Dasar anak sialan.
Mati aja sana, dasar ga guna.
Kata-kata itu selalu berputar-putar dipikirannya.
“Bukan salah Han, mah. Maaf.” Jeonghan terus merapalkan kalimat itu sambil menutup telinganya. Seakan-akan kejadian itu terjadi sekarang.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Badannya bergetar ketika lagi-lagi suara itu memasuki pikirannya.
“Han?” Jun sampai di sana dengan wonwoo. Jeonghan bahkan tidak mendengar Jun yang berhasil membuka pintu apartemennya.
“Jeonghan, hey tarik nafas, buang, tarik lagi, buang lagi.” Jeonghan mengikuti arahan Wonwoo. Beberapa menit kemudian nafasnya sudah kembali teratur.
“Kenapa Han, kenapa bisa kambuh?” Tanya Jun panik.
“Donita tau, dan dia bahas masa lalu gue. Jun, gue gak masalah dia mau marah sama gue, tapi ga seharusnya dia nyuruh gue mati. Jun, apa emang seharusnya gue mati aja ya? Gue nyusahin semua orang.”
Jun mendekap erat tubuh Jeonghan. “Lo gak boleh ngomong gitu, Han. Lo ga pernah nyusahin siapapun. Gue sayang banget sama lo, lo ga boleh ngomong gitu.” Jun terisak-isak dipelukan Jeonghan.
Wonwoo langsung menuju dapur untuk mengambil minum, dan memberikannya pada Jeonghan. Jun melepaskan pelukannya dan membantu Jeonghan minum.
“Jangan pernah mikir kayak gitu lagi, Jeonghan. Dan jangan pernah dengerin omongan orang lain, karena ga ada manusia yang berhak menghakimi hidup manusia lain.” Ucap Wonwoo
“Lo juga jangan banyak pikiran, lo lagi hamil. Maaf gara-gara gue lo jadi kayak gini.” Ucap Jun menyesal.
Jeonghan menggeleng. “Cepat lambat Donita pasti tau, Jun.”
. . . . . . . . . . . .
Seungcheol beberapa kali mengecek ponselnya, karena daritadi Jeonghan tidak membalas pesannya.
“Apa sudah tidur ya?”
Lalu ia kembali mengirimkan pesan.
“Tapi perasaan saya gak enak. Semoga ga ada apa-apa sama kamu, Jeonghan.”