thatausaha

cheolsoo

Setelah mengantar Jeonghan dan kedua anak mereka, Seungcheol dan Jisoo langsung bergegas pulang menuju rumah mereka.

Di perjalanan pulang, salah satu tangan Seungcheol sesekali tidak berhenti bergerak menggerayangi tubuh suaminya. Jisoo sendiri hanya pasrah ketika salah satu putingnya di pilin bahkan di cubit kecil dari luar bajunya oleh Seungcheol.

“Nanti dulu kenapa sih Dy.” Sudah berkali-kali Jisoo mengucapkan itu tapi jawaban Seungcheol hanya “aku pegang doang.” Sampai akhirnya Jisoo mengalah dan membiarkan Seungcheol membuat salah putingnya lecet.

“Tadi ada yang godain kamu gak?” Tanya Seungcheol sambil memasukkan tangannya ke dalam baju Jisoo—agar bisa menyentuh bagian sensitif suaminya itu. Yang perlu kalian ketahui, Jisoo dan Jeonghan mempunyai titip sensitif yang berbeda, kalau Jisoo di putingnya, kalau Jeonghan di sekitar belakang telinga dan lehernya. Jadi kalau Jisoo hanya dengan disentuh putingnya saja ia bisa menegang kalau Jeonghan harus dikecup di area tersebut. Dan ini cukup menyenangkan untuk Seungcheol, apalagi jika sedang melakukannya bertiga, itu adalah waktu kesukaan Seungcheol karena ia bisa melihat kedua wajah suaminya yang menikmati perlakuan dirinya.

“Ada beberapa yang minta nomor aku, cuma Jeonghan langsung buru-buru kasih kissmark.” Ucap Jisoo sambil memperlihatkan lehernya yang terdapat tanda merah dari suaminya. Jisoo berusaha keras untuk menjawab pertanyaan Seungcheol, karena jujur saja dirinya saat ini hampir dikuasi oleh nafsunya.

“Picuu nakal sih pake buka-buka kancing.” Ucap Seungcheol sambil kembali menjalankan mobilnya tapi salah satu tangan tidak berhenti di dalam baju Jisoo.

“Panas tadi tuh Dy.” Seungcheol tersenyum ketika dirinya berhasil meruntuhkan nafsu Jisoo. Buktinya saat ini Jisoo malah menekan tangan Seungcheol yang berada di dadanya—bahkan mengarahkan tangan Seungcheol untuk mencubit putingnya agak lebih keras—sampai membuat dirinya menggelinjang kecil.

“Jangan kenceng-kenceng sayang, nanti tambah lecet.” Ucap Seungcheol tapi tetap mengikuti arah gerak tangan Jisoo yang menuntun tangannya.

“Dy, basah bawahnya.” Jisoo memberengut lucu ketika ia merasakan lengket di bagian bawahnya.

Seungcheol tidak menjawab, ia menarik tangannya yang tadi di dada Jisoo—membuat Jisoo mengerucutkan bibirnya kesal—untuk memarkirkan mobilnya di garasi rumah mereka—kebetulan pagar rumah mereka adalah pagar otomatis, jadi tidak perlu turun atau minta tolong orang untuk membukanya.

Seungcheol menoleh mendapati suaminya melipat kedua tangannya di dada.

“Kenapa?”

“Kok dilepas?”

Seungcheol tersenyum sambil mengelus-elus kepala Jisoo. “Picuu maunya disentuh di situ aja? Gak mau Dy masukin?” Jisoo baru sadar kalau mereka sudah sampai di rumah.

Dengan langkah cepat, Jisoo malah mendudukkan dirinya di atas pangkuan Seungcheol. Membuat Seungcheol terkejut tentu saja, pasalnya Jisoo tidak terlalu suka dipangku di tempat sempit seperti ini.

“Mau digendong?” Tanya Seungcheol sambil sesekali ia kecup leher Jisoo yang terekspos.

“Disini aja, Dy.” Jawaban Jisoo membuat Seungcheol terkejut.

“Tumben, biasanya kamu ga seneng kalo ditempat sempit kayak gini,hm?” Jisoo merasakan bibir kenyal suaminya menyentuh rahangnya.

“Udah ga kuat, lubang aku udah kedutan.”

Seungcheol tertawa. “Yaudah dibelakang ya? Disini sempit banget, nanti kaki kamu kepentok.”

Jisoo menurut, ia kemudian melangkah ke belakang terlebih dahulu sedangkan Seungcheol memutuskan untuk keluar terlebih dahulu untuk pindah ke kursi belakang.

“Jauh banget sih pake keluar dulu.” Ucap Jisoo yang kembali duduk di pangkuan Seungcheol ketika Seungcheol sudah masuk kembali.

“Paha aku kegedean deh yang.” Lalu keduanya tertawa.

“Tapi aku punya rules Pi.” Ucap Seungcheol.

“Apa?”

“No kiss, sebelum aku bolehin.” Jisoo mengernyitkan keningnya, pasalnya dia suka sekali dicium saat ditumbuk Seungcheol.

“Kenapa? Dy gak mau cium aku lagi?” Tanya Jisoo sedih, membuat Seungcheol kelabakan.

“Gak gitu Pi, Dy mau cium pi tapi nanti. Nah sebagai gantinya, Dy jilat ya belakangnya.” Ucapan Seungcheol membuat Jisoo bersemu. Setelah sekian lama akhirnya lubangnya bertemu dengan lidah panas Seungcheol. Bukan Seungcheol tidak pernah melakukannya, tapi Jisoo yang tidak mau. Jorok katanya, tapi sebenarnya Jisoo hanya ingin melihat wajah Seungcheol yang sedang memberinya kenikmatan.

Jisoo mengangguk, lalu ia sedikit berdiri untuk membuka celananya—dibantu Seungcheol tentu saja—setelah celananya terbuka dan menampilkan lace panties yang Seungcheol pilihkan untuknya.

Sebelum menungging di depan Seungcheol, Jisoo melihat tatapan Seungcheol tidak lepas dari benda yang hanya menutupi belahan bokongnya. Jisoo tersenyum malu ketika Seungcheol memposisikan badannya ke depan sedangkan bokongnya ke wajah suaminya itu.

“Ini yang aku beliin buat kamu sama PaHan kan, Pi?” Bulu kuduk Jisoo meremang kita Seungcheol mengelus dengan gerakan memutar mengikuti celana dalam itu menutupi tubuh indah Jisoo.

“Iya Dy, cuma PaHan gak mau karena dia ga terlalu suka yang berenda begini.” Jawab Jisoo sesekali menggigit bibir bawahnya menahan desahannya.

“Tapi Picuu suka?”

Jisoo mengangguk. “Suka Dy, aku suka banget—aww.” Jisoo memekik ketika dengan tiba-tiba Seungcheol menarik celana dalamnya.

“Tapi kan ini ga nutupin pantat besar kamu, sayang.” Seungcheol mengecupi pipi bokong Jisoo sambil menarik celana dalam Jisoo agak lebih erat—lalu ia gesekkan—membuat sang empu mau tak mau mengeluarkan desahannya.

“Sayang suka ya pantatnya gak ke tutupan,hm? Suka ya pake celana begini? Atau suka aku gesek begini, iya sayang?”

“Mmhhm...Haa... Ah! Ah!” Yang ditanya tidak bisa menjawab.

Jisoo mencengkram erat bangku depan ketika Seungcheol makin kencang menggesekkan celana dalamnya pada belahan bokongnya. Bahkan sebelah tangan Seungcheol sudah menggenggam kejantanan Jisoo yang masih berbalut celana itu.

“Picuu, DyCheol tanya loh ini.” Seungcheol tau Jisoo tidak bisa menjawab karena ia makin menambah kecepatan tangannya.

“Ah! Ah! Ahhhhhhhh—.” Jisoo berhasil mengeluarkan cairannya, dan sekarang celana dalamnya sudah basah kuyup oleh cairannya sendiri. Jisoo masih mengatur nafasnya, kakinya terasa lemas kalau tidak ditahan oleh Seungcheol mungkin ia akan terjatuh ke depan.

Seungcheol menarik Jisoo agar kembali duduk di pangkuannya. “Baru aku tarik loh yang, belum pake lidah.”

“Masih mau pake lidah atau Dy mau langsung masuk?” Tanya Jisoo yang nafasnya sudah mulai teratur.

“Picuu mau gak pake lidah?”

Jisoo mengangguk malu. “Aku kangen, Dy.”

“Abis aku tanyain gak mau terus.” Ucap Seungcheol sambil menjawil hidung Jisoo. Lalu kemudian, Seungcheol kembali memposisikan Jisoo seperti tadi, tapi kali ini tentu saja sudah tidak ada menutupi bokong indah Jisoo.

Seungcheol melihat lubang Jisoo yang berkedut—seperti minta diisi akan sesuatu—dan tentu saja dengan senang hati Seungcheol memberinya.

Jisoo merasakan udara panas dari Seungcheol—yang artinya Seungcheol sudah dekat dengan lubangnya—lalu sedetik kemudian ia merasakan sesuatu yang panas mengenai lubangnya. Membuat Jisoo kembali mencengkram erat bangku depan—dengan mata terpejam dan kepala mendongak.

“Mmhhm... Haaa... Haaa....! Ah! Ah! Ah!” Kembali nafas Jisoo menderu ketika dengan sengaja Seungcheol memutar-mutar lidahnya di sana. Dan tanpa sadar juga Jisoo mulai mengikuti ritme gerakan lidah Seungcheol. Membuatnya tubuhnya makin menggelinjang hebat akan sensasinya.

Hampir 15 menit Seungcheol di sana, dan sekarang Jisoo akan meledak. Jisoo merapalkan nama Seungcheol membuat Seungcheol mengerti kalau suaminya itu akan keluar untuk kedua kalinya. Dengan cepat Seungcheol memutar tubuh Jisoo untuk menghadapnya dan setelahnya ia meraup kejantanan Jisoo lalu menghisapnya kuat.

“ahhh! Haa... Haaaa... Hah.....” Jisoo keluar untuk kedua kalinya. Setelah dirasa cukup Seungcheol melepaskan kejantanan Jisoo dari mulutnya. Lalu mendudukkan lagi suaminya itu di pangkuannya.

“Suka?” Tanya Seungcheol sambil mengelap keringat yang membasahi kemeja Jisoo. Seperti yang dilihat, Jisoo sudah acak-acakan sedangkan Seungcheol masih rapih dengan baju kantornya.

Jisoo mengangguk lemas, ia bahkan meletakkan kepalanya di bahu Seungcheol. “Istirahat dulu boleh, Dy?”

Seungcheol tertawa. “Boleh dong sayang, kan niatnya seneng-seneng bukan pemaksaan.” Seungcheol mengecup bahu Jisoo yang terekspos karena kemejanya agak turun.

“Dy, mau di sepong?” Tanya Jisoo

“Dy ga usah sayang, mau langsung masuk aja. Boleh ya?”

Jisoo mengangguk. “Boleh, Dy.”

“Tapi di kamar yuk? Sakit nanti badannya kalo disini.”

“Oke, aku pake celana dulu.”

“Gak usah, nanti dibuka juga.”

“Terus aku telanjang keluarnya?”

Seungcheol mengambil jas yang sempat ia lepas, lalu ia ikat di pinggang Jisoo. “Dy gendong aja ya, Pi. Biar cepet.” Lalu keduanya keluar dari mobil—melupakan celana Jisoo yang masih tergeletak di bawah bangku.

. . . . . . . . . . . .

07.00

Alarm pagi dari ponsel Jisoo berbunyi. Membangunkan kedua orang yang masih bergelung satu sama lain. Keduanya baru menyelesaikan kegiatan panas mereka pukul 2 dinihari—mereka bahkan tidak sempat makan malam karena sudah diliputi nafsu.

Jisoo yang terlebih dahulu bangun—jujur saja ia seperti sudah tertular Jeonghan yang kalau mendengar suara sesuatu akan bangun. Jisoo mematikan alarmnya, mengecek jamnya.

“Dy, kamu gak kerja?” Jisoo menggoyangkan lengan Seungcheol yang berada di atas perutnya.

Seungcheol yang terganggu oleh Jisoo, malah mengeratkan pelukannya dan menyembunyikan wajahnya di dada Jisoo.

“Dy, kerja.”

“Hm, aku cuti yang.”

“Kapan kamu cutinya?”

“Cuti dadakan, aku udah bilang Hansol semalem.”

“Yaudah, aku mau masak dulu deh. Laper, semalem kita ga makan sama sekali.”

“Aku makan.”

“Makan apa?”

“Makan kamu.” Jisoo mencubit lengan Seungcheol, lalu ia mencoba melepaskan dirinya tapi lagi-lagi Seungcheol menahannya.

“Dy, lepas dulu ah. Laper banget ini aku.” Ucap Jisoo sambil merengek. Jadi mau tidak mau Seungcheol melepaskannya. Lalu Jisoo memungut kemeja Seungcheol untuk ia kenakan karena kemejanya sudah terkena cairannya semalam. Tapi ia tidak memakai celana dalamnya, karena tidak tau kenapa ia tidak menemukannya jadi ya sudah toh di rumah hanya ada Seungcheol jadi tidak apa-apa jika ia tidak memakai bawahan apapun.

Sekitar pukul delapan, Seungcheol terbangun ia baru sadar kalau ia sudah melepaskan suaminya. Dan Seungcheol adalah orang yang kalau bangun tidur harus ada salah satu suaminya yang menemani. Seungcheol bangun, mengambil celana dalam dan celana pendeknya, setelah memakainya ia keluar dari kamarnya dan mencium bau harum dari arah dapur.

Seungcheol menemui Jisoo yang sedang memasak, dengan pakaian seadanya. Kaki jenjangnya seolah memanggilnya meminta dikecup.

“Pagi, sayangku.” Seungcheol memeluk Jisoo dari belakang—dengan sengaja menempelkan bagian bawahnya dengan bagian belakang Jisoo.

“Pagi, Dy. Makan dulu ya?” Ucapan Jisoo tidak di dengarkan oleh Seungcheol. Ia malah mengelus paha Jisoo dengan gerakan sensual. Lalu meremas salah satu bongkahan pantat besar Jisoo membuat sang empu melenguh.

“Makan dulu, aku gak ada tenaganya.” Tapi lagi-lagi ucapan Jisoo tidak diindahkan oleh Seungcheol. Ia malah mematikan kompor yang sedang Jisoo gunakan, lalu menggendong Jisoo dan meletakkannya di atas meja makan.

“Dy, aku laper banget.” Jisoo tau Seungcheol akan melakukan seperti semalam.

“Satu ronde sayang, gak kuat.” Jisoo merasakan sakit ketika kejantanan Seungcheol sudah berhasil masuk sepenuhnya ke dalam lubangnya. Tapi Seungcheol meminta maaf karena tidak melakukan persiapan untuknya karena sudah tidak tahan. Tabiat Seungcheol ketika pagi hari.

Ah! Ah! Ah! Ah! Ah!” Jisoo terlonjak-lonjak akibat tumbukan keras Seungcheol. Ia berpegangan pada lengan Seungcheol yang masih mengukungnya.

Seungcheol mendongakkan kepalanya ketika kejantanannya diremat kuat oleh lubang Jisoo. Ia juga mengocok kejantanan Jisoo. Tanpa membuka baju Jisoo, Seungcheol sudah bisa mendapatkan kenikmatannya.

“Mmhhm... Dy... Ah! Ah!” Seungcheol menurunkan badannya untuk mencium bibir Jisoo, dengan senang hati Jisoo membuka mulutnya untuk dijelajahi juga oleh Seungcheol.

Pergumulan keduanya terjadi selama hampir satu jam sampai akhirnya Jisoo akan keluar. Tapi Seungcheol melarangnya, Seungcheol menutup kepala kejantanan Jisoo. Membuat Jisoo menggeleng ribut karena ia tidak bisa mencapai puncaknya.

Beberapa menit kemudian Jisoo merasakan kejantanan Seungcheol membesar—menandakan suaminya itu akan keluar—dengan cepat Jisoo menjepit kejantanan Seungcheol dengan lubangnya. Membuat gerakan Seungcheol makin tidak beraturan dan semakin membuat keduanya bernafsu.

“Pi, aku keluar.” Beberapa detik kemudian Seungcheol benar-benar menyemburkan cairannya di dalam lubang Jisoo begitupun Jisoo yang keluar sampai cairannya mengenai dagu, dada dan perut Seungcheol.

Seungcheol mengeluarkan miliknya ketika ia sudah selesai dengan pelepasannya. Lalu mencium bibir Jisoo yang tertarik kebawah. Jisoo merajuk.

“Maaf sayang, aku gak kuat liat kamu ga pake apa-apa selain kemeja ku.”

“Tapi aku laper banget Dy, malah aku yang di makan di meja makan.”

Seungcheol tertawa. “Makan di kamar aja ya? Dy suapin.”

Mau tidak mau Jisoo mengangguk, tubuhnya sangat lelah saat ini membuatnya tidak bertenaga untuk melakukan apapun bahkan untuk makan sekalipun.

“Love you, Picuu.” Seungcheol kembali mengecup bibir suaminya.

“Love you too Dy. Ayo cepet laper.” Seungcheol kembali tertawa dan langsung mengangkat tubuh suaminya menuju kamar mereka.

seokhan

Seokmin dan Jeonghan sampai di rumah nenek Seokmin, hari ini ulang tahunnya dimana seluruh keluarga besar Seokmin hadir.

“Santai aja santai, kagak bakal di ospek.” Ucap Seokmin ketika melihat Jeonghan gugup.

“Gugup banget tau a.” Seokmin menggandeng tangan Jeonghan untuk masuk ke dalam.

“Nenek.” Seokmin menyalami tangan neneknya begitu juga Jeonghan.

“Selamat ulang tahun ya nek.” Ucap Jeonghan

“Aduh, makasih ya anak ganteng.”

“Kado dari Jeonghan sama aa.” Seokmin memberikan paperbag bawaannya.

“Pake segala kado, makasih ya Jeonghan.”

“Sama-sama nek.” Jeonghan tersenyum ketika kadonya diterima oleh nenek Seokmin.

“Aa sama Jeonghan ke kamar dulu nek, rebahan bentar.”

“Yaudah sana pada istirahat.” Setelah pamitan keduanya masuk ke dalam kamar Seokmin, sebelumnya mereka bertemu keluarga Seokmin yang lain, berbincang sebentar lalu masuk ke kamar.

“Jisoo diundang ya a?” Jeonghan membuka jaket yang ia kenakan.

“Gak tau deh yang, aku ga nanya nenek. Sini yang, bobokan dulu.” Jeonghan menggeleng.

“Malu a ada sodara kamu, lagian aku harusnya bantu-bantu ga sih?”

“Ini mah udah kelar yang, tinggal makan aja kita. Sengaja aku biar kamu ga capek.”

“Ih, ntar aku ga diterima di keluarga kamu lagi a. Disangka males.”

“Gaklah, kamu ga ngapa-ngapain juga mereka terima kok. Sini dong, aku belum dicium nih.”

Jeonghan masih menggeleng. “Takut ketauan.”

“Yaelah ketauan paling langsung dinikahin.”

Jeonghan menggebuk Seokmin dengan bantal. “Ngaco.”

. . . . . . . . . . .

Acara makan-makan pun selesai, saat ini semua keluarga Seokmin sedang berbincang-bincang. Oh ya, Jisoo ternyata datang. Dan saat ini ia juga sedang ikut berbincang dengan keluarga Seokmin.

“Ini yang nikah duluan aa atau mas?” Tanya salah satu om Seokmin.

Seokmin tertawa. “Mas lah om, masa mas.”

“Yang punya pacar kan kamu duluan Seok, kayaknya kamu duluan.” Ujar seseorang yang dipanggil mas.

“Mau aa Seokmin atau mas Seungcheol duluan terserah, yang penting kalau udah ada calonnya langsung aja.” Ujar nenek mereka.

“Calonnya sih ada nek, cuma gak tau mau apa engga.” Ucapan Seokmin membuat keluarga bersorak riuh dan Jeonghan merona.

“Tanya atuh a, mau gak sama aa.” Ucap salah satu Tante Seokmin.

“Oh gini, dari kemaren dia rewel banget masalah status. Aa sebenernya belum pacaran sama Jeonghan, tapi aa serius gitu pokonya jadi daripada Jeonghan rewel lagi, sekarang aa tanya deh, Jeonghan mau gak jadi pacar aa? Kita pacaran dulu aja, aku masih nabung soalnya.” Jeonghan terkejut karena Seokmin menembak nya di depan keluarga besarnya dan saat ini keluarga besar Seokmin tampak menjadi bertambah riuh ketika mendengar ucapan Seokmin.

“Terima atuh kak Jeonghan, kasian euy udah lama ga disayang si aa.” Ucap adik sepupu Seokmin membuat Seokmin tertawa.

“Gimana, mau gak?” Tanya Seokmin lagi, dan lagi-lagi keluarganya bersorak riuh.

“Aa serius ga sih?” Tanya Jeonghan.

“Yah atuh udah di depan keluarga masa bercanda yang.”

Keluarga Seokmin masih bersorak “terima” kepada Jeonghan. Membuat kegugupan Jeonghan bertambah.

“Jadi?” Seokmin bertanya lagi.

Jeonghan mengangguk. Keluarga Seokmin semakin kencang suaranya.

“Apa atuh aku ga paham ngangguk gitu.”

“Iya, aku mau aa.” Jawaban Jeonghan membuat rumah itu makin ricuh kegirangan.

“Akhirnya euy punya pacar lagi.” Ucap kakak sepupu Seokmin.

“Sebenernya mah udah tau bakal diterima, pura-pura gak tau aja.” Jeonghan mencubit perut Seokmin pelan. Seokmin tertawa sambil merangkul pinggang Jeonghan.

Semua gembira hari ini tanpa terkecuali begitu juga seseorang yang mungkin mereka lupa kalau orang ini pernah ada di posisi Jeonghan—walaupun tidak ditembak di depan keluarga besar—tapi tetap saja ia pernah menjadi bagian keluarga itu. Atau bahkan akan selalu menjadi bagiannya?

Tadi Jisoo keluar ketika Jeonghan sudah menerima Seokmin. Tidak tau kenapa bukan sakit yang ia rasakan, tapi malah sebuah perasaan lega. Lega karena akhirnya ia tau apa yang harus ia lakukan. Move on.

“Kalau mau nangis, nangis aja Jisoo. Nangis bukan berarti kamu lemah loh.” Jisoo menoleh dan mendapati seseorang di sana.

“Mas Seungcheol?”

Laki-laki itu tersenyum manis padanya.

Seokmin dan Jeonghan lebih dulu sampai di sana, lalu keduanya menempati tempat yang biasa Seokmin dan teman-temannya tempati.

“Kamu mau makan apa yang?” Tanya Seokmin pada Jeonghan yang sedang mengelap tangannya dengan tissu basah.

“Ada apa aja sih a?” Jujur, ini pertama kalinya ia diajak ke tempat tongkrongan Seokmin. Pule hampir mirip dengan pasar lama yang kemarin mereka datangi, tapi bedanya ini hanya milik satu orang—seperti angkringan tapi lebih ke makanan berat.

“Banyak yang ada soto, bakso, nasi bakar, macam-macam ayam dan ikan, eh ada seafood juga dan lainnya.” Jeonghan masih belum menjawab, ia malah mengelap kedua tangan Seokmin juga dengan tissu basah.

“Yang rekomend apa a?”

“Aku sama anak-anak biasanya makan gado-gado tapi yang biasa bikin lagi pulkam jadi kalo beda tangan beda rasanya, tapi selain itu aku suka nasi bakar ayam nya sih yang, nanti pake sate-satean.”

“Yaudah aku nasi bakar aja.”

“Yaudah aku pesen dulu, minum air putih aja ya?” Jeonghan mengangguk. Seokmin langsung menuju kasir untuk memesan makanan, sedangkan Jeonghan sibuk dengan ponselnya.

“Kak?” Jeonghan menoleh dan mendapati Soonyoung di sana.

“Kok cepet sih?” Tanya Jeonghan

“Iyalah, kan gua kagak jemput orang dulu jadinya cepet.” Seokmin sudah selesai memesan dan kembali duduk di sebelah Jeonghan.

Beberapa menit kemudian Seungkwan dan Jisoo datang.

“Lu udah pesen nyong?” Tanya Seungkwan

“Belom, sekalian Kwan gue ayam geprek aja dah minumnya good day cappucino dingin.”

“Ayo Soo, lu udah pesen kan Seok?”

Seokmin mengangguk. “Dah gue.” Seungkwan dan Jisoo pergi ke kasir.

“Tadi Jisoo bareng sama Kwan, nyong?” Tanya Seokmin

“Kagak tau gua Seok, tapi tadi datengnya bareng sih.”

“Anterin balik nanti dah.”

“Lu aja napa, kak Jeonghan biar sama gue.”

Ucapan Soonyoung membuat Jeonghan sedikit terkejut.

“Ngaco banget lu.” Jawab Seokmin

“Emang ngapa dah?” Tanya Soonyoung lagi.

Seokmin menoyor kepala Soonyoung. “Pake nanya lagi lu.”

Soonyoung tertawa, lalu memakan tahu krispi yang Seungkwan beli tadi.

“Gapapa kok Seok kalo kamu mau anterin Jisoo, nanti aku sama soon aja.” Ucap Jeonghan, tapi jelas itu bukan 100% dari lubuk hati terdalam Jeonghan.

“Gak lah yang, yakali aku malah nganterin orang lain.” Ucap Seokmin, dan bertepatan dengan Seungkwan dan Jisoo yang sudah kembali ke tempat mereka.

“Lo berdua tuh udah jadian belom sih?” Tanya Seungkwan tiba-tiba.

Seokmin menggeleng. “Belom.”

“Lah kak, kok lu mau aja digantung sama masteng ini?” Soonyoung sendiri terkejut, ia juga baru tau.

Jeonghan tertawa canggung. “Tau nih soon, php doang kayaknya.”

“Wah parah sih, tampol nyong.” Ucap Seungkwan memanas-manasi. Makanan mereka datang secara bersamaan.

“Seok, ini nasi bakar kamu.” Jisoo menyerahkan makanan pesanan Seokmin.

“Makasih Soo, tapi ini punya Jeonghan.” Seokmin menggeser nasi bakar itu.

“Tumben, kamu biasanya pesen itu.” Jeonghan hanya diam mendengarkan Jisoo berbicara, apa-apain sih maksudnya dia begitu?

“Iya lagi pengen makan ayam cabe ijo.” Seokmin menerima ayam cabe ijo dari Seungkwan.

Lalu mereka fokus pada makanan mereka masing-masing.

“Enak ga yang?” Tanya Seokmin

Jeonghan mengangguk. “Agak pedes dikit, tapi masih bisa dinikmatin.”

“Kamu mau nyobain punya ku gak?”

“Pedes banget ya?”

Seokmin menggeleng. “Enak pokonya.” Seokmin menyuapi Jeonghan nasi ayam ijo miliknya. Jeonghan dengan senang hati menerimanya.

“Enakkan?” Jeonghan mengangguk.

“Aku mau bawa pulang tapi ayamnya aja boleh ga a?”

“Boleh dong, nanti pesen ya buat mama papa sama Jeongyeon juga.”

“Makasih aa.”

“Sama-sama sayang.”

Uhuk!

Seungkwan terbatuk-batuk karena mendengar ucapan kedua bucin itu.

“Ga pacaran tapi sayang-sayangan.” Cibir Seungkwan.

“Namanya juga php, Kwan.” Jawab Soonyoung

“Ngurusin gue mulu lu pada.” Ucap Seokmin

“Jangan mau dipanggil sayang kak, gorengan jatoh juga dipanggil sayang sama dia.” Ucap Seungkwan.

Jeonghan tertawa. “Masa aku disamain sama gorengan sih a.”

“Jangan di denger yang, kamu lebih berharga dari gorengan. Gorengan jatoh bisa aku beli lagi, tapi kalo kamu jatoh kan aku sedih jadinya. Percaya aku aja pokonya.” Seokmin langsung merangkul pinggang Jeonghan dengan sebelah tangannya yang tidak kotor.

“Oh ya Seok, besok weekend kamu ke rumah nenek kan? Nenek ulang tahun kan besok?” Tiba-tiba saja Jisoo bertanya. Seungkwan dan Soonyoung hanya diam.

“Iya Soo, besok nenek ulang tahun.”

“Kamu udah nyari kado belum? Mau barengan sama aku?” Tanya Jisoo

“Gue udah beli Soo.”

Jisoo mengangguk mengerti. “Kalo besok aku bareng kamu, oke gak?”

“Gue sama Jeonghan, Soo.”

“Oh, Jeonghan diundang juga?”

“Diundang, nenek kok yang ngundang.”

Lalu hening diantara mereka.

“A, aku mau ke toilet.”

“Deket pintu masuk tadi yang, mau aku anter gak?”

“Aku sendiri aja.” Jeonghan langsung pergi menuju toilet. Beberapa menit kemudian ia sudah selesai buang air kecil, saat sedang mencuci tangannya tiba-tiba saja Jisoo sudah berada disebelah Jeonghan.

“Lo tuh udah akrab ya sama keluarganya Seokmin?” Tanya Jisoo tanpa melihat Jeonghan.

“Lumayan sih.”

“Tapi sorry ya Jeonghan, lo dikenalin ke keluarganya tapi belum ada status, lo ga merasa janggal sama Seokmin?”

“Janggal gimana?”

Jisoo melipat kedua tangannya di dada. “Seokmin belum move on dari gue.”

Ingin rasanya Jeonghan guyur Jisoo dengan air dingin. Pede banget sih!

“Lo tau darimana kalo Seokmin belum move on?”

“Ya karena dia belum nembak lo.”

Jeonghan tertawa sinis. “Gini ya Jisoo, orang belum pacaran bukan berarti dia belum move on tapi emang mungkin dia lagi nyiapin diri buat orang selanjutnya, biar gak melakukan kesalahan yang sama sampe bikin si orang ini pergi kayak mantannya.”

Jisoo hanya diam.

“Gue juga tau kok kalo Seokmin sayang sama gue, gue ngerasain itu. Jadi, kalo lo merasa dia belum move on, coba lo ngaca dulu yang belum move on itu elo atau dia? Seokmin bilang kok, kalo dia ga bakal balikan sama mantannya, lo inget ga dulu dia pernah ngomong gitu sebelum kalian pacaran?”

Skakmat!

Dulu memang Seokmin pernah berbicara seperti itu, ia mengatakan kalau ia tidak akan pernah kembali pada orang yang sudah membuangnya.

“Jadi, sebaiknya lo yang move on. Mungkin, lo ga sadar kalo ada orang yang bener-bener pengen sama lo. Tapi yang jelas itu bukan Seokmin.” Jeonghan meninggalkan Jisoo yang masih membisu.

. . . . . . . . . . .

21.00

Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang, karena sudah malam dan lelah karena sudah beraktivitas dari pagi. Jisoo juga akhirnya Seungkwan yang mengantar pulang.

Jeonghan juga hanya diam saja daritadi.

“Kamu kenapa?” Tanya Seokmin yang peka melihat sikap Jeonghan.

Jeonghan menggeleng. “Gapapa kok a.”

“Aku tau loh kalo kamu bete.” Seokmin mulai menjalankan mobilnya.

Jeonghan menghela nafasnya. “A, kamu tuh udah move on kan dari Jisoo?”

“Tiba-tiba banget?” Jeonghan melihat kerutan di kening Seokmin. Mungkin dia bingung.

“Ya engga, aku kepikiran aja tiba-tiba. Soalnya kan kamu emang ga pernah bahas-bahas pacaran sama aku jadi aku kepikiran aja.”

Jeonghan merasakan tangannya di genggam oleh Seokmin.

“Masih ga percaya sama aku yang?”

Jeonghan menggeleng. “Cuma overthinking aja, a.” Jeonghan mengerucutkan bibirnya.

“Mending over loving me aja dah yang.”

“Ya itu juga udah over.”

Seokmin tertawa lalu mengacak-acak rambut Jeonghan. “Sabar aja sabar.”

“Okay, aku sabar. Aku sabar banget.” Seokmin makin tertawa melihat tingkah Jeonghan.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di depan rumah Jeonghan.

“Dah aku mau turun, hati-hati kamu a.” Ketika akan keluar tangan Jeonghan ditahan Seokmin.

“Jangan mikirin yang enggak-enggak, aku sayang kamu. Cuma itu yang perlu kamu tau.” Seokmin mengecup kening Jeonghan lumayan lama.

Jeonghan memeluk erat Seokmin, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seokmin lalu mengecup beberapa kali di sana.

“Aku juga sayang sama kamu a, aku percaya sama kamu.”

Seokmin dan Jeonghan lebih dulu sampai di sana, lalu keduanya menempati tempat yang biasa Seokmin dan teman-temannya tempati.

“Kamu mau makan apa yang?” Tanya Seokmin pada Jeonghan yang sedang mengelap tangannya dengan tissu basah.

“Ada apa aja sih a?” Jujur, ini pertama kalinya ia diajak ke tempat tongkrongan Seokmin. Pule hampir mirip dengan pasar lama yang kemarin mereka datangi, tapi bedanya ini hanya milik satu orang—seperti angkringan tapi lebih ke makanan berat.

“Banyak yang ada soto, bakso, nasi bakar, macam-macam ayam dan ikan, eh ada seafood juga dan lainnya.” Jeonghan masih belum menjawab, ia malah mengelap kedua tangan Seokmin juga dengan tissu basah.

“Yang rekomend apa a?”

“Aku sama anak-anak biasanya makan gado-gado tapi yang biasa bikin lagi pulkam jadi kalo beda tangan beda rasanya, tapi selain itu aku suka nasi bakar ayam nya sih yang, nanti pake sate-satean.”

“Yaudah aku nasi bakar aja.”

“Yaudah aku pesen dulu, minum air putih aja ya?” Jeonghan mengangguk. Seokmin langsung menuju kasir untuk memesan makanan, sedangkan Jeonghan sibuk dengan ponselnya.

“Kak?” Jeonghan menoleh dan mendapati Soonyoung di sana.

“Kok cepet sih?” Tanya Jeonghan

“Iyalah, kan gua kagak jemput orang dulu jadinya cepet.” Seokmin sudah selesai memesan dan kembali duduk di sebelah Jeonghan.

Beberapa menit kemudian Seungkwan dan Jisoo datang.

“Lu udah pesen nyong?” Tanya Seungkwan

“Belom, sekalian Kwan gue ayam geprek aja dah minumnya good day cappucino dingin.”

“Ayo Soo, lu udah pesen kan Seok?”

Seokmin mengangguk. “Dah gue.” Seungkwan dan Jisoo pergi ke kasir.

“Tadi Jisoo bareng sama Kwan, nyong?” Tanya Seokmin

“Kagak tau gua Seok, tapi tadi datengnya bareng sih.”

“Anterin balik nanti dah.”

“Lu aja napa, kak Jeonghan biar sama gue.”

Ucapan Soonyoung membuat Jeonghan sedikit terkejut.

“Ngaco banget lu.” Jawab Seokmin

“Emang ngapa dah?” Tanya Soonyoung lagi.

Seokmin menoyor kepala Soonyoung. “Pake nanya lagi lu.”

Soonyoung tertawa, lalu memakan tahu krispi yang Seungkwan beli tadi.

“Gapapa kok Seok kalo kamu mau anterin Jisoo, nanti aku sama soon aja.” Ucap Jeonghan, tapi jelas itu bukan 100% dari lubuk hati terdalam Jeonghan.

“Gak lah yang, yakali aku malah nganterin orang lain.” Ucap Seokmin, dan bertepatan dengan Seungkwan dan Jisoo yang sudah kembali ke tempat mereka.

“Lo berdua tuh udah jadian belom sih?” Tanya Seungkwan tiba-tiba.

Seokmin menggeleng. “Belom.”

“Lah kak, kok lu mau aja digantung sama masteng ini?” Soonyoung sendiri terkejut, ia juga baru tau.

Jeonghan tertawa canggung. “Tau nih soon, php doang kayaknya.”

“Wah parah sih, tampol nyong.” Ucap Seungkwan memanas-manasi. Makanan mereka datang secara bersamaan.

“Seok, ini nasi bakar kamu.” Jisoo menyerahkan makanan pesanan Seokmin.

“Makasih Soo, tapi ini punya Jeonghan.” Seokmin menggeser nasi bakar itu.

“Tumben, kamu biasanya pesen itu.” Jeonghan hanya diam mendengarkan Jisoo berbicara, apa-apain sih maksudnya dia begitu?

“Iya lagi pengen makan ayam cabe ijo.” Seokmin menerima ayam cabe ijo dari Seungkwan.

Lalu mereka fokus pada makanan mereka masing-masing.

“Enak ga yang?” Tanya Seokmin

Jeonghan mengangguk. “Agak pedes dikit, tapi masih bisa dinikmatin.”

“Kamu mau nyobain punya ku gak?”

“Pedes banget ya?”

Seokmin menggeleng. “Enak pokonya.” Seokmin menyuapi Jeonghan nasi ayam ijo miliknya. Jeonghan dengan senang hati menerimanya.

“Enakkan?” Jeonghan mengangguk.

“Aku mau bawa pulang tapi ayamnya aja boleh ga a?”

“Boleh dong, nanti pesen ya buat mama papa sama Jeongyeon juga.”

“Makasih aa.”

“Sama-sama sayang.”

Uhuk!

Seungkwan terbatuk-batuk karena mendengar ucapan kedua bucin itu.

“Ga pacaran tapi sayang-sayangan.” Cibir Seungkwan.

“Namanya juga php, Kwan.” Jawab Soonyoung

“Ngurusin gue mulu lu pada.” Ucap Seokmin

“Jangan mau dipanggil sayang kak, gorengan jatoh juga dipanggil sayang sama dia.” Ucap Seungkwan.

Jeonghan tertawa. “Masa aku disamain sama gorengan sih a.”

“Jangan di denger yang, kamu lebih berharga dari gorengan. Gorengan jatoh bisa aku beli lagi, tapi kalo kamu jatoh kan aku sedih jadinya. Percaya aku aja pokonya.” Seokmin langsung merangkul pinggang Jeonghan dengan sebelah tangannya yang tidak kotor.

“Oh ya Seok, besok weekend kamu ke rumah nenek kan? Nenek ulang tahun kan besok?” Tiba-tiba saja Jisoo bertanya. Seungkwan dan Soonyoung hanya diam.

“Iya Soo, besok nenek ulang tahun.”

“Kamu udah nyari kado belum? Mau barengan sama aku?” Tanya Jisoo

“Gue udah beli Soo.”

Jisoo mengangguk mengerti. “Kalo besok aku bareng kamu, oke gak?”

“Gue sama Jeonghan, Soo.”

“Oh, Jeonghan diundang juga?”

“Diundang, nenek kok yang ngundang.”

Lalu hening diantara mereka.

“A, aku mau ke toilet.”

“Deket pintu masuk tadi yang, mau aku anter gak?”

“Aku sendiri aja.” Jeonghan langsung pergi menuju toilet. Beberapa menit kemudian ia sudah selesai buang air kecil, saat sedang mencuci tangannya tiba-tiba saja Jisoo sudah berada disebelah Jeonghan.

“Lo tuh udah akrab ya sama keluarganya Seokmin?” Tanya Jisoo tanpa melihat Jeonghan.

“Lumayan sih.”

“Tapi sorry ya Jeonghan, lo dikenalin ke keluarganya tapi belum ada status, lo ga merasa janggal sama Seokmin?”

“Janggal gimana?”

Jisoo melipat kedua tangannya di dada. “Seokmin belum move on dari gue.”

Ingin rasanya Jeonghan guyur Jisoo dengan air dingin. Pede banget sih!

“Lo tau darimana kalo Seokmin belum move on?”

“Ya karena dia belum nembak lo.”

Jeonghan tertawa sinis. “Gini ya Jisoo, orang belum pacaran bukan berarti dia belum move on tapi emang mungkin dia lagi nyiapin diri buat orang selanjutnya, biar gak melakukan kesalahan yang sama sampe bikin si orang ini pergi kayak mantannya.”

Jisoo hanya diam.

“Gue juga tau kok kalo Seokmin sayang sama gue, gue ngerasain itu. Jadi, kalo lo merasa dia belum move on, coba lo ngaca dulu yang belum move on itu elo atau dia? Seokmin bilang kok, kalo dia ga bakal balikan sama mantannya, lo inget ga dulu dia pernah ngomong gitu sebelum kalian pacaran?”

Skakmat!

Dulu memang Seokmin pernah berbicara seperti itu, ia mengatakan kalau ia tidak akan pernah kembali pada orang yang sudah membuangnya.

“Jadi, sebaiknya lo yang move on. Mungkin, lo ga sadar kalo ada orang yang bener-bener pengen sama lo. Tapi yang jelas itu bukan Seokmin.” Jeonghan meninggalkan Jisoo yang masih membisu.

. . . . . . . . . . .

21.00

Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang, karena sudah malam dan lelah karena sudah beraktivitas dari pagi. Jisoo juga akhirnya Seungkwan yang mengantar pulang.

Jeonghan juga hanya diam saja daritadi.

“Kamu kenapa?” Tanya Seokmin yang peka melihat sikap Jeonghan.

Jeonghan menggeleng. “Gapapa kok a.”

“Aku tau loh kalo kamu bete.” Seokmin mulai menjalankan mobilnya.

Jeonghan menghela nafasnya. “A, kamu tuh udah move on kan dari Jisoo?”

“Tiba-tiba banget?” Jeonghan melihat kerutan di kening Seokmin. Mungkin dia bingung.

“Ya engga, aku kepikiran aja tiba-tiba. Soalnya kan kamu emang ga pernah bahas-bahas pacaran sama aku jadi aku kepikiran aja.”

Jeonghan merasakan tangannya di genggam oleh Seokmin.

“Masih ga percaya sama aku yang?”

Jeonghan menggeleng. “Cuma overthinking aja, a.” Jeonghan mengerucutkan bibirnya.

“Mending over loving me aja dah yang.”

“Ya itu juga udah over.”

Seokmin tertawa lalu mengacak-acak rambut Jeonghan. “Sabar aja sabar.”

“Okay, aku sabar. Aku sabar banget.” Seokmin makin tertawa melihat tingkah Jeonghan.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di depan rumah Jeonghan.

“Dah aku mau turun, hati-hati kamu a.” Ketika akan keluar tangan Jeonghan ditahan Seokmin.

“Jangan mikirin yang enggak-enggak, aku sayang kamu. Cuma itu yang perlu kamu tau.” Seokmin mengecup kening Jeonghan lumayan lama.

Jeonghan memeluk erat Seokmin, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seokmin lalu mengecup beberapa kali di sana.

“Aku juga sayang sama kamu a, aku percaya sama kamu.”

Seokmin merasakan tubuhnya pegal karena daritadi Jeonghan tidak melepaskan pelukannya.

“Udah malem nih, pulang ya aku?” Tanya Seokmin yang dibalas dengan pelukan yang mengerat.

“Lah gimana dah ini makin kenceng meluknya, besok kerja nih kesiangan deh aku.” Seokmin memainkan rambut Jeonghan yang sedikit panjang.

“Bentar lagi.” Balas Jeonghan.

Lalu keheningan menyelimuti mereka, Seokmin sibuk dengan menciumi rambut Jeonghan sedangkan Jeonghan sibuk menghirup aroma parfum Seokmin. Beberapa menit kemudian Jeonghan melepaskan pelukannya.

“Kan besok ketemu lagi.” Ucap Seokmin sambil mengelus-elus pipi Jeonghan ketika laki-laki itu cemberut.

“Besok aa jemput gak?” Jeonghan mengambil tangan Seokmin yang berada di pipinya.

“Kamu mau dijemput?”

Jeonghan mengangguk. “Mau nyobain ke pule dong, a.”

“Yaudah besok aku jemput terus kita ke pule.”

“Oh ya, aku ambilin jaket kamu dulu.” Jeonghan bergegas masuk untuk mengambil beberapa jaket milik Seokmin, sedangkan Seokmin membereskan semua sampah bekas jajanan mereka. Tadi, jajanan itu akhirnya tidak bisa Jeonghan makan semua, dan berakhir Soonyoung dan Jeongyeon yang menghabiskannya.

“Nih a.” Jeonghan memberikan paperbag ukuran besar berisi jaket-jaket Seokmin—ada 8 jaket yang diambil alih Jeonghan.

“Berasa abis ambil laundry.” Seokmin menerima paperbag itu, tapi lagi-lagi tubuhnya di peluk oleh sang pujaan hati.

“Gak pulang-pulang deh.” Jeonghan mendongak menatap Seokmin, membuat Seokmin mau tidak mau menunduk untuk menatap Jeonghan lalu mengecup bibir Jeonghan. Awalnya hanya sebuah kecupan, lama-kelamaan menjadi sebuah lumatan yang membuat Jeonghan sedikit mengerang ketika dengan sengaja Seokmin menggigit bibir bawahnya dengan sedikit kencang.

Jeonghan mengelus bibirnya yang sedikit sakit. “Kanibal.”

“Lagian siapa suruh bibirnya enak, hm?” Seokmin kembali mengecup bibir itu.

“Aa, aku mau tanya.”

“Tanya apa?” Seokmin menaruh paperbag tadi lalu duduk kembali dan kemudian menarik Jeonghan untuk duduk di pangkuannya.

“Aa dulu sama Jisoo gini juga?”

“Gini gimana?”

“Ya manis gini, bisa bikin bete ilang.” Jeonghan menangkup wajah Seokmin.

“Jujur iya, abisnya kamu sama Jisoo kalo bete harus dimanjain. Cuma bedanya, kalo Jisoo itu ga bisa diajak ke tempat-tempat murah, dia bisa ke pule aja udah sebuah anugrah. Tapi bukan berarti aku bisa bilang nenangin kamu itu lebih gampang, intinya kalian punya sifat yang berbeda. Dan yang sekarang pengen aku turutin terus ya kamu bukan Jisoo.”

Jeonghan mengangguk mengerti, lalu ia mengecup seluruh wajah Seokmin. Sedangkan Seokmin memejamkan matanya menikmati bibir kenyal Jeonghan menyentuh seluruh wajahnya.

Kemudian Jeonghan bangkit dari duduknya, dan menarik tangan Seokmin agar ikut bangkit.

“Udah nih aku boleh pulang?” Tanya Seokmin

Jeonghan tertawa. “Maaf ya aku nahannya lama banget.”

“Gapapa, aku juga maunya sama kamu terus cuma ga enak sama tetangga.”

Jeonghan mengangguk. “Makasih ya a udah mau ajak aku jajan.”

“Sama-sama, tapi besok-besok jangan banyak-banyak ya jajannya? Aku gapapa kalo banyak, asal abis. Untungnya tadi ada nyong sama Jeongyeon yang bantuin, kalo ga kan jadi buang-buang makanan.”

“Iya aa, maaf ya tadi aku laper mata.”

Seokmin tersenyum. “Ini yang bikin kamu beda sama Jisoo. Kamu cenderung lebih penurut kalo aku bilangin.”

“Iya ya, kenapa aku nurut banget? Kan aku lebih tua dari kamu.”

“Nurut sama kepala rumah tangga itu pahala tau.”

Jeonghan mencubit pipi Seokmin. “Kasih aku status dulu.” Seokmin hanya tertawa.

“Aa tuh kenapa sih kalo aku bilang gitu ketawa mulu? Aa gak lagi ngerjain aku kan?”

“Ngerjain apa? Kalo ngerjain kamu mana mau aku diajak ke pasar rame kayak tadi, mending gofood-in aja.”

“Ya abis aa kalo aku bahas itu langsung mengalihkan pembicaraan.”

“Kan aku udah bilang, pelan-pelan aja aku gak mau buru-buru dan nantinya malah ga jadi. Yang penting sabar sama aku, oke?”

Jeonghan mengangguk. “Tapi awas ya kalo aa cuma PHP-in aku.”

“Hamba mana berani PHP-in paduka Yoon Jeonghan. Intinya, sabar. Santai aja, aku ga bakal kemana-mana dan aku pastiin kamu juga gak bakal kemana-mana.”

“Aku suka kepedean kamu.”

Seokmin tertawa. “Udah ah, pulang ya?”

“Hati-hati ya a.”

“Iya sayang.” Wajah Jeonghan bersemu merah ketika mendengar panggilan dari Seokmin.

Seokmin mencium kening Jeonghan. “Sayang kamu.”

“Sayang aa juga.”

Jisoo

Jisoo hampir duduk di depan kalau saja Seokmin tidak menahannya.

“Soo, maaf kamu duduk dibelakang aja gapapa ga?”

Pertanyaan Seokmin membuat Jisoo terkejut. Pasalnya, baru kali ini Seokmin melarangnya untuk duduk disebelahnya.

“Maaf ya Soo, Jeonghan gak bisa duduk dibelakang soalnya.” Dada Jisoo terasa sangat sakit ketika Seokmin menyebutkan nama itu. Tidak mau berdebat, akhirnya Jisoo mengalah dan ia langsung duduk di kursi belakang.

Setelahnya, mobil Seokmin melaju menuju tempat dimana Jeonghan berada. Beberapa menit kemudian mereka sampai di sana, dan Seokmin memberitahu pada Jeonghan kalau ia sudah sampai.

“Maaf lama ya?” Jeonghan duduk sambil membawa plastik berisi minuman dari cafe yang tadi ia datangi.

“Beli es lagi?” Tanya Seokmin sambil menjalankan mobilnya.

“Aku belum minum es tau dari kemaren.” Jisoo memperhatikan keduanya dari belakang. Dimana Jeonghan yang menusukkan sedotan ke minuman yang ia bawa, setelahnya ia seruput sedikit lalu memberikannya pada Seokmin—agar Seokmin mencobanya—itu yang sering Jisoo lakukan dulu untuk Seokmin.

Lalu Seokmin menggerakkan kepalanya memberitahu Jeonghan kalau ada Jisoo dibelakang mereka.

“Oh, hai gue Jeonghan. Sorry ya lupa kalo ada orang.” Jeonghan merentangkan satu tangannya dan Jisoo menjabatnya. “Gue Jisoo, gapapa kok.” Jisoo memaksakan senyumnya.

Lalu suasana hening, karena Jeonghan sibuk dengan ponselnya dan Seokmin sibuk memperhatikan jalan. Sedangkan Jisoo hanya diam memperhatikan keduanya dari belakang.

“Chat siapa sih?” Itu suara Seokmin. Jisoo melihat Seokmin sedikit melongok ke ponsel Jeonghan ketika mereka berada di lampu merah.

“Ini temen aku, kan tadi foto-foto pake hp dia terus baru dikirimin hasilnya.” Jawab Jeonghan, Seokmin terlihat senang melihat gambar di ponsel Jeonghan, sesekali ia mengelus kepala Jeonghan sambil beberapa kali mengucapkan kata cantik ketika melihat foto Jeonghan sendirian.

“Aku mau dong foto kamu, kirim ke hp aku.” Ucap Seokmin sambil kembali menjalankan mobilnya ketika lampu sudah hijau. Dan dari yang Jisoo lihat, Jeonghan dengan senang hati mengirimnya karena beberapa detik kemudian terdengar notifikasi pesan dari ponsel Seokmin—yang nada deringnya tidak ia ganti dari dulu.

Dulu, ia yang ada di posisi Jeonghan.

Dulu, ia yang selalu dianggap cantik oleh Seokmin.

Dulu, ia juga yang selalu mengirimkan foto random untuk Seokmin.

Tapi sekarang, posisinya sudah digantikan oleh seseorang yang mungkin lebih bisa menerima Seokmin dibanding dirinya. Inikah saatnya ia harus benar-benar melepaskan Seokmin? Membiarkan Seokmin bahagia dengan pilihannya?

Tapi lagi-lagi hatinya membantah, menurutnya Seokmin hanya akan bahagia dengan dirinya. Anggap saja Jisoo egois, karena dia yang memaksa Seokmin pergi dari hidupnya tapi ia juga yang ingin Seokmin kembali.

Lalu tiba-tiba saja ponsel Seokmin berdering karena ada telepon masuk.

“Tolong liatin dong, siapa yang telpon?” Jeonghan langsung melihat ke ponsel Seokmin.

“Mama yang telpon.” Jawab Jeonghan

“Angkat.”

“Aku yang ngomong?” Seokmin mengangguk, lalu Jeonghan mengangkat telpon itu.

“Halo ma, ini Jeonghan aa nya lagi nyetir.”

Mama, Soo ada disini juga tapi sekarang bukan Soo lagi yang harus bantu aa angkat telepon mama.

Jeonghan menutup telponnya. “Mama minta dibeliin sate Padang depan sd itu a, beli 3 katanya.”

“Okay, thank you.”

Dan sampai lah mereka di depan rumah Jisoo.

“Kamu mau mampir dulu, Seok?” Tanya Jisoo

“Kayaknya ga usah ya Soo, soalnya musti anter Jeonghan juga takut kemaleman. Titip salam aja buat mami.”

Jisoo tersenyum miris. “Iya, titip salam juga sama mama. Kapan-kapan aku main ke rumah lagi ya Seok. Kalo gitu aku duluan, Jeonghan duluan ya?” Jeonghan mengangguk dan tersenyum singkat.

Selepas Jisoo pergi, Seokmin tertawa melihat Jeonghan yang cemberut.

“Kenapa?” Seokmin menepuk-nepuk kepala Jeonghan.

Jeonghan mengerucut bibirnya. “Dia sedeket itu sama mama ya?”

“Ya gimana kamu kan tau mama deket sama siapa aja, jadi jangan kaget kalo dia bilang gitu.”

“Iya sih, aku baru sekali ketemu mama juga langsung akrab.”

Seokmin mengangguk. “Kamu mau langsung pulang atau mau main ke rumah dulu?”

“Pulang aja a, udah malem juga ga enak sama orang rumah kamu.”

“Okay, weekend udah aku booking loh ya.”

“Iya, tapi emang gapapa ya a kalo aku ikut ke acara arisan keluarga kamu?”

“Ya gapapa dong, kan nantinya bakal jadi keluarga juga.”

Jeonghan mencubit perut Seokmin pelan. “Kasih aku status dulu baru boleh ngomong gitu.” Seokmin tertawa tapi ia tidak menjawab ucapan Jeonghan membuat Jeonghan bertanya-tanya sebenarnya Seokmin ini serius gak sih sama dia?

Setelah mengantar Jisoo, saat ini keduanya sudah sampai di depan rumah Jeonghan.

“Bersih-bersih ya, kalo ngantuk langsung tidur nanti aku kan mau beli sate dulu, kalo aku ga bales chat berarti hp aku mati.” Seokmin memperlihatkan ponselnya yang habis baterai.

Jeonghan mengangguk. “Kamu hati-hati pulangnya ya a.” Jeonghan hendak membuka pintu mobil tapi tangannya di tahan oleh Seokmin.

Seokmin menariknya ke dalam pelukannya, sesekali mengecup pucuk kepala Jeonghan.

“Gak usah takut aku ga serius sama kamu, gak usah takut aku berpaling lagi ke Jisoo, aku gak bakal pergi kalo bukan kamu yang minta. Gak usah takut juga nantinya kita gimana, intinya nikmatin dulu aja yang sekarang.” Jeonghan mengeratkan pelukannya pada Seokmin. Menghirup aroma parfum laki-laki yang beberapa bulan terakhir ini merebut hatinya.

“Aku sayang sama kamu, kak.”

“Aku juga sayang sama kamu, a.”

ngedate...

Seokmin mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di depan rumah Jeonghan. Sedikit merapihkan penampilannya, kemudian ia keluar dari mobilnya. Di depan Jeonghan sudah menunggunya.

“Rapih banget.” Ujar Jeonghan sambil membukakan gerbang rumahnya.

“Masa mau ngedate ga rapih.” Jeonghan tertawa, lalu keduanya masuk ke dalam rumah Jeonghan.

“Papa mama lo ada kan kak?”

Jeonghan mengangguk. “Bentar ya Seok, lo duduk aja dulu.” Seokmin pun duduk di sofa ruang tamu Jeonghan, sambil menunggu Jeonghan yang memanggil kedua orang tuanya.

“Pa, ma, ini Seokmin temen kakak oh ya temennya soon juga.” Seokmin bangun dan menyalami tangan kedua orang tua Jeonghan.

“Duduk nak Seokmin.” Papa Jeonghan ikut duduk dengan Seokmin.

“Bikinin minum sana kak.” Ucap mama Jeonghan

“Oh ya lo mau minum apa Seok?” Tanya Jeonghan

“Kayaknya ga usah deh kak, kan mau langsung jalan aja. Om tante jadi gini saya kesini mau izin ngajak kak Jeonghan pergi, nanti sebelum jam 10 udah sampai rumah.” Ucap Seokmin

“Oh mau ngajak jalan, biasanya temennya Jeonghan mah langsung aja Seok, malah jarang ada yang pamitan gini.” Ucap mama Jeonghan

“Iya tante, gak enak saya kalo ngajak pergi tapi ga izin.”

“Yaudah boleh, tapi jangan macem-macem ya.” Jeonghan merengek ketika mendengar ucapan papanya.

Seokmin tertawa. “Siap om, saya niatnya cuma mau ngajak nonton film bukan nonton kebakaran.”

“Nah itu kak maksudnya macem-macem, masa kebakaran di tonton.” Jeonghan masa bodo dengan ucapan papanya. Ia merasa papanya dan Seokmin 11 12.

Mama Jeonghan hanya tertawa kecil. “Terus mau jalan sekarang?”

“Iya Tante, mau ambil jam 5 biar pulangnya ga terlalu malem.”

“Yaudah sana kak siap-siap.” Mama Jeonghan agak mendorong kecil tubuh anaknya.

“Bentar ya Seok, gue tinggal ambil tas sama hp.” Seokmin mengangguk. Lalu Jeonghan sedikit berlari kecil menuju kamarnya. 3 menit kemudian ia sudah siap dengan tas yang menyampir di pundaknya.

“Yaudah om tante saya sama kak Jeonghan pergi dulu.” Seokmin kembali menyalami tangan kedua orang tua Jeonghan diikuti Jeonghan melakukan hal yang sama.

“Hati-hati ya kak.” Jeonghan mengangguk menanggapi papanya.

. . . . . . . . . .

Seokmin dan Jeonghan sudah memesan tiket untuk film yang mereka pilih.

“Mau beli minum gak kak?”

Jeonghan mengangguk. “Pengen Milo dinosaurs sama popcorn asin.”

“Mba, Milo dinosaurs satu, Java tea spesial satu, sama popcorn asin yang medium satu ya.” Seokmin mengeluarkan dua lembar seratus ribu dari dompetnya.

“Silahkan kak, ditunggu ya.” Seokmin dan Jeonghan tersenyum pada kasir lalu mereka bergeser ke tempat pick up makanan.

“Kok lo mulu sih yang bayar?” Tanya Jeonghan sambil mengambil pesanan mereka.

“Emang mustinya gimana?” Tanya Seokmin

“Ya patungan aja, lagian Lo kan belum harus bayarin semuanya.” Jawab Jeonghan

“Gue gini sih kak, kalo jalan berdua sama gue selalu bill on me. Tapi kalo lo ga nyaman, kapan-kapan kita split bill aja, oke?”

Jeonghan menatap Seokmin. “Seok, Lo tuh emang sering begini ya sama orang-orang?”

“Kenapa gitu?” Tanya Seokmin sambil tertawa.

“Ya lo baik ke semua orang.”

“Baik mah harus kak, tapi gue selalu bisa bedain kok mana yang harus gue prioritasin.”

“Btw lo belum pernah cerita tentang mantan lo deh, Seok. Gue penasaran.” Jeonghan menyeruput es nya.

“Ya gitu deh kak, gue pernah pacaran sekali itu juga sama anak satu sirkel gue awalnya kita pacaran aja kayak biasa terus pas gue masuk kerja waktu gue ga terlalu banyak untuk leha-leha, kurang juga buat dia, dia mutusin karena menurut dia gue udah ga prioritasin dia.” Jeonghan mendengarkan cerita Seokmin sambil memakan popcorn nya sedikit demi sedikit.

“Tapi lo masih sering ketemu sama dia?”

“Ya kalo ngumpul, tapi kalo berdua udah ga pernah soalnya gue ga mau dia berharap lagi, soalnya gue juga udah mupusin harapan gue ke dia kak.” Jeonghan mengangguk mengerti.

“Tapi dia masih suka caper gak sama lo?”

Seokmin tertawa. “Ya gitu, paling kalo ngumpul suka minta dijemput atau di anter balik, cuma ya gue usahain ga bener-bener berdua doang makannya gue suka ajak nyong bareng.”

“Nyesel kali dia mutusin lo.”

“Iya kali, tapi yaudah mau gimana lagian gue juga udah bilang ke dia kalo udah putus ya udah gitu, balik lagi jadi temen biasa.”

Saat mereka sedang asik berbincang, suara dari informasi bioskop mengambil atensi mereka.

“Udah boleh masuk tuh Seok, yuk?” Seokmin mengangguk, lalu membantu Jeonghan membawa popcorn nya.

. . . . . . . . . . . .

21.00

Saat ini keduanya sampai di depan rumah Jeonghan, setelah menonton tadi mereka memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu dengan Jeonghan yang membayar tentu saja.

“Thanks ya Seok buat hari ini.” Ucap Jeonghan sambil melepas seat belt nya.

“Sama-sama kak. Yuk, gue mau pamitan sama papa mama lo.” Seokmin ikut membuka seat belt nya.

Tapi buru-buru Jeonghan menahannya. “Gak usah, nanti gue aja yang bilang ke papa mama, lagian jam segini kayaknya mereka udah masuk kamar.”

Seokmin mengangguk mengerti, lalu kembali memasang kembali seat belt nya.

“Seok?”

Seokmin menoleh. “Ya?” Seokmin melihat Jeonghan terlihat gugup. “Kenapa kak, hm?”

“Aneh ga sih kalo gue pengen tau lo kemana aja, sama siapa aja atau lo lagi ngapain?”

“Lo mau gue kabarin terus kak?”

Jeonghan mengangguk kecil. “Aneh ya?”

Seokmin tersenyum lebar. “Gak dong, tapi ini lo nerima kan kalo gue deketin lo?”

“Iyalah, dari pas gue bolehin soon ngasih nomor gue ke Lo juga udah gue terima.”

“Oke gini, kak Jeonghan kalo misalkan gue chat lo tiap hari dari chat random sampe serius boleh kah?”

Jeonghan mengangguk malu. “Terutama itu, Seok.”

“Apa?”

“Kalo lo mau ngumpul sama geng Lo, apalagi pas ada mantan lo. Gue boleh ga dikabarin dulu? Gue ga mau tau dari orang lain.”

Seokmin mau teriak sekarang, Jeonghan benar-benar membuatnya gemas.

“Siap banget atuh kalo itu.” Jeonghan tertawa lalu mengangguk.

“Yaudah gue masuk ya?”

Seokmin mengangguk. “Bersih-bersih dulu ya sebelum tidur.”

“Okay, lo hati-hati pulangnya ya. Kabarin kalo udah sampe.”

Seokmin bergaya hormat. “Siap bos.”

Jeonghan keluar dari mobil Seokmin, kemudian Seokmin membuka kaca mobilnya.

“Kak?”

Jeonghan menoleh. “Kenapa?”

“Jangan gemes-gemes dong, kan gue belum boleh gigit.”

Jeonghan tertawa. “Gigit aja kalo berani.” Lalu ia langsung masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Seokmin yang terpaku.

“Gila dah Yoon Jeonghan efeknya nyampe bikin panas dingin gini.”

2 tahun kemudian.

“Audy, jangan lari-larian sayang nanti jatuh.”

Suara Jeonghan menggema di ruang tengah—yang cukup untuk menyambut Seungcheol yang baru pulang dari kantor.

“Audy, hayo kalo dibilangin papa nurut ya nak.” Seungcheol menangkap Audy yang masih aktif berlari.

Choi Audy. Anak pertama dari Choi Seungcheol dan Lee Jeonghan. Usia Audy sekarang sudah 1,5 tahun yang dimana ia sedang aktif ke sana kemari dan mengoceh.

“Papapapa.”

Jeonghan mendekati suaminya dan anaknya itu.

“Capek ya?” Tanya Seungcheol sambil mengecup kening Jeonghan.

“Sedikit, tapi banyak serunya.”

Seungcheol tersenyum. “Makasih ya papa, udah jagain Audy.” Jeonghan tertawa. “Apaansi mas. Udah kamu bersih-bersih dulu sana, jangan dibiasain abis dari luar langsung gendong anaknya.”

“Oh ya lupa yang.” Seungcheol mengecup pipi Audy dan langsung menurunkan anaknya itu dari gendongannya. “Daddy mandi dulu ya cantik.”

. . . . . . . . . . .

“Tadi Koko kesini.” Saat ini keduanya sudah berada di kamar mereka. Setelah menidurkan anaknya, Jeonghan harus menidurkan bapak anaknya.

“Oh ya? Ngapain?”

“Nanya-nanya aja sih buat proses persalinan.”

“Berapa bulan sih dia?”

“Udah 8 bulan.”

“Lah bentar lagi ya.”

Jeonghan mengangguk. “Dia bilang bosen di rumah kalo mas Mingyu kerja.”

“Ya gimana ya yang, Mingyu kan emang lagi naik daun gara-gara menjadi pewaris tunggal keluarga Kim.”

Minghao dan Mingyu menikah setelah 3 bulan Jeonghan melahirkan—satu tahun yang lalu—dan saat ini Minghao sedang mengandung buah cinta mereka.

Mingyu kembali menjadi pewaris tunggal di keluarga nya—karena sang papa tiba-tiba saja mengalami stroke ringan yang membuatnya tidak bisa mengurus bisnisnya. Minghao sendiri sudah berhenti bekerja setelah ia dinyatakan hamil, Mingyu menyuruhnya untuk tidak beraktivitas banyak di luar rumah.

“Sayang, kamu sendiri bosen ga di rumah?”

“Engga mas, aku seneng malah apa karena ada Audy ya mas?”

“Bisa jadi sih, cuma kalo kamu bosen kamu bilang ya? Biar nanti gantian sama mas, kamu me time atau ketemu sama Jisoo atau jalan sama Koko.”

“Emangnya mas bisa mandiin Audy?”

“Loh bisa lah, kan aku suami siaga. Siap jaga kalo suami mau kemana-mana.”

Jeonghan tertawa. “Iya-iya nanti aku bilang. Tapi untuk sekarang aku masih belum butuh-butuh amat, masih pengen lama-lama sama Audy.”

“Okay, mas ngerti. Sekarang bobok, kamu pasti capek seharian ngurusin Audy yang super aktif itu.”

“Lucu tau mas, aku seneng banget kita bisa ikutin tumbuh kembang dia.”

“Tapi mas jarang.”

“Tapi kan aku kirimin videonya.”

“Iya-iya, tapi mas maunya langsung.”

“Makannya jangan lembur terus.”

“Mana ada, baru sekali kemarin.”

Jeonghan tertawa lagi. “Kalo di inget-inget ya mas, lucu juga ya dulu. Kita hampir pisah karena kamu keseringan lembur, mana aku ngiranya selingkuh lagi padahal kamu lagi sibuk ngurusin hadiah ulang tahun aku. Kalo dipikir-pikir aku egois banget dulu.”

“Gak lah yang, kita cuma salah paham aja waktu itu. Mas juga waktu itu salah, jadi ya kita sama-sama salah.”

“Damai ya mas?” Jeonghan menunjukkan jari kelingkingnya dan dengan cepat Seungcheol menautkan jari kelingkingnya ke kelingking Jeonghan.

“Damai.”

Keduanya tertawa. Lalu tidak tau siapa yang memulai, bibir keduanya sudah saling bertaut.

“Love you, mas-ku.” Ucap Jeonghan setelah melepaskan bibir keduanya.

“Love you too, sayang.” Kemudian bibir keduanya kembali bertaut.

“Mas, boleh minta lebih gak sayang?” Tanya Seungcheol dengan nafas tersengal.

“Boleh, mas.”

Mari kita tinggalkan pasangan kita.. bye-bye..

End.

Seungcheol berlari secepat mungkin di lorong rumah sakit. Setelah mendapat kabar buruk kalau suaminya pingsan ia langsung tiba-tiba meninggalkan meeting yang sedang berlangsung.

“Soo.”

“Mas, Jeonghan di dalem.”

“Ada apa sih ini? Kenapa Jeonghan jadi begini?”

“Gue juga gak tau mas, karena kejadiannya secara tiba-tiba aja. Jeonghan makan, dan pingsan dan kesakitan di bagian perutnya tiba-tiba. Gue curiga dia keracunan makanan mas.”

Seungcheol meremas rambutnya. Lagi-lagi ia gagal menjaga Jeonghan.

“Mas?” Sekarang orang tuanya dan mertuanya sudah datang.

“Jeonghan, kenapa mas?”

“Mas masih gak tau pa, tadi Jeonghan pergi sama Jisoo Sowon tapi Jisoo bilang Jeonghan tiba-tiba pingsan dan sakit di perutnya. Ini masih ditangani dokter.”

“Maaf ya pa mas gagal lagi jaga Jeonghan.” Ucap Seungcheol pada Donghae

“Bukan salah kamu mas, udah gapapa. Berdoa semoga Jeonghan baik-baik aja.” Donghae menepuk-nepuk pundak Seungcheol. Dan Seungcheol mengangguk.

Hampir 30 menit Jeonghan ditangani oleh dokter.

“Gimana Dok suami saya?” Tanya Seungcheol ketika melihat dokter keluar.

“Ini semua keluarganya?”

“Iya, kami semua keluarganya.” Jawab Sooyoung.

“Oke kalau begitu, saya bicarakan disini saja ya.”

“Sebenarnya ada apa dok? Apa yang terjadi sama mantu saya?”

“Pak Jeonghan mengalami kram perut.”

“Apa dari makanan ya dok?”

“Bisa jadi, makanan itu dicampur sesuatu. Ntah di sengaja atau tidak disengaja.”

“Maksud dokter?”

“Pak Jeonghan baru saja mengkonsumsi obat penggugur kandungan.”

menyelesaikan semuanya...

Clara duduk dengan gelisah di pojok cafe itu.

“Sorry, aku telat.”

Clara melihat Mingyu yang baru datang. Clara selalu mendambakan Mingyu di setiap harinya.

“Gapapa, Gyu. Kamu mau pesen apa?”

Mingyu langsung melihat-lihat buku menu, dan memilih salah satu makanan dan minuman.

“Kamu udah bilang sama calon kamu kan Gyu?”

Mingyu mengangguk. “Kamu mau ngomongin apa?”

Belum sempat menjawab, makanan mereka datang.

“Mingyu, aku mau minta maaf sama kamu tentang kejadian beberapa tahun yang lalu. Aku minta maaf karena udah keterlaluan ke kamu.”

Mingyu hanya diam, mendengarkan Clara yang sedang berbicara.

“Mingyu, aku sayang sama kamu itu tulus, aku bahkan gak pernah sekalipun punya niat untuk mempermalukan kamu waktu itu.”

“Tapi kenapa kamu lakuin, cla?”

Clara menundukkan kepalanya.

“Mama aku sakit, Gyu. Bahkan sekarang keadaannya udah gak sesehat dulu. Semenjak papa ninggalin kita berdua, gaji ku ga cukup untuk pengobatan mama jadi aku di tolong sama sepupuku, dia yang bayarin semuanya dan termasuk dia yang nyuruh aku ngelakuin itu ke kamu.”

“Kenapa, cla?”

“Sepupu ku gak suka liat aku bahagia, dia juga yang jadi dalang biar seakan-akan aku yang jahat disini. Dia iri sama aku, Gyu.”

“Iri sama kamu? Iri kenapa?”

“Iri karena Seungcheol suka sama aku.”

“Dia suka sama Seungcheol?” Clara mengangguk.

“Tapi dia tau sekarang Seungcheol udah menikah?”

“Tau kok, Gyu. Selain mau minta maaf, ada yang mau aku kasih tau ke kamu.”

“Apa?”

“Sepupu aku itu mau ngelakuin hal jahat ke Jeonghan. Aku gak tau apa yang bakal dia lakuin, tapi yang pasti sesuatu yang jahat.”

“Kenapa kamu kasih tau cla?”

“Mingyu, kamu bener suatu saat nanti bakal ada seseorang untuk aku. Dan hari ini, aku mau berhenti bantu dia ngelakuin hal jahat itu. Aku bantu dia karena cuma dia yang bisa bantu aku bayarin biaya rumah sakit mama. Tapi sekarang tabungan aku udah cukup, aku yakin aku bisa biayain mama sendiri.”

“Cla, sorry kamu harus ngalamin hal ini.”

“Gapapa, Gyu. Aku ikhlas. Kamu mau kan maafin aku?”

Mingyu mengangguk. “Pasti, cla. Btw kamu gak mau ketemu Seungcheol dulu? Kali aja dia bisa bantu kamu.”

“Aku titip salam aja buat Seungcheol ya, Gyu. Oh ya, ini juga hari terakhir aku di Indonesia, nanti malem aku mau ke London di sana masih ada adiknya mama yang mau bantu aku untuk jagain mama selama aku kerja.”

“Cla, aku berdoa yang terbaik untuk kamu. Sehat-sehat ya kamu di sana.”

Clara mengangguk. “Mingyu, aku boleh peluk kamu untuk yang terakhir kalinya gak?”

“Boleh, cla.”

Mingyu lebih dulu memeluk Clara. Mengelus-elus kepala Clara—seperti yang dulu ia dan Seungcheol lakukan ketika Clara kehilangan papanya.

Mingyu merasakan bajunya basah—Clara menangis.

“Maafin aku sekali lagi, Mingyu. Semoga kita bisa baik-baik dikemudian hari.”

Mingyu melepaskan pelukannya. Menangkup pipi Clara.

“Kabarin aku terus ya?”

Clara mengangguk. “Maaf aku gak bisa dateng ke acara pernikahan kamu. Tapi aku selalu berdoa semoga kamu dan pilihan kamu bahagia terus. Cepet baikkan sama orang tua kamu.”

“Aamiin, makasih ya cla.”

“Mingyu, tapi kamu harus cepet samperin Jeonghan. Sebelum semuanya terlambat. Sepupu aku itu jahat banget, dia gak akan berhenti sebelum dapet apa yang dia mau.”

Mingyu mengangguk. “Aku duluan, ya. Maaf gak bisa anter kamu ke bandara. Hati-hati pulangnya, ya.”

Mingyu akan melangkah pergi tapi ia ditahan oleh Clara.

“Kamu belum tau sepupu ku.”

“Oh ya, sepupu kamu yang mana? Namanya siapa?”

“Sojung.”

“Hah? Sojung? Cla, dia—.” Ucapan Mingyu terpotong.

“Sowon.”

Hah? Tadi Sojung sekarang Sowon. Ada apa sebenarnya?

“Sowon temannya Jeonghan?”

Clara mengangguk. “Sowon itu Sojung.”