thatausaha

Jeonghan masuk ke dalam mobil Seungcheol.

“Berr?”

“Mau ngomong apa?” Todong Jeonghan. Ia tidak mau berlama-lama di sana.

“Berr, gue ada salah ya sama lo? Kok gue ngerasa akhir-akhir ini lo kayak ngejauh dari gue?”

“Engga kok, gue ga ngejauh dan lo ga ada salah.”

“Tapi gue pikir setelah malem itu, kita bakal—.” Ucapan Seungcheol terpotong oleh Jeonghan.

“—stop. Stop ngomongin kejadian malem itu. Anggep aja ga pernah ada kejadian apa-apa diantara kita.”

“Gak bisa, berr. Gue ga bisa kalo lupain gitu aja.”

Jeonghan hanya diam, kemudian ia sudah bersiap untuk keluar dari mobil Seungcheol. “Gue ga perduli, kita musti anggep waktu itu ga ada apa-apa. Gue masuk dulu, nanti gue kirimin nomor oney.”

“Jadi gara-gara ini?”

Gerakan tangan Jeonghan terhenti, ia menatap Seungcheol. “Maksudnya?”

“Gara-gara gue minta nomor oney lo ngejauh dari gue?”

Jeonghan terhenyak. “Gue ga ngerti maksud lo. Udah gue mau masuk—.”

“Gue emang minta nomor oney, tapi bukan buat gue.”

Jantung Jeonghan berdebar kencang. Jadi buat siapa?

“—Tapi buat Seokmin.” Lanjut Seungcheol. Jeonghan membatu setelah mendengar ucapan Seungcheol.

“Gue jujur berr, Seokmin yang minta. Oke, gue salah waktu itu. Harusnya gue ga bahas orang lain, tapi gue pikir lo ngerti. Gue ga mungkin nyium lo tapi minta nomor orang lain, jadi gue pikir setelah malem itu kita lanjut. Ternyata elo malah kepikiran, dan menjauh dari gue. Sorry, berr.”

Jeonghan hanya diam. Melihat Jeonghan hanya diam, Seungcheol menghela nafasnya. Mungkin emang Jeonghan tidak mau melanjutkan obrolan mereka.

“Yaudah berr, lo boleh pergi. Sorry ganggu malem-malem gini. Kalo misalkan lo gak mau gue lanjut, yaudah nanti gue ga bakal ngechat lo lagi.”

“Mundurin.”

“Hah? Apanya?”

“Kursi lo mundurin.”

Seungcheol yang tidak mengerti hanya mengikuti arahan Jeonghan. Ia menekan tombol di sebelahnya, setelah kursinya mundur Seungcheol kembali menatap Jeonghan. “Gini?”

Tiba-tiba saja Jeonghan melompat ke pangkuan Seungcheol setelah melihat space antara Seungcheol dan kemudi mobilnya. Seungcheol yang terkejut langsung reflek menaruh tangannya di pinggang Jeonghan.

Dengan cepat Jeonghan menangkup dagu Seungcheol dan mencium bibir Seungcheol. Dengan berantakan tapi cukup membuat Seungcheol menggila.

Seungcheol sendiri tidak mau kalah, ia meremas sedikit pinggang Jeonghan sambil bibirnya mengulum bibir Jeonghan. Lidahnya ia sisipkan ke dalam mulut Jeonghan, ia juga menggelitik langit-langit mulut Jeonghan sampai sang empu melenguh. Jeonghan meremas rambut Seungcheol untuk melampiaskan kenikmatannya karena ia tidak bisa berteriak.

Hampir 30 menit keduanya masih di posisi seperti itu. Sampai akhirnya Jeonghan yang butuh banyak oksigen. Seungcheol menjauhkan bibir keduanya. Ia menatap Jeonghan yang sedang menatapnya dengan nafas terengah-engah. Seungcheol merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantik Jeonghan.

“Lucu banget kalo cemburu.” Jeonghan yang mendengar itu langsung memeluk Seungcheol, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seungcheol. Seungcheol tertawa sambil memeluk serta mengelus-elus punggung Jeonghan.

Lalu keduanya sama-sama terdiam, sambil menikmati hangat pelukan keduanya.

“Sorry, cherr.”

“Gapapa, salah gue juga. Sorry ya bikin salah paham.”

Jeonghan mengangguk. Lalu kembali diam. Sampai beberapa menit dengan posisi seperti itu cukup membuat Seungcheol pegal di pahanya.

“Berr, kram nih.”

Jeonghan langsung buru-buru melepaskan pelukannya dan secepat kilat melompat kembali ke kursinya. Seungcheol meringis ketika kedua kakinya kesemutan.

“Udah?” Tanya Jeonghan ketika ia melihat Seungcheol sudah tidak meringis.

Seungcheol mengangguk. Kemudian ia kembali fokus ke Jeonghan, ia mengambil tangan Jeonghan untuk ia genggam. “Udah makan belum?” Seungcheol menyisipkan rambut Jeonghan ke telinga.

“Gak nafsu.”

“Makan dong, makan sama gue yuk?”

“Makan di rumah aja yuk? Mau masuk gak?”

“Ada siapa?”

“Mama.”

“Gapapa emang?”

“Ya gapapa.”

Baru akan menjawab, tiba-tiba saja ponsel Seungcheol berbunyi, ada sebuah pesan masuk.

“Yah, ga bisa sekarang deh kayaknya. Tiba-tiba eyang aku dateng, next time?”

Jeonghan mengangguk. “Yaudah pulang.”

“Cium dulu.” Ucap Seungcheol dan Jeonghan langsung menyodorkan bibirnya untuk dicium oleh Seungcheol. Seungcheol mengecupnya beberapa kali.

Setelahnya Jeonghan keluar dari mobil Seungcheol. Ia mengetuk kaca mobil Seungcheol. “Kabarin kalo udah sampe rumah.” Kemudian ia mengecup pipi Seungcheol.

“Iya, jangan lupa makan ya. Awas kalo ga makan.”

“Siap bos.” Seungcheol tertawa sambil mengacak-acak rambut Jeonghan. Kemudian ia pergi dari rumah Jeonghan. Setelahnya Jeonghan masuk ke dalam rumahnya.

Sebelumnya ada sebuah mobil yang berhenti tidak jauh dari mereka, melihat ke arah Jeonghan yang memasukkan kepalanya ke dalam mobil untuk mengecup pipi Seungcheol. Sampai Seungcheol pergi dan Jeonghan masuk, mobil itu baru masuk ke dalam pekarangan rumah Jeonghan. Sang empu keluar dari mobilnya, menatap mobil yang tadi dengan Jeonghan menjauh.

“Kayak kenal mobilnya.”

“Gue udah di depan, berr.”

Itu yang Jeonghan baca sebelum ia berlari ke luar rumah. Di depan rumahnya terparkir mobil milik Seungcheol. Kemudian kaca mobil bagian penumpang terbuka.

“Masuk, berr.”

Jeonghan mengangguk, dan langsung masuk, memasang seat beltnya.

“Jadi dimana tamannya?”

“Rame banget gapapa, cherr? Soalnya tadi gue sempet lewat rame banget.”

“Oh, atau mau yang deket apartemen gue? Ada cafe nya juga, jadi kita bisa sekalian makan.”

“Boleh. Mana kkumma nya?”

Seungcheol menjalankan mobilnya dan sedikit menggerakkan kepalanya ke belakang. “Tuh, dibelakang. Ambil aja coba.”

Jeonghan dengan susah payah untuk mengambil kkumma yang berada di kursi belakang. Setelah bisa, ia pangku dengan mengelus-elus bulu lebat anjing itu.

“Di rumah pelihara anjing juga?” Tanya Seungcheol

“No, papa gue alergi bulu binatang.”

Seungcheol hanya mengangguk, lalu ia sedikit melirik. “Tumben banget anteng.”

“Kenapa?”

“Kkumma biasanya ngegonggong kalo ada yang deketin gue, dulu sama mantan gue aja hampir sebulan baru bisa kenal. Ini sama lo baru pertama ketemu, dia diem aja.” Jelas Seungcheol

“Takut gue gigit kali ya makanya diem aja.”

Seungcheol tertawa. “Engga, itu dia suka sama lo.”

Jeonghan bernafas lega karena kkumma tidak risih dengannya.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di lokasi yang Seungcheol maksud. Jeonghan menggendong kkumma keluar dari mobil dan masuk ke dalam cafe itu, sedangkan Seungcheol berjalan dibelakang mereka dengan membawa keranjang milik kkumma yang lumayan besar.

Mereka memilih outdoor karena biar kkumma lebih senang bisa berlari ke sana kemari. Sambil menunggu pesanan makanan mereka datang, Jeonghan bermain dengan kkumma. Mereka berlari, bahkan bermain bola yang Seungcheol sengaja bawa.

“Berr, makan dulu.” Ucap Seungcheol ketika makanan mereka datang.

Kkumma berlari mengikuti Jeonghan yang mendekat ke arah Seungcheol. Lalu ia duduk dibawah kaki Jeonghan —seperti menunggu Jeonghan untuk bermain lagi.

“Kak berry nya makan dulu ya.” Ucap Seungcheol pada kkumma. Kkumma hanya diam memandangi Jeonghan.

“Lucu banget.”

“Kalo lagi bete nyebelin sih.”

“Bisa bete juga ya?”

“Biasanya kalo ga diajak main keluar, jadi kkumma tuh sehari harus keluar rumah kalo ga gonggong kenceng banget.”

“Terus kalo lo lagi ga di rumah siapa yang ngajak main?”

“Ada bibi di rumah.”

Jeonghan mengangguk, sambil menyuapkan makanannya. Sesekali ia mengelus kkumma yang mulai mendusel di kakinya.

Beberapa menit kemudian Jeonghan selesai makan, ia kemudian kembali mengajak kkumma bermain. Seungcheol hanya tersenyum melihat tingkah keduanya.

“Ah, capek kkumma.” Ucap Jeonghan yang kembali duduk di sebelah Seungcheol.

“Udah udah, kasian kak berry nya.” Seungcheol mengangkat kkumma untuk duduk di pangkuannya.

“Dia juga capek.” Jeonghan tertawa sambil mengelus-elus kkumma.

“Mau kemana lagi? Mau langsung pulang?”

Jeonghan mengecek jam tangannya. “Udah sore sih, pulang aja apa ya?”

“Ayo.” Seungcheol memberikan kkumma ke Jeonghan dan ia kembali membawa keranjang milik kkumma. Seungcheol berjalan ke kasir untuk membayar, setelahnya ia membukakan pintu untuk Jeonghan keluar dari cafe itu.

Seungcheol menaruh keranjang kkumma di kursi belakang. “Taro aja berr, nanti dia tidur sendiri.”

“Kalo gue kelonin dulu boleh gak?”

Seungcheol tertawa. “Ya boleh, cuma kkumma sekarang gede banget jadi berat, gapapa emang?”

“Gapapa.” Ucap Jeonghan senang. Seungcheol hanya menggelengkan kepalanya kemudian ia membuka pintu mobil agar Jeonghan bisa masuk.

Setelah ia masuk juga, mobil Seungcheol bergerak pergi dari sana.

Saat di perjalanan pulang tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Seungcheol memilih menepikan mobilnya karena jalanan yang tidak terlalu terlihat karena air hujan.

“Ga pegel?” Tanya Seungcheol

“Gak sih, tapi paling ntar pas turun kebas.”

Seungcheol tertawa. “Taro aja sana.”

“Masih mau elus-elus, kapan lagi main sama kkumma.”

“Ya bisa kapan aja, gampang itu mah.”

Jeonghan mengangguk, tapi tangannya tidak berhenti mengelus-elus kkumma.

“Dingin gak?” Tanya Seungcheol.

“Dikit.”

Seungcheol mencari sesuatu di kursi belakangnya. “Pake nih, gue juga udah nyalain penghangat.” Seungcheol memberikan jaket pada Jeonghan. Lalu Jeonghan memakainya.

Keheningan menyelimuti mereka saat itu. Seungcheol beberapa kali mengusap-usap lengannya sendiri—karena dia gak pake jaket.

“Dingin ya?”

Seungcheol menoleh. “Dikit doang. Kuat gue.”

Jeonghan diam, ia juga bingung apa yang harus ia lakukan. Kemudian ia menatap Seungcheol. Seungcheol yang merasa ditatap, ikut menoleh.

“Kenapa?”

Jeonghan menelan ludahnya, ntah keberanian dari mana kepalanya bergerak mendekat ke arah Seungcheol. Seungcheol yang melihat itu, secara reflek juga ikut mendekat.

Jeonghan bisa merasakan nafas Seungcheol yang mengenai pipinya. Hampir saja bibir keduanya menempel, tiba-tiba saja kkumma menggonggong dan Jeonghan merasakan sesuatu yang hangat mengenai celananya.

“Kkumma pipis.”

. . . . . . . . . . . . .

“Berr, cobain ini deh kayaknya muat.” Saat ini mereka berada di apartemen milik Seungcheol—karena yang terdekat di sana.

“Punya siapa kok kayaknya lebih kecil?”

“Mantan gue.”

Jeonghan terdiam.

“Cuma belum dipake itu, masih baru. Buat lu aja.”

“Gapapa emang?”

“Gapapa, ga bakal gue kasih ke dia juga. Kalo gue yang pake ga muat.”

Akhirnya Jeonghan mengangguk dan langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk mengganti celananya.

Beberapa menit kemudian Jeonghan keluar dari kamar mandi.

“Ada paperbag gak cherr? Buat celana kotor.”

Seungcheol langsung mengeluarkan paperbag dan memberikannya pada Jeonghan, Jeonghan mengucapkan terima kasih.

“Minum apa berr?”

“Apa aja sih, teh boleh.”

Seungcheol langsung bergerak membuatkan teh untuk Jeonghan. Dan memberikannya ketika sudah siap. Keduanya duduk di kursi yang berada di dapur.

“Lo tidur disini?” Tanya Jeonghan

“Kalo lagi pengen sendiri aja sih. Jarang disini.”

Jeonghan mengangguk, ia memperhatikan interior apartemen itu. Mewah. Itu kata yang terlintas di benak Jeonghan.

Saking terkesimanya, Jeonghan sampai tidak sadar kalau dirinya sedang ditatap oleh Seungcheol.

“Berr?”

Jeonghan menoleh. “Ya?”

“Jangan digigit.”

“Apa?”

Seungcheol mendekat ke arah Jeonghan kemudian mengelus bibir Jeonghan yang daritadi tidak sengaja ia gigiti.

“Ini jangan digigit sendiri.” Jantung Jeonghan hampir copot ketika ia merasakan sesuatu menatapnya dengan intens sambil jarinya mengelus-elus bibir Jeonghan.

Seungcheol menelan ludahnya, menggigit sedikit bibirnya. “Kalo gue yang gigit, boleh?”

Jantung Jeonghan serasa turun ke perut. Nafasnya berderu, tapi kepalanya tetap mengangguk. Mengizinkan Seungcheol mengigitnya.

Jeonghan memejamkan matanya ketika bibirnya merasakan bibir lain menyentuhnya. Meremas pelan lengan Seungcheol menandakan ia menikmati pergerakan bibir Seungcheol di bibirnya.

Remasan itu Jeonghan alihkan ke tengkuk leher Seungcheol ketika Seungcheol makin membuatnya terbang melayang karena belaian di mulutnya.

Jeonghan menepuk pelan punggung Seungcheol. Seungcheol menghentikan ciumannya, ia menempelkan keningnya di kening Jeonghan. Nafas keduanya tersengal-sengal sambil sesekali Seungcheol mengecupi bibir Jeonghan yang membengkak.

“Berr?”

“Hm?”

“Gue boleh minta nomor oney gak?”

Jisoo masuk kembali ke rumahnya setelah mengantar anak-anaknya ke rumah Minghao. Ia sedih, kenapa di hari ulang tahunnya kedua suaminya malah bertengkar.

Jisoo membuka pintu kamar, dimana ada Jeonghan di sana. Jisoo mendekat, ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Jeonghan.

“Sayang, jangan berantem dong. Maaf ya bikin kamu iri.” Jisoo memeluk Jeonghan dari belakang, beberapa kali mengecup leher belakang Jeonghan.

“Aku tau ini ga boleh, tapi aku kesel Soo. Aku ngerasa dibedain.” Hati Jisoo sakit saat mendengar tangisan Jeonghan. Ia memeluk suaminya dengan erat..

“No, sayang. Ga ada yang bedain kamu, cuma waktunya aja yang ga tepat. Maaf ya sayang, maaf kalo bikin kamu ngerasa kayak gitu.”

Tangisan Jeonghan makin menjadi. “Mau ke rumah mama.”

“Jangan ya sayang, disini aja sama aku sama Cheol. Jangan kemana-mana.” Jisoo jadi ikut menangis. Pasalnya, Jeonghan tidak pernah seperti ini tapi sekalinya seperti ini membuat hatinya sakit.

Pintu kamar terbuka, tapi hanya Jisoo yang menoleh. Di sana ada Seungcheol yang baru pulang kerja.

“Ayo ngobrol dulu, Han.” Tanpa basa-basi Seungcheol langsung mengajak Jeonghan berbicara.

Jeonghan hanya menggeleng. Seungcheol menghela nafasnya kasar, kemudian ia berjalan ke arah Jeonghan dan dengan tiba-tiba menarik tangan Jeonghan sampai Jeonghan memekik.

“Seungcheol.” Jisoo terkejut, ia mencoba melepaskan tangan Seungcheol yang berada di tangan Jeonghan.

“Jangan kayak anak kecil.”

happy birthday, papa.

Seokmin hanya memperhatikan Jisoo yang mondar-mandir di depannya.

“Tapi kalo bener gimana mas?”

Seokmin menghela nafasnya. “Sayang, dengerin mas ya. Adek ga mungkin kayak gitu, mungkin itu punya temennya atau temennya iseng masukin ke tas nya dia.”

Jisoo berhenti tepat di depan Seokmin, ia menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. “Aku takut, mas.”

“Gak ada yang perlu kamu takutin sayang, disini ada aku, aku ga bakal biarin kamu takut.” Ucap Seokmin sambil memeluk Jisoo. Wajah Jisoo bersembunyi di ceruk leher Seokmin—seakan-akan itu adalah tempat bersembunyi yang tepat.

Saat sedang saling berpelukan, pintu kamar mereka diketuk oleh seseorang.

“Masuk.” Ucap Seokmin sambil matanya menatap jam dinding yang ada dikamar mereka—23.00. Seokmin melepaskan pelukannya dan duduk di atas ranjangnya.

Ri bersembunyi dibelakang tubuh An saat mereka masuk ke kamar orang tua mereka.

“Sini adek.” Seokmin menepuk-nepuk sisi kosong disebelahnya. Ri mengikuti arahan Seokmin, dengan pandangan ke bawah—ia menghindari tatapan sang papa juga.

“Ayah, kakak mau ambil minum dulu ya.”

Seokmin mengangguk dan tersenyum. “Nanti masuk ya kak.” An mengacungi jempolnya.

Saat ini tinggallah mereka bertiga.

“Jadi siapa yang mau ngomong duluan?” Tanya Seokmin.

“Jujur dek. Itu punya kamu atau bukan?” Jisoo langsung bertanya.

Riani menggeleng. “Bukan papa.”

“Terus punya siapa? Adek tau gak papa sedih banget kalo sampe itu bener punya adek. Papa gagal jadi papa yang baik buat adek. Kalo bener adek kenapa sih? Ada masalah apa? Kenapa ga cerita? Adek, papa sedih banget.” Riani menangis ketika mendengar ucapan Jisoo. Dengan cepat Seokmin memeluknya.

“Adek, hey jangan nangis sayang.”

“Tapi bener bukan punya adek, pa.”

“Ya terus punya siapa?” Jisoo gregetan dengan Ri yang tidak mau menjawab dengan jujur.

23.30

Riani masih saja menangis, membuat Jisoo merasa bersalah dan sedikit jengkel. Apa susahnya sih jujur?

“Adek, jawab dulu papanya ya.” Seokmin mengelus-elus rambut Riani.

“Taku, ayah.” Jawab Riani lirih.

Jisoo makin sedih ketika ia lihat anaknya takut dengan dirinya.

“Papa ga marah sama adek, papa cuma mau adek jujur.” Jisoo akhirnya luluh dengan air mata Riani.

“Adek udah jujur, itu bukan punya adek.” Jawab Riani, tapi tidak melihat Jisoo yang berada di depannya.

Lalu suasana kembali hening karena riani yang tidak mau menjawab, Jisoo juga sudah kehabisan tenaga untuk berbicara.

“Ya sudah, kalo bukan punya adek, jadi itu punya siapa?” Tanya Seokmin

23.45

“Punya kak Jake.” Jawab Riani lirih.

“Kak Jake ajarin adek ngeroko?” Tanya Jisoo

Riani kembali menggeleng. “Bukan, papa.”

“Terus apa dek? Yang jelas dong sayang, jangan setengah-setengah gini.” Ucap Jisoo

23.55

“Gini deh, ayah keluar dulu. Kali aja adek maunya jujur sama papa.” Ucap Seokmin sambil berjalan keluar dari kamarnya meninggalkan Jisoo dan Riani di sana.

“Adek?”

23.57

“Adek, beneran ga diajarin aneh-aneh sama kak Jake kan?”

Riani menggeleng.

23.59

“Terus kenapa adek?”

Riani menatap jam dinding. Lalu menatap Jisoo.

“Koreknya untuk lilin di kue ulang tahun papa.” Jawaban Riani membuat Jisoo terkejut.

00.00

“Happy birthday, papa.” Jisoo tambah terkejut ketika melihat Riana dan Seokmin masuk dengan membawa kue ulang tahun. Happy birthday, papa Soo.

Jisoo menatap Riani. “Adek, kerjain papa ya?”

“Iya, tapi papa marah beneran. Aku takut.” Air mata Jisoo turun begitu saja. Jisoo bergerak untuk memeluk Riani.

“Adek, maafin papa. Papa kasar sama adek. Papa takut adek kena pergaulan bebas.” Jisoo mengecup kening Riani.

“Maaf ya pa, aku sengaja pinjem korek ke kak Jake karena kita ga punya korek.” Jawaban Riani membuat Jisoo dan Seokmin tertawa.

“Kan ada kompor, dek.” Jawab Seokmin.

Riani menatap papa dan ayahnya secara bergantian dan kemudian menepuk keningnya. “Oh iya, ga kepikiran.”

“Papa, lilinnya keburu abis.” Ucap Riana.

Jisoo mengajak Riani mendekat ke arah Seokmin dan Riana, lalu ia meniup lilin angka di atas kuenya.

“Happy birthday, papa.” Ucap ketiga orang penting di hidup Jisoo.

“Makasih ya sayang-sayangnya papa.”

Seokmin mengecup kening suaminya. “Happy birthday, sayang. Terima kasih ya selalu jadi orang sabar disini. Kamu ga pernah gagal jadi papa, Soo. Mas bangga dan sayang banget sama kamu.”

Riana mengecup pipi kanan Jisoo. “Happy birthday, papa. An sayang banget sama papa, maaf kalo An masih suka nakal. Love u, pa.”

Riani juga ikut mengecup pipi kiri Jisoo. “Happy birthday, papa. Maaf juga ya kalo Ri nakal dan bikin papa kesel terus. Sehat-sehat ya pa. Ri sayang papa.”

Jisoo menangis terharu, ia mengecupi ketiganya. Mengucapkan terima kasih yang sangat amat pada mereka, terutama pada suaminya.

“Papa juga sayang sama kalian.”

Jeonghan terus mengecek ponselnya, siapa tau si Cherry sudah sampai tapi tidak melihat mereka.

“Gak jadi dateng kali.” Ucap Joshua yang sudah pegal mengunyah kentang goreng yang mereka pesan.

“Lagi markir sih katanya.” Jawab Jeonghan.

Sehabis berbicara seperti itu, ponsel Jeonghan berdering. Jeonghan dengan sigap langsung mengangkat telpon masuk itu.

“Iya cherr, gue sama oney udah di dalem, meja nomor 17 ya, oke.”

“Lagi jalan kesini.” Ucap Jeonghan dan Joshua hanya mengangguk.

Beberapa menit kemudian, ada 2 orang laki-laki yang menghampiri meja mereka.

“Berry ya?”

Jeonghan menoleh. “Cherry?”

“Iya gue Cherry, eh sorry ya gue bawa sepupu gue. Soalnya dia maksa ikut.”

“Gapapa kok, cherr. Oh ya ini oney.”

Joshua dan Seungcheol berjabat tangan. “Oney/Cherry.”

“Udah pesen makan, berr?”

“Belum, nungguin lo aja cherr. Pesen sekarang?”

“Boleh.”

Lalu mereka memesan makanan mereka.

“Oh ya, ini sepupu gue namanya Seokmin.”

“Seokmin, kak. Tapi ini gue manggilnya ikutin mas aja ya?” Seokmin membalas jabatan tangan Joshua dan Jeonghan.

“Oh, nama asli gue Jeonghan terus oney Joshua. Terserah sih mau panggil apa.”

“Gue ikutin mas aja deh.”

Beberapa menit kemudian makanan mereka datang. Lalu mereka berbincang-bincang sambil menghabiskan makanan mereka.

Skip time.

Mereka berempat berada di salah satu kedai es krim langganan Jeonghan Joshua.

“Disini es krim nya enak banget, cherr.” Ucap Jeonghan

“Biasanya pesen apa berr? Gue bingung.”

“Kalo gue biasanya kalo gak strawberry yang red Velvet sih.” Jawab Jeonghan

“Gue yang red Velvet aja deh.”

“Ney, lo apaan? Seokmin juga apa?”

“Gue yang chocolate banana.” Jawab Joshua

“Gue yang coklat aja kak.”

Jeonghan pun memesan untuk mereka, sedangkan Seungcheol yang membayar.

“Jadi lo terus yang bayar nih, cherr.” Ucap Joshua

“Gapapa ney, anggep aja permintaan maaf karena telat.” Jawab Seungcheol

“Gapapa tau kak, mas mah duitnya banyak porotin aja.” Ucap Seokmin

Joshua dan Jeonghan tertawa, karena Seungcheol menjitak Seokmin.

“Terus abis ini mau kemana? Masih jam 8 apa udah mau pulang?” Tanya Seungcheol.

“Ngikut aja sih gue. Mau kemana lo berr?”

“Duduk aja ga sih di taman? Malem Minggu gini enaknya ngeliatin orang jalan.”

“Setuju.” Jawab Seokmin, akhirnya mereka berempat menuju taman terdekat, kebetulan bangku taman hanya muat untuk dua orang, jadi Seungcheol duduk dengan Jeonghan dan Joshua dengan Seokmin.

“Kayak si oney gampang akrab sama orang.” Ucap Seungcheol

“Kenapa?”

“Seokmin ga begitu suka deketan sama orang yang baru dia kenal, apalagi harus duduk sebelahan gitu.”

“Oh ya? Oney emang gitu sih, dulu awal kenalan sama gue aja, kebanyakan dia yang tanya-tanya.”

Seungcheol hanya mengangguk, sambil menikmati es krimnya.

“Gimana sama mantan lo? Dia masih suka chat?” Tanya Jeonghan

“Udah jarang sih, dia lagi sibuk kayaknya. Cuma ya yaudah.”

“Tapi dia oke-oke aja putus sama lo?”

“Sehari setelah putus dia chat gue, nyalahin gue, ngatain gue brengsek kayak papanya, tapi setelah dia tau apa alasan gue ninggalin dia, dia berusaha nerima. Menurut lo gue jahat ga sih berr? Maksud gue, kayaknya gue ga bisa ngertiin dia banget.”

“Lo udah berapa lama sih sama dia?”

“2 bulan lagi 4 tahun.”

“Wow, lama juga. Cuma menurut gue, ga terlalu jahat sih cherr apalagi alasan lo karena keluarga. Setiap orang pasti pengen mentingin keluarganya dulu. Apalagi 4 tahun bukan waktu yang sebentar buat terima keadaan pasangan kita, kayak yang lo bilang, lo berdua ga bakal kemana-mana kalo ga ada yang bergerak. Tapi lo masih sayang sama dia?”

“Setelah gue pikir-pikir, ternyata lo bener berr.”

“Kenapa?”

“Gue cuma nunda perpisahan aja, gue cuma denial aja, gue cuma nutupin ketakutan gue. Padahal gue tau kalo ujung-ujungnya kita bakal udahan. Pas dia minta kesempatan lagi, gue mikir selama 3 tahun ini gue selalu ngasih dia kesempatan, tapi dia ga sadar. Dia cuma mikir kalo gue ga pernah punya kata jenuh di hidup gue, jadi dia enjoy aja dengan ini.”

Entah keberanian dari mana, tangan Jeonghan yang menganggur ia gunakan untuk menggenggam tangan Seungcheol. Tatapan keduanya bertemu.

“Lo pasti dapet yang lebih baik dari dia. Jangan cuma karena masalah kemarin, lo jadi takut buat memulai hubungan baru sama orang lain, cherr. Masih banyak orang yang mau terima lo dan diterima sama lo.”

Seungcheol menatap dalam mata Jeonghan. Tatapan yang meneduhkan hatinya, tatapan yang selama ini ia cari dari orang lain, tatapan yang seakan-akan mengajaknya berhenti untuk mencari.

“Berr, gue boleh minta nomor lo gak?”

Jeonghan menaruh tas nya di kursi belakang saat ia sudah masuk ke dalam mobil. Seokmin hanya memperhatikan ketika laki-laki itu membuka jas dan menggulung lengan kemejanya juga. Jeonghan yang merasa diperhatikan pun menoleh dan tersenyum lebar lalu ia merentangkan kedua tangannya meminta untuk di peluk.

“Uhhh sayangku.” Seokmin menepuk-nepuk punggung Jeonghan.

“Love you aa.”

“Love you too sayangku.”

Lalu keduanya sama-sama terdiam menikmati pelukan mereka.

“Besok weekend mau kemana buy?”

Jeonghan melepaskan pelukannya. “Ke IKEA yuk a? Beli lemari, kayaknya lemarinya ga cukup kalo buat baju kita.”

“Oke, apa lagi?”

“Apa ya, kulkas udah, mesin cuci udah, terus peralatan masak udah. Atau kamu mau belanja isi kulkas juga a?”

“Ya kalo bisa sekalian ya sekalian, daripada bolak-balik. Tapi kalo sayur buah gitu mendingan ga usah banyak yang, itu ntar aja.”

“Ya paling cemilan kan? Buat sepupu-sepupu kamu yang dari Bandung.” Rumah mereka nantinya akan digunakan untuk tempat menginap keluarga Seokmin yang dari Bandung, kebetulan keluarga besar Seokmin benar-benar besar—bahkan ada yang menginap di rumah Seungcheol juga.

Seokmin menjalankan mobilnya menuju rumah mereka. Niatnya, hari ini mereka akan menginap di rumah itu—latihan berumah tangga katanya. Rumah yang Seokmin beli sudah lengkap dengan isinya—Jeonghan hanya perlu bawa badan dan baju-bajunya saja. Rumah itu juga cukup besar, Seokmin sengaja biar nanti kalau ada saudara darinya atau Jeonghan bisa menginap di sana.

Sesampainya di rumah itu, Jeonghan lebih dulu masuk sedangkan Seokmin memarkirkan mobilnya dan menutup gerbang sekalian. Ketika Seokmin masuk, ia mendapati Jeonghan yang malah merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah.

“Kenapa tiduran disini sih? Ke kamar ayo.” Jeonghan merentangkan kedua tangannya—meminta untuk dibangunkan—dengan sigap Seokmin menariknya dan ia sampiran ke bahunya, kemudian satu tangannya ia gunakan untuk merangkul pinggang Jeonghan satu tangannya lagi untuk membawa tas mereka berdua.

Di kamar, Jeonghan membuka seluruh pakaiannya—kecuali celana dalamnya—ini adalah kebiasaannya dan Seokmin memakluminya—malah ia senang diberi tanpa meminta. Kemudian Jeonghan masuk ke kamar mandi, Seokmin mengambil pakaian tidur untuk keduanya.

Beberapa menit kemudian Jeonghan selesai, ia mengucapkan terima kasih pada Seokmin karena menyiapkan baju untuknya. Sekarang gantian Seokmin yang mandi, sedangkan Jeonghan memesan makanan—jadi Seokmin kelar mandi mereka bisa langsung makan. Sungguh kerjasama yang baik.

Setelah beberapa menit kemudian, Seokmin sudah selesai kemudian ia menuju meja makan. Ia melihat sudah tertata dengan rapih beberapa makanan yang Jeonghan pesan. Lalu mereka makan sambil berbincang-bincang mengenai persiapan pernikahan mereka.

. . . . . . . . . . . . .

“Kalo udah beneran capek dan pengen keluar kurang dari 2 Minggu ya gapapa yang, ntar aku yang bayar pinaltinya.” Ucap Seokmin sambil memainkan rambut Jeonghan yang berada di dadanya.

“Janganlah, masa kamu semua yang bayar. Aku lagi nguat-nguatin aja sih, pasti bisalah 2 Minggu lagi ini.”

“Ya daripada kamu ga nyaman gini.”

“Nyaman, kan dipeluk aa.”

Seokmin menggigit hidung Jeonghan pelan. “Gemes aku.”

“Aa?”

“Apa sayangku?”

“Makasih ya a.”

“Makasih apa lagi? Kamu jangan kebanyakan makasih buy, yang aku lakuin ini tuh udah kewajiban aku.”

“Makasih karena udah kasih aku banyak kesempatan, makasih udah mau pilih aku yang banyak kurangnya ini, makasih udah sayang terus sama aku.”

“Buy, aku udah janji sama diri aku sendiri. Aku ga bakal nikah kalo bukan sama kamu. Mendingan aku tua sendirian daripada harus nikah sama orang lain. Mendingan aku ga punya rencana lain dibanding ada rencana tapi ga ada kamu di dalamnya.”

Jeonghan menenggelamkan wajahnya di dada Seokmin. Mengecupi dada itu beberapa kali.

“A, aku juga janji sama diri aku sendiri kalo aku gak akan pernah lagi minta pisah dari kamu. Bisa gila aku kalo liat kamu sama yang lain.”

“Makannya jangan tinggalin aku lagi ya, buy.”

“Gak akan pernah lagi, a.” Lalu bibir keduanya sudah saling menyatu. Saling mentransfer kehangatan satu sama lain. Kali ini, tidak ada nafsu yang ada rasa cinta dari keduanya.

“Buy, kamu mau tau gak tadi aku jajanin Jeongyeon karena apa?” Tanya Seokmin ketika ciuman mereka selesai.

“Dia minta?”

Seokmin menggeleng. “Bukan.”

“Terus?”

“Karena ini.” Seokmin memperlihatkan ponselnya pada Jeonghan. Jeonghan terkejut karena yang di perlihatkan adalah fotonya jaman dulu ketika rambutnya masih panjang.

“Ih malu tau a.”

“Cantik buy, cantik banget.”

Jeonghan menatap Seokmin yang menatapnya penuh cinta—itu yang ia lihat di mata Seokmin.

“Aa suka aku begini?”

“Aku suka kamu gimana aja buy, selama kamu nyaman.”

Lagi-lagi, Jeonghan merasa dicintai sebesar ini dengan laki-laki di depannya itu. Jeonghan tertawa tapi air matanya mengalir.

“Buy?” Seokmin panik karena Jeonghan menangis tiba-tiba.

“No, ini air mata bahagia aku. Bahagia karena bisa dicintai sama kamu sebesar ini a.”

“Karena kamu pantes dapet cinta yang sebesar ini, buy.”

Sebenarnya Seokmin malas mengajak seseorang untuk ke rumahnya—rumah yang nantinya akan ia tempati dengan Jeonghan(niatnya). Ia bahkan jarang memperbolehkan teman-temannya ke sana kalau tidak ada Jeonghan. Ia selalu akan meminta izin Jeonghan kalau akan mengundang teman-temannya. Tapi kali ini, ia tidak melakukannya, dengan pede ia mengajak Minghao ke sana.

Beberapa menit kemudian Minghao sampai, Seokmin mengambil gelas untuk keduanya minum wine yang Minghao bawa.

“Bokap gue abis dari Itali, terus bawa itu.” Ucap Minghao sambil menuang wine yang tadi ia bawa.

“Bokap lo disini? Ini tinggi ga alkohol nya? Gue pengen minum tapi ga mau mabok banget.” Seokmin mengambil gelas yang Minghao sodorkan.

“Iya, tapi udah balik ke China lagi. Kesini nengokin gue doang. Alkohol mah aman Seok, gue juga kan ga bisa minum banyak-banyak.”

Seokmin hanya mengangguk dan langsung menenggak minuman beralkohol itu. Keningnya mengernyit ketika ia merasakan pahit memenuhi mulutnya.

“Wah gila, kuat banget.”

“Tapi enak kan?”

Seokmin mengangguk. “Enak lah, wine mahal.” Minghao tertawa sambil terus menatap Seokmin yang berkali-kali menenggak minuman itu.

Beberapa menit kemudian Seokmin sudah merasakan kepalanya terasa berat. Ia merebahkan kepalanya di kepala sofa sambil memijat kening sesekali. Tapi, ia masih bisa merasakan ada sesuatu yang mendekat ke arahnya.

Tiba-tiba saja ia juga merasakan sebuah usapan lembut di pahanya. Tapi kepalanya terlalu pusing untuk tau siapa yang melakukan itu, ia bahkan lupa dengan siapa ia sekarang.

“Seok.” Seseorang memanggilnya dengan tangan yang makin naik ke arah dadanya.

Seokmin tersenyum, dan menerka itu pasti buy-nya. Seokmin mengambil tangan yang tadi mengelusnya dan kemudian mengecupnya.

“Buy.” Seokmin bahkan ikut mengelus pipi seseorang di depannya.

“Seok.” Usapan tangan Seokmin terhenti.

Itu bukan buy-nya.

Seokmin berusaha keras untuk menjauh, tapi orang itu masih berusaha untuk menahannya.

“Lepas.”

“Seok, ini aku Jeonghan.”

Seokmin menggeleng. “Gue ga tau siapa lo, tapi lo bukan Jeonghan.”

“Seok, kamu mabuk. Ayo ke kamar yuk, kita tidur yuk.” Seokmin mendorong tubuh orang itu.

“Jangan sentuh gue. Lo bukan Jeonghan.”

“Seok, ini aku—.” Ucapan orang itu terputus ketika Seokmin mendorongnya dengan kuat sampai orang itu jatuh.

“Pergi, pergi dari rumah gue. Lo bukan Jeonghan.” Tapi orang itu tidak mau menurut, ia malah ikut mendorong Seokmin agar terjatuh ke sofa. Ketika Seokmin limbung, orang itu berusaha menaiki dirinya dan mencoba mencium bibir Seokmin. Seokmin meronta sampai orang itu kembali terjatuh.

“Brengsek lo, pergi anjing.” Seokmin melempari orang itu semua yang bisa ia raih. Sebenarnya Seokmin tidak terlalu mabuk, tapi matanya terlalu berat dan kepalanya terlalu pusing untuk mengingat. Sampai saat Seokmin merasakan ia melempar sesuatu yang keras dan mengenai orang tersebut. Setelahnya ia mendengar suara pintu tertutup keras.

Seokmin menjatuhkan tubuhnya ke sofa, kepalanya benar-benar pusing. Sampai ia kembali mendengar suara pintu terbuka dan seseorang melangkah masuk, tapi ia tidak punya tenaga lagi untuk melawan dan terpaksa harus menerima apa yang akan terjadi.

Buy, maafin aku.

. . . . . . . . . . . . .

10.00

Seokmin terbangun dengan kepalanya yang amat sangat pusing. Kemudian ia melihat sekelilingnya dan ternyata Seokmin berada di kamarnya dan sendirian. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Minghao dan wine, kemudian ia juga berusaha mengingat kejadian setelahnya.

“Apa mungkin Minghao melakukan hal yang tidak-tidak?

Saat merasakan pusing kembali akibat mengingat, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Dan Seokmin mendapati Jeonghan di sana.

“Hey, udah bangun?” Seokmin melihat Jeonghan membawa nampan berisi semangkuk sup dan air minum.

“Buy?”

“Kamu ngapain deh a kok rumah berantakan banget?”

“Buy, kamu liat orang yang keluar dari rumah?”

“Aku liat, tapi ga tau itu siapa.” Seokmin mendesah frustasi.

“Kenapa sih a?”

“Itu Minghao, buy.”

Jelas Jeonghan terkejut, pasalnya Seokmin tidak pernah membawa orang luar masuk ke rumah mereka—kecuali orang-orang terdekat.

“Kamu minum sama dia?”

“Aku mumet banget, terus dia ngajak minum yaudah aku iyain.”

“Terus?”

“Aku ga tau apa yang terjadi semalem, cuma aku inget dia megang aku, bahkan berusaha untuk cium aku. Tapi aku tolak, terus aku ga inget aku lempar apa tapi kayaknya kena kepalanya dan dia pergi abis itu aku ga tau apa-apa lagi.” Seokmin menjambak rambutnya.

“Aa, maaf. Semuanya gara-gara aku.” Ucap Jeonghan sambil menunduk.

Seokmin mengambil tangan Jeonghan. “Kak, ini bukan karena kamu ini pure salah aku, padahal aku udah janji ga bakal bawa orang lain masuk ke rumah kita. Maafin aku juga ya kak.”

Jeonghan berhambur ke pelukan Seokmin. “Aa, i miss u and i love u so much. Please, kasih aku satu kesempatan lagi. Aku ga bakal nyia-nyiain kamu lagi.”

“Kak, hidup ku ini bukan monopoli yang bisa kasih kesempatan banyak buat orang-orang. Tapi kalo orangnya kamu, tanpa mikir 2x dan tanpa kamu minta aku bakal kasih semua kesempatan itu.” Jeonghan menangis dipelukan Seokmin. Lagi-lagi dirinya diterima oleh laki-laki itu. A, aku gak bakal lepasin kamu lagi.

Jeonghan menyambut Seokmin yang baru datang ke apartemen mereka dengan kecupan-kecupan di seluruh wajah Seokmin. Seokmin tertawa, sambil mengangkat tubuh Jeonghan agar lelaki itu lebih mudah mengecupinya.

“Pas banget kamu dateng pasta nya mateng.” Jeonghan membantu Seokmin membuka hoodie yang ia kenakan.

“Dapet salam dari mama, katanya udah jarang kamu ke rumah.” Kali ini Seokmin yang mengecupi seluruh wajah Jeonghan.

“Iya ya, weekend depan deh aku ke rumah.”

Seokmin mengangguk. “Cium boleh gak?”

“Pake izin segala, boleh lah.” Jeonghan mendekatkan wajahnya ke arah Seokmin dan di sambut oleh Seokmin. Bibir Jeonghan dilumat habis oleh Seokmin, Jeonghan hanya berusaha mengimbangi permainan bibir Seokmin. Tangannya ia kalungkan ke leher Seokmin sebagai pegangannya. Seokmin menggigit bibir bawah Jeonghan untuk meminta akses masuk ke dalam mulut Jeonghan.

Jeonghan melenguh ketika langit-langit mulutnya di gelitik oleh lidah Seokmin, serta lidahnya di hisap juga. Jeonghan memukul pelan Seokmin ketika ia merasakan kehabisan nafas. Keduanya tersengal-sengal sambil saling bertatapan. Seokmin juga menghapus jejak saliva yang berada di mulut Jeonghan.

“Aa tumben ganas banget.”

“Udah lama kayaknya.”

“Aa lagi pengen ya?”

Seokmin menggeleng. “Pengen cium kamu aja, kalo lebih kayaknya lagi ga ada tenaga aku yang. Kamu pengen kah?”

“Kepancing dikit, tapi masih bisa aku handle.”

“Kalo mau ya ayo aku bantu.”

“Engga aa, lagian kayaknya kondom abis deh.”

“Oh iya, terakhir kita yang sebelum aku dinas luar itu ya. Yaudah nanti aku beli lagi.”

“Yaudah ayo ah, keburu dingin pasta nya.” Jeonghan mengajak Seokmin menuju meja makan. Lalu ia memberikan sepiring pasta pada Seokmin.

“Selamat makan, aa.”

“Selamat makan sayang.”

. . . . . . . . . . .

Jeonghan selalu suka ketika ia bersandar di dada Seokmin. Dada bidang yang akan selalu menjadi miliknya.

“Yang, aku mau ngomong sesuatu, boleh?”

Jeonghan mengangkat kepalanya untuk menatap Seokmin. “Ngomong apa?”

“Sayang ada yang mau diceritain gak ke aku?”

Seokmin melihat Jeonghan mengernyitkan keningnya.

“Cerita apalagi a? Aku kan udah cerita yang waktu aku ke Bogor. Aku ga ada cerita lagi.”

“Cerita tentang kamu yang ketemu mantan kamu di sana mungkin?”

Seokmin melihat perubahan wajah Jeonghan yang tiba-tiba saja menjadi gugup.

“Atau kamu yang tadi pagi sarapan bareng dia?”

Jeonghan makin tidak bisa berkutik. Darimana Seokmin tau?

“Pasti bingung aku tau darimana.” Seokmin tertawa kecil. “Kemarin Wonwoo nemenin Jun ke Bogor, dia liat kamu. Terus tadi Seungkwan ga sengaja liat kamu juga. Mungkin ada yang aku ga tau, bisa kamu ceritain.”

“Aa, maaf.” Jeonghan menundukkan kepalanya. Ia menyesal. Sangat-sangat menyesal.

“Ada apa? Kenapa sampe kayak gini?”

“Aa, aku gak sengaja ketemu dia terus yaudah kita ngobrol. Masalah tadi pagi, aku juga ga tau tiba-tiba aja dia bilang dia ada dibawah jadi mau gak mau aku samperin.”

Seokmin menghela nafasnya. “Bahkan kamu ngasih tau alamat apartemen kita.”

“Aa, maaf. Maaf banget, tapi aku ga ada apa-apa sama dia. Aku berani sumpah.”

“Ya kalo ga ada apa-apa kenapa musti bohong? Bohong kalo kamu ga ketemu siapa-siapa lagi. Bohong kalo ada acara padahal acaranya cuma malem, kamu keluar sama dia kan siangnya? Bahkan malem sebelumnya kamu keluar juga sama dia. Yang, kamu tuh gak suka loh sama cuaca dingin, tapi kenapa kemarin kamu bela-belain pake jaket dobel cuma buat keluar sama dia? Terus tadi pagi kamu bohong katanya baru bangun, tau-taunya kamu abis sarapan bareng sama dia. Ini gimana, tolong dong dijelasin ke aku. Aku harus gimana? Aku harus apa?”

Seokmin marah. Ini pertama kalinya Seokmin marah pada Jeonghan. Bagi Jeonghan, Seokmin adalah manusia paling lembut yang ia temui. Tapi kali ini Seokmin marah. Dan itu akibat ulahnya.

“Aku bener-bener cuma ngobrol, nemenin dia gak lebih. Aku ga selingkuh a, aku berani sumpah sama kamu.”

“Terus kenapa ga bilang sama aku?”

“Aku cuma takut kamu marah, a.”

“Terus menurut kamu sekarang aku gak marah? Iya? Terus menurut kamu, aku bakal iya-iya aja abis kamu bohongin? Gitu? Sedangkal itu kamu nilai aku, Han.”

Jeonghan yang tadinya menunduk, langsung menatap Seokmin. Ia tidak suka Seokmin memanggil nama aslinya. Ia tidak suka.

“Terus apa yang kamu obrolin sama dia? Masa lalu kalian? Masa-masa indah kalian dulu? Mau diulang? Iya? Kalo iya, gapapa aku mundur.”

Jeonghan kelabakan ketika Seokmin berbicara seperti itu. Jeonghan menggeleng memohon.

“Jangan a, jangan. Aku maunya sama aa.”

“Ya kalo maunya sama aku ya jangan bohong.”

Jeonghan menangis terisak-isak tapi tidak digubris oleh Seokmin.

“Han, aku gapapa kalo kamu mau ketemu sama dia. Gapapa kalo kamu mau makan sama dia, asal kasih tau aku. Apa sih susahnya ngabarin aku? Kamu kan tau aku paling ga suka kalo tau tentang kamu dari orang lain.”

Jeonghan masih belum bisa menjawab, ia bahkan masih memegangi tangan Seokmin.

“Udahlah, aku pulang dulu. Kita sama-sama dinginin kepala dulu.”

Jeonghan menggeleng. “Noooooo, ayo selesaiin sekarang. Aku ga mau kita berantem berlarut-larut.”

“Apa yang bisa diselesaikan kalo sama-sama panas? Hubungan kita? Iya? Kamu mau hubungan kita yang selesai?”

Jeonghan menggeleng, ia memegangi dadanya yang terasa sakit. Ia tidak mau berakhir dengan Seokmin.

Seokmin masih emosi, ia kemudian mengambil hoodie nya dan langsung pergi, Jeonghan mengejarnya.

“Terus apa bedanya kamu dulu ketemu Jisoo diem-diem? Bahkan kamu juga bohongin aku, Seok.”

Seokmin terhenti dan langsung menatap Jeonghan.

“Aku ketemu Jisoo karena mau bantu dia ngurus pernikahannya. Karena mas Seungcheol lagi sibuk, kasian kalo dia sendirian. Lagian aku ngelakuin itu biar nanti kalo kita nikah, aku udah tau apa-apa aja yang musti disiapin.”

“Tapi sama aja kan, kamu sama aku sama aja. Kita sama-sama bohong.”

Seokmin tidak mengerti jalan pikiran Jeonghan. Tapi jujur, ia terlalu lelah untuk berdebat lebih lanjut.

“Oke, itu semua salah aku. Semua yang terjadi sama kita, itu salah aku. Itukan mau kamu?”

Jeonghan menggeleng lemah. “A, gak gitu...”

“Kita break aja dulu. Sama-sama introspeksi diri. Selama kita break kamu boleh ketemu mantan mu itu, gak usah bilang sama aku. Biar kamu bisa tau, kamu masih butuh aku apa engga.”

Jeonghan terduduk lemas ketika Seokmin mengatakan hal itu. Kenapa jadi seperti ini? Andai aja waktu itu dia gak mengiyakan ajakan mantannya, mungkin saat ini ia dan Seokmin baik-baik saja.

“Kamu jaga kesehatan. Hati-hati setiap kemanapun atau ngelakuin apapun. Aku pergi dulu.”

Seokmin memejamkan matanya ketika ia mendengar jeritan keras dari Jeonghan yang memanggil namanya. Hatinya sakit mendengar Jeonghan menangis, tapi hatinya lebih sakit ketika dibohongi. Seokmin tetap melanjutkan langkahnya meninggalkan Jeonghan yang masih menangis menjerit-jerit di sana.

Seokmin bisa melihat Jeonghan yang baru turun bis dari dalam mobilnya. Lalu keningnya mengernyit ketika ia melihat seseorang yang lebih tinggi dari Jeonghan berada di belakang Jeonghan dengan membawa tas milik Jeonghan, lalu kemudian keduanya berbincang sebentar dan Jeonghan pamit, tapi ada yang aneh, ketika pamit laki-laki itu memegang pucuk kepala Jeonghan dan sedikit mengacaknya. Seokmin meremat sendok yang ia gunakan, seketika sop buah di depannya sudah tidak menarik baginya.

Jeonghan membuka pintu mobil dan menyembulkan kepalanya. “Sayang?” Seokmin terkejut dan tertawa. Pura-pura.

“Aku balikin mangkok abangnya dulu ya.” Jeonghan mengangguk dan Seokmin keluar. Beberapa menit kemudian Seokmin kembali masuk ke mobilnya dan menjalankan mobilnya menuju apartemen mereka.

Selama diperjalanan keduanya sama-sama terdiam, Jeonghan yang sedang memejamkan matanya dan Seokmin fokus pada jalanan. Hingga akhirnya mereka sampai di apartemen. Seokmin mengambil tas Jeonghan sedangkan Jeonghan memeluk lengan Seokmin lalu keduanya beriringan menuju apartemen mereka.

“Mandi dulu sana.” Ucap Seokmin kepada Jeonghan yang sudah mengendus-endus badannya.

“Kangen.”

“Ya iya, makannya mandi dulu. Terus nanti kita kangen-kangenan di kasur.”

Jeonghan tertawa. “Mau ngapain?”

“Ngapain kek yang enak.” Jawab Seokmin sekenanya. Jeonghan mencubit perut Seokmin lalu mengecup pipi Seokmin dan kemudian berlari kecil menuju kamar mandi.

. . . . . . . . . . . . .

Jeonghan keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk di pinggangnya—karena memang dia tidak membawa baju ganti dan celananya. Seokmin hanya menatapnya sebentar lalu kembali fokus pada ponselnya, karena menurutnya itu hal yang biasa—ia bahkan sudah sering melihat Jeonghan tidak mengenakan apapun.

Setelah memakai baju tidurnya, Jeonghan bergabung dengan Seokmin. Ia mengambil satu tangan Seokmin kemudian ia masuk ke dalam pelukan Seokmin—dengan tangan Seokmin yang tadi ia taruh di pinggangnya.

“Kangen.” Jeonghan mengusakkan wajahnya ke leher Seokmin. Seokmin tertawa kecil kemudian ia menaruh ponselnya di nakas dan langsung memeluk Jeonghan.

“Kita ga ketemu berapa lama ya?” Tanya Seokmin sambil mengecupi kening Jeonghan.

“Seminggu ada kali, kamu sih kelamaan di Bandung.”

“Kan cari duit yang, kalo ga gitu ga nikah-nikah nanti kita.” Seokmin bergidik ketika merasakan dadanya dikecup oleh Jeonghan.

“Baby, aku kangen banget.”

But when you call me baby. I know I'm not the only one

Memikirkannya saja sudah membuat kepala Seokmin mau pecah. “Jangan dong, masa gagal lagi gue.”

“Yang, cerita dong.”

“Cerita apa sih? Kamu mau tau cerita ku yang mana?”

“Ya apa aja, ketemu siapa aja atau ngapain aja.”

“Kalo ketemu ya banyak, aku kasih tau juga kamu ga bakal kenal. Oh ya, aku ketemu sama Jun. Terus di sana ya gitu-gitu aja, ngobrol bareng terus ada door prize juga tapi aku ga dapet, tangan ku ga wangi berarti.”

Seokmin mengangguk. “Terus ga ketemu siapa lagi gitu?”

“Dibilang banyak kalo ketemu mah, gak mungkin aku sebut satu-satu.” Jeonghan makin mengeratkan pelukannya.

Seokmin menghela nafasnya, ia sama sekali tidak puas dengan jawaban Jeonghan. Terutama, Jeonghan tidak jujur padanya.

“Aku ngantuk deh, pay.”

“Yaudah bobok, nanti makan malemnya beli aja.”

“Okay, love you sayangku.”

“Love you too.”

Jeonghan terlelap dipelukan Seokmin, sedangkan Seokmin berusaha mempercayai Jeonghan sepenuhnya.

yang terlewatkan.

Mingyu berdiri di depan cermin sambil merapihkan kerah bajunya. Tidak tau kenapa daritadi perasaannya tidak enak.

“Bang, udah?” Lamunan Mingyu buyar ketika mendengar suara mamanya.

“Udah ma.” Mingyu keluar dari kamarnya, dan mendapati mama dan adiknya sudah berdandan rapih.

“Abang bener gapapa?”

Mingyu mengernyitkan keningnya, dari kemarin adiknya menanyakan hal yang sama.

“Abang gapapa dek, ayo ah ntar kita ke abisan es krim.” Mingyu menggandeng tangan kedua wanitanya.

. . . . . . . . . . .

Berkali-kali Mingyu menghela nafasnya. Dadanya terasa sangat sesak sekarang.

“Abang, kalo abang ga bisa masuk gapapa. Abang pulang aja, nanti mama sama adek naik taksi pulangnya.” Ucap mamanya.

“Abang gapapa, ma.”

Mingyu merasakan ditatap sedih oleh mama dan adiknya.

“Kenapa sih? Kok liatin Abang begitu.”

“Abang, jangan kayak gini. Abang boleh kok nangis.” Ucap adiknya.

Nangis? Untuk apa?

“Kok ke kondangan nangis? Emangnya yang nikah siapa sampe Abang nangis?”

“Abang lupa ya?”

“Lupa apa ma?”

“Lupa siapa yang nikah hari ini?”

. . . . . . . . .

Mingyu mempercepat langkahnya, ia harus benar-benar memastikan apakah benar kalau yang saat ini berada di pelaminan adalah Jisoo-nya. Jisoo-nya yang selama ini ia cari. Semoga bukan.

Tapi harapannya pupus. Ia melihat Jisoo di sana. Jisoo-nya yang selama ini ia cari. Jisoo-nya yang selama ini ia rindukan. Jisoo-nya yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak.

Kenapa baru sekarang kita dipertemukan?

Mingyu berjalan menuju tempat Jisoo berada.

Kini kau telah menjalani sisa hidup dengannya.

Tepat di depan Jisoo yang sedang menatapnya, Mingyu menghapus air matanya.

“Mingyu.....” Mingyu menggigit bibir bawahnya ketika ia kembali mendengar namanya disebut dari bibir itu.

“Soo, selamat ya.” Kata-kata yang daritadi susah sekali keluar dari mulut Mingyu. Mingyu berjalan untuk menjabat tangan Jisoo. Tangan yang dulu selalu mengelus-elus kepalanya. Yang dulu selalu menepuk-nepuk pundaknya. Yang dulu selalu membantunya menyiapkan segala sesuatu yang ia butuhkan.

Sekarang, tangan itu tidak lagi miliknya. Tidak akan pernah ia rasakan lagi di kepalanya, pundaknya, bahkan tidak akan lagi membantunya.

Jika berulang kembali, kau tak akan terlewati.

Andai saja dulu ia tidak egois. Tidak melepaskan Jisoo karena egonya. Mungkin saat ini keduanya masih bersama.

Segenap hatiku cari dudududu dimana kau berada.

Seharusnya juga, dulu ketika Jisoo pergi ia langsung mencarinya. Tapi ia tidak melakukannya. Ia malah menganggap Jisoo hanya menggertaknya. Tapi nyatanya, Jisoo-nya benar-benar pergi.

Saat ini, Jisoo-nya sudah menemukan seseorang yang lebih bisa mencintainya dibanding dirinya. Saat ini, Jisoo-nya sudah menemukan seseorang yang lebih bisa menjaganya dibanding dirinya. Dan saat ini—bahkan selamanya—tidak lagi akan menjadi Jisoo-nya.

Kesalahan ku melewatkan mu hingga kau kini dengan yang lain.

“Nggu, makasih udah dateng. Maaf aku belum ketemu kamu lagi, bahkan ngasih undangan lewat mama kamu.”

“Gapapa Soo.” Jabatan tangan keduanya masih belum terlepas.

“Jisoo?”

“Ya nggu?”

“Bahagia terus ya. Semoga Seokmin bisa lebih menghargai kamu.”

Jisoo tersenyum. “Seokmin selalu menomorsatukan aku dalam keadaan apapun, nggu. Aku pastiin dia ga akan pernah bikin aku sedih.”

Jabatan tangan keduanya terlepas. “Nggu, sekarang udah waktunya kamu yang harus cari pendamping hidup. Jangan terlalu lama berdiam diri, yang terjadi sama kita bukan sepenuhnya kesalahan kamu. Aku harap, kamu bisa secepatnya menemukan kebahagiaan kamu. Seseorang yang sabarnya lebih banyak dari aku.”

Mingyu tersenyum pahit dan mengangguk. “Pasti, Soo.” Mingyu menyalami Seokmin lalu pergi, ia bahkan melewati mama dan adiknya yang menatapnya sedih.

Walau ku terlambat, kau tetap yang terhebat. Melihatmu, mendengarmu, kau lah yang terhebat.

“Jisoo, terima kasih sudah pernah menjadi hari-hari indah seorang Kim Mingyu—walaupun akhirnya kamu memilih menyerah.”