itu bertanya.

“Doakan saja.” Jawab mama Donita.

“Pak, kenalin ini mamanya Jeonghan. Tante, ini pak Seungcheol bosnya Jeonghan dulu.”

“Oh anak itu masih hidup?”

Seungcheol bahkan tidak pernah menyangka kalau orang yang melahirkan papa bayinya adalah orang yang seperti ini. Kasian Jeonghan, harus tinggal ditempat orang-orang toxic seperti mereka.

“Jeonghan lagi hamil loh Tante, gak mau nengokin?” Tanya Donita.

“Dia udah nikah?”

“Sayangnya belum Tan, hamil duluan.”

“Emang bisanya bikin malu aja itu anak.”

Seungcheol muak. Ia makin yakin, kalau selama ini Jeonghan hanya korban dari orang-orang toxic seperti mereka.

“Don, Tante , saya pamit dulu.” Tapi sebelum masuk ke mobilnya, Seungcheol mendekati Elina.

Seungcheol mengulurkan tangannya. “Saya Seungcheol, tante—.” Elina menjabat tangan Seungcheol. “Calon suami Jeonghan sekaligus ayah dari bayi yang Jeonghan kandung.”

Ucapan Seungcheol membuat ketiga orang di sana terkejut.

“Pak Seungcheol, apa maksudnya? Bapak bercanda kan?”

Seungcheol melepaskan jabatan tangannya dengan Elina. Lalu ia berjalan menuju mobilnya.

“Tadinya saya kesini mau meminta kamu menjadi istri saya, tapi setelah dipikir-pikir untuk apa saya menikah dengan orang yang bahkan orang tuanya saja mengajarkan anaknya untuk membicarakan keburukan orang lain? Sok merasa paling suci dan benar, padahal tidak ada bedanya dengan keluarga Jeonghan yang kalian bilang tidak benar. Saya pamit.”

Setelahnya Seungcheol masuk ke mobilnya dan pergi. Seungcheol paling tidak suka dengan orang-orang munafik seperti itu. Lebih baik dia tidak menikah, daripada harus hidup bersama orang seperti Donita dan keluarganya, lagipula ia yakin bahwa bundanya juga tidak akan setuju dia dengan wanita itu.

Flashback off.

Jeonghan menghela nafasnya, setelah mendengar cerita Seungcheol dia makin yakin kalau memang tidak ada benar-benar menyayanginya.

“Ternyata mamanya Donita cuma pura-pura baik ya pak sama saya.” Ucap Jeonghan dengan tertawa lirih.

Seungcheol hanya memperhatikan Jeonghan yang tiba-tiba saja menangis.

“Semua orang nyalahin saya atas kematian kakak saya, saya diusir bahkan dibuang sama orang tua saya sendiri. Dan saya pikir kalau keluarga Donita baik-baik dengan saya, ternyata sama aja. Saya gak punya siapa-siapa lagi selain bayi.” Ucap Jeonghan sambil menangis terisak-isak.

Seungcheol membawa Jeonghan ke dalam pelukannya, menenangkan papa dari bayinya itu. Jeonghan sudah melewati banyak kesusahan dalam hidupnya, dan Seungcheol mengutuk dirinya sendiri karena sudah pernah berpikir melepaskan laki-laki itu.

“Han, kamu boleh sedih boleh nangis malem ini. Tapi kalo besok, saya harap kamu ga inget-inget kejadian yang pernah kamu alamin. Kamu punya saya, punya bunda, punya bayi. Saya janji gak akan pernah ninggalin kamu lagi seperti kemarin.”

Jeonghan melepaskan pelukannya dan menatap Seungcheol. “Saya punya bapak?”

“Iya, saya akan bertanggung jawab sama hidup kamu dan hidup bayi.”

“Pak Seungcheol, terima kita?” Seungcheol tersenyum ketika Jeonghan menyebutkan kata “kita” untuk menyebut dirinya dan bayi mereka.

“Besok mau ketemu bunda gak?”

. . . . . . . . . . .

Seungcheol keluar dari kamar mandi dengan mengusak-ngusak rambutnya yang basah, sedangkan Jeonghan sedang tersenyum lebar sambil memegangi perutnya.

“Kamu ngapain?”

Jeonghan menatap Seungcheol. “Pak, sini deh. Bayi nya nendang terus.”

Seungcheol dengan cepat mendekat ke arah Jeonghan, kemudian tangannya dituntun oleh Jeonghan untuk meraba perut atas Jeonghan. Beberapa detik kemudian ia merasakan ada tendangan dari dalam. Kemudian senyum terpancar dari bibirnya, lalu ia kembali meraba tapi tidak bisa merasakannya lagi.

“Coba diajak ngobrol pak, tadi saya ajak ngobrol ceritain kalo bapak ada disini dia seneng banget.” Ucap Jeonghan yang melihat senyum Seungcheol menghilang ketika ia tidak merasakan tendangan lagi dari bayi mereka.

Jeonghan menyamakan posisinya dengan bersandar di kepala ranjangnya, sedangkan Seungcheol memposisikan dirinya dengan tengkurap—dengan wajah memandang ke perut Jeonghan.

“Halo, bayi. Ini ayah.”

Duk

Seungcheol memandang Jeonghan dengan senyum yang merekah. Jeonghan mengangguk, mempersilahkan Seungcheol kembali berbicara dengan anak mereka. Seungcheol kembali menunduk, tangan Jeonghan tidak berhenti mengelus-elus kepala Seungcheol.

“Bayi seneng gak ayah disini? Hehehehe ayah seneng banget ada disini sama bayi, sama papa. Bayi, bulan-bulan sebelumnya pasti berat banget ya buat kamu dan papa. Bayi juga jadi harus capek karena papa capek, tapi sekarang ayah janji kalau ayah gak akan pernah ninggalin bayi sama papa lagi. Ayah bakal disini, jadi kalo bayi mau apa-apa kasih tau papa ya sayang, biar ayah yang cari. Papa sama bayi tinggal duduk manis, ayah bakal turutin semuanya.” Ucap Seungcheol panjang lebar. Seungcheol bahkan menempelkan telinganya di perut Jeonghan.

Detik berikutnya, Seungcheol juga Jeonghan merasakan tendangan yang cukup keras—sampai membuat Jeonghan meringis. Jeonghan bisa merasakan bibir Seungcheol yang tertarik karena ia tersenyum. Sampai 3x tendangan itu mereka rasakan, yang artinya bayi menerima kehadiran Seungcheol di sana.

Setelahnya, Seungcheol bangkit dari posisinya dan menampilkan ada air mata yang jatuh ketika Jeonghan melihatnya, dengan cepat Jeonghan menangkup wajah Seungcheol.

“Kenapa kok nangis pak?” Tanya Jeonghan sambil mengelap air mata Seungcheol. Tiba-tiba saja Seungcheol memeluknya, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Jeonghan dan kembali menangis di sana—karena Jeonghan merasakan lehernya basah.

“Anak kita sehat, Jeonghan. Terima kasih, terima kasih karena sudah menjaganya dengan baik. Terima kasih, Jeonghan.” Jeonghan jadi ikut menangis, ia mengeratkan pelukannya membiarkan Seungcheol menumpahkan segala sesuatu yang ia rasa malam ini.

“Terima kasih juga, pak. Terima kasih karena sudah mau kembali.”

. . . . . . . . . . .

Seungcheol bangun dari tidurnya, merasakan kasur di sebelahnya tidak lagi hangat. Kemudian ia bangun, dan langsung menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok giginya.

Saat keluar kamar, yang pertama kali menyapa indera penciumannya adalah wangi harum masakan dari dapur lalu ia melihat seseorang dengan kemeja kebesarannya sedang berkutat dengan masakan.

“Pagi.” Seungcheol memeluk Jeonghan dari belakang, menyamakan wajahnya di tengkuk leher Jeonghan.

“Pagi, ayo sarapan dulu pak.” Seungcheol melepaskan pelukannya lalu mengecup pipi Jeonghan dan kemudian berjalan menuju meja makan.

Dengan lihai Jeonghan menyiapkan semua masakannya hari ini.

“Kopi atau teh atau air putih?” Tanya Jeonghan

“Air putih aja, susu kamu sudah dibuat belum?”

“Udah, tinggal nanti saya minum pak.” Jeonghan menaruh segelas air putih di depan Seungcheol.

“Selamat makan.” Lalu keduanya menikmati makanan mereka dengan sesekali berbincang-bincang.

“Jadi selama 3 bulan kemarin itu bapak di kantor?” Pertanyaan yang ingin sekali Jeonghan tanya dari semalam, tapi karena tidak sesuai dengan kondisinya jadi ia urungkan.

Seungcheol mengangguk. “Ada proyek gede yang musti saya tangani sendiri, sama diam-diam mencari sekretaris baru.”

“Oh, Donita bapak pecat?” Jeonghan meneguk susu yang tinggal setengah sampai habis.

“Memang rasanya tidak profesional, hanya saja sekarang saya tau sifatnya jadi agak malas dengan orang seperti itu.”

Jeonghan mengangguk. “Donita dari dulu emang begitu pak, bukannya saya menjelek-jelekkan dia ya. Tapi emang sifatnya kayak gitu, muka dua.”

“Berarti buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”

“Ya awalnya saya pikir kalau hanya dia aja, tapi ternyata mamanya juga.” Seungcheol memakan buah yang sudah disediakan oleh Jeonghan.

“Tapi ada untungnya sih Han kamu keluar dari rumah. Lingkungan di sana bener-bener gak baik, kamu cuma bakal sakit hati kalo masih di sana.”

Jeonghan mengangguk setuju. “Terus ekspresi mereka gimana waktu bapak bilang bapak maunya sama saya?”

“Ya kaget, apalagi mamanya Donita udah kode-kode minta sama nikahin anaknya tapi pas saya tau sifatnya, duh saya jamin saya yang bakal diusir sama bunda dari rumah.”

Jeonghan tertawa. “Masa separah itu pak?”

“Bunda tuh mendingan saya gak nikah daripada dapet mertua kayak gitu.”

Jeonghan menggelengkan kepalanya. Ada-ada saja.

“Biar saya aja, Han. Kamu mandi aja sana.” Ucap Seungcheol saat Jeonghan akan membereskan semua piring bekas makan mereka.

“Masa bapak nyuci piring?”

“Walaupun saya jarang di rumah, tapi saya bisa nyuci piring. Jangan remehin saya kamu.”

“Gini aja deh, nanti biar saya aja yang nyuci piringnya. Sekarang bapak turutin maunya bayi.”

“Bayi mau apa?”

“Mau mandi bareng ayahnya.”

Seungcheol tertawa. “Ini maunya bayi atau papanya?”

“Maunya bayi. Ayo dong, semalem katanya mau menuhin semua maunya bayi.”

Seungcheol menggelengkan kepalanya, tidak percaya kalau Jeonghan yang dulu—binal—sudah kembali.

“Ya sudah ayo.”

“Yeay, bayi mandi sama ayah.” Jeonghan memekik kegirangan sambil menarik tangan Seungcheol untuk masuk ke kamar mandi. Dan kita biarkan mereka mandi.

. . . . . . . . . . . .

Seungcheol tidak memberitahu bundanya kalau ia datang dengan Jeonghan. Dan sekarang, Jeonghan-nya di monopoli oleh sang bunda.

“Bunda tuh kangen banget sama kamu, Han. Mas bilang katanya jangan ganggu Jeonghan dulu, jadinya bunda mau ga mau nurutin maunya mas biar gak ganggu, Han.”

“Iya bunda, maaf ya. Han juga gak pernah jenguk bunda lagi.”

“Gapapa gapapa, tapi kamu sehat kan?”

Jeonghan mengangguk. “Sangat-sangat sehat.”

“Hpl nya kapan sih?” Tanya bunda, sambil mengelus-elus perut Jeonghan.

“Kemarin sih dokternya bilang awal bulan, bund.” Jawab Jeonghan

“Oh ya, eh berarti kamu musti tinggal disini dulu Han, bahaya kalo kamu sendirian di apartemen takutnya tiba-tiba ada apa-apa, bukannya nakutin ya tapi harus sedia payung sebelum hujan. Gimana mas?”

Seungcheol mengangguk. “Mas setuju sih bund.”

“Tapi kamu cuti kan mas?”

“Iya bund, mas udah bilang mau cuti.”

“Tapi ga harus segitunya ga sih pak?” Jeonghan jadi tidak enak hati, ketika Seungcheol harus bersusah payah untuk menemaninya.

“Emang harus gitu, Han. Dulu mendiang ayahnya mas itu juga gitu. Apalagi ini anak pertama kan, suami juga harus tau jadi nanti kalau punya anak lagi suaminya ga kaget.” Bunda yang menjawab.

Suami.

*Punya anak lagi.”

Memikirkannya saja sudah membuat Jeonghan merasakan ada kupu-kupu berterbangan di perutnya.

Aww

Bunda dan Seungcheol panik karena tiba-tiba saja Jeonghan mengaduh.

“Apanya yang sakit? Mau ke rumah sakit aja?” Seungcheol mengelus perut Jeonghan.

Jeonghan menggeleng. “Ini kayaknya bayi juga excited banget mau keluar.”

“Ya ampun sayang, kalau tendang boleh tapi jangan kenceng-kenceng ya, kasian papanya kesakitan tuh.” Seungcheol berbicara dengan bayinya, sambil mengelus-elus dan mengecup perut Jeonghan. Sedangkan bundanya, ia tampak terharu melihat Seungcheol yang sudah akan menjadi seorang ayah. Sebenarnya ia tidak membenarkan perilaku keduanya, tapi tidak tau kenapa kalau sudah begini ia luluh juga.

Saat sedang berbincang-bincang, tiba-tiba saja bel rumah Seungcheol berbunyi.

“Biar bunda aja.” Lalu sang bunda pergi untuk membuka pintu.

“Mas, ada yang mau ketemu.” Seungcheol bangkit dari duduknya, matanya menata tajam ke arah seseorang yang datang.

“Mau apa lagi, Don?” Ternyata Donita.

“Pak, bapak ga bisa dong asal pecat saya kayak gitu. Salah saya apa?”

“Salah kamu karena kamu yang sudah menyebarkan informasi tentang saya dan Jeonghan sampai semua orang di kantor benci sama Jeonghan.”

“Loh itu kan konsekuensinya.”

“Konsekuensi apa? Dalam hal apa Jeonghan harus mendapat konsekuensi?”

“Konsekuensi karena dia udah berani nikung saya, yang notabenenya sahabatnya sendiri.”

Seungcheol menatap Donita dengan remeh. “Tapi kita kan gak ada hubungan apapun? Oke, kalau yang dulu itu memang salah Jeonghan, tapi kamu gak berhak marah karena saya bukan punya kamu.”

Jeonghan melihat Donita mengepalkan tangannya. “Kurang ajar ya lo, Jeonghan. Dasar jalang, lo itu ga ada apa-apanya dibanding gue. Lo cuma bisa ngasih badan lo ke pak Seungcheol, lo cuma mau uangnya dia aja kan.”

“Stop, nit. Stop. Lo boleh ngehina gue, tapi lo ga bisa fitnah gue atas apa yang gak gue lakuin. Iya, emang gue ngasih badan gue ke pak Seungcheol secara cuma-cuma tapi itu karena gue sayang banget sama dia. Tapi elo, lo nit yang mau uangnya pak Seungcheol. Lo sendiri yang bilang sama gue, kalo lo dan nyokap lo butuh pak Seungcheol demi kelangsungan hidup kalian.”

Ingatan Jeonghan berputar ke sebelum kejadian dimana ia meminta Seungcheol untuk tidur dengannya. Sebenernya ia sudah tau kalau Donita akan melakukan hal jahat pada laki-laki yang ia cinta—yang ternyata mencintai sahabatnya itu—makannya ia menjebak Seungcheol agar laki-laki itu jatuh padanya. Tapi ternyata usahanya gagal, gagal karena Seungcheol tidak pernah mencintainya sampai akhirnya ia mengalah. Dan siapa yang tahu, kalau ternyata Seungcheol malah tau sendiri sifat asli Donita. Ia hanya ingin melindungi Seungcheol, tidak lebih. Kalau Seungcheol bisa mencintainya balik itu bonus untuknya.

“Selama ini gue diem aja, karena ya omongan lo bener tentang gue. Tapi gue ga bisa kalo lo yang harus sama pak Seungcheol, bukan karena gue cemburu lo sahabat gue. Tapi karena gue maunya pak Seungcheol dapet orang yang benar-benar mencintai dia, bukan karena hartanya. Gue berusaha ngelindungin pak Seungcheol, walaupun gue harus kehilangan satu-satunya yang berharga buat gue.”

“Lo munafik, Jeonghan. Lo juga mau uangnya kan? Gue udah kasih lo penawaran, kalo lo ga ikut campur lo bisa dapet bagian lo.” Ucap Donita terang-terangan. Dan membuat Seungcheol terkejut, ternyata selama ini Donita seperti itu menganggap dirinya? Jadi selama ini orang yang ia sayang, malah mau menikamnya?

“Pergi dari sini, Don. Saya muak ngeliat muka kamu. Dan saya harap kamu gak akan pernah muncul lagi dihadapan saya.” Donita baru sadar kalau ia sudah salah berbicara.

“Pak, saya minta maaf—.”

“—pergi.”

“Udah sana pergi, dasar wanita jahat. Playing victim lagi.” Ucap bunda, akhirnya mau tidak mau Donita pergi dari rumah Seungcheol.

Dan Seungcheol juga langsung mengajak Jeonghan masuk ke kamarnya, karena setelah mengetahui kebenarannya cukup membuatnya lelah.

“Pak?” Seungcheol memeluk Jeonghan, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Jeonghan—tempat teraman baginya.

“Pak, maafin saya. Saya gak jujur dari awal.”

Seungcheol hanya diam, mengeratkan pelukannya.

“Pak, kalau bapak mau saya pergi juga gapapa pak. Jangan dipaksa ya pak.”

Jeonghan merasakan gelengan di ceruk lehernya.

“Saya mau kamu, Jeonghan. Mau kamu.”

Kalimat itu cukup membuat Jeonghan merasa kalau masih ada seseorang yang menginginkan dirinya.

Seungcheol melepaskan pelukannya. “Nikah sama saya ya setelah bayi lahir?”

5 bulan sudah usia kandungan Jeonghan, membuat Jeonghan lebih berhati-hati dalam bergerak.

“Nah ini susu untuk papa dan bayi.” Jeonghan tertawa mendengar suara Seungcheol yang terlalu dibuat-buat seperti anak kecil.

“Bapak jadi sering kesini ya? Gak dimarahin sekretarisnya?”

“Donita tuh akhir-akhir ini lagi sensi sama saya, Han. Galak dia, tapi tetep menggemaskan sih walaupun dikit.”

Jeonghan tersenyum mendengar ucapan Seungcheol. Sejak dulu Seungcheol selalu membawa-bawa nama Donita, Jeonghan jadi makin yakin kalau selama ini dirinya lah yang jahat.

“Pak Seungcheol, ada yang mau saya omongin ke bapak.”

Seungcheol menyeruput kopi nya. “Apa? Kayaknya penting banget.”

“Ini tentang kita.”

Jeonghan melihat kerutan di kening Seungcheol tapi langsung ia elus agar kerutan itu tidak nampak lagi—kata Jeonghan Seungcheol jelek kalau punya kerutan.

“Pak Seungcheol, sebelumnya saya mau minta maaf yang sebesar-besarnya lagi ke bapak.”

“Minta maaf karena apa Han? Kamu ada salah apa sama saya?”

“Salah saya banyak sama bapak, sama Donita. Saya bahkan gapapa kalo bapak dan Donita gak mau maafin saya.”

“Jeonghan?”

“Pak, jangan potong omongan saya dulu ya?”

Mau tidak mau Seungcheol mengangguk.

“Pak Seungcheol, saya sadar ternyata selama ini usaha saya untuk buat pak Seungcheol cinta sama saya gak berhasil, selama apapun saya berusaha hasilnya sia-sia. Karena bapak gak akan pernah punya perasaan ke saya seperti bapak punya perasaan ke Donita. Sampai kapanpun saya gak akan pernah bisa menggantikan Donita di hati bapak.”

Jeonghan menggenggam erat tangan Seungcheol, matanya pun sudah berlinang air mata.

“Awalnya saya ga perduli sama apapun, yang terpenting bagi saya adalah pak Seungcheol sama saya. Saya ga perduli sama perasaan Donita, bahkan saya ga perduli sama perasaan bapak. Saya cuma perduli sama perasaan saya. Itu membuat saya gelap mata, pak. Bahkan saya sengaja jebak bapak sampai saya hamil. Dan lagi-lagi saya disadarkan bahwa sex dan kehamilan gak akan bikin seseorang menjadi milik saya.”

“Jeonghan, tapi saya sudah berusaha nerima kamu. Apa kurang semua usaha saya?”

Jeonghan menggeleng. “Lebih dari cukup pak, tapi bapak pernah nyadar ga sih kalo setiap kita ngobrol bapak selalu bawa-bawa nama Donita. Donita ga suka ini, Donita ga suka itu, kalo Donita ga begini, Donita ga begitu. Bahkan Jun ngerasain itu waktu dia ngobrol sama bapak.”

Seungcheol terdiam. Jujur ia sama sekali tidak sadar. Apa karena memang ia masih mencintai Donita? Apa karena sudah terbiasa dengan Donita? Dan, ternyata bukan cuma dia yang sakit, tapi Jeonghan juga.

“Pak, saya ikhlas kalo bapak mau kembali sama Donita. Saya ga mau lagi jadi penghalang untuk orang lain. Saya capek terus dihantui oleh rasa bersalah, saya mau tenang saya mau tentram saya gak mau lagi terlibat dalam masalah ini ya walaupun saya tau saya biang masalahnya. Saya memang selalu membuat orang-orang sengsara, makannya saya ga mau lagi kayak gitu.”

Jeonghan menangis terisak-isak, ia tidak tau kenapa rasanya sakit sekali. Tapi ini keputusannya, ia hanya perlu belajar menerima kenyataan. Kalau semua yang ia ingin belum tentu bisa ia dapat, termasuk cinta Seungcheol.

“Jadi, sekarang bapak boleh pergi sama Donita. Bapak harus cari bahagianya bapak, bapak ga akan pernah dapet dari saya karena bukan saya yang bapak mau. Masalah anak ini, saya gak akan halang-halangi bapak kalau nanti bapak mau ketemu sama dia pas dia lahir. Saya juga minta izin untuk pakai marga bapak di namanya karena jujur saja saya sendiri ga punya marga pak tapi saya tetep maksa pake marga papa saya, saya cuma gak mau anak saya ngalamin apa yang saya alamin.”

Seungcheol menghapus air matanya, ia juga tidak tau kenapa jadi begini? Kenapa harus berakhir seperti ini?

“Sekarang bapak boleh pergi, saya gak bakal menghalangi bapak. Oh ya pak, projek yang saya pegang udah selesai, saya juga sudah resign jadi kita sudah tidak ada hubungan apapun kecuali dari anak.”

Jeonghan menarik tangan Seungcheol—membantu Seungcheol berdiri. Lalu ia memeluk Seungcheol, menghirup aroma tubuh Seungcheol yang mungkin tidak bisa lagi ia hirup.

“Pelukan terakhir.” Jeonghan berjinjit untuk mengecup bibir Seungcheol. “Kecupan terakhir.”

Lalu Jeonghan melepaskan pelukannya. Tapi kali ini Seungcheol kembali memeluknya. “Terima kasih, Jeonghan. Terima kasih.”

Jeonghan mengangguk dengan air mata uang masih mengalir. Beberapa menit kemudian Seungcheol melepaskan pelukannya dan mengecup kening Jeonghan lumayan lama. Mungkin, ini juga yang terakhir kali untuknya.

Setelah itu, Seungcheol berjalan menuju pintu. Menoleh menatap Jeonghan. “Terima kasih sekali lagi.” Lalu ia keluar dan menghilang dari pandangan Jeonghan.

Jeonghan berpegangan pada meja makan, sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. “Maaf sayang, maaf kamu cuma harus sama papa.”

End.

Kandungan Jeonghan sudah menginjak usia 4 bulan. Dan seluruh warga kantor tau tentang masalahnya dengan Seungcheol—tentu saja Donita yang menyebarkannya. Pro dan kontra terjadi, karena ada beberapa yang menyayangkan sikap Jeonghan tapi ada juga yang “ya sudah kan Seungcheol belum jadi milik Donita”.

“Han, makan siang apa?” Tanya Jun

“Gue lagi pengen banget makan soto ayam yang pedes pake koya sama jeruk nipis beh kayaknya seger banget ya.”

“Jangan pedes-pedes, terakhir lo makan pedes gue yang diamuk laki lo.”

Benar, waktu Jeonghan pernah mengidam makan ayam bakar dengan sambal yang pedas, tapi berakhir perutnya sakit dan apesnya Jun yang kena marah oleh Seungcheol.

Jeonghan tertawa. “Kali ini engga pedes banget deh.” Jeonghan merangkul tangan Jun—sekalian berpegangan.

Waktu mereka di lift, Jeonghan dan Jun mendengar bisikan-bisikan dari belakang mereka.

“Masih ga tau malu ya, udah hamil sama gebetan orang eh sekarang masih bisa ketawa-ketawa.” Sekiranya itu yang mereka berdua dengar. Sampai keluar dari lift kedua orang tersebut masih terus mengucapkan kata-kata tidak baik untuk Jeonghan.

Ucapan itu awalnya biasa saja, sampai akhirnya orang-orang itu menyebutkan kalimat yang cukup membuat Jeonghan ketakutan.

“Terus lo tau ga sih, gara-gara dia hamil projek di kantor hampir batal karena dia yang telat ketemu klien.”

“Makannya jangan hamil.”

“Sama gebetannya sahabatnya sendiri lagi. Dasar biang masalah. Dimana ada dia, disitu ada masalah. Gak guna.”

Jun merasakan genggam di lengannya mengencang, ia menoleh ke arah Jeonghan yang sudah banjir keringat.

“Han, hey.” Jun menepuk-nepuk pelan pipi Jeonghan. Tapi Jeonghan tidak mendengarnya, ia hanya terus-menerus mengatakan “bukan salah Han mah, maaf”

“Han, tarik nafas dulu ya terus buang.” Tapi Jeonghan lagi-lagi tidak mendengar Jun. Jun panik, apalagi sama sekali tidak ada yang membantunya. Jeonghan bahkan limbung kalau saja Jun tidak kuat menopang tubuhnya mungkin Jeonghan sudah tergeletak di lantai.

Jun bahkan meminta pertolongan pada orang-orang, tapi mereka tidak ada yang membantu, sampai akhirnya ada dua orang security yang menolongnya. Saat akan dibawa ke ruang kesehatan, mereka bertemu Seungcheol dan Donita yang baru saja selesai meeting.

“Jun, kenapa?” Tanya Seungcheol, ia bahkan mengambil alih tubuh Jeonghan untuk ia bopong.

“Pak, nanti saya jelasin. Tapi tolong dulu, Jeonghan butuh pertolongan.” Akhirnya Seungcheol dengan sigap langsung sedikit berlari menuju ruang kesehatan.

. . . . . . . . . . .

Jeonghan sudah ditangani dokter di sana, saat ini Jun dan Seungcheol berada diluar ruangan.

“Sebenarnya ada apa sih Jun?”

“Pak, saya ga berhak ngasih tau ke bapak. Tapi Jeonghan punya trauma pak dan cukup parah.”

Saat akan menjawab, dokter keluar dari ruangan.

“Dok, bagaimana kondisi Jeonghan?”

“Yang saya lihat pasien stress, pak. Saya takut kalau itu berpengaruh pada bayinya. Jadi saya sarankan untuk dibawa ke rumah sakit saja untuk penanganan lebih lanjut.” Seungcheol setuju, lalu ia membawa Jeonghan ke rumah sakit.

“Jun, kamu bawa tasnya Jeonghan ya. Saya duluan ke rumah sakitnya, kamu nyusul.” Jun mengangguk, lalu keduanya berpisah Jun ke mejanya dan Seungcheol ke mobilnya. Jun juga tidak lupa menghubungi Wonwoo.

. . . . . . . . . . .

Dokter bilang kandungan Jeonghan lemah. Itu cukup membuat Seungcheol ikut stress, sebenarnya ada apa sih ini? Kenapa bisa sampai seperti ini?”

“Mas?” Seungcheol menoleh, dan mendapati bundanya di sana. Jun juga sudah datang tadi, tapi sedang suruh menebus obat milik Jeonghan.

“Kok bisa begini, mas?” Seungcheol memang sudah mengenalkan Jeonghan pada bundanya.

“Mas juga ga tau bund, mas selesai meeting tadi Jeonghan udah begini.”

“Kasian anak ganteng bunda.” Sang bunda mengelus-elus kepala Jeonghan. Seungcheol bisa melihat betapa sayangnya sang bunda pada Jeonghan. Seungcheol jadi ingat waktu pertama kali ia mengenalkan Jeonghan pada bundanya, sang bunda sempat marah karena Seungcheol sudah kebablasan tapi detik berikutnya sang bunda senang karena sebentar lagi akan punya cucu.

“Bun, mas urus administrasi sebentar ya.” Bundanya mengangguk. Lalu Seungcheol meninggalkan bundanya dengan Jeonghan.

Setelah selesai mengurus administrasi, Seungcheol duduk di kantin dengan Jun dan Wonwoo. Jun sudah menceritakan tentang kejadian yang terjadi tadi.

“Sebenernya Jeonghan pasti marah kalau bapak tau masalah ini dari saya. Tapi saya ga bisa diem lagi pak.” Ucap Jun.

“Ada apa sebenarnya Jun?”

“Dulu Jeonghan punya seorang kakak pak, dulu juga keluarganya harmonis sampai suatu ketika kakaknya kecelakaan dan meninggal di tempat karena niatnya mau jemput Jeonghan pulang sekolah. Dari situ keluarganya bilang kalau dia biang masalah, Jeonghan bahkan diusir dari rumah pak.”

Speechless. Itu yang Seungcheol rasakan sekarang. Jadi selama ini Jeonghan menyimpan banyak luka di hidupnya?

“Jadi Jeonghan nyicil apartemen bukan karena dia mau mandiri? Tapi karena di usir orang tuanya?”

Jun mengangguk.

“Donita tau masalah ini?”

Bahkan bukan cuma Jeonghan saja, Jun dan Wonwoo juga merasa kalau Seungcheol selalu membawa-bawa nama Donita di setiap pembicaraan mereka.

“Donita tau pak, kan Donita tetangganya Jeonghan dulu.”

“Lalu kenapa tadi kamu panik di sana? Kenapa tidak minta tolong orang lain?”

“Itu masalahnya pak, semenjak berita hubungan bapak sama Jeonghan terkuak Jeonghan jadi dapet omongan-omongan ga enak, dia bahkan dikucilkan. Tadi saya panik karena ga ada yang ma nolong satupun, kecuali security.”

“Kamu masih inget siapa yang ngomong tadi?”

“Duh sebenarnya saya ga mau cepu pak, cuma kalo ini demi kebaikan Jeonghan saya berani deh. Yang ngomong itu si Lolita sama ranita.”

“Mereka bukannya teman-temannya Donita?” Jun mengangguk.

Seungcheol menghela nafasnya. Memijit pelipisnya yang terasa pusing.

“Ya sudah, terima kasih kalian sudah mau kasih tau saya. Sekarang saya mau balik ke kamar Jeonghan, karena ada bunda saya di sana.”

Jun mengangguk. “Kalau gitu saya sama Wonwoo pamit pulang ya pak? Titip salam buat bundanya bapak.”

“Nanti saya salamkan, kalian hati-hati ya.” Seungcheol langsung pergi meninggalkan Jun dan Wonwoo.

“Ternyata Jeonghan bener, nu.”

Wonwoo menggenggam tangan kekasihnya. “Berarti tugas kita ditambah, nemenin Jeonghan sampai kapanpun.”

. . . . . . . . . . .

Seungcheol masuk ke dalam ruang rawat Jeonghan, dan mendapati Jeonghan yang sedang berbincang dengan bundanya.

“Kok lama mas?” Tanya bundanya

“Abis beli minum tadi di kantin bund. Gimana perasaan kamu, Han?” Tanya Seungcheol, ia mengelus kepala Jeonghan.

“Udah lebih baik pak.”

“Oh ya mas, tadi dokter bilang Jeonghan udah boleh pulang nanti sore.”

“Bagus dong, kamu cuti aja ya besok.”

“Saya udah kebanyakan cuti pak, ga enak sama yang lain.”

“Duh gapapa dong Han, kan itu perusahaan punya calon suami kamu.” Ucapan bunda membuat Jeonghan bersemu.

“Gak ah bund, Han beneran ga enak apalagi ada projek yang lagi Han kerjain.”

“Kalo ga Han resign aja abis projek itu kelar, terus Han tinggal sama bunda deh. Itung-itung temenin bunda kalau mas lagi ga di rumah.”

Jujur saja Jeonghan tidak tau harus mengatakan apa. Ini kali pertamanya mendapatkan kasih sayang seorang ibu setelah sekian lama. Dulu, mamanya adalah wanita yang hangat tapi sejak kejadian beberapa tahun lalu mamanya menjadi seorang yang tidak bisa lagi ia kenali.

“Saya setuju sama bunda, masalah uang kamu gak usah pikirin anggep aja saya latihan nafkahin kamu.”

Jeonghan menatap bunda yang sedang menggodanya. “Nafkah tuh Han katanya.” Bunda dan Seungcheol tertawa ketika melihat Jeonghan yang tersenyum malu-malu.

“Han masih belum bisa bund, tapi Han janji Han bakal sering-sering jenguk bunda.”

“Yaudah Han harus jenguk bunda terus ya?”

Jeonghan mengangguk. “Iya bunda.” Jeonghan memeluk bunda Seungcheol dengan erat. Dan tidak tau kenapa itu membuat Seungcheol bahagia.

“Masalah yang tadi, kamu mau gimana Han?”

“Jangan ditindaklanjut ya pak, biarin aja. Omongan mereka bener kok.”

“Ya tapi itu keterlaluan, bisa bikin kamu masuk rumah sakit.”

“Please.” Seungcheol selalu kalah kalau Jeonghan sudah meminta.

“Oke, saya ngalah.” Dan Seungcheol mengecup kening Jeonghan, di depan bundanya—seperti sudah sering ia lakukan—dan bundanya tidak terganggu akan hal itu, karena menurutnya keduanya saling mencintai.

Jeonghan berjalan sempoyongan menuju pintu apartemennya.

Siapa sih yang bertamu pagi-pagi gini?

Sambil mengucak matanya, Jeonghan membuka pintu apartemennya.

“Pak Seungcheol?”

Seungcheol melihat Jeonghan yang masih memakai baju tidurnya. “Kamu gak kerja?”

“Oh itu pak, saya izin. Kepala saya sakit.”

“Kamu sakit lagi? Ayo ke dokter aja.”

Jeonghan menggeleng. “Saya cuma butuh tidur sih pak. Bapak ada apa kesini?” Jeonghan menatap plastik yang dibawa oleh Seungcheol.

“Dari semalem kamu gak bales pesan saya, terus perasaan saya juga tidak enak. Ternyata benar, kamu sakit.”

“Tapi sekarang saya baik-baik aja, pak.”

“Ya sudah, ini buat sarapan. Saya berangkat ke kantor dulu.” Jeonghan menahan tangan Seungcheol saat laki-laki itu hendak pergi.

“Sarapan bareng yuk pak, sekalian ada yang mau saya omongin.”

. . . . . .

“Jadi, Donita sudah tau ya?”

Jeonghan mengangguk. “Maaf ya pak, kemarin Jun ga sengaja.”

“Ya sudah mau gimana lagi, cepat atau lambat dia harus tau.”

Jeonghan menatap Seungcheol yang tampak terdiam. Perasaan bersalahnya kembali menyelimuti hati dan pikirannya.

Tiba-tiba bel berbunyi, Jeonghan langsung buru-buru membuka pintunya.

“Gyu?”

“Hai, aku bawa sarapan.” Ucap Mingyu sambil memperlihatkan plastik bawaannya.

Jeonghan menggigit bibirnya, ia lupa memberitahu Mingyu agar tidak datang.

“Siapa, Han?” Jeonghan menutup matanya, pasrah dengan keadaan.

“Lagi ada tamu ya, Han?” Tanya Mingyu.

Tiba-tiba saja Seungcheol mengulurkan tangannya. “Saya Seungcheol, calon suami Jeonghan.”

Mingyu terdiam, ia menatap Jeonghan meminta penjelasan.

“Gyu, ini ayahnya bayi yang aku kandung.” Bagai tersambar petir di siang bolong, Mingyu menghela nafasnya.

Lalu dengan senyum terpaksa, Mingyu mengelus kepala Jeonghan—di depan mata Seungcheol. “Selamat ya, Han.”

Jeonghan ingin menangis sekarang, jujur saja Mingyu adalah mantan terindahnya, mereka berpisah karena Mingyu harus melanjutkan studinya di luar negeri—dan Jeonghan tidak bisa terjebak dalam long distance relationship.

“Mingyu, maaf.”

Mingyu tersenyum. “Aku seneng kamu udah ketemu sama orangnya. Bahagia terus, oke? Yaudah aku pamit, karena kamu ada yang nemenin.” Mingyu menepuk-nepuk pucuk kepala Jeonghan lalu pergi, tanpa mengindahkan Seungcheol di sana.

Selepas Mingyu pergi, Jeonghan dan Seungcheol kembali masuk ke dalam. Seungcheol melihat Jeonghan menghapus air matanya.

“Mau sampai kapan kamu nangisin orang lain di depan ayahnya bayi?”

Jeonghan menatap Seungcheol. “Pak, saya lagi ga ada tenaga buat adu argumentasi. Kalau bapak mau pergi ke kantor, silahkan. Kepala saya sakit banget.”

“Jeonghan, saya ga suka kamu pikirin laki-laki lain apalagi mantan kamu.” Seungcheol tidak sadar kalau cengkramannya menguat—membuat Jeonghan meringis.

Karena benar-benar sudah tidak punya tenaga, akhirnya Jeonghan pingsan dan disitu lah Seungcheol baru sadar kalau ia keterlaluan.

“Jeonghan?”

. . . . . . . . . . .

Jeonghan membuka matanya, dan melihat ke sekelilingnya ternyata ia di kamarnya dan sendirian. Mungkin Seungcheol sudah pergi. Saat akan mengambil ponselnya, pintu kamarnya terbuka.

“Jangan main hp dulu, nanti tambah pusing.”

“Pak Seungcheol, bapak masih disini?”

Seungcheol membawa sepiring buah-buahan yang sudah ia potong-potong dan dengan segelas susu.

“Masih pusing gak?”

Jeonghan menggeleng. “Udah lumayan, bapak gak ke kantor?”

“Saya cuti.”

Jeonghan mengernyitkan keningnya. “Kenapa?”

“Soalnya papanya bayi saya lagi sakit.”

Ucapan Seungcheol membuat pipi Jeonghan bersemu.

“Nah makan, biar tambah tenaganya. Sama susu nya di minum ya, ini susu hamil.”

Jeonghan mengangguk, lalu memakan buah-buahan yang tadi sudah Seungcheol siapkan.

“Jeonghan?”

“Iya pak?”

“Saya minta maaf ya atas kejadian yang tadi. Saya ga sadar ternyata saya nyakitin kamu.” Seungcheol menyibakkan lengan baju Jeonghan, ada warna merah di sekitar lengan Jeonghan.

“Gapapa pak, bapak ga sengaja. Saya yang harusnya minta maaf, harusnya saya ga sebegitunya waktu Mingyu pergi. Maaf ya pak.”

Seungcheol mengangguk kemudian ia mengelus kepala Jeonghan. “Boleh gak kalo mulai sekarang cuma saya yang boleh elus kepala kamu?”

“Bapak nih cemburuan banget ya ternyata.” Seungcheol tertawa.

“Kalo Donita ga suka di usap-usap gini.”

Lagi-lagi Donita.

“Pak, saya mau mandi.”

“Kata dokter jangan dulu, kamu masih anget.”

“Bapak panggil dokter kesini?”

Seungcheol mengangguk. “Saya panik tadi, kata dokter kamu stress. Jeonghan, jangan stress kasian bayinya.”

“Iya pak, maaf lagi deh.”

“Maaf mulu.” Elusan Seungcheol turun sampai ke bibir Jeonghan. “Saya cium, boleh?”

Jeonghan mengangguk. Lalu bibir keduanya sudah saling menyatu.

Dasar anak sialan.

Mati aja sana, dasar ga guna.

Kata-kata itu selalu berputar-putar dipikirannya.

“Bukan salah Han, mah. Maaf.” Jeonghan terus merapalkan kalimat itu sambil menutup telinganya. Seakan-akan kejadian itu terjadi sekarang.

Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Badannya bergetar ketika lagi-lagi suara itu memasuki pikirannya.

“Han?” Jun sampai di sana dengan wonwoo. Jeonghan bahkan tidak mendengar Jun yang berhasil membuka pintu apartemennya.

“Jeonghan, hey tarik nafas, buang, tarik lagi, buang lagi.” Jeonghan mengikuti arahan Wonwoo. Beberapa menit kemudian nafasnya sudah kembali teratur.

“Kenapa Han, kenapa bisa kambuh?” Tanya Jun panik.

“Donita tau, dan dia bahas masa lalu gue. Jun, gue gak masalah dia mau marah sama gue, tapi ga seharusnya dia nyuruh gue mati. Jun, apa emang seharusnya gue mati aja ya? Gue nyusahin semua orang.”

Jun mendekap erat tubuh Jeonghan. “Lo gak boleh ngomong gitu, Han. Lo ga pernah nyusahin siapapun. Gue sayang banget sama lo, lo ga boleh ngomong gitu.” Jun terisak-isak dipelukan Jeonghan.

Wonwoo langsung menuju dapur untuk mengambil minum, dan memberikannya pada Jeonghan. Jun melepaskan pelukannya dan membantu Jeonghan minum.

“Jangan pernah mikir kayak gitu lagi, Jeonghan. Dan jangan pernah dengerin omongan orang lain, karena ga ada manusia yang berhak menghakimi hidup manusia lain.” Ucap Wonwoo

“Lo juga jangan banyak pikiran, lo lagi hamil. Maaf gara-gara gue lo jadi kayak gini.” Ucap Jun menyesal.

Jeonghan menggeleng. “Cepat lambat Donita pasti tau, Jun.”

. . . . . . . . . . . .

Seungcheol beberapa kali mengecek ponselnya, karena daritadi Jeonghan tidak membalas pesannya.

“Apa sudah tidur ya?”

Lalu ia kembali mengirimkan pesan.

“Tapi perasaan saya gak enak. Semoga ga ada apa-apa sama kamu, Jeonghan.”

Jeonghan benar-benar menepati janjinya. Setelah sesi terakhir mereka berakhir, Jeonghan benar-benar menjauh dari Seungcheol bahkan tidak pernah lagi menelpon atau sekedar chat seperti biasa. Dan itu cukup membuat hati Seungcheol sepi. Tidak tau kenapa, setelah sesinya selesai Seungcheol seakan tidak mau melepaskan Jeonghan. Tapi, dia buru-buru sadar kalau selama ini yang dia mau adalah Donita.

Saat ini Jun sedang menunggu Jeonghan sambil memainkan ponselnya.

“Jun, kok disini?” Jun menoleh, dan mendapati Donita dan Seungcheol di sana, lalu Jun menyapa Seungcheol.

“Nungguin Jeonghan, nit.” Jawab Jun.

“Memangnya Jeonghan kemana?” Bukan, itu bukan suara Donita tapi Seungcheol. Donita dan Jun menatapnya bingung, sejak kapan si bapak peduli?

“Maksud saya, kenapa ditungguin?”

“Oh itu pak, Jeonghan lagi ke toilet.” Baru saja Jun menjawab, Jeonghan sudah muncul tapi ia belum melihat Seungcheol dan Donita di sana—karena ia sibuk merapihkan bajunya.

“Jun, ayo—.” Jeonghan menatap Seungcheol dan Donita, lalu ia menyapa Seungcheol.

“Han, lo balik bareng siapa? Sama gue yuk, kebetulan gue di anter pak Seungcheol. Lo juga udah lama ga balik ke rumah kan, ga kangen sama nyokap bokap emangnya?” Tanya Donita

“Gue baru aja pulang kemaren, nit. Sekarang musti balik ke apartemen soalnya ga ada yang beresin.” Jawab Jeonghan

“Lo balik kok lo gak main ke rumah gue?”

“Gue ke rumah lo kok, nyokap lo bilang lo belom balik kemaren. Gue lumayan lama juga soalnya di rumah lo.”

“Oh kalo kemaren iya gue dinner sama pak Seungcheol.” Jawaban Donita membuat hati Jeonghan mencelos. Jun yang melihat suasana menjadi tidak enak, langsung memotong pembicaraan mereka.

“Tapi maaf banget nih pak Seungcheol, Donita, gue sama Jeonghan duluan ya? Soalnya pacar gue udah nungguin.” Ucap Jun.

“Lo nyamukin Jun terus sih, Han. Cari pacar dong.” Ucap Donita tertawa. Tapi hanya Donita yang tertawa sedangkan yang lain tidak sama sekali. Seungcheol bahkan tidak sengaja mengepalkan tangannya dibawah ketika mendengar ucapan itu. Tapi, kenapa dia harus marah?

“Yaudah kita duluan, pak duluan.” Seungcheol mengangguk. Memperhatikan punggung Jeonghan sampai menghilang dari pandangannya.

“Pak, yuk?”

Sebelum melangkah, Seungcheol menahan tangan Donita.

“Kenapa pak?”

“Saya ga suka kamu ga sopan kayak gitu. Mentang-mentang Jeonghan temen kamu, kamu ga bisa seenaknya bilang kayak gitu. Memangnya salah kalo belum punya pacar dan jadi nyamuk?” Donita menatap Seungcheol. Ini kali pertamanya ia melihat Seungcheol marah. Seungcheol marah.

“Pak, bapak marahin saya cuma karena itu?”

“Jangan dibiasakan menganggap remeh kehidupan seseorang.” Seungcheol langsung pergi, meninggalkan Donita yang mematung.

. . . . . . . . . . .

“Kurang aja banget tuh sih Nita. Dia pikir gampang apa cari pacar.” Jun sendiri kesal dengan ucapan Donita. Sedangkan Jeonghan hanya diam, pikirannya melayang jauh memikirkan ekspresi Seungcheol ketika Donita mengatakan hal itu.

Seungcheol marah, Jeonghan melihatnya.

“Han, lo jangan mau dong kalo digituin. Jangan gapapa-gapapa aja, ngamuk sesekali.”

“Tau ah Jun, capek gue. Donita emang dari dulu begitu, gue udah paham sifatnya.”

“Cuma kan kalo lo ga ngomong dia bakal terus begitu, Han.” Ucap Wonwoo

“Tapi gimana ya dia ngomong kenyataan.”

“Ah, lu rebut aja pak Seungcheol dari dia Han. Lu ajak ngewe—aww nu.” Jun meringis ketika Wonwoo mencubit pipinya.

“Jangan kasih saran aneh-aneh deh.”

“Tapi udah kok.” Jun dan Wonwoo menoleh.

“Gue udah ajakin pak Seungcheol ngewe.”.

“Anjing. Terus gimana dia mau?” Tanya Jun

Jeonghan mengangguk. “3x gue ngewe sama dia.”

“Anjing bener-bener anjing Yoon Jeonghan. Terus gimana?” Jun makin penasaran.

“Awalnya gue ga sengaja tau rahasia dia, cuma gue ga bisa bilang karena gue udah janji sama dia untuk ga cerita ke siapa-siapa. Gue bikin dia mau ngewe sama gue, 3x setelahnya gue ga bakal ganggu dia lagi. Gue pikir setelah ngewe 3x, perasaan dia ke gue berubah taunya engga, jadi ya akhirnya gue putuskan untuk udahan ngejar dia. Sekaligus nepatin janji, untuk gak ganggu dia lagi. Dia juga bilang mau ngelamar Donita abis kelar sama gue.”

“Han, kok sedih banget.” Jun sudah akan menangis kalau tidak Jeonghan pukul kepalanya.

“Tapi selama lo sama dia, lo pake pengaman kan Han?” Tanya Wonwoo. Tapi Jeonghan hanya diam. Dia baru sadar, selama ini mereka tidak pernah memakai pengaman selama bersetubuh.

“Han?” Panggil Wonwoo.

“Won, Jun.” Panggil Jeonghan lirih.

“Apa? Lo pake kan? Iya kan?” Jun menatapnya garang.

Jeonghan menggeleng. “Gue lupa, ini juga baru sadar pas ditanya.”

Jun tertawa sarkas. “Selamat Jeonghan, lo dapet oleh-oleh dari pak Seungcheol.”

Waktu berjalan dengan cepat, hari ini adalah sesi terakhir keduanya. Dan mereka sepakat akan melakukan di apartemen milik Jeonghan.

“Kamu mau beli makan sekali, Han?” Keduanya makin dekat, sampai sekarang Seungcheol sudah berani memanggil Jeonghan dengan sebutan “Han” dimana sebutan itu hanya untuk orang-orang terdekat.

“Saya mau masak, pak.” Jawab Jeonghan

Seungcheol sempat menoleh sebentar lalu kembali fokus pada jalanan. “Kamu bisa masak?”

“Bisa pak, kan saya sekarang tinggal sendiri kalo ga masak gimana? Saya kan ga sekaya bapak yang bisa beli, bahkan bisa beli restorannya.”

“Kenapa kamu tidak tinggal sama orang tua kamu lagi?”

“Mau mandiri aja sih pak, saya nyicil apartemen ini juga pake gaji saya jadi saya sama sekali ga minta orang tua saya.”

Seungcheol mengangguk mengerti. Beberapa menit kemudian mobil Seungcheol sampai di besmen apartemen Jeonghan lalu keduanya menuju unit apartemen Jeonghan.

“Pak Seungcheol mau mandi dulu?” Tanya Jeonghan

“Saya gak bawa baju Han, gak usah deh.”

Jeonghan masuk ke kamarnya, mengganti pakaiannya dan kemudian membawa baju bersih serta dalaman untuk Seungcheol.

“Kayaknya muat deh, soalnya itu gede banget.”

“Oh kamu punya baju gede juga.” Seungcheol menerima baju yang Jeonghan berikan.

“Punya mantan saya sih, pak.”

Seungcheol menatap Jeonghan tidak suka, lalu memberikannya kembali pada Jeonghan baju tersebut. “Mending saya gak usah ganti baju.”

Jeonghan tertawa. “Bercanda, itu niatnya emang buat mantan saya cuma keburu putus jadi ga sempet saya kasih. Itu baru kok, dalemannya juga kayaknya pas sama bapak.”

“Oh kamu sampe tau ukuran celana dalamnya, ya.”

“Iya pak, kan dulu sebelum pegang punya bapak saya pegang punya dia. Jadi saya tau ukuran dia.” Seungcheol melotot mendengar ucapan Jeonghan sedangkan Jeonghan hanya tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wajah Seungcheol.

“Besaran punya saya atau dia?”

Jeonghan bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur. “Saya gak mau jawab, nanti bapak sedih lagi.”

“Jeonghan.” Seungcheol merengek sambil berjalan mengikuti Jeonghan dari belakang.

. . . . . . . . . . .

“ahhh! Ah! Ah! Ah! Ah! Ah!” Jeonghan terlonjak-lonjak akibat tumbukan keras Seungcheol. Matanya terpejam menikmati setiap gerakan dari belakangnya. Ini ronde ketiga yang mereka lakukan, setelah makan malam Seungcheol langsung 'memakannya' tanpa henti.

“Nghhh—pak Seungcheol—nghhh”

“Shit, kamu enak banget Jeonghan.” Seungcheol mendongakkan kepalanya ketika kejantanannya diremat oleh lubang Jeonghan. Ini luar biasa baginya.

“Mmhhm... ahhh! Ah! Ah! Haa... Haaa.... Haa....” keduanya sama-sama saling mencapai puncak mereka. Ini sudah ketiga kalinya cairan Seungcheol menyembur di dalam lubang Jeonghan.

Jeonghan ambruk dengan tengkurap, sedangkan Seungcheol ia sudah bergulir ke sebelah Jeonghan dan kemudian ia membawa Jeonghan ke dalam pelukannya. Mengecup kening laki-laki yang sudah terlelap itu.

“Good night, Jeonghan.”

Jeonghan dan Seungcheol sudah sampai di salah satu hotel bintang 5—pilihan Jeonghan.

“Mau mandi dulu pak?”

Seungcheol merebahkan tubuhnya di atas ranjang. “Kamu dulu saja.” Lalu ia mengecek ponselnya. Jeonghan tidak perduli, ia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Setelah beberapa menit, Jeonghan keluar dengan bathrobe yang disediakan hotel. Memperlihatkan leher jenjangnya yang membuat siapapun yang melihatnya akan tergoda.

“Pak, mandi dulu.” Jeonghan menepuk halus punggung Seungcheol. Mau tidak mau Seungcheol terbangun dari tidur sejenak nya.

Seungcheol mengucek kedua matanya, melihat orang di depannya yang hanya memakai bathrobe—ia yakin Jeonghan tidak memakai apapun di dalamnya. Seungcheol menelan ludahnya ketika pandangannya tertuju pada leher mulus Jeonghan.

Ia ingin meninggalkan tanda kemerahan di sana

“Pak?”

Lamunan kotor Seungcheol buyar ketika Jeonghan menyentuh pundak Seungcheol.

“Oh iya, saya mandi dulu.” Seungcheol langsung berlari menuju kamar mandi.

Jeonghan tertawa. “Berasa mau malem pertama dah, kaku banget.”

. . . . . . . . . . . .

Saat ini keduanya sedang menikmati makanan yang mereka pesan dari room servis. Keduanya makan dengan suasana hening. Karena jujur saja Seungcheol tidak suka ada ditempat ini dengan Jeonghan.

“Mau nambah dessert pak?”

Seungcheol menggeleng. “Sudah cukup.”

Lalu Jeonghan membereskan semua piring bekas makan mereka. Sedangkan Seungcheol hanya duduk diam sambil memperhatikan Jeonghan yang sedang kesana-kemari.

Jeonghan yang merapihkan pakaiannya agar tidak lecek

Jeonghan yang merapihkan sprei agar ia nyaman.

“Mau sekarang pak?”

. . . . . . . . . .

Seungcheol tidak tau kalau ternyata Jeonghan pintar dalam mengulum. Buktinya saat ini kejantanannya dimakan habis oleh mulut kecilnya itu. Seungcheol mengelus-elus rambut Jeonghan sambil sesekali menekan kepala Jeonghan—sampai terbatuk-batuk—agar memakan habis kejantanannya.

Seungcheol mengerang panjang ketika ia mengeluarkan cairannya di dalam mulut Jeonghan. Kemudian keduanya saling bertatapan—setelah Jeonghan melepaskan kulumannya—Seungcheol mengelap bekas cairannya di bibir Jeonghan. Lalu mengecup bibir itu.

Awalnya hanya mengecup, lalu menjadi ciuman yang menuntut. Jeonghan membuka bibirnya sedikit—membiarkan lidah panas Seungcheol membelai langit-langit mulutnya—melenguh ketika Seungcheol menghisap lidahnya.

Seungcheol merasa kalau ia harus bertindak lebih. Maka, ia putar posisi mereka. Saat ini Jeonghan sudah telentang, bibirnya bengkak akibat pergumulan bibir keduanya. Sedangkan Seungcheol, ia sudah melabuhkan bibirnya ke seluruh tubuh Jeonghan. Ia bahkan sudah memenuhi keinginannya untuk membuat tanda kemerahan di leher Jeonghan.

Jeonghan berjengkit ketika Seungcheol memainkan lidahnya di sekitar putingnya—membuat gerakan memutar. Jeonghan mendongak sambil membusungkan dadanya.

Mmhhm...

Lenguhan Jeonghan membuat Seungcheol semakin bersemangat. Jujur, tubuh Jeonghan benar-benar menggiyurkan. Ia sendiri tidak bisa menghentikan bibirnya yang ingin terus-terusan menjajaki tubuh itu.

Lalu tangan Seungcheol mengarah kebagian bawah Jeonghan. Membelai lembut di sana. Setelah puas dengan dada Jeonghan, Seungcheol menurunkan lidahnya—membuat jejak liur di tubuh Jeonghan.

Dengan sekali gerakan, ia sudah mengulum kejantanan Jeonghan—membuat sang empu melenguh panjang—lalu ia mengemut twins ball Jeonghan dan berakhir di lubang Jeonghan yang sudah berkedut.

“ahhh! Ah! Ah! Haa....”

Cairan Jeonghan keluar dengan mengenai ujung rambut Seungcheol.

“Pak, maaf.” Jeonghan mencoba mengelap cairannya yang mengenai ujung rambut Seungcheol.

Seungcheol tertawa. “Gapapa gapapa, nanti saya keramas.” Sambil ikut mengelap rambutnya.

Lalu Seungcheol kembali menjilati lubang Jeonghan—agar ia bisa masuk tanpa pelumas—karena jujur saja mereka tidak membawa persiapan apapun. Jeonghan kembali melenguh panjang ketika Seungcheol menjilatnya dan mengocok kejantanannya.

“Mmhhm... ahhh....” Jeonghan menggeleng ribut—ia sudah tidak kuat menahan perlakuan Seungcheol.

Seungcheol mengarahkan kejantanannya ke lubang Jeonghan yang sudah ia basahi, mendorong sedikit agar bisa masuk. Kemudian matanya beralih ke Jeonghan yang kesakitan.

“Kalo sakit gigit lengan saya aja, Jeonghan.” Jeonghan menuruti tapi saat itu juga Seungcheol merasakan sakit di lengannya. Impas.

Jeonghan berteriak ketika kejantanan Seungcheol masuk sepenuhnya ke lubangnya. Seungcheol mendiamkan terlebih dahulu, agar Jeonghan bisa beradaptasi dengan miliknya lalu beberapa menit kemudian Jeonghan mengangguk menandakan ia memperbolehkan Seungcheol bergerak.

“Mmhhm... ahhh! Ah! Ah! Ah! Ah! Ah!” Desahan keduanya saling bersahutan di dalam ruangan kamar itu.

“Jeonghan, kamu enak banget—nghhh.” Kalimat yang tidak Seungcheol percaya akan keluar dari mulutnya. Tapi ini benar, lubang Jeonghan benar-benar menyeret masuk miliknya.

“Disitu, pak.” Seungcheol berhasil mengenai sweet spot Jeonghan, membuat Jeonghan makin mendesah.

“ahhh! Ah! Ah! Ah! Ah!”

Hampir satu jam mereka saling mengejar pelepasan—dengan Jeonghan yang sudah 3x keluar—sedangkan Seungcheol baru sekali.

Nghhhhh—pak Seungcheol—Ah! Ah! Ah!

“Bareng ya, Jeonghan.”

Jeonghan mengangguk. Lalu menit berikutnya keduanya sama-sama mendapatkan pelepasan mereka.

Seungcheol ambruk di atas dada Jeonghan. Dengan nafas tersengal ia kecup beberapa kali dada itu. Sedangkan Jeonghan ia juga masih sibuk meraup udara yang banyak sambil mengelus-elus kepala Seungcheol yang berada di dadanya.

. . . . . . . . . . . .

Keduanya memutuskan menginap di sana, karena sudah pukul 2 dini hari—karena keduanya menambah ronde mereka. Jeonghan masih meletakkan kepalanya di dada Seungcheol. Ia bisa mendengar suara degup jantung Seungcheol.

“Kamu besok gimana kerjanya?” Yup, besok masih weekday dimana keduanya masih harus bekerja.

“Saya kayaknya pulang dulu pak, gak bawa baju.” Jawab Jeonghan sambil memainkan jarinya di dada Seungcheol.

“Besok saya antar.”

Jeonghan mendongak menatap Seungcheol lalu menggeleng. “Saya sendiri aja, bapak langsung ke kantor.”

“Saya ga terima penolakan. Sekarang tidur.” Seungcheol mendorong kepala Jeonghan agar tidur di atas lengannya, posisi keduanya saat ini saling berhadapan—dengan wajah Jeonghan tepat di depan dada telanjang Seungcheol—dengan perasaan senang Jeonghan menaruh tangannya di atas pinggang Seungcheol, ia juga merapatkan tubuhnya ke tubuh Seungcheol lalu memejamkan matanya.

“Good night, pak Seungcheol.”

“Good night too, Jeonghan.”

Jeonghan menghentikan langkahnya ketika ia mendengar suara desahan dari dalam ruangan Seungcheol. Lalu ia menoleh ke arah meja yang biasa Donita gunakan—tapi wanita itu tidak ada—lalu Jeonghan kembali menajamkan pendengarannya dan benar itu suara Seungcheol. Bos nya itu sedang mendesah, tapi Jeonghan tidak mendengar suara lain di dalam.

Apa bos nya itu main solo?

Dengan perasaan campur aduk Jeonghan memberanikan diri untuk membuka pintu ruang itu secara perlahan. Dan benar, Jeonghan melihat Seungcheol sedang mendongakkan kepalanya sambil tangannya sibuk dibawah.

Ini pertama kalinya Jeonghan melihat Seungcheol mengerang nikmat seperti itu, dan cukup membuatnya hard tapi yang cukup membuatnya sakit hati adalah ketika nama orang lain yang Seungcheol sebut di setiap desahannya— Donita.

Jadi Seungcheol ini sedang membayangkan Donita yang memegang peranan itu?

Dengan berani Jeonghan membuka pintu, membuat sang pemilik ruangan terkejut, lalu Jeonghan mengunci pintu dan mendekat ke arah Seungcheol yang terpaku—bahkan ia tidak sadar kalau ia masih menggenggam kejantanannya.

“Jeonghan?”

Seungcheol menatap Jeonghan yang menatap kejantanannya, dengan cepat Seungcheol masukkan kembali dan menutupnya.

“Jeonghan, kenapa? Kenapa kamu gak ketuk pintu lebih dulu?”

“Saya udah liat semuanya pak.”

Seungcheol kelabakan tapi Jeonghan tetap tenang.

“Kalo Donita sampe tau kalo ternyata dia bapak jadiin imajinasi liar gimana ya?”

“Jeonghan saya mohon, kamu jangan kasih tau siapapun termasuk Donita. Saya bakal kasih kamu uang kalo kamu mau tutup mulut.”

Jeonghan tertawa menatap Seungcheol. Dipikir dirinya mau uang?

Seungcheol menatap Jeonghan yang sedang tertawa, ia benar-benar takut sekarang. Takut kalau imagenya jelek dan takut kalau Donita jadi jijik terhadapnya.

“Bapak suka ya sama Donita?”

Seungcheol terdiam.

“Apa yang bapak suka dari dia? Atau apa yang dia lakuin sampe bapak suka sama dia?”

Seungcheol masih diam.

“Bapak gak mau jawab pertanyaan saya? Mau sekarang saya keluar dan cari Donita?”

“Jeonghan saya mohon jangan. Saya berani bayar bera—.”

“—saya ga mau uang bapak. Saya cuma mau jawaban bapak.” Jeonghan memotong ucapan Seungcheol.

Seungcheol menghela nafasnya lalu mengangguk. “Iya saya suka sama Donita. Saya suka sama dia karena memang dia yang mengerti saya, dia tidak menatap saya hanya karena uang saya. Tapi saya tidak berani bilang, karena saya takut kalau perasaan ini hanya saya yang miliki.”

Jeonghan muak.

Si paling mengerti

Menatap tanpa uang, katanya

Jeonghan mengepalkan tangannya. Itu artinya mereka berdua saling menyukai. Engga, ini ga boleh terjadi.

Jeonghan mengangguk mengerti, lalu ia berjalan mendekat ke arah Seungcheol.

“Bapak mau saya tutup mulut?”

Seungcheol mengangguk.

“Saya punya satu permintaan.”

“Saya bakal kasih berapapun yang kamu mau, Jeonghan.”

“Dibilang saya ga mau uang bapak.”

Seungcheol menatap Jeonghan bingung. Lalu?”

Jeonghan sedikit membungkuk lalu ia membisikkan sesuatu di telinga bos nya itu.

“Saya pengen bapak—.” Bulu kuduk Seungcheol meremang. Seharusnya ia marah karena diperlakukan seperti ini tapi yang terjadi, tubuhnya seakan kaku—karena Jeonghan juga mengecup telinganya.

“—di dalam saya.”

it's your birthday, Minghao.

Minghao menggenggam tangan Mingyu ketika mereka sudah di restoran yang sudah Minghao booking..

“Gyu, makasih ya udah mau dinner sama aku. Aku sayang banget sama kamu.”

Mingyu tidak menjawab, hanya mengangguk. Membuat Minghao tersenyum miris. Ini tahun ke-4 hubungan mereka, bahkan tahun ke-4 mereka merayakan ulang tahun Minghao bersama.

Minghao sendiri tidak tau apa yang membuat Mingyu terlalu cuek padanya, bahkan Minghao selalu yang lebih dulu memulai. Minghao sendiri selalu menerka-nerka apa mungkin Mingyu hanya terpaksa menerima cintanya 4 tahun yang lalu?

Lamunan Minghao buyar ketika pelayan membawakan makanan mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, Minghao sempat mengabadikan momen, ntah dari makanan atau dari partner dinner nya hari ini.

“Selamat makan, gyugyu.” Kali ini Mingyu berdehem menyahuti Minghao.

Beberapa saat kemudian, mereka telah selesai makan.

“Jadi, abis ini kita kemana?” Tanya Minghao antusias. Walaupun kecil kemungkinan, tapi ia selalu berharap kalau suatu saat nanti Mingyu akan melakukan sesuatu yang bisa membuat dirinya terpukau.

“Pulang.” Senyum Minghao luntur seketika. Apa yang ia harapkan dari laki-laki dingin seperti kekasihnya itu? Dengan tidak bersemangat Minghao memanggil pelayan untuk meminta bill. Tapi saat akan mengeluarkan kartunya, Mingyu menahannya dan langsung mengeluarkan kartu miliknya. Sebenarnya ini bukan kali pertama Mingyu membayar tagihan makan mereka, dan bukan yang bisa Minghao banggakan—karena memang sudah sepantasnya begitu, bukan?—tanpa berbicara banyak Minghao langsung menutup kembali dompetnya.

Lalu keduanya pergi dari tempat itu—tentu saja dengan Mingyu yang berjalan lebih dulu.

“Nanti aku drop di lobby aja ya, Gyu. Aku ga ikut masuk.” Ucap Minghao sambil menjalankan mobilnya.

1 detik

2 detik

3 detik

Tidak ada jawaban dari Mingyu. Minghao menoleh dan mendapati Mingyu sedang memejamkan matanya. Minghao menghela nafasnya. Gini amat pacaran sama orang ganteng.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di apartemen Mingyu. Minghao melihat Mingyu yang menatapnya seperti berbicara “kok disini?”

“Aku ga ikut naik, mau langsung pulang. Kamu juga capek banget kayaknya, jadi aku ga mau ganggu kamu. Maaf ya Gyu, maksa kamu untuk dinner sama aku.” Sekuat tenaga Minghao mengucapkan kalimat-kalimat itu. Jangan nangis, jangan nangis.

“Ikut dulu, ada yang mau aku kasih.” Minghao menatap Mingyu. Apa Mingyu akan memberinya hadiah? Mingyu selalu memberikan hadiah ulang tahun untuknya, tapi selalu telat. Dan kali ini, ia tidak menyia-nyiakan moment bersejarah ini. Kim Mingyu kasih kado tepat waktu. Akan ia catat di dinding apartemennya.

“Tumben kamu kasih aku kado on time?” Tanya Minghao sambil melepas seat belt nya. Lalu mengikuti Mingyu dari belakang.

“Dari mama.” Jawab Mingyu dan lagi-lagi Minghao mendengus, apa yang harus ia harapkan dari Mingyu?

Minghao duduk di sofa ketika mereka sudah masuk ke dalam unit apartemen Mingyu. Memperhatikan Mingyu yang berjalan masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian. Lalu beberapa menit kemudian Mingyu keluar dengan pakaian santainya.

Kemudian Mingyu ikut duduk disebelah Minghao, memberikan kotak kecil berpita pada Minghao.

“Boleh aku buka disini?” Tanya Minghao, walaupun kesal tapi ia tetap bersemangat kalau mendapat hadiah.

Mingyu mengangguk. Minghao dengan cepat membuka kotak itu, lalu terkejut melihat apa yang ada di dalamnya.

Kotak beludru warna merah.

Lalu ia buka dan makin terkejut.

Sebuah cincin.

Lalu Minghao menatap Mingyu.

“Mama kasih ini ke aku, apa ga terlalu berlebihan, Gyu?” Tidak tau kenapa ia merasa tidak pantas menerimanya.

Minghao melihat Mingyu menelan ludahnya—menandakan laki-laki itu gugup yang berlebihan.

“Gyu?”

Minghao melihat Mingyu mengatur nafasnya—dia benar-benar gugup.

“Mingyu?”

“Aku bohong.”

Hah? Apa maksudnya?

“Bohong gimana?” Maksudnya bohong kalo cincin ini bukan untuknya, gitu?

“Itu bukan dari mama, tapi dari aku.”

Hampir saja Minghao menjatuhkan kotak itu. Mulutnya terbuka lebar—terkejut—tubuhnya terpaku akibat ucapan Mingyu.

Tapi, buru-buru Minghao menepis khayalannya. Ia tidak mau lagi, terbang lalu dijatuhkan begitu saja.

“Makasih Gyu, tapi ini mahal banget ga sih?”

Mingyu mengernyitkan keningnya. “Kamu gak tanya dalam rangka apa?”

“Ulang tahun aku kan?”

Ingin rasanya Mingyu menenggelamkan dirinya di Palung Mariana.

Minghao memakainya, lalu memperlihatkannya pada Mingyu. “Bagus ya Gyu? Kamu tau selera aku ternyata.”

Minghao mengambil ponselnya untuk memotret jarinya. Saat gambar ketiga, tangannya di tahan oleh Mingyu. Minghao menatap Mingyu. “Kenapa?”

“Ayo nikah sama aku.”