The Truth.
Jeonghan berjalan menuju penjual martabak dekat apartemennya, perjalanan yang tidak sampai 5 menit itu cukup membuatnya lelah. Apalagi usia kandungannya yang sudah menginjak usia 8 bulan, dimana seharusnya ia tidak perlu repot-repot mencari keinginannya. Tapi apa boleh buat, saat ini ia sendiri jadi mau tak mau harus melakukannya sendiri. Sesekali ia berhenti, untuk sekedar mengatur nafas atau melihat kakinya yang sudah mulai membengkak.
“Dikit lagi nyampe, Han.” Ucapnya menyemangati dirinya sendiri.
Sampai akhirnya ia sampai di tempat yang ia tuju.
“Bang, martabak asin spesialnya satu ya.”
“Oh iya mas, duduk dulu mas.” Jeonghan pun duduk di kursi yang disediakan oleh penjual martabak itu.
“Kok sendirian mas? Suaminya mana? Lagi hamil kok dibolehin pergi sendiri? Bahaya tau.” Tanya penjual martabak itu.
Jeonghan tersenyum miris, kalau saja saat ini keadaannya tidak runyam seperti ini mungkin ia akan mengaku kalau suaminya sedang bekerja dan belum pulang. Oh ya, ini sudah tiga bulan Seungcheol meninggalkan dirinya.
“Suami saya—.”
“—sayang, kok beli sendiri? Kan tadi mas bilang tunggu mas aja.”
Demi tuhan, jantung Jeonghan serasa turun ke perut. Hampir saja ia terjungkal dari tempat duduknya, ketika ia melihat Seungcheol ada di sana.
“Pak—.”
“—ealah untung suaminya dateng, kasian banget kalo mas nya jalan sendiri, tadi saya liat mas nya berhenti beberapa kali karena capek mungkin.” Lagi-lagi ucapan Jeonghan terpotong.
“Iya nih pak, gak sabaran padahal saya bilang saya aja yang beli.” Jeonghan terpaku ketika tangan Seungcheol merangkul pinggangnya.
Lalu Seungcheol mengajak Jeonghan untuk duduk kembali—dengan tangan yang masih bertengger di pinggang Jeonghan.
“Hai, kok diem aja?” Bisik Seungcheol ditelinga Jeonghan.
Tapi Jeonghan tidak kunjung menjawab, sampai ia sadar ketika tangan sebelah Seungcheol mengelus-elus perut buncitnya.
Beberapa menit kemudian martabak pesanan Jeonghan jadi, Seungcheol langsung membayarnya dan langsung mengajak Jeonghan untuk masuk ke mobilnya. Setelah memasangkan seat belt pada Jeonghan dan dirinya sendiri Seungcheol langsung menjalankan mobilnya. Selama menyetir Seungcheol tersenyum karena dari ekor matanya ia melihat Jeonghan yang masih termenung menatapnya.
Sesampainya di besmen apartemen, Seungcheol membuka seat belt keduanya dan mengajak Jeonghan menuju unit apartemen Jeonghan.
Seungcheol memencet password apartemen Jeonghan—yang belum Jeonghan ganti sejak dulu. Setelah masuk, Seungcheol langsung mendudukkan Jeonghan dan ia menuju dapur untuk menyiapkan martabak tadi serta membawa minum untuk Jeonghan.
Sedangkan Jeonghan? Ia masih mematung, masih mencerna apa yang terjadi. Ia berkali-kali berkedip untuk memastikan bahwa Seungcheol ada di sana—dengan dirinya.
“Han?”
Jemari Jeonghan bergerak menyusuri wajah yang ia rindukan selama 3 bulan ini.
“Pak Seungcheol? Ini beneran bapak?” Air mata Jeonghan tiba-tiba saja turun tanpa izinnya.
Seungcheol mengambil tangan Jeonghan yang berada di pipinya lalu mengecupnya. “Ini saya, Han. Ayahnya si bayi.”
Tanpa meminta izin, Jeonghan memeluk erat tubuh Seungcheol—dengan menangis tentunya. Dengan senang hati Seungcheol membalas pelukan itu—walaupun harus terhalang oleh perut buncit Jeonghan.
“Maaf ya pak maaf kalo lancang, tapi saya kangen banget sama bapak. Dada saya rasanya sampai sakit banget, karena saya ga bisa deket-deket sama bapak. Maaf sekali lagi, pak.” Jeonghan menangis terisak-isak dipelukan Seungcheol. Seungcheol dengan sabar mengelus-elus punggung Jeonghan.
“Sudah ya nangisnya? Nanti dadanya tambah sakit.” Tapi tangisan Jeonghan malah makin kencang.
“Jeonghan, jangan kayak gini dong. Sakit nanti dada kamu, kasian juga bayinya sedih kamu kayak gini.”
Jeonghan melepaskan pelukannya, ia menghapus air matanya lalu kembali menatap Seungcheol—memastikan lagi kalau ini nyata.
“Minum dulu.” Jeonghan menerima minum dari Seungcheol, ia menenggaknya hampir setengah gelas.
“Sudah tenang? Mau dengar saya dulu atau makan martabaknya dulu?”
“Makan dulu, saya laper pak.” Jawaban Jeonghan membuat Seungcheol tertawa, lalu ia mengambil kerdus martabak itu dan ia sodorkan ke Jeonghan. Jeonghan memakannya dengan lahap.
“Memangnya tidak bisa beli pakai aplikasi online? Bahaya sekali kamu keluar malam-malam, apalagi sedang hamil.”
“Tadi niatnya mau sekalian jalan-jalan malam, tapi malah capek sendiri.” Jawab Jeonghan
“Tidak minta tolong Jun atau Wonwoo?”
Jeonghan menggeleng. “Jun lagi ada makan malem sama mamanya Wonwoo, saya gak mau ganggu pak.”
“Ya sudah, makan yang banyak. Tapi kalau sudah kenyang jangan dipaksa ya?”
. . . . . . . . . . . .
Flashback on.
Setelah Jeonghan melepaskannya, keesokan harinya Seungcheol berniat untuk mendatangi rumah Donita. Karena menurutnya, Donita lah yang ia mau sampai sekarang.
Dengan membawa bunga dan cincin yang waktu itu niatnya ingin ia kasih pada Donita, Seungcheol memantapkan hatinya.
“Eh udah sampe, yuk masuk pak.” Donita membuka pintu dan mempersilahkan Seungcheol masuk.
Di dalam, Seungcheol disambut oleh mama dari Donita.
“Udah lama loh nak Seungcheol gak mampir kesini.” Ucap mama Donita
“Iya mah, pak Seungcheol beberapa bulan ini kayak abis di hipnotis jadinya ga inget sama aku.” Donita menjawab tanpa menatap Seungcheol.
“Oh gara-gara si biang masalah itu ya, nit?”
Seungcheol melihat Donita mengangguk. “Biang masalah? Kalau boleh tau siapa ya tante?”
“Itu loh anak tetangga sebelah yang di usir, si Jeonghan. Problematik itu anak, katanya sekarang hamil ya? Pasti pergaulannya gak bener, keluarganya aja ga bener.”
Demi tuhan, Seungcheol sakit hati mendengarnya. Tangannya mengepal dibawah meja makan, tidak tau kenapa ia tidak suka Jeonghan dipandang remeh seperti itu. Jeonghan itu papa dari bayinya.
“Sudah hamil, tidak bekerja, tinggalnya di apartemen lagi duit darimana coba kalo bukan jual diri? Untung aja nak Seungcheol cepet sadar, kalau engga pasti nak Seungcheol sudah di porotin habis-habisan sama dia.” Seungcheol menatap enggan makanan di depannya—rasanya mood makannya hilang begitu saja.
“Pak, mau tambah?”
Seungcheol menggeleng. “Cukup kok, don.” Lalu mau tak mau ia melanjutkan makannya.
“Nak Seungcheol sendiri memangnya belum kepikiran untuk berumah tangga?” Tanya mama Donita
“Sudah Tante, tinggal cari pasangannya saja.”
“Duh kenapa harus cari jauh-jauh, kalau di dekat kamu saja ada.”
“Mama, jangan gitu ah.” Donita tersenyum malu.
“Tante bener, kenapa saya harus cari jauh-jauh kalau sebenarnya dia ada di dekat saya. Bahkan sangat dekat.”
Skip time.
Donita dan mamanya mengantar Seungcheol ke depan rumahnya.
“Eh jeng Elina, kok baru keliatan?” Seungcheol melihat seorang wanita yang menurutnya walaupun sudah berumur tapi masih cantik—cukup mengingatnya pada seseorang.
“Iya, sibuk soalnya. Siapa ini? Calon mantu?” Wanita yang dipanggil Elina itu bertanya.
“Doakan saja.” Jawab mama Donita.
“Pak, kenalin ini mamanya Jeonghan. Tante, ini pak Seungcheol bosnya Jeonghan dulu.”
“Oh anak itu masih hidup?”
Seungcheol bahkan tidak pernah menyangka kalau orang yang melahirkan papa bayinya adalah orang yang seperti ini. Kasian Jeonghan, harus tinggal ditempat orang-orang toxic seperti mereka.
“Jeonghan lagi hamil loh Tante, gak mau nengokin?” Tanya Donita.
“Dia udah nikah?”
“Sayangnya belum Tan, hamil duluan.”
“Emang bisanya bikin malu aja itu anak.”
Seungcheol muak. Ia makin yakin, kalau selama ini Jeonghan hanya korban dari orang-orang toxic seperti mereka.
“Don, Tante , saya pamit dulu.” Tapi sebelum masuk ke mobilnya, Seungcheol mendekati Elina.
Seungcheol mengulurkan tangannya. “Saya Seungcheol, tante—.” Elina menjabat tangan Seungcheol. “Calon suami Jeonghan sekaligus ayah dari bayi yang Jeonghan kandung.”
Ucapan Seungcheol membuat ketiga orang di sana terkejut.
“Pak Seungcheol, apa maksudnya? Bapak bercanda kan?”
Seungcheol melepaskan jabatan tangannya dengan Elina. Lalu ia berjalan menuju mobilnya.
“Tadinya saya kesini mau meminta kamu menjadi istri saya, tapi setelah dipikir-pikir untuk apa saya menikah dengan orang yang bahkan orang tuanya saja mengajarkan anaknya untuk membicarakan keburukan orang lain? Sok merasa paling suci dan benar, padahal tidak ada bedanya dengan keluarga Jeonghan yang kalian bilang tidak benar. Saya pamit.”
Setelahnya Seungcheol masuk ke mobilnya dan pergi. Seungcheol paling tidak suka dengan orang-orang munafik seperti itu. Lebih baik dia tidak menikah, daripada harus hidup bersama orang seperti Donita dan keluarganya, lagipula ia yakin bahwa bundanya juga tidak akan setuju dia dengan wanita itu.
Flashback off.
Jeonghan menghela nafasnya, setelah mendengar cerita Seungcheol dia makin yakin kalau memang tidak ada benar-benar menyayanginya.
“Ternyata mamanya Donita cuma pura-pura baik ya pak sama saya.” Ucap Jeonghan dengan tertawa lirih.
Seungcheol hanya memperhatikan Jeonghan yang tiba-tiba saja menangis.
“Semua orang nyalahin saya atas kematian kakak saya, saya diusir bahkan dibuang sama orang tua saya sendiri. Dan saya pikir kalau keluarga Donita baik-baik dengan saya, ternyata sama aja. Saya gak punya siapa-siapa lagi selain bayi.” Ucap Jeonghan sambil menangis terisak-isak.
Seungcheol membawa Jeonghan ke dalam pelukannya, menenangkan papa dari bayinya itu. Jeonghan sudah melewati banyak kesusahan dalam hidupnya, dan Seungcheol mengutuk dirinya sendiri karena sudah pernah berpikir melepaskan laki-laki itu.
“Han, kamu boleh sedih boleh nangis malem ini. Tapi kalo besok, saya harap kamu ga inget-inget kejadian yang pernah kamu alamin. Kamu punya saya, punya bunda, punya bayi. Saya janji gak akan pernah ninggalin kamu lagi seperti kemarin.”
Jeonghan melepaskan pelukannya dan menatap Seungcheol. “Saya punya bapak?”
“Iya, saya akan bertanggung jawab sama hidup kamu dan hidup bayi.”
“Pak Seungcheol, terima kita?” Seungcheol tersenyum ketika Jeonghan menyebutkan kata “kita” untuk menyebut dirinya dan bayi mereka.
“Besok mau ketemu bunda gak?”
. . . . . . . . . . .
Seungcheol keluar dari kamar mandi dengan mengusak-ngusak rambutnya yang basah, sedangkan Jeonghan sedang tersenyum lebar sambil memegangi perutnya.
“Kamu ngapain?”
Jeonghan menatap Seungcheol. “Pak, sini deh. Bayi nya nendang terus.”
Seungcheol dengan cepat mendekat ke arah Jeonghan, kemudian tangannya dituntun oleh Jeonghan untuk meraba perut atas Jeonghan. Beberapa detik kemudian ia merasakan ada tendangan dari dalam. Kemudian senyum terpancar dari bibirnya, lalu ia kembali meraba tapi tidak bisa merasakannya lagi.
“Coba diajak ngobrol pak, tadi saya ajak ngobrol ceritain kalo bapak ada disini dia seneng banget.” Ucap Jeonghan yang melihat senyum Seungcheol menghilang ketika ia tidak merasakan tendangan lagi dari bayi mereka.
Jeonghan menyamakan posisinya dengan bersandar di kepala ranjangnya, sedangkan Seungcheol memposisikan dirinya dengan tengkurap—dengan wajah memandang ke perut Jeonghan.
“Halo, bayi. Ini ayah.”
Duk
Seungcheol memandang Jeonghan dengan senyum yang merekah. Jeonghan mengangguk, mempersilahkan Seungcheol kembali berbicara dengan anak mereka. Seungcheol kembali menunduk, tangan Jeonghan tidak berhenti mengelus-elus kepala Seungcheol.
“Bayi seneng gak ayah disini? Hehehehe ayah seneng banget ada disini sama bayi, sama papa. Bayi, bulan-bulan sebelumnya pasti berat banget ya buat kamu dan papa. Bayi juga jadi harus capek karena papa capek, tapi sekarang ayah janji kalau ayah gak akan pernah ninggalin bayi sama papa lagi. Ayah bakal disini, jadi kalo bayi mau apa-apa kasih tau papa ya sayang, biar ayah yang cari. Papa sama bayi tinggal duduk manis, ayah bakal turutin semuanya.” Ucap Seungcheol panjang lebar. Seungcheol bahkan menempelkan telinganya di perut Jeonghan.
Detik berikutnya, Seungcheol juga Jeonghan merasakan tendangan yang cukup keras—sampai membuat Jeonghan meringis. Jeonghan bisa merasakan bibir Seungcheol yang tertarik karena ia tersenyum. Sampai 3x tendangan itu mereka rasakan, yang artinya bayi menerima kehadiran Seungcheol di sana.
Setelahnya, Seungcheol bangkit dari posisinya dan menampilkan ada air mata yang jatuh ketika Jeonghan melihatnya, dengan cepat Jeonghan menangkup wajah Seungcheol.
“Kenapa kok nangis pak?” Tanya Jeonghan sambil mengelap air mata Seungcheol. Tiba-tiba saja Seungcheol memeluknya, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Jeonghan dan kembali menangis di sana—karena Jeonghan merasakan lehernya basah.
“Anak kita sehat, Jeonghan. Terima kasih, terima kasih karena sudah menjaganya dengan baik. Terima kasih, Jeonghan.” Jeonghan jadi ikut menangis, ia mengeratkan pelukannya membiarkan Seungcheol menumpahkan segala sesuatu yang ia rasa malam ini.
“Terima kasih juga, pak. Terima kasih karena sudah mau kembali.”
. . . . . . . . . . .
Seungcheol bangun dari tidurnya, merasakan kasur di sebelahnya tidak lagi hangat. Kemudian ia bangun, dan langsung menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok giginya.
Saat keluar kamar, yang pertama kali menyapa indera penciumannya adalah wangi harum masakan dari dapur lalu ia melihat seseorang dengan kemeja kebesarannya sedang berkutat dengan masakan.
“Pagi.” Seungcheol memeluk Jeonghan dari belakang, menyamakan wajahnya di tengkuk leher Jeonghan.
“Pagi, ayo sarapan dulu pak.” Seungcheol melepaskan pelukannya lalu mengecup pipi Jeonghan dan kemudian berjalan menuju meja makan.
Dengan lihai Jeonghan menyiapkan semua masakannya hari ini.
“Kopi atau teh atau air putih?” Tanya Jeonghan
“Air putih aja, susu kamu sudah dibuat belum?”
“Udah, tinggal nanti saya minum pak.” Jeonghan menaruh segelas air putih di depan Seungcheol.
“Selamat makan.” Lalu keduanya menikmati makanan mereka dengan sesekali berbincang-bincang.
“Jadi selama 3 bulan kemarin itu bapak di kantor?” Pertanyaan yang ingin sekali Jeonghan tanya dari semalam, tapi karena tidak sesuai dengan kondisinya jadi ia urungkan.
Seungcheol mengangguk. “Ada proyek gede yang musti saya tangani sendiri, sama diam-diam mencari sekretaris baru.”
“Oh, Donita bapak pecat?” Jeonghan meneguk susu yang tinggal setengah sampai habis.
“Memang rasanya tidak profesional, hanya saja sekarang saya tau sifatnya jadi agak malas dengan orang seperti itu.”
Jeonghan mengangguk. “Donita dari dulu emang begitu pak, bukannya saya menjelek-jelekkan dia ya. Tapi emang sifatnya kayak gitu, muka dua.”
“Berarti buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
“Ya awalnya saya pikir kalau hanya dia aja, tapi ternyata mamanya juga.” Seungcheol memakan buah yang sudah disediakan oleh Jeonghan.
“Tapi ada untungnya sih Han kamu keluar dari rumah. Lingkungan di sana bener-bener gak baik, kamu cuma bakal sakit hati kalo masih di sana.”
Jeonghan mengangguk setuju. “Terus ekspresi mereka gimana waktu bapak bilang bapak maunya sama saya?”
“Ya kaget, apalagi mamanya Donita udah kode-kode minta sama nikahin anaknya tapi pas saya tau sifatnya, duh saya jamin saya yang bakal diusir sama bunda dari rumah.”
Jeonghan tertawa. “Masa separah itu pak?”
“Bunda tuh mendingan saya gak nikah daripada dapet mertua kayak gitu.”
Jeonghan menggelengkan kepalanya. Ada-ada saja.
“Biar saya aja, Han. Kamu mandi aja sana.” Ucap Seungcheol saat Jeonghan akan membereskan semua piring bekas makan mereka.
“Masa bapak nyuci piring?”
“Walaupun saya jarang di rumah, tapi saya bisa nyuci piring. Jangan remehin saya kamu.”
“Gini aja deh, nanti biar saya aja yang nyuci piringnya. Sekarang bapak turutin maunya bayi.”
“Bayi mau apa?”
“Mau mandi bareng ayahnya.”
Seungcheol tertawa. “Ini maunya bayi atau papanya?”
“Maunya bayi. Ayo dong, semalem katanya mau menuhin semua maunya bayi.”
Seungcheol menggelengkan kepalanya, tidak percaya kalau Jeonghan yang dulu—binal—sudah kembali.
“Ya sudah ayo.”
“Yeay, bayi mandi sama ayah.” Jeonghan memekik kegirangan sambil menarik tangan Seungcheol untuk masuk ke kamar mandi. Dan kita biarkan mereka mandi.
. . . . . . . . . . . .
Seungcheol tidak memberitahu bundanya kalau ia datang dengan Jeonghan. Dan sekarang, Jeonghan-nya di monopoli oleh sang bunda.
“Bunda tuh kangen banget sama kamu, Han. Mas bilang katanya jangan ganggu Jeonghan dulu, jadinya bunda mau ga mau nurutin maunya mas biar gak ganggu, Han.”
“Iya bunda, maaf ya. Han juga gak pernah jenguk bunda lagi.”
“Gapapa gapapa, tapi kamu sehat kan?”
Jeonghan mengangguk. “Sangat-sangat sehat.”
“Hpl nya kapan sih?” Tanya bunda, sambil mengelus-elus perut Jeonghan.
“Kemarin sih dokternya bilang awal bulan, bund.” Jawab Jeonghan
“Oh ya, eh berarti kamu musti tinggal disini dulu Han, bahaya kalo kamu sendirian di apartemen takutnya tiba-tiba ada apa-apa, bukannya nakutin ya tapi harus sedia payung sebelum hujan. Gimana mas?”
Seungcheol mengangguk. “Mas setuju sih bund.”
“Tapi kamu cuti kan mas?”
“Iya bund, mas udah bilang mau cuti.”
“Tapi ga harus segitunya ga sih pak?” Jeonghan jadi tidak enak hati, ketika Seungcheol harus bersusah payah untuk menemaninya.
“Emang harus gitu, Han. Dulu mendiang ayahnya mas itu juga gitu. Apalagi ini anak pertama kan, suami juga harus tau jadi nanti kalau punya anak lagi suaminya ga kaget.” Bunda yang menjawab.
Suami.
*Punya anak lagi.”
Memikirkannya saja sudah membuat Jeonghan merasakan ada kupu-kupu berterbangan di perutnya.
Aww
Bunda dan Seungcheol panik karena tiba-tiba saja Jeonghan mengaduh.
“Apanya yang sakit? Mau ke rumah sakit aja?” Seungcheol mengelus perut Jeonghan.
Jeonghan menggeleng. “Ini kayaknya bayi juga excited banget mau keluar.”
“Ya ampun sayang, kalau tendang boleh tapi jangan kenceng-kenceng ya, kasian papanya kesakitan tuh.” Seungcheol berbicara dengan bayinya, sambil mengelus-elus dan mengecup perut Jeonghan. Sedangkan bundanya, ia tampak terharu melihat Seungcheol yang sudah akan menjadi seorang ayah. Sebenarnya ia tidak membenarkan perilaku keduanya, tapi tidak tau kenapa kalau sudah begini ia luluh juga.
Saat sedang berbincang-bincang, tiba-tiba saja bel rumah Seungcheol berbunyi.
“Biar bunda aja.” Lalu sang bunda pergi untuk membuka pintu.
“Mas, ada yang mau ketemu.” Seungcheol bangkit dari duduknya, matanya menata tajam ke arah seseorang yang datang.
“Mau apa lagi, Don?” Ternyata Donita.
“Pak, bapak ga bisa dong asal pecat saya kayak gitu. Salah saya apa?”
“Salah kamu karena kamu yang sudah menyebarkan informasi tentang saya dan Jeonghan sampai semua orang di kantor benci sama Jeonghan.”
“Loh itu kan konsekuensinya.”
“Konsekuensi apa? Dalam hal apa Jeonghan harus mendapat konsekuensi?”
“Konsekuensi karena dia udah berani nikung saya, yang notabenenya sahabatnya sendiri.”
Seungcheol menatap Donita dengan remeh. “Tapi kita kan gak ada hubungan apapun? Oke, kalau yang dulu itu memang salah Jeonghan, tapi kamu gak berhak marah karena saya bukan punya kamu.”
Jeonghan melihat Donita mengepalkan tangannya. “Kurang ajar ya lo, Jeonghan. Dasar jalang, lo itu ga ada apa-apanya dibanding gue. Lo cuma bisa ngasih badan lo ke pak Seungcheol, lo cuma mau uangnya dia aja kan.”
“Stop, nit. Stop. Lo boleh ngehina gue, tapi lo ga bisa fitnah gue atas apa yang gak gue lakuin. Iya, emang gue ngasih badan gue ke pak Seungcheol secara cuma-cuma tapi itu karena gue sayang banget sama dia. Tapi elo, lo nit yang mau uangnya pak Seungcheol. Lo sendiri yang bilang sama gue, kalo lo dan nyokap lo butuh pak Seungcheol demi kelangsungan hidup kalian.”
Ingatan Jeonghan berputar ke sebelum kejadian dimana ia meminta Seungcheol untuk tidur dengannya. Sebenernya ia sudah tau kalau Donita akan melakukan hal jahat pada laki-laki yang ia cinta—yang ternyata mencintai sahabatnya itu—makannya ia menjebak Seungcheol agar laki-laki itu jatuh padanya. Tapi ternyata usahanya gagal, gagal karena Seungcheol tidak pernah mencintainya sampai akhirnya ia mengalah. Dan siapa yang tahu, kalau ternyata Seungcheol malah tau sendiri sifat asli Donita. Ia hanya ingin melindungi Seungcheol, tidak lebih. Kalau Seungcheol bisa mencintainya balik itu bonus untuknya.
“Selama ini gue diem aja, karena ya omongan lo bener tentang gue. Tapi gue ga bisa kalo lo yang harus sama pak Seungcheol, bukan karena gue cemburu lo sahabat gue. Tapi karena gue maunya pak Seungcheol dapet orang yang benar-benar mencintai dia, bukan karena hartanya. Gue berusaha ngelindungin pak Seungcheol, walaupun gue harus kehilangan satu-satunya yang berharga buat gue.”
“Lo munafik, Jeonghan. Lo juga mau uangnya kan? Gue udah kasih lo penawaran, kalo lo ga ikut campur lo bisa dapet bagian lo.” Ucap Donita terang-terangan. Dan membuat Seungcheol terkejut, ternyata selama ini Donita seperti itu menganggap dirinya? Jadi selama ini orang yang ia sayang, malah mau menikamnya?
“Pergi dari sini, Don. Saya muak ngeliat muka kamu. Dan saya harap kamu gak akan pernah muncul lagi dihadapan saya.” Donita baru sadar kalau ia sudah salah berbicara.
“Pak, saya minta maaf—.”
“—pergi.”
“Udah sana pergi, dasar wanita jahat. Playing victim lagi.” Ucap bunda, akhirnya mau tidak mau Donita pergi dari rumah Seungcheol.
Dan Seungcheol juga langsung mengajak Jeonghan masuk ke kamarnya, karena setelah mengetahui kebenarannya cukup membuatnya lelah.
“Pak?” Seungcheol memeluk Jeonghan, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Jeonghan—tempat teraman baginya.
“Pak, maafin saya. Saya gak jujur dari awal.”
Seungcheol hanya diam, mengeratkan pelukannya.
“Pak, kalau bapak mau saya pergi juga gapapa pak. Jangan dipaksa ya pak.”
Jeonghan merasakan gelengan di ceruk lehernya.
“Saya mau kamu, Jeonghan. Mau kamu.”
Kalimat itu cukup membuat Jeonghan merasa kalau masih ada seseorang yang menginginkan dirinya.
Seungcheol melepaskan pelukannya. “Nikah sama saya ya setelah bayi lahir?”