Kandungan Jeonghan sudah menginjak usia 4 bulan. Dan seluruh warga kantor tau tentang masalahnya dengan Seungcheol—tentu saja Donita yang menyebarkannya. Pro dan kontra terjadi, karena ada beberapa yang menyayangkan sikap Jeonghan tapi ada juga yang “ya sudah kan Seungcheol belum jadi milik Donita”.

“Han, makan siang apa?” Tanya Jun

“Gue lagi pengen banget makan soto ayam yang pedes pake koya sama jeruk nipis beh kayaknya seger banget ya.”

“Jangan pedes-pedes, terakhir lo makan pedes gue yang diamuk laki lo.”

Benar, waktu Jeonghan pernah mengidam makan ayam bakar dengan sambal yang pedas, tapi berakhir perutnya sakit dan apesnya Jun yang kena marah oleh Seungcheol.

Jeonghan tertawa. “Kali ini engga pedes banget deh.” Jeonghan merangkul tangan Jun—sekalian berpegangan.

Waktu mereka di lift, Jeonghan dan Jun mendengar bisikan-bisikan dari belakang mereka.

“Masih ga tau malu ya, udah hamil sama gebetan orang eh sekarang masih bisa ketawa-ketawa.” Sekiranya itu yang mereka berdua dengar. Sampai keluar dari lift kedua orang tersebut masih terus mengucapkan kata-kata tidak baik untuk Jeonghan.

Ucapan itu awalnya biasa saja, sampai akhirnya orang-orang itu menyebutkan kalimat yang cukup membuat Jeonghan ketakutan.

“Terus lo tau ga sih, gara-gara dia hamil projek di kantor hampir batal karena dia yang telat ketemu klien.”

“Makannya jangan hamil.”

“Sama gebetannya sahabatnya sendiri lagi. Dasar biang masalah. Dimana ada dia, disitu ada masalah. Gak guna.”

Jun merasakan genggam di lengannya mengencang, ia menoleh ke arah Jeonghan yang sudah banjir keringat.

“Han, hey.” Jun menepuk-nepuk pelan pipi Jeonghan. Tapi Jeonghan tidak mendengarnya, ia hanya terus-menerus mengatakan “bukan salah Han mah, maaf”

“Han, tarik nafas dulu ya terus buang.” Tapi Jeonghan lagi-lagi tidak mendengar Jun. Jun panik, apalagi sama sekali tidak ada yang membantunya. Jeonghan bahkan limbung kalau saja Jun tidak kuat menopang tubuhnya mungkin Jeonghan sudah tergeletak di lantai.

Jun bahkan meminta pertolongan pada orang-orang, tapi mereka tidak ada yang membantu, sampai akhirnya ada dua orang security yang menolongnya. Saat akan dibawa ke ruang kesehatan, mereka bertemu Seungcheol dan Donita yang baru saja selesai meeting.

“Jun, kenapa?” Tanya Seungcheol, ia bahkan mengambil alih tubuh Jeonghan untuk ia bopong.

“Pak, nanti saya jelasin. Tapi tolong dulu, Jeonghan butuh pertolongan.” Akhirnya Seungcheol dengan sigap langsung sedikit berlari menuju ruang kesehatan.

. . . . . . . . . . .

Jeonghan sudah ditangani dokter di sana, saat ini Jun dan Seungcheol berada diluar ruangan.

“Sebenarnya ada apa sih Jun?”

“Pak, saya ga berhak ngasih tau ke bapak. Tapi Jeonghan punya trauma pak dan cukup parah.”

Saat akan menjawab, dokter keluar dari ruangan.

“Dok, bagaimana kondisi Jeonghan?”

“Yang saya lihat pasien stress, pak. Saya takut kalau itu berpengaruh pada bayinya. Jadi saya sarankan untuk dibawa ke rumah sakit saja untuk penanganan lebih lanjut.” Seungcheol setuju, lalu ia membawa Jeonghan ke rumah sakit.

“Jun, kamu bawa tasnya Jeonghan ya. Saya duluan ke rumah sakitnya, kamu nyusul.” Jun mengangguk, lalu keduanya berpisah Jun ke mejanya dan Seungcheol ke mobilnya. Jun juga tidak lupa menghubungi Wonwoo.

. . . . . . . . . . .

Dokter bilang kandungan Jeonghan lemah. Itu cukup membuat Seungcheol ikut stress, sebenarnya ada apa sih ini? Kenapa bisa sampai seperti ini?”

“Mas?” Seungcheol menoleh, dan mendapati bundanya di sana. Jun juga sudah datang tadi, tapi sedang suruh menebus obat milik Jeonghan.

“Kok bisa begini, mas?” Seungcheol memang sudah mengenalkan Jeonghan pada bundanya.

“Mas juga ga tau bund, mas selesai meeting tadi Jeonghan udah begini.”

“Kasian anak ganteng bunda.” Sang bunda mengelus-elus kepala Jeonghan. Seungcheol bisa melihat betapa sayangnya sang bunda pada Jeonghan. Seungcheol jadi ingat waktu pertama kali ia mengenalkan Jeonghan pada bundanya, sang bunda sempat marah karena Seungcheol sudah kebablasan tapi detik berikutnya sang bunda senang karena sebentar lagi akan punya cucu.

“Bun, mas urus administrasi sebentar ya.” Bundanya mengangguk. Lalu Seungcheol meninggalkan bundanya dengan Jeonghan.

Setelah selesai mengurus administrasi, Seungcheol duduk di kantin dengan Jun dan Wonwoo. Jun sudah menceritakan tentang kejadian yang terjadi tadi.

“Sebenernya Jeonghan pasti marah kalau bapak tau masalah ini dari saya. Tapi saya ga bisa diem lagi pak.” Ucap Jun.

“Ada apa sebenarnya Jun?”

“Dulu Jeonghan punya seorang kakak pak, dulu juga keluarganya harmonis sampai suatu ketika kakaknya kecelakaan dan meninggal di tempat karena niatnya mau jemput Jeonghan pulang sekolah. Dari situ keluarganya bilang kalau dia biang masalah, Jeonghan bahkan diusir dari rumah pak.”

Speechless. Itu yang Seungcheol rasakan sekarang. Jadi selama ini Jeonghan menyimpan banyak luka di hidupnya?

“Jadi Jeonghan nyicil apartemen bukan karena dia mau mandiri? Tapi karena di usir orang tuanya?”

Jun mengangguk.

“Donita tau masalah ini?”

Bahkan bukan cuma Jeonghan saja, Jun dan Wonwoo juga merasa kalau Seungcheol selalu membawa-bawa nama Donita di setiap pembicaraan mereka.

“Donita tau pak, kan Donita tetangganya Jeonghan dulu.”

“Lalu kenapa tadi kamu panik di sana? Kenapa tidak minta tolong orang lain?”

“Itu masalahnya pak, semenjak berita hubungan bapak sama Jeonghan terkuak Jeonghan jadi dapet omongan-omongan ga enak, dia bahkan dikucilkan. Tadi saya panik karena ga ada yang ma nolong satupun, kecuali security.”

“Kamu masih inget siapa yang ngomong tadi?”

“Duh sebenarnya saya ga mau cepu pak, cuma kalo ini demi kebaikan Jeonghan saya berani deh. Yang ngomong itu si Lolita sama ranita.”

“Mereka bukannya teman-temannya Donita?” Jun mengangguk.

Seungcheol menghela nafasnya. Memijit pelipisnya yang terasa pusing.

“Ya sudah, terima kasih kalian sudah mau kasih tau saya. Sekarang saya mau balik ke kamar Jeonghan, karena ada bunda saya di sana.”

Jun mengangguk. “Kalau gitu saya sama Wonwoo pamit pulang ya pak? Titip salam buat bundanya bapak.”

“Nanti saya salamkan, kalian hati-hati ya.” Seungcheol langsung pergi meninggalkan Jun dan Wonwoo.

“Ternyata Jeonghan bener, nu.”

Wonwoo menggenggam tangan kekasihnya. “Berarti tugas kita ditambah, nemenin Jeonghan sampai kapanpun.”

. . . . . . . . . . .

Seungcheol masuk ke dalam ruang rawat Jeonghan, dan mendapati Jeonghan yang sedang berbincang dengan bundanya.

“Kok lama mas?” Tanya bundanya

“Abis beli minum tadi di kantin bund. Gimana perasaan kamu, Han?” Tanya Seungcheol, ia mengelus kepala Jeonghan.

“Udah lebih baik pak.”

“Oh ya mas, tadi dokter bilang Jeonghan udah boleh pulang nanti sore.”

“Bagus dong, kamu cuti aja ya besok.”

“Saya udah kebanyakan cuti pak, ga enak sama yang lain.”

“Duh gapapa dong Han, kan itu perusahaan punya calon suami kamu.” Ucapan bunda membuat Jeonghan bersemu.

“Gak ah bund, Han beneran ga enak apalagi ada projek yang lagi Han kerjain.”

“Kalo ga Han resign aja abis projek itu kelar, terus Han tinggal sama bunda deh. Itung-itung temenin bunda kalau mas lagi ga di rumah.”

Jujur saja Jeonghan tidak tau harus mengatakan apa. Ini kali pertamanya mendapatkan kasih sayang seorang ibu setelah sekian lama. Dulu, mamanya adalah wanita yang hangat tapi sejak kejadian beberapa tahun lalu mamanya menjadi seorang yang tidak bisa lagi ia kenali.

“Saya setuju sama bunda, masalah uang kamu gak usah pikirin anggep aja saya latihan nafkahin kamu.”

Jeonghan menatap bunda yang sedang menggodanya. “Nafkah tuh Han katanya.” Bunda dan Seungcheol tertawa ketika melihat Jeonghan yang tersenyum malu-malu.

“Han masih belum bisa bund, tapi Han janji Han bakal sering-sering jenguk bunda.”

“Yaudah Han harus jenguk bunda terus ya?”

Jeonghan mengangguk. “Iya bunda.” Jeonghan memeluk bunda Seungcheol dengan erat. Dan tidak tau kenapa itu membuat Seungcheol bahagia.

“Masalah yang tadi, kamu mau gimana Han?”

“Jangan ditindaklanjut ya pak, biarin aja. Omongan mereka bener kok.”

“Ya tapi itu keterlaluan, bisa bikin kamu masuk rumah sakit.”

“Please.” Seungcheol selalu kalah kalau Jeonghan sudah meminta.

“Oke, saya ngalah.” Dan Seungcheol mengecup kening Jeonghan, di depan bundanya—seperti sudah sering ia lakukan—dan bundanya tidak terganggu akan hal itu, karena menurutnya keduanya saling mencintai.