5 bulan sudah usia kandungan Jeonghan, membuat Jeonghan lebih berhati-hati dalam bergerak.
“Nah ini susu untuk papa dan bayi.” Jeonghan tertawa mendengar suara Seungcheol yang terlalu dibuat-buat seperti anak kecil.
“Bapak jadi sering kesini ya? Gak dimarahin sekretarisnya?”
“Donita tuh akhir-akhir ini lagi sensi sama saya, Han. Galak dia, tapi tetep menggemaskan sih walaupun dikit.”
Jeonghan tersenyum mendengar ucapan Seungcheol. Sejak dulu Seungcheol selalu membawa-bawa nama Donita, Jeonghan jadi makin yakin kalau selama ini dirinya lah yang jahat.
“Pak Seungcheol, ada yang mau saya omongin ke bapak.”
Seungcheol menyeruput kopi nya. “Apa? Kayaknya penting banget.”
“Ini tentang kita.”
Jeonghan melihat kerutan di kening Seungcheol tapi langsung ia elus agar kerutan itu tidak nampak lagi—kata Jeonghan Seungcheol jelek kalau punya kerutan.
“Pak Seungcheol, sebelumnya saya mau minta maaf yang sebesar-besarnya lagi ke bapak.”
“Minta maaf karena apa Han? Kamu ada salah apa sama saya?”
“Salah saya banyak sama bapak, sama Donita. Saya bahkan gapapa kalo bapak dan Donita gak mau maafin saya.”
“Jeonghan?”
“Pak, jangan potong omongan saya dulu ya?”
Mau tidak mau Seungcheol mengangguk.
“Pak Seungcheol, saya sadar ternyata selama ini usaha saya untuk buat pak Seungcheol cinta sama saya gak berhasil, selama apapun saya berusaha hasilnya sia-sia. Karena bapak gak akan pernah punya perasaan ke saya seperti bapak punya perasaan ke Donita. Sampai kapanpun saya gak akan pernah bisa menggantikan Donita di hati bapak.”
Jeonghan menggenggam erat tangan Seungcheol, matanya pun sudah berlinang air mata.
“Awalnya saya ga perduli sama apapun, yang terpenting bagi saya adalah pak Seungcheol sama saya. Saya ga perduli sama perasaan Donita, bahkan saya ga perduli sama perasaan bapak. Saya cuma perduli sama perasaan saya. Itu membuat saya gelap mata, pak. Bahkan saya sengaja jebak bapak sampai saya hamil. Dan lagi-lagi saya disadarkan bahwa sex dan kehamilan gak akan bikin seseorang menjadi milik saya.”
“Jeonghan, tapi saya sudah berusaha nerima kamu. Apa kurang semua usaha saya?”
Jeonghan menggeleng. “Lebih dari cukup pak, tapi bapak pernah nyadar ga sih kalo setiap kita ngobrol bapak selalu bawa-bawa nama Donita. Donita ga suka ini, Donita ga suka itu, kalo Donita ga begini, Donita ga begitu. Bahkan Jun ngerasain itu waktu dia ngobrol sama bapak.”
Seungcheol terdiam. Jujur ia sama sekali tidak sadar. Apa karena memang ia masih mencintai Donita? Apa karena sudah terbiasa dengan Donita? Dan, ternyata bukan cuma dia yang sakit, tapi Jeonghan juga.
“Pak, saya ikhlas kalo bapak mau kembali sama Donita. Saya ga mau lagi jadi penghalang untuk orang lain. Saya capek terus dihantui oleh rasa bersalah, saya mau tenang saya mau tentram saya gak mau lagi terlibat dalam masalah ini ya walaupun saya tau saya biang masalahnya. Saya memang selalu membuat orang-orang sengsara, makannya saya ga mau lagi kayak gitu.”
Jeonghan menangis terisak-isak, ia tidak tau kenapa rasanya sakit sekali. Tapi ini keputusannya, ia hanya perlu belajar menerima kenyataan. Kalau semua yang ia ingin belum tentu bisa ia dapat, termasuk cinta Seungcheol.
“Jadi, sekarang bapak boleh pergi sama Donita. Bapak harus cari bahagianya bapak, bapak ga akan pernah dapet dari saya karena bukan saya yang bapak mau. Masalah anak ini, saya gak akan halang-halangi bapak kalau nanti bapak mau ketemu sama dia pas dia lahir. Saya juga minta izin untuk pakai marga bapak di namanya karena jujur saja saya sendiri ga punya marga pak tapi saya tetep maksa pake marga papa saya, saya cuma gak mau anak saya ngalamin apa yang saya alamin.”
Seungcheol menghapus air matanya, ia juga tidak tau kenapa jadi begini? Kenapa harus berakhir seperti ini?
“Sekarang bapak boleh pergi, saya gak bakal menghalangi bapak. Oh ya pak, projek yang saya pegang udah selesai, saya juga sudah resign jadi kita sudah tidak ada hubungan apapun kecuali dari anak.”
Jeonghan menarik tangan Seungcheol—membantu Seungcheol berdiri. Lalu ia memeluk Seungcheol, menghirup aroma tubuh Seungcheol yang mungkin tidak bisa lagi ia hirup.
“Pelukan terakhir.” Jeonghan berjinjit untuk mengecup bibir Seungcheol. “Kecupan terakhir.”
Lalu Jeonghan melepaskan pelukannya. Tapi kali ini Seungcheol kembali memeluknya. “Terima kasih, Jeonghan. Terima kasih.”
Jeonghan mengangguk dengan air mata uang masih mengalir. Beberapa menit kemudian Seungcheol melepaskan pelukannya dan mengecup kening Jeonghan lumayan lama. Mungkin, ini juga yang terakhir kali untuknya.
Setelah itu, Seungcheol berjalan menuju pintu. Menoleh menatap Jeonghan. “Terima kasih sekali lagi.” Lalu ia keluar dan menghilang dari pandangan Jeonghan.
Jeonghan berpegangan pada meja makan, sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. “Maaf sayang, maaf kamu cuma harus sama papa.”
End.