Jeonghan berjalan sempoyongan menuju pintu apartemennya.

Siapa sih yang bertamu pagi-pagi gini?

Sambil mengucak matanya, Jeonghan membuka pintu apartemennya.

“Pak Seungcheol?”

Seungcheol melihat Jeonghan yang masih memakai baju tidurnya. “Kamu gak kerja?”

“Oh itu pak, saya izin. Kepala saya sakit.”

“Kamu sakit lagi? Ayo ke dokter aja.”

Jeonghan menggeleng. “Saya cuma butuh tidur sih pak. Bapak ada apa kesini?” Jeonghan menatap plastik yang dibawa oleh Seungcheol.

“Dari semalem kamu gak bales pesan saya, terus perasaan saya juga tidak enak. Ternyata benar, kamu sakit.”

“Tapi sekarang saya baik-baik aja, pak.”

“Ya sudah, ini buat sarapan. Saya berangkat ke kantor dulu.” Jeonghan menahan tangan Seungcheol saat laki-laki itu hendak pergi.

“Sarapan bareng yuk pak, sekalian ada yang mau saya omongin.”

. . . . . .

“Jadi, Donita sudah tau ya?”

Jeonghan mengangguk. “Maaf ya pak, kemarin Jun ga sengaja.”

“Ya sudah mau gimana lagi, cepat atau lambat dia harus tau.”

Jeonghan menatap Seungcheol yang tampak terdiam. Perasaan bersalahnya kembali menyelimuti hati dan pikirannya.

Tiba-tiba bel berbunyi, Jeonghan langsung buru-buru membuka pintunya.

“Gyu?”

“Hai, aku bawa sarapan.” Ucap Mingyu sambil memperlihatkan plastik bawaannya.

Jeonghan menggigit bibirnya, ia lupa memberitahu Mingyu agar tidak datang.

“Siapa, Han?” Jeonghan menutup matanya, pasrah dengan keadaan.

“Lagi ada tamu ya, Han?” Tanya Mingyu.

Tiba-tiba saja Seungcheol mengulurkan tangannya. “Saya Seungcheol, calon suami Jeonghan.”

Mingyu terdiam, ia menatap Jeonghan meminta penjelasan.

“Gyu, ini ayahnya bayi yang aku kandung.” Bagai tersambar petir di siang bolong, Mingyu menghela nafasnya.

Lalu dengan senyum terpaksa, Mingyu mengelus kepala Jeonghan—di depan mata Seungcheol. “Selamat ya, Han.”

Jeonghan ingin menangis sekarang, jujur saja Mingyu adalah mantan terindahnya, mereka berpisah karena Mingyu harus melanjutkan studinya di luar negeri—dan Jeonghan tidak bisa terjebak dalam long distance relationship.

“Mingyu, maaf.”

Mingyu tersenyum. “Aku seneng kamu udah ketemu sama orangnya. Bahagia terus, oke? Yaudah aku pamit, karena kamu ada yang nemenin.” Mingyu menepuk-nepuk pucuk kepala Jeonghan lalu pergi, tanpa mengindahkan Seungcheol di sana.

Selepas Mingyu pergi, Jeonghan dan Seungcheol kembali masuk ke dalam. Seungcheol melihat Jeonghan menghapus air matanya.

“Mau sampai kapan kamu nangisin orang lain di depan ayahnya bayi?”

Jeonghan menatap Seungcheol. “Pak, saya lagi ga ada tenaga buat adu argumentasi. Kalau bapak mau pergi ke kantor, silahkan. Kepala saya sakit banget.”

“Jeonghan, saya ga suka kamu pikirin laki-laki lain apalagi mantan kamu.” Seungcheol tidak sadar kalau cengkramannya menguat—membuat Jeonghan meringis.

Karena benar-benar sudah tidak punya tenaga, akhirnya Jeonghan pingsan dan disitu lah Seungcheol baru sadar kalau ia keterlaluan.

“Jeonghan?”

. . . . . . . . . . .

Jeonghan membuka matanya, dan melihat ke sekelilingnya ternyata ia di kamarnya dan sendirian. Mungkin Seungcheol sudah pergi. Saat akan mengambil ponselnya, pintu kamarnya terbuka.

“Jangan main hp dulu, nanti tambah pusing.”

“Pak Seungcheol, bapak masih disini?”

Seungcheol membawa sepiring buah-buahan yang sudah ia potong-potong dan dengan segelas susu.

“Masih pusing gak?”

Jeonghan menggeleng. “Udah lumayan, bapak gak ke kantor?”

“Saya cuti.”

Jeonghan mengernyitkan keningnya. “Kenapa?”

“Soalnya papanya bayi saya lagi sakit.”

Ucapan Seungcheol membuat pipi Jeonghan bersemu.

“Nah makan, biar tambah tenaganya. Sama susu nya di minum ya, ini susu hamil.”

Jeonghan mengangguk, lalu memakan buah-buahan yang tadi sudah Seungcheol siapkan.

“Jeonghan?”

“Iya pak?”

“Saya minta maaf ya atas kejadian yang tadi. Saya ga sadar ternyata saya nyakitin kamu.” Seungcheol menyibakkan lengan baju Jeonghan, ada warna merah di sekitar lengan Jeonghan.

“Gapapa pak, bapak ga sengaja. Saya yang harusnya minta maaf, harusnya saya ga sebegitunya waktu Mingyu pergi. Maaf ya pak.”

Seungcheol mengangguk kemudian ia mengelus kepala Jeonghan. “Boleh gak kalo mulai sekarang cuma saya yang boleh elus kepala kamu?”

“Bapak nih cemburuan banget ya ternyata.” Seungcheol tertawa.

“Kalo Donita ga suka di usap-usap gini.”

Lagi-lagi Donita.

“Pak, saya mau mandi.”

“Kata dokter jangan dulu, kamu masih anget.”

“Bapak panggil dokter kesini?”

Seungcheol mengangguk. “Saya panik tadi, kata dokter kamu stress. Jeonghan, jangan stress kasian bayinya.”

“Iya pak, maaf lagi deh.”

“Maaf mulu.” Elusan Seungcheol turun sampai ke bibir Jeonghan. “Saya cium, boleh?”

Jeonghan mengangguk. Lalu bibir keduanya sudah saling menyatu.