yang terlewatkan.
Mingyu berdiri di depan cermin sambil merapihkan kerah bajunya. Tidak tau kenapa daritadi perasaannya tidak enak.
“Bang, udah?” Lamunan Mingyu buyar ketika mendengar suara mamanya.
“Udah ma.” Mingyu keluar dari kamarnya, dan mendapati mama dan adiknya sudah berdandan rapih.
“Abang bener gapapa?”
Mingyu mengernyitkan keningnya, dari kemarin adiknya menanyakan hal yang sama.
“Abang gapapa dek, ayo ah ntar kita ke abisan es krim.” Mingyu menggandeng tangan kedua wanitanya.
. . . . . . . . . . .
Berkali-kali Mingyu menghela nafasnya. Dadanya terasa sangat sesak sekarang.
“Abang, kalo abang ga bisa masuk gapapa. Abang pulang aja, nanti mama sama adek naik taksi pulangnya.” Ucap mamanya.
“Abang gapapa, ma.”
Mingyu merasakan ditatap sedih oleh mama dan adiknya.
“Kenapa sih? Kok liatin Abang begitu.”
“Abang, jangan kayak gini. Abang boleh kok nangis.” Ucap adiknya.
Nangis? Untuk apa?
“Kok ke kondangan nangis? Emangnya yang nikah siapa sampe Abang nangis?”
“Abang lupa ya?”
“Lupa apa ma?”
“Lupa siapa yang nikah hari ini?”
. . . . . . . . .
Mingyu mempercepat langkahnya, ia harus benar-benar memastikan apakah benar kalau yang saat ini berada di pelaminan adalah Jisoo-nya. Jisoo-nya yang selama ini ia cari. Semoga bukan.
Tapi harapannya pupus. Ia melihat Jisoo di sana. Jisoo-nya yang selama ini ia cari. Jisoo-nya yang selama ini ia rindukan. Jisoo-nya yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Kenapa baru sekarang kita dipertemukan?
Mingyu berjalan menuju tempat Jisoo berada.
Kini kau telah menjalani sisa hidup dengannya.
Tepat di depan Jisoo yang sedang menatapnya, Mingyu menghapus air matanya.
“Mingyu.....” Mingyu menggigit bibir bawahnya ketika ia kembali mendengar namanya disebut dari bibir itu.
“Soo, selamat ya.” Kata-kata yang daritadi susah sekali keluar dari mulut Mingyu. Mingyu berjalan untuk menjabat tangan Jisoo. Tangan yang dulu selalu mengelus-elus kepalanya. Yang dulu selalu menepuk-nepuk pundaknya. Yang dulu selalu membantunya menyiapkan segala sesuatu yang ia butuhkan.
Sekarang, tangan itu tidak lagi miliknya. Tidak akan pernah ia rasakan lagi di kepalanya, pundaknya, bahkan tidak akan lagi membantunya.
Jika berulang kembali, kau tak akan terlewati.
Andai saja dulu ia tidak egois. Tidak melepaskan Jisoo karena egonya. Mungkin saat ini keduanya masih bersama.
Segenap hatiku cari dudududu dimana kau berada.
Seharusnya juga, dulu ketika Jisoo pergi ia langsung mencarinya. Tapi ia tidak melakukannya. Ia malah menganggap Jisoo hanya menggertaknya. Tapi nyatanya, Jisoo-nya benar-benar pergi.
Saat ini, Jisoo-nya sudah menemukan seseorang yang lebih bisa mencintainya dibanding dirinya. Saat ini, Jisoo-nya sudah menemukan seseorang yang lebih bisa menjaganya dibanding dirinya. Dan saat ini—bahkan selamanya—tidak lagi akan menjadi Jisoo-nya.
Kesalahan ku melewatkan mu hingga kau kini dengan yang lain.
“Nggu, makasih udah dateng. Maaf aku belum ketemu kamu lagi, bahkan ngasih undangan lewat mama kamu.”
“Gapapa Soo.” Jabatan tangan keduanya masih belum terlepas.
“Jisoo?”
“Ya nggu?”
“Bahagia terus ya. Semoga Seokmin bisa lebih menghargai kamu.”
Jisoo tersenyum. “Seokmin selalu menomorsatukan aku dalam keadaan apapun, nggu. Aku pastiin dia ga akan pernah bikin aku sedih.”
Jabatan tangan keduanya terlepas. “Nggu, sekarang udah waktunya kamu yang harus cari pendamping hidup. Jangan terlalu lama berdiam diri, yang terjadi sama kita bukan sepenuhnya kesalahan kamu. Aku harap, kamu bisa secepatnya menemukan kebahagiaan kamu. Seseorang yang sabarnya lebih banyak dari aku.”
Mingyu tersenyum pahit dan mengangguk. “Pasti, Soo.” Mingyu menyalami Seokmin lalu pergi, ia bahkan melewati mama dan adiknya yang menatapnya sedih.
Walau ku terlambat, kau tetap yang terhebat. Melihatmu, mendengarmu, kau lah yang terhebat.
“Jisoo, terima kasih sudah pernah menjadi hari-hari indah seorang Kim Mingyu—walaupun akhirnya kamu memilih menyerah.”