thatausaha

Jihoon terkejut ketika melihat tempat yang dimaksud Seungcheol. Ia pikir seperti tempat makan nasi Padang yang biasa ia datangi, ternyata lebih makanan pedagang kaki lima pinggir jalan. Setelah memarkirkan mobilnya, Jihoon berjalan menuju Seungcheol berada, Seungcheol bilang ia ada di meja nomor 7.

Jihoon melihat seseorang duduk di meja nomor 7, sesuai dengan foto profilnya ternyata Seungcheol benar-benar segagah itu. Tiba-tiba saja jantung Jihoon berdebar kencang, ia mengatur nafasnya sebelum menyapa laki-laki itu.

“Mas Seungcheol?” Jihoon menjadi tambah gugup ketika laki-laki itu menatapnya.

“Jihoon?” Jihoon mengangguk.

“Duduk ji.” Jihoon duduk di depan Seungcheol, ia meletakkan kunci mobilnya di atas meja, sempat ia lihat juga Seungcheol menatap kuncinya.

“Bawa mobil?” Tanya Seungcheol

“Iya mas.”

“Okeh, lo mau pesen apa?” Seungcheol memberikan daftar menu makanan pada Jihoon.

“Mas, ini sehat kan ya?” Tanya Jihoon pelan.

Seungcheol tertawa. “Lo belom pernah makan di pinggir jalan kah?”

“Belum, kata papi kurang sehat tapi sebenernya aku penasaran.”

“Aman, gue udah hampir 3 tahun makan ditempat beginian dan gue ga mati.” Jawab Seungcheol

Jihoon mengangguk, kemudian ia kembali melihat daftar menu itu.

“Aku udang asam manis aja mas.” Ucap Jihoon

“Minumnya?”

“Air mineral ada gak?”

“Ada, pake es batu atau yang dingin aja?”

“Jangan yang dingin mas.”

Seungcheol mengangguk, ia langsung pergi untuk memesannya. Beberapa menit kemudian Seungcheol kembali ke tempat duduknya.

“Jadi?” Tanya Seungcheol to the point.

“Jadi sebenarnya aku ini mau dijodohin sama orang mas, tapi aku ga mau karena orang ini red flag banget.”

“Red flag gimana?”

“Dia kasar, manipulatif, aku tau karena kita satu kampus dulu.”

“Kenapa lo gak jelasin aja me ortu Lo?” Tanya Seungcheol sambil menyeruput es teh manis nya.

“Papi ga percaya, karena dia depan papi mami lembut banget, kayak beda deh sama dibelakang papi mami.”

Seungcheol mengangguk mengerti. rumit juga kisah cinta orang kaya.

“Sambil makan aja ya ji.” Ucap Seungcheol ketika makanan mereka datang. Dan Jihoon mengangguk.

“Jadi gini Jihoon, gue mau aja kalo harus ngaku sebagai pacar lo di depan ortu lo, cuma gue ga mau bohong yang berlanjut. Kayak gue harus pura-pura kaya, atau gue harus pura-pura punya perusahaan yang sebenernya gue ga punya, atau gue musti ngaku jadi lulusan kampus luar negeri, gue ga bisa. Dengan gue pura-pura jadi pacar lo aja, itu udah dosa makannya gue ga mau bohong lebih. Kalo lo oke, gue mau bantuin lo.”

Jihoon hanya diam memandangi Seungcheol, sebenarnya ia dijodohkan juga karena bisnis. Bagaimana ya kalau papi nya tau pacarnya tidak sepadan dengan mereka?

“Gimana?” Tanya Seungcheol pada Jihoon yang masih diam.

“Kita coba dulu aja, mas.” Jawab Jihoon akhirnya.

. . . . . . . . . . . . .

“Mas Seungcheol kesini naik apa?” Tanya Jihoon ketika mereka sudah sampai di depan mobil Jihoon.

“Jalan kaki, kostan gue dibelakang.” Jawab Seungcheol sambil menunjuk gang dekat wb.

“Mau aku anter aja gak?” Tawar Jihoon

“Gak usah, deket kok. Lagian muternya susah kalo mobil tuh. Santai aja, gak bakal ada yang mau nyulik gue.”

Jihoon tersenyum. “Yaudah kalo gitu aku pulang ya mas.”

“Hati-hati, kabarin kalo udah sampe.”

Jihoon mengangguk dan kemudian ia masuk ke dalam mobilnya, sebelum pergi ia sempatkan untuk menyapa Seungcheol sekali lagi untuk malam itu.

“Mas Seungcheol.”

“Oit?”

“Makasih ya udah diajak makan disini.”

Seungcheol tertawa. “Sama-sama, makasih juga udah dibayarin. Hati-hati bawa mobilnya.” Setelah itu Jihoon melajukan mobilnya meninggalkan Seungcheol yang masih menatap mobil yang sudah menjauh.

“Kalo liat Jihoon, gue jadi inget dia.”

“Siapa yang bolehin lo masuk kamar gue brengsek?” Jun melihat Jeonghan yang sedang menggenggam beberapa foto di tangannya.

“Maksudnya apa?” Tanya Jeonghan menunjukkan beberapa foto Seungcheol. Tapi Jun tidak menjawab, ia hanya menatap Jeonghan marah.

“AKU TANYA MAKSUDNYA APA JUN?” Mata Jeonghan memanas, air matanya siap jatuh kapan saja.

“Udah gue bilang semua yang gue lakuin itu bukan urusan lo.” Ucap Jun sambil berusaha mengambil foto-foto itu.

“Tapi Seungcheol pacar aku. Dia bakal jadi kakak ipar kamu.” Jeonghan mengelak ketika Jun berusaha mengambil foto-foto itu.

“Sampai kapanpun ga akan gue biarin Seungcheol jadi punya lo.” Jun menjambak rambut Jeonghan sampai Jeonghan memekik kesakitan, tapi ia tetap berusaha untuk mengelak agar Jun tidak bisa mengambil foto-foto itu.

Jun geram. Dengan kekuatannya, ia menarik Jeonghan sampai Jeonghan tersungkur, dan genggamannya terbuka sampai foto-foto itu akhirnya berhasil diambil oleh Jun. Jun langsung mengamankan foto itu di lacinya. Kemudian ia kembali pada Jeonghan yang masih tersungkur di lantai karena jujur saja kepalanya terasa pusing akibat tarikan Jun, ditambah ia dijatuhkan tepat tangannya tertekan badannya.

Jun menatap Jeonghan dengan tatapan benci. Kemudian tanpa belas kasihan, ia kembali menarik rambut Jeonghan dan menyeretnya. Ini sakit, sangat sakit bahkan Jeonghan tidak bisa menahan air matanya. Berharap seseorang datang dan menolongnya. “Seseorang, tolong.”

“Jun, sakit—argh.” Jeonghan berusaha melepaskan tangan Jun dari rambutnya.

“Ini balasan karena lo udah berani jatuh cinta sama Seungcheol.” Mereka berhenti di depan tangga, dengan Jeonghan yang masih menangis kesakitan.

Jun mencengkram kuat dagu Jeonghan. “Heh, gue bilangin sama lo ya. Gak akan ada yang bisa dapetin Seungcheol selain gue.” Kemudian Jun menghempaskan dagu Jeonghan dengan kencang.

“Seungcheol ga akan mau sama orang kasar kayak kamu, Jun.” Ucapan Jeonghan cukup membuat api amarah Jun makin berkobar. Kemudian Jeonghan melihat Jun berdiri, dan hanya menatapnya.

Arghhhhhhhh.” Jeonghan berteriak kesakitan karena Jun menginjak perutnya, bahkan kaki Jun bergerak sambil menekan di sana.

Setelah puas melihat Jeonghan kesakitan, Jun kembali jongkok di depan Jeonghan.

“Kalo Wonwoo bisa gue rusak mentalnya. Kalo lo? Gue bisa rusak badan lo.”

“ARGHHHHHHHH.” Tiba-tiba saja Jun menendang perut Jeonghan. Jeonghan sama sekali tidak bisa melawan, karena sakit di sekujur tubuhnya. Bahkan ketika Jun menginjak tangannya, ia sudah tidak bisa lagi menghindar. Setelah melihat Jeonghan tak berdaya, Jun kemudian memposisikan Jeonghan untuk ia dorong ke tangga. Saat Jeonghan tergelinding di tangga, pintu rumah mereka terbuka.

“Berry/Jeonghan.” Ternyata Seungcheol, Joshua, Seokmin, Wonwoo serta kedua orang tuanya datang.

Jun terkejut, apalagi ketika ia melihat sang papa menatapnya kecewa. Dengan cepat ia berusaha untuk kabur.

“Seok.” Ucap Seungcheol. Seokmin dengan cepat berlari mengejar Jun yang berlari menuju kamarnya, ia berniat akan kabur melalui jendela kamarnya. Tapi saat Seokmin masuk, ia terkejut karena ia menemukan banyak sekali foto Seungcheol di sana. Hampir 2 menit terpaku, Seokmin kembali berusaha mengejar Jun. Tapi gagal, karena Jun berhasil kabur.

“Kabur, ja?” Tanya Joshua ketika ia melihat Seokmin turun dengan tangan kosong.

Seokmin mengangguk. “Sorry, tadi waktu masuk ke kamarnya dia aku kaget.”

“Cheol, Jeonghan ga sebaiknya kita bawa ke rumah sakit dulu?” Tanya papa Jeonghan. Seungcheol mengangguk, ia langsung menggendong Jeonghan. Mereka semua langsung bergegas menuju rumah sakit.

Beberapa menit sebelumnya.

Wonwoo sampai di depan rumah Jun bersamaan dengan Seungcheol, Joshua dan Seokmin.

“Mas?”

“Won, kamu ngapain disini?”

“Aku mau balikin dompetnya Jun, mas. Mas sendiri ngapain?”

“Aku mau ketemu Jeonghan.” Wonwoo tersenyum sedih ketika Seungcheol menyebut nama orang lain dari mulutnya.

“Loh pada ngumpul disini?”

“Om, Tante, kita mau ketemu Jeonghan sama Jun.” Jawab Joshua

“Ayo masuk.” Ajak mama Jeonghan

Saat akan masuk, tiba-tiba saja mereka mendengar suara teriakan dari dalam rumah. Dengan cepat Seungcheol berlari diikuti dengan yang lain.

Skip time.

Mereka menunggu dengan cemas di luar dengan mama Jeonghan yang terus-terusan menangis.

“Terus gimana ini si Jun?” Tanya Joshua tiba-tiba.

“Kita kehilangan jejak banget, yang.” Ucap Seokmin.

Papa Jeonghan masih terus menenangkan istrinya, sedangkan Seungcheol hanya diam, tiba-tiba saja pikirannya buntu.

“Cherr?”

Seungcheol mengusap wajahnya kasar. “Gue ga tau ney, otak gue ga bisa berpikir, sekarang cuma ada gimana keadaan berry.”

Joshua tidak mau nekan Seungcheol berlebihan. Tapi kepalanya masih terus berpikir.

“GPS.” Joshua, Seokmin dan Seungcheol menatap Wonwoo. Mereka bahkan lupa kalau ada Wonwoo di sana.

“Kenapa won?” Tanya Seungcheol

“Jun selalu aktifin gps nya.”

“Lo bisa liat dia dimana?” Tanya Joshua. Wonwoo mengangguk, kemudian ia mengecek ponselnya.

“Arah bandara.” Jawab Wonwoo

“Dia mau kabur ke luar kota?” Tanya Seokmin.

“Duh, kalo kita kejar ke sana ga bakal nyampe cepet.” Ucap Joshua

“Mas, Soonyoung.” Ucap Seokmin tiba-tiba.

“Kenapa Soonyoung?”

“Dia hari ini mau jemput Jihoon kan di bandara?”

Seungcheol ingat. Soonyoung memang hari ini akan menjemput pacarnya yang baru pulang dari bistrip nya. Seungcheol mengangguk, kemudian Seokmin langsung menelpon Soonyoung. Dan ternyata benar, Soonyoung masih di sana sedang makan sebelum pulang. Setelah mejelaskan itu, Seokmin dan Joshua pamit untuk menyusul ke sana.

Tinggallah Seungcheol, Wonwoo dan kedua orang tua Jeonghan.

“Om, maaf bukannya saya lancang tapi ini tidak kriminal, saya mau izin untuk perkarakan ini.” Ucap Seungcheol

Papa Jeonghan menghela nafasnya. “Saya sayang sama Jun, tapi saya tidak membenarkan tindakannya. Seungcheol, saya izinkan untuk menghukum dia tapi saya mohon jangan dihukum berat, bagaimana pun dia anak kandung saya.”

. . . . . . . . . . . . .

“Mas?” Wonwoo dan Seungcheol saat ini berada di kantin rumah sakit.

“Ya, won?”

Wonwoo memberikan sebuah dompet dan Seungcheol menerimanya.

“Punya siapa?”

“Buka.”

Seungcheol menurut, ia membuka dompet tersebut. Dan terkejut ketika melihat fotonya ada di sana.

“Won?” Seungcheol tidak mengerti.

“Itu foto kita, waktu abis pergi bertiga. Disebelah Jun harusnya foto aku.” Wonwoo mengambil foto tersebut, foto yang ditekuk bagian dirinya. “Tapi Jun berusaha untuk menghilangkan aku disini.”

“Won....”

“Aku dateng lebih awal dari kamu, tadi kita ketemu di luar sebenernya aku udah sempet masuk ke dalem, cuma aku denger Jeonghan sama Jun berantem.” Wonwoo menghela nafasnya. “Jun suka sama kamu, mas.”

Bagai tersambar petir, pernyataan dari Wonwoo membuat Seungcheol lemas. Bagaimana bisa?

“Terus kenapa kamu ga bantuin Jeonghan?” Tanya Seungcheol

“Aku ga tau kalo separah itu, karena setelah denger pernyataan Jun aku langsung pergi.” Wonwoo menundukkan kepalanya, ia juga menyesal karena kenapa ia tidak masuk saja tadi, kalau ia masuk mungkin Jeonghan tidak akan diperlakukan seperti itu.

“Maaf, mas. Aku sakit hati sama Jun.”

“Jun bilang apa?”

“Jun bilang, dia berhasil ngerusak mental aku. Setelah itu aku gak denger apa-apa lagi karena langsung pergi.” Wonwoo menghapus air matanya. Seungcheol langsung membawanya ke dalam pelukannya. Hanya sekedar pelukan penenang bukan apa-apa.

“Aku nyesel ga dengerin mas, aku terlalu terpaku sama Jun sampai ga tau kalau dia sebenarnya mau ngerusak hubungan kita. Maaf, mas.” Wonwoo membalas pelukan Seungcheol.

“Won, udah ya. Semua udah kejadian, mungkin kita emang ga jodoh. Mungkin kamu bakal ketemu sama orang yang lebih baik dari aku.”

Wonwoo melepaskan pelukannya dan menatap Seungcheol. “Kamu sayang banget ya sama Jeonghan?”

“Sayang. Aku sayang banget sama dia. Sampai ngeliat dia kayak sekarang aja aku gak kuat.”

Wonwoo menghapus air mata Seungcheol. “Jaga dia ya mas. Jangan sampai dilepas. Jujur, aku gak pernah liat kamu kayak gini, bahkan sama aku dulu. Mungkin emang Jeonghan yang ditakdirkan sama kamu.”

“Wonwoo, kamu harus bahagia ya. Kamu harus ketemu orang yang tepat.”

“Pasti, mas. Pasti.

Tiba-tiba ponsel Seungcheol berdering, ada 2 pesan masuk.

Mama Jeonghan: Cheol, Jeonghan udah sadar.

Seokmin—persepupuan: mas, Jun udah berhasil kita tangkep.

Seungcheol sudah sampai di depan rumah Jeonghan, dengan membawa beberapa hadiah untuk Hana dan Jeonghan. Dengan susah payah ia ketuk pintu rumah itu beberapa kali sampai ada sesosok perempuan kecil yang membukakan pintunya.

“Daddy.” Pekiknya girang, kaki Seungcheol dipeluk oleh anak itu.

“Hana, biarin Daddy nya masuk dulu.” Ucap Jeonghan dari dalam. Hana pun menurut, ia mempersilahkan Seungcheol masuk.

“Banyak banget kak bawaan kamu.” Ucap Jeonghan sambil membantu Seungcheol menaruh barang-barangnya.

“Buat kamu sama Hana.” Hana yang mendengar namanya disebut Seungcheol, langsung memekik senang. Karena ini pertama kalinya ia dibelikan hadiah sebegitu banyak.

“Apa ga berlebihan, kak?” Jeonghan memberikan segelas air dingin untuk Seungcheol.

“Gak dong, kan aku ga pernah beliin Hana hadiah.” Seungcheol meneguk airnya, setelahnya ia taruh gelasnya di atas meja. Dengan sekali gerak, ia sudah merangkul pinggang Jeonghan. Awalnya Jeonghan terkejut, tapi ia juga langsung menaruh tangannya di pundak Seungcheol.

“Daddy, ini semua untuk Hana?”

“Iya sayang, tapi yang 3 itu punya papa ya.”

Hana mulai membuka satu persatu hadiahnya, ia senang karena dapat banyak boneka dan mainan tapi Daddy nya juga membelikannya beberapa buku bacaan.

“Barang kamu udah dipacking semua kak?”

“Udah sayang, tinggal berangkat besok.” Seungcheol dengan berani mengecup perut Jeonghan.

“Yaudah, kamu mau tidur dulu gak?”

Seungcheol mengangguk. “Aku ngantuk sih.”

“Yaudah tidur, ntar aku bangunin pas masakannya mateng.”

Seungcheol berdiri dari duduknya, kemudian ia mengecup kening Jeonghan.

“Hana, temenin Daddy bobok yuk?”

Kemudian Hana membereskan semua kekacauan yang ia perbuat, setelah selesai ia langsung ikut Daddy nya masuk ke kamar sang papa.

Jeonghan hanya menggeleng melihat ayah dan anak itu. “Kalah start sama anak.”

. . . . . . . . . . . . .

Jam 5 sore Jeonghan membangunkan Seungcheol dan Hana, setelahnya menyuruh keduanya mandi.

“Hana, besok Daddy pulang.” Ucap Jeonghan

“Pulang kemana?”

“Ke rumah Daddy.” Ucap Seungcheol.

“Hana mau ikut Daddy.” Ucap Hana sedih.

“Iya, nanti Hana sama papa nyusul Daddy ya. Tapi Hana harus temani papa dulu disini.”

“Kenapa? Hana ingin dengan Daddy.” Ucap Hana sambil menundukkan kepalanya, matanya sudah bersiap-siap akan menangis.

Seungcheol menghampiri Hana, dia berjongkok di samping Hana. “Hana, Daddy di sana nanti sibuk kerja. Tidak ada waktu dengan Hana, jadi Hana sama papa tunggu disini ya? Daddy janji gak akan lama, sayang. Ya?”

Hana mengangguk, kemudian ia memeluk Seungcheol. “Nanti Daddy belikan Hana hadiah lagi tidak?”

“Iya dong, makannya Daddy kerja dulu ya. Nanti Hana ke sana, Daddy udah punya uang banyak dan bisa beliin Hana hadiah lagi.”

“Janji?” Hana melepaskan pelukannya dan mengacungkan jari kelingkingnya, kemudian Seungcheol menautkan jarinya ke milik Hana. “Janji.”

“Tapi Hana harus jadi anak baik ya kalau mau dibelikan hadiah lagi.” Ucap Seungcheol

“Oke, Daddy.”

. . . . . . . . . . . . . .

Jeonghan menutup pintu kamarnya dan mendapati Seungcheol sedang merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya.

“Besok pesawat kamu jam berapa kak?”

“Abis makan siang sih, kenapa?”

“Aku ikut anter ya?” Jeonghan duduk di depan Seungcheol, tangannya ia gunakan untuk merapihkan rambut Seungcheol.

“Kamu ga kerja emang?”

“Nanti aku izin telat dateng.”

“Nanti di omelin bos kamu.”

“Engga kok, kalo izin gapapa.”

“Yaudah, nanti ajak Soonyoung juga deh biar kamu pulangnya ga berdua Hana doang. Aku khawatir.”

Jeonghan mengangguk. “Kak?”

“Kenapa?”

“Kamu udah kelar sama istri mu itu?”

“Minggu depan sidang putusannya, Han. Perminggu depan aku udah jadi duda.” Ucap Seungcheol

“Duda anak satu.”

“Duda keren anak satu lebih tepatnya.”

Jeonghan mencubit perut Seungcheol. “Pede banget.”

Seungcheol tertawa, lalu ia mengambil sesuatu dari kantung celananya.

“Han?”

Jeonghan termangu menatap sesuatu yang Seungcheol pegang. Itu cincin.

“Han, mungkin ini terlalu cepet. Aku juga belum sah bercerai, tapi aku pastiin Minggu depan aku udah ga ada status hubungan dengan siapa-siapa. Kamu juga minta 5 bulan lagi aku jemput kamu kesini, maksud aku kalau 5 bulan lagi kita menikah gimana? Aku udah nunggu ini lama, tapi baru kesampaian sekarang. Han, aku pengen banget hidup sama kamu. Pengen banget ngabisin waktu sama kamu. Aku pengen jadi orang yang selalu kamu andalkan kalau kamu ga bisa akan sesuatu, aku pengen gantian sama kamu untuk jaga Hana atau jemput Hana pulang sekolah.”

Jeonghan menatap Seungcheol dengan mata berkaca-kaca. Jadi ini buah dari kesabarannya selama 5 tahun?

“Han, besarin Hana bareng-bareng yuk sama aku?”

Air mata Jeonghan turun begitu saja, dengan cepat ia memeluk Seungcheol. Memeluknya erat bahkan sampai Seungcheol dengan cepat mengangkatnya untuk duduk dipangkuannya.

“Mau?”

Jeonghan mengangguk. “Mau kak, aku mau.” Seungcheol menyematkan cincin itu di jemari Jeonghan, kemudian bibir keduanya menempel dan saling melumat satu sama lain.

Skip time.

“Eh, aku belum bukan hadiah dari kamu.” Ucap Jeonghan, ketika ia bangun Seungcheol dengan cepat kembali menariknya ke dalam pelukan.

“Bukanya besok aja kalo aku udah di Indonesia.”

Jeonghan mengernyitkan keningnya. “Kenapa?”

“Surprise.” Ucap Seungcheol tepat di telinga Jeonghan, setelahnya Seungcheol mengecup telinga Jeonghan, sampai membuat sang empu melenguh. Dan kita biarkan keduanya memadu kasih malam itu. Eak.

Jeonghan membersihkan meja bekas pelanggannya.

“Welcome, darl+ing.” Teriak Jeonghan ketika ia mendengar suara pintu cafe terbuka. Ketika ia berbalik senyumnya hilang seketika, nampan yang ia bawa bahkan jatuh.

“Jeonghan?”

Jeonghan buru-buru akan berlari, tapi ia kalah cepat dengan Seungcheol.

“Jeonghan, tunggu dulu.”

Jeonghan memberontak ketika Seungcheol mencekal lengannya.

“Lepasin.”

“Engga, aku ga akan lepasin kamu lagi.”

Jeonghan berusaha keras melawan, tapi tenaganya tidak cukup kuat melawan Seungcheol. Semua pelanggan hanya menatap mereka berdua, bahkan rekan kerja Jeonghan juga. Jeonghan menangis ketika lengannya terasa sakit, Seungcheol yang melihat itu dengan cepat langsung membawa Jeonghan pergi keluar, ia membawa Jeonghan ke mobilnya.

Jeonghan masih menangis sambil memegang lengannya yang terasa sakit.

“Jeonghan, maaf. Aku ga bermaksud bikin lengan kamu sakit.” Ucap Seungcheol sambil terus berusaha menyentuh Jeonghan yang terus-terusan menghindarinya.

“Jeonghan.....” Seungcheol merasa putus asa sekarang. Jeonghan sudah sedekat itu saja ia masih tidak bisa memeluknya.

“Mau ngapain lagi kak? Mau minta maaf karena kelakuan kamu dulu? Aku udah maafin. Tapi please, jangan ganggu aku lagi.”

Seungcheol memejamkan matanya ketika Jeonghan berbicara seperti itu. Sakit rasanya ditolak oleh orang yang selama ini ia cari.

“Aku udah bahagia sekarang, tolong kamu jangan muncul lagi jangan bikin semuanya tambah susah untuk aku.” Ucap Jeonghan

“Kamu pikir selama ini gampang untuk aku? Aku juga susah, Jeonghan. Setelah malam itu aku nyari kamu bahkan sampe 3 tahun lebih, tapi apa yang aku dapet? Aku ga dapet apa-apa, kamu kayak ilang ditelan bumi. Aku tau ini salah aku, aku khilaf. Aku mau tanggung jawab sama kamu, aku bakal lakuin apa aja untuk terus sama kamu, bahkan kalau aku kehilangan segalanya aku ga perduli. Tapi kamu pergi gitu aja, kalo kamu mau egois-egoisan kamu pemenangnya.” Seungcheol menyembunyikan wajahnya di setir mobil, bahkan sesekali ia membentur-benturkan kepalanya. Jeonghan jelas tidak tega, tapi ia tidak bisa menyentuh Seungcheol begitu saja.

“Sampai aku nikah sama orang lain, cuma kamu yang ada dipikiran aku. Selama 2 tahun aku menikah, isi kepala ku cuma kamu, kamu, kamu. Sampai sekarang aku proses perceraian, masih kamu orangnya Jeonghan.” Lanjut Seungcheol.

“Kamu mau cerai kak?”

“Istri ku yang minta, mungkin dia udah muak sama aku karena selama ini aku bener-bener ga anggap dia ada.” Jawab Seungcheol lirih.

“Kamu kenapa begitu kak? Kamu tau kan kalo itu bisa bikin dia trauma sama pernikahan?”

“Aku tau. Tapi kalo ga cepet diakhiri mungkin dia akan lebih sakit.”

Lalu keduanya sama-sama saling terdiam. Seungcheol belum memindahkan wajahnya, sedangkan Jeonghan masih terdiam memikirkan apalagi yang harus ia lakukan.

“Terima kasih, Jeonghan.” Ucap Seungcheol tiba-tiba.

“Terima kasih untuk apa?”

“Terima kasih sudah membesarkan dia. Dia cantik, sama kayak kamu.”

Untung saja Seungcheol tidak melihat wajah Jeonghan yang bersemu.

“Kamu tau kak?”

Seungcheol mengangguk. “Hati aku rasanya hangat banget waktu dia panggil aku Daddy. Walaupun dia ga tau kalo aku ini bener Daddy nya.”

Jeonghan jadi merasa bersalah karena mengarang cerita tentang Seungcheol saat Hana menanyakan dimana Daddy nya berada.

“Maaf, kak.”

“Gapapa, pasti berat rasanya ditanya sesuatu yang bahkan kita ga tau musti jawab apa.” Ucap Seungcheol, ia sudah mengangkat kepalanya.

“Jeonghan, boleh aku ketemu dia sekali ini aja? Habis itu, aku ga akan pernah lagi muncul dihadapan kalian. Aku cuma mau dia tau kalau Daddy nya masih ada, aku cuma mau dia tau kalau mungkin ini pertama kali dan terakhir kalinya kita ketemu. Boleh, Jeonghan?”

. . . . . . . . . . . . .

“Masuk, kak. Maaf ya rumahnya kecil dan berantakan.” Ucap Jeonghan

“Gapapa, masih nyaman untuk ditempati.” Jawab Seungcheol

“Bentar ya kak, aku panggil Hana dulu dia di rumah Soonyoung.” Seungcheol mengangguk. Selepas Jeonghan pergi, Seungcheol memperhatikan foto-foto yang berada di rumah itu. Foto dulu saat Jeonghan hamil, saat Hana lahir, saat Hana makan pertama kalinya, saat Hana belajar berjalan, dan sampai Hana bisa sebesar ini. Jeonghan benar-benar membesarkan buah hati mereka dengan baik.

Seungcheol tidak melewatkan kesempatan untuk memfoto semuanya. Untuk kenang-kenangan, pikirnya.

“Hana ayo.” Seungcheol menoleh ke sumber suara. Ia tersenyum ketika melihat anaknya berada di sana.

“Daddy?” Air mata Seungcheol rasanya ingin jatuh lagi sekarang.

“Kak, di rumah Soonyoung ada kak Mingyu.” Ucap Jeonghan

“Oh iya, tadi kita mencar. Aku pikir dia udah pulang.”

“Hana, kemarin Hana bilang ingin ketemu Daddy kan? Sekarang Daddy Hana ada disini.” Ucap Jeonghan

“Daddy sudah tidak di surga ya, pa?”

Seungcheol tertawa kecil, sedangkan Jeonghan tersenyum malu.

“Hana tidak mau peluk Daddy? Hana bilang, ingin dipeluk Daddy?” Tanya Jeonghan, mengalihkan pembicaraan.

Hana bergerak ragu, ia berjalan menuju Seungcheol yang berlutut di sana. Dengan ragu ia memeluk Seungcheol. Saat itu juga tangis Seungcheol pecah. Jadi, seperti ini rasanya memeluk buah hatinya sendiri?

“Daddy, Hana suka dipeluk Daddy.”

. . . . . . . . . . . . .

“Jadi rumah Daddy besar?” Tanya Hana

“Mmm, ga terlalu besar sih cuma lebih besar dari rumah ini.” Jawab Seungcheol. Jeonghan hanya mendengarkan ocehan keduanya, sambil menyiapkan makan malam mereka.

“Kak, kak Mingyu ajakin kesini dulu aja suruh makan.” Ucap Jeonghan

“Mingyu udah pulang, Han. Dia makan di hotel katanya.” Jawab Seungcheol.

“Di rumah Daddy ada boneka banyak?”

“Banyak banget.”

“Ah, pasti bagus. Aku ingin lihat.” Ucap Hana sedih.

“Hana sama papa bisa ke rumah Daddy kapan-kapan ya?”

Hana menata Seungcheol dengan mata berbinar. “Hana boleh bawa satu boneka?”

“Hana bawa semua juga boleh.”

Hana mengerucutkan bibirnya. “Tidak muat, Daddy. Papa suka marah kalau rumah banyak mainan Hana, jadi Hana bawa satu saja ya?”

“Gimana papa ga marah, Hana abis mainan ga diberesin lagi.”

Seungcheol mengelus kepala Hana. “Kalau habis dimainkan diberesin lagi ya? Hana pintar tidak?”

“Kata uncle Jihoon, Hana pintar. Hana sudah bisa hitung 1-20.”

“Nah kalau Hana pintar, Hana harus bantu papa bereskan mainan Hana, kan kasian papa sudah kerja tapi harus bereskan mainan Hana juga. Kalau papa sakit bagaimana?”

Hana menatap Jeonghan sedih. “Papa jangan sakit. Nanti Hana yang bereskan mainan Hana, ya pa.”

Seungcheol sangat-sangat gemas dengan anaknya. Hana benar-benar tumbuh menjadi gadis yang pintar.

“Udah ayo makan dulu, kasian Daddy laper.”

“Yeay, selamat makan papa Daddy.”

. . . . . . . . . . . . .

Seungcheol menutup pintu kamar Hana, dan memeriksa jam tangannya. Pukul 23.00, ia harus cepat-cepat pulang.

“Kamu ga nginep aja kak?” Tanya Jeonghan yang melihat Seungcheol memakai jaketnya.

“Gak usah Han, gapapa aku pulang aja. Lagian ga enak sama tetangga yang lain.”

“Ini bukan Indonesia kali kak.” Jawab Jeonghan sambil terkekeh.

“Gak usah gapapa.” Seungcheol juga memakai sepatunya.

“Han, aku boleh minta nomor rekening kamu?” Tanya Seungcheol saat dirinya sudah siap untuk pulang.

“Untuk apa kak?”

“Han, tadi kan aku udah bilang mungkin ini terakhir kalinya kita ketemu lagi. Tapi aku ga mau lepas tanggung jawab gitu aja, Hana anak aku, aku mau biayain hidupnya dia, hidup kamu juga. Anggap aja reward buat kamu karena kamu udah jadi papa yang baik buat Hana.” Jawab Seungcheol.

“Kak, gak usah. Aku masih sanggup kok.”

“Han, aku mohon. Kali ini aku maksa.”

“Aku ga hapal nomor rekening aku, boleh aku kirim lewat chat aja?”

Seungcheol mengangguk lalu ia memberikan kartu namanya. “Nomor aku, kalo kamu butuh sesuatu atau ada hal urgent tentang kamu atau Hana.”

“Makasih ya mas.”

“Han, boleh mas peluk? Salam perpisahan kita.”

Jeonghan mengangguk. Lalu Seungcheol langsung memeluknya erat, bahkan ia meminta izin untuk mengecup kening Jeonghan. Hampir 30 menit keduanya berpelukan, saat ini waktunya untuk berpisah.

“Jaga diri baik-baik ya, Han. Sehat-sehat juga kamu sama Hana. Aku pergi dulu.” Ucap Seungcheol sambil berjalan keluar dari rumah Jeonghan. Membiarkan Jeonghan menatap kepergiannya.

Di dalam mobil, Seungcheol lagi-lagi menangis. Sakit rasanya harus benar-benar merelakan seseorang yang teramat ia cintai. Tapi, ia tidak mau egois juga. Ia tidak boleh memaksakan sesuatu lagi.

“Jeonghan, di kehidupan selanjutnya aku akan cari kamu lagi.”

End.

Ciuman yang berantakan mengawali pergumulan keduanya. Jeonghan yang sudah berantakan terbanting ke ranjang dengan Seungcheol yang menatapnya lapar.

“Jeonghan, aku harap kamu ga nyesel besok.” Setelah mengucapkan itu Seungcheol membabi buta di atas tubuh Jeonghan. Mulutnya ia gunakan untuk mencumbu laki-laki dibawahnya itu.

Lenguhan Jeonghan terdengar merdu di telinga Seungcheol, membuatnya tambah bersemangat untuk meninggalkan jejak-jejak kemerahan di sana.

Jeonghan menekan kepala Seungcheol yang berada di dadanya, mulutnya tidak berhenti mengeluarkan desahannya.

“Mmhhm... Haa...” Tubuh Jeonghan melengkung ketika Seungcheol menghisap putingnya dan mengelus lubangnya.

Setelah puas, Seungcheol membuka seluruh pakaiannya dan pakaian Jeonghan dengan Jeonghan yang menatapnya dengan tatapan menggoda.

“Sange ya kamu? Suka nenenin aku,hm?” Jeonghan mengangguk tangannya direntangkan meminta Seungcheol untuk menyentuh dadanya lagi. Dan disambut dengan senang hati oleh Seungcheol.

Tangan Seungcheol aktif di bagian bawah Jeonghan, berpindah-pindah dari kejantanan Jeonghan kemudian ke lubang Jeonghan. Jeonghan berjengkit ketika sesuatu memasuki lubangnya. Dan ini pertama kalinya ada yang memasukinya kecuali dildonya.

Seungcheol mendongak menatap Jeonghan yang sedang kesakitan tapi mungkin juga karena keenakan. Ia merasakan jarinya diremat kuat oleh lubang Jeonghan, bahkan ia juga bisa merasakan lubang Jeonghan yang berkedut.

Setelah Seungcheol rasa cukup, ia mulai mengarahkan kejantanannya ke lubang Jeonghan. Jeonghan mengerang kesakitan dan nikmat secara bersamaan ketika Seungcheol mulai masuk ke dalamnya.

“Jeonghan, kamu cantik banget kalo lagi sange gini. Aku jadi ikutan sange. Sayang, mau aku entotin? Yang keras?” Ucapan kotor yang Seungcheol tanyakan hanya dibalas desahan oleh Jeonghan.

“Oke, yang keras. Aku bakal bikin kamu terbang ke langit ketujuh.”

. . . . . . . . . . . . .

“ahhh! Ah! Ah! Ah! Ah! Ah!” Jeonghan terlonjak-lonjak akibat tumbukan keras Seungcheol. Seungcheol benar-benar tidak memberinya ampun, apalagi ini sudah ronde ketiga yang mereka lakukan.

“More—mmmm.... Ah.. Ah.. Ah... Deep—er—ouhhhhhh.”

“Suka ya aku entotin kayak gini,hm? Sukanya dari depan apa belakang?” Tanya Seungcheol, sambil tangannya menangkup wajah Jeonghan yang sedang ia kecupi belakang telinganya sambil pinggulnya terus bergerak.

“Dep—AHH.”

“Kenapa depan,hm? Biar bisa nenenin aku lagi, iya? Suka ya kalo nenennya diisep-isep gitu?” Dengan berpegang kuat pada leher Seungcheol, Jeonghan kembali mengeluarkan cairannya.

Sudah 6x Jeonghan keluar malam ini, dan malam masih cukup panjang bagi Seungcheol. Seungcheol sendiri sebenarnya bukan orang yang suka seks dengan banyak orang, dia hanya pernah 2x jajan—itu juga karena diajak Mingyu. Seungcheol lebih suka seks dengan orang yang ia cintai. Tapi ia belum pernah melakukannya dengan Jessica. Rahasia kita, ya.

“Han, aku keluar ya.” Seungcheol mendongak ketika kejantanannya menembakkan cairannya ke dalam lubang Jeonghan. Ini cairan ketiga yang ia keluar di dalam Jeonghan.

Nafasnya terengah-engah, kejantanannya juga masih mengeluarkan cairan, ia juga merasakan kedutan pada lubang Jeonghan.

Setelah Seungcheol rasa cukup, ia mengelus kejantanannya dari lubang Jeonghan sedangkan Jeonghan ia sudah terlelap karena kelelahan akibat 6x pelepasan malam ini.

Seungcheol membersihkan tubuhnya dan tubuh Jeonghan, setelahnya ia ikut berbaring di sebelah Jeonghan. Malam ini malam yang indah untuknya, karena ia bisa menghabiskan malam dengan orang yang selama ini menempati posisi pertama dihatinya.

Seungcheol sadar, 85% sadar karena ia cukup tolerir pada alkohol. Tapi yang ia tidak sadar adalah mungkin saja Jeonghan bisa membencinya karena malam ini.

. . . . . . . . . . . . .

Jeonghan terbangun lebih dulu, ia merasakan tubuhnya yang sakit luar biasa apalagi bagian bawahnya. Dengan meringis dan mencoba sadar, ia menatap sekelilingnya dan ternyata ia tidak berada dikamar nya. Tubuhnya terpaku ketika ia melihat dirinya tidak memakai sehelai benang pun. Dengan takut, ia mencoba melihat seseorang disebelahnya yang masih terlelap.

Jeonghan terkejut, tiba-tiba saja air matanya mengalir turun. Dengan sakit dibawahnya ia pelan-pelan mengambil semua pakaiannya, memakainya kembali dan berjalan mengendap-endap keluar dari kamar hotel itu meninggalkan Seungcheol.

Acara reuni ini berjalan dengan meriah, bahkan panitia mengundang DJ untuk hiburan mereka. Seungcheol berjalan sambil tangannya digandeng oleh Jessica melewati kerumunan orang yang tidak banyak ia kenal. Kemudian ia melihat Mingyu yang mengangkat tangannya.

“Kirain ga jadi dateng.” Ucap Wonwoo

“Acara reuni macem apa sih ni? Berasa diskotik.” Ucap Seungcheol

“Yaelah udah pada gede kali.” Ucap Mingyu yang meneguk minumannya.

Hansol yang lebih dulu menyapa Jessica, lalu diikuti oleh Mingyu dan Wonwoo. Sebenarnya mereka kurang akrab, karena Jessica menganggap kalau teman-teman Seungcheol hanya pengganggu untuk hubungannya, sedangkan Wonwoo, Mingyu, dan Hansol memang tidak menyukai watak wanita itu.

Seungcheol dan Jessica dijodohkan karena hubungan bisnis kedua orang tua mereka. Dimana Seungcheol tidak menyukainya tapi Jessica sangat menyukainya.

“Jess, kamu kalo aus ambil minum sendiri ya.” Ucap Seungcheol

Jessica mengangguk, dan langsung pergi untuk mengambil minum.

“Cheol?” Seungcheol menoleh ke arah Mingyu yang memberinya isyarat untuk menoleh ke arah depan mereka. Dimana ada Jeonghan dan kedua temannya di sana.

Hansol meleparkan tissu pada Seungcheol. “Elap dulu air liur lo, ngeces gitu ngeliat Jeonghan.” Seungcheol buru-buru mengambil kembali tissu tersebut dan melemparkannya kembali ke Hansol.

“Gila gue udah berapa lama ya ga ketemu dia? Kok makin cakep sih?” Tanya Seungcheol, matanya tidak lepas dari Jeonghan. Jeonghan yang tertawa, Jeonghan yang sedang meneguk minumannya semua terekam dalam ingatan Seungcheol.

“Lagian kenapa ga lo ajak pacaran aja sih dulu? Padahal bisa jadi pasangan hot satu sekolah.” Ucap Mingyu. Seungcheol dulu adalah ketua tim basket sedangkan Jeonghan adalah ketua tim cheerleader di sekolah mereka. Keduanya sama-sama memiliki daya tarik tersendiri tapi saling bersinggungan.

“Percuma, ga bakal nyampe nikah. Capek sendiri yang ada.” Jawab Seungcheol.

“Tapi kan sekarang lo dah gede, dah bisa milih atau bahkan ngajak dia kawin lari aja bisa.” Ucap Wonwoo

“Kawin duduk aja capek apalagi kawin lari.” Jawab Seungcheol yang dihadiahi pukulan dari Wonwoo.

Seungcheol tertawa lalu ia menghela nafasnya. “Kasian dia, ntar hidupnya diteror terus sama orang-orangnya bokap. Iya kalo dia doang, gue masih bisa jagain. Kalo semua keluarganya? Apa ga beban punya mantu kayak gue?”

. . . . . . . . . . . . .

Acara makin malam makin meriah, DJ juga sudah mulai mainkan musiknya. Jeonghan hanya menatap kedua temannya yang masih menari di depan sana, kepalanya terlalu pusing untuk berjoget jadi ia memutuskan untuk menunggu di sofa.

Sambil memejamkan matanya barang 5 menit, saat membuka matanya kedua temannya sudah tidak ada ditempat tadi. Jeonghan kelimpungan, dengan sisa-sisa kesadarannya ia berjalan melewati kerumunan manusia yang sedang menikmati pesta. Kepalanya berdenyut dan musik yang cukup kerasa membuat Jeonghan tidak kuat. Pokonya keluar aja dulu dari sini.

Hampir 10 menit mencari kedua temannya dengan kepala yang pusing, akhirnya Jeonghan memutuskan untuk pulang sendiri. Dengan berjalan sempoyongan, ia berusaha keluar walaupun dengan menabrak semua orang yang menghalangi jalannya.

“Hey, kamu mabuk?” Sampai Jeonghan menabrak seseorang yang seharusnya ia hindari malam ini.

. . . . . . . . . . . . .

Ciuman yang berantakan mengawali pergumulan keduanya. Jeonghan yang sudah berantakan terbanting ke ranjang dengan Seungcheol yang menatapnya lapar.

“Jeonghan, aku harap kamu ga nyesel besok.” Setelah mengucapkan itu Seungcheol membabi buta di atas tubuh Jeonghan. Mulutnya ia gunakan untuk mencumbu laki-laki dibawahnya itu.

Lenguhan Jeonghan terdengar merdu di telinga Seungcheol, membuatnya tambah bersemangat untuk meninggalkan jejak-jejak kemerahan di sana.

Jeonghan menekan kepala Seungcheol yang berada di dadanya, mulutnya tidak berhenti mengeluarkan desahannya.

“Mmhhm... Haa...” Tubuh Jeonghan melengkung ketika Seungcheol menghisap putingnya dan mengelus lubangnya.

Setelah puas, Seungcheol membuka seluruh pakaiannya dan pakaian Jeonghan dengan Jeonghan yang menatapnya dengan tatapan menggoda.

“Sange ya kamu? Suka nenenin aku,hm?” Jeonghan mengangguk tangannya direntangkan meminta Seungcheol untuk menyentuh dadanya lagi. Dan disambut dengan senang hati oleh Seungcheol.

Tangan Seungcheol aktif di bagian bawah Jeonghan, berpindah-pindah dari kejantanan Jeonghan kemudian ke lubang Jeonghan. Jeonghan berjengkit ketika sesuatu memasuki lubangnya. Dan ini pertama kalinya ada yang memasukinya kecuali dildonya.

Seungcheol mendongak menatap Jeonghan yang sedang kesakitan tapi mungkin juga karena keenakan. Ia merasakan jarinya diremat kuat oleh lubang Jeonghan, bahkan ia juga bisa merasakan lubang Jeonghan yang berkedut.

Setelah Seungcheol rasa cukup, ia mulai mengarahkan kejantanannya ke lubang Jeonghan. Jeonghan mengerang kesakitan dan nikmat secara bersamaan ketika Seungcheol mulai masuk ke dalamnya.

“Jeonghan, kamu cantik banget kalo lagi sange gini. Aku jadi ikutan sange. Sayang, mau aku entotin? Yang keras?” Ucapan kotor yang Seungcheol tanyakan hanya dibalas desahan oleh Jeonghan.

“Oke, yang keras. Aku bakal bikin kamu terbang ke langit ketujuh.”

. . . . . . . . . . . . .

“ahhh! Ah! Ah! Ah! Ah! Ah!” Jeonghan terlonjak-lonjak akibat tumbukan keras Seungcheol. Seungcheol benar-benar tidak memberinya ampun, apalagi ini sudah ronde ketiga yang mereka lakukan.

“More—mmmm.... Ah.. Ah.. Ah... Deep—er—ouhhhhhh.”

“Suka ya aku entotin kayak gini,hm? Sukanya dari depan apa belakang?” Tanya Seungcheol, sambil tangannya menangkup wajah Jeonghan yang sedang ia kecupi belakang telinganya sambil pinggulnya terus bergerak.

“Dep—AHH.”

“Kenapa depan,hm? Biar bisa nenenin aku lagi, iya? Suka ya kalo nenennya diisep-isep gitu?” Dengan berpegang kuat pada leher Seungcheol, Jeonghan kembali mengeluarkan cairannya.

Sudah 6x Jeonghan keluar malam ini, dan malam masih cukup panjang bagi Seungcheol. Seungcheol sendiri sebenarnya bukan orang yang suka seks dengan banyak orang, dia hanya pernah 2x jajan—itu juga karena diajak Mingyu. Seungcheol lebih suka seks dengan orang yang ia cintai. Tapi ia belum pernah melakukannya dengan Jessica. Rahasia kita, ya.

“Han, aku keluar ya.” Seungcheol mendongak ketika kejantanannya menembakkan cairannya ke dalam lubang Jeonghan. Ini cairan ketiga yang ia keluar di dalam Jeonghan.

Nafasnya terengah-engah, kejantanannya juga masih mengeluarkan cairan, ia juga merasakan kedutan pada lubang Jeonghan.

Setelah Seungcheol rasa cukup, ia mengelus kejantanannya dari lubang Jeonghan sedangkan Jeonghan ia sudah terlelap karena kelelahan akibat 6x pelepasan malam ini.

Seungcheol membersihkan tubuhnya dan tubuh Jeonghan, setelahnya ia ikut berbaring di sebelah Jeonghan. Malam ini malam yang indah untuknya, karena ia bisa menghabiskan malam dengan orang yang selama ini menempati posisi pertama dihatinya.

Seungcheol sadar, 85% sadar karena ia cukup tolerir pada alkohol. Tapi yang ia tidak sadar adalah mungkin saja Jeonghan bisa membencinya karena malam ini.

. . . . . . . . . . . . .

Jeonghan terbangun lebih dulu, ia merasakan tubuhnya yang sakit luar biasa apalagi bagian bawahnya. Dengan meringis dan mencoba sadar, ia menatap sekelilingnya dan ternyata ia tidak berada dikamar nya. Tubuhnya terpaku ketika ia melihat dirinya tidak memakai sehelai benang pun. Dengan takut, ia mencoba melihat seseorang disebelahnya yang masih terlelap.

Jeonghan terkejut, tiba-tiba saja air matanya mengalir turun. Dengan sakit dibawahnya ia pelan-pelan mengambil semua pakaiannya, memakainya kembali dan berjalan mengendap-endap keluar dari kamar hotel itu meninggalkan Seungcheol.

Pagi harinya mata Jeonghan bengkak akibat menangis semalaman. Tapi setelah dipikir-pikir, ia dan Seungcheol masih dalam hubungan yang bisa dibilang sangat sebentar, tapi Seungcheol sudah ingin melamarnya. Itu artinya Seungcheol sangat serius dengannya. Dan ia rasa kesempatan kedua tidak selalu datang untuknya.

“Engga, gue ga bisa kehilangan Cherry.”

Jeonghan mengambil tasnya dan langsung memesan taksi online untuk mengantarnya ke rumah Seungcheol.

“Kak, mau kemana? Kok buru-buru banget?” Tanya mamanya yang melihat Jeonghan tergesa-gesa.

“Aku mau ke rumah Seungcheol ma, maaf kalo aku egois tapi aku bener-bener gak bisa kalo ga sama dia.” Ucap Jeonghan

Jeonghan pikir mamanya akan memarahinya, tapi mamanya malah tersenyum. “Kak, kamu udah gede. Kamu udah bisa bedain mana yang bener dan engga. Mama akan selalu dukung setiap pilihan kamu.”

“Mama, makasih banget. Tapi maaf Han harus pergi sekarang.” Jeonghan sempat memeluk mamanya sebentar sebelum akhirnya pergi.

Skip time.

Jeonghan mengetuk pintu rumah Seungcheol beberapa kali sampai akhirnya mama Seungcheol yang membukakannya.

“Eh Jeonghan, pagi-pagi bener datengnya? Mas kayaknya belum bangun deh.”

“Iya Tante, maaf ya. Aku ada urusan penting sama Seungcheol.”

“Iya gapapa, bangunin sana mas mu.”

Jeonghan mengangguk. “Jeonghan masuk ya Tante.” Jeonghan langsung melesat ke kamar Seungcheol.

Tok tok tok tok

“Masuk.” Ucap Seungcheol dari dalam. Dengan perlahan Jeonghan membuka pintu itu.

Seungcheol terkejut melihat Jeonghan di sana. “Mau ngapain lagi kamu?”

“Cherry?” Jeonghan sedih karena Seungcheol sangat dingin padanya. Bukan seperti Cherry nya yang biasa.

“Aku lagi mau diganggu, kamu pulang dulu aja.” Ucap Seungcheol tanpa melihat Jeonghan.

Tapi Jeonghan tidak menuruti perkataan Seungcheol, ia malah mendekat dan memeluk Seungcheol.

“Cherry, maaf. Maaf sempet ga percaya sama kamu. Aku tau kamu marah, tapi maafin aku. Aku ga mau putus sama kamu, aku sayang banget sama kamu.” Ucap Jeonghan

Seungcheol tidak membalas pelukan Jeonghan. Tapi ia tetap mendengarkan perkataan Jeonghan.

“Aku udah ga perduli lagi sama Jun, aku mau sama kamu. Aku ga perduli dia nyuruh kita putus atau di kecewa sama aku. Aku mau nya sama kamu. Aku gapapa ga punya adek tiri, tapi aku ga mau kalo ga punya kamu.”

“Bener gapapa kalo gak sama Jun?” Tanya Seungcheol

Jeonghan mengangguk. “Jun ga sayang sama aku, Cherry yang sayang sama aku.”

Seungcheol menahan senyumnya. Berr, bisa berhenti lucu gak?

“Bener mau nikah sama aku?”

“Bener.”

“Tapi kalo udah nikah aku ga izinin kamu ketemu Jun, gapapa emangnya?”

Jeonghan mendongak menatap Seungcheol. “Gapapa, tapi izinin aku ketemu mama papa.”

Bagaimana Seungcheol bisa menahan semua ini? Jeonghan terlalu lucu di matanya.

Seungcheol membalas pelukan Jeonghan. “Berr, kamu lucu banget sih. Mau gigit aku jadinya.”

“Cherry udah maafin aku? Kita balikan kan?”

Seungcheol melepaskan pelukannya, kemudian ia menangkup wajah Jeonghan. “Aku maafin karena kamu lucu. Aku mau balikan sama kamu karena aku juga masih sayang banget sama kamu.” Kemudian dikecupnya bibir Jeonghan.

Jeonghan menyengir senang, dan kemudian memeluk Seungcheol. Senang karena ia dan Seungcheol bisa kembali bersama, walaupun ada yang harus ia korbankan. Dek, maafin kakak ya.

Kemudian keduanya terdiam, dengan saling memeluk erat.

“Cherry?”

“Hm?”

“Mau dicium.”

Seungcheol tertawa dan langsung menuruti kemauan Jeonghan. Posisi keduanya saat ini sudah terduduk di atas ranjang Seungcheol, dengan bibir yang terus melumat satu sama lain. Jeonghan menahan kepala Seungcheol agar terus memakan bibirnya, sesekali satu tangannya mengelusi lengan Seungcheol.

Posisi seperti itu cukup membuat kepala Seungcheol pegal, akhirnya ia memindahkan Jeonghan untuk duduk dipangkuannya. Jeonghan terus bergerak dan beberapa kali mengenai kejantanan Seungcheol yang masih terbalut oleh celananya.

“Cherry, kalo mau lebih boleh.” Lampu hijau yang Jeonghan berikan tidak Seungcheol sia-siakan. Saat itu baru pukul 9 pagi, tapi keduanya sama-sama tidak perduli dengan suara mereka yang mungkin akan terdengar sampai keluar.

Skip time.

Jeonghan terbangun lebih dulu, ia merasakan nyeri di bagian belakangnya. Di belakangnya juga ada Seungcheol yang masih tertidur. Kemudian ia mengambil ponselnya untuk mengecek jam dan ternyata sudah jam 1 siang, pantas saja perutnya keroncongan karena ia belum sarapan tadi pagi.

Kemudian ia melihat sekeliling kamar Seungcheol, lumayan besar untuk ditinggali sendiri. Lalu matanya teralih pada sesosok makhluk bulu putih di sudut ruangan yang sedang menatap ke arahnya.

“Kkumma?”

Seungcheol mengatur nafasnya ketika gugup menyerang. Hari ini, ia akan berbicara dengan kedua orang tua Jeonghan—tapi Jeonghan juga tidak tau.

“Cherry.” Seungcheol tersenyum ketika melihat Jeonghan meyambutnya. Sebuah pelukan ia berikan pada kekasihnya itu.

“Ayo, papa mama udah nunggu di meja makan.” Jeonghan menggenggam tangan Seungcheol untuk mengajaknya masuk.

“Pa, ma, Seungcheol dateng.” Ucap Jeonghan

“Om, Tante.” Seungcheol menyapa kedua orang tua Jeonghan. Ia juga melihat ada Jun di sana.

“Duduk nak Seungcheol.” Ucap papa Jeonghan.

Seungcheol duduk di sebelah Jeonghan. “Oh ya om tante ini tadi Seungcheol mampir ke toko kue langganan keluarga.” Seungcheol memberikan tas kain berisi kue yang tadi ia beli.

“Aduh, jadi ngerepotin. Makasih ya Seungcheol.” Ucap mama Jeonghan yang menerima tas itu. Seungcheol mengangguk dan tersenyum.

“Ayo makan dulu.” Ucap papa Jeonghan. Mereka pun memakan makanan yang disediakan, sambil berbincang-bincang sedikit.

Skip time.

Mereka saat ini berada di halaman belakang rumah Jeonghan, untuk sekedar berbincang dengan suasana yang berbeda.

“Om tante, sebenarnya ada yang mau saya omongin.” Ucap Seungcheol tiba-tiba

“Tentang apa itu, Cheol?”

Jeonghan menatap Seungcheol meminta jawaban terlebih dahulu, karena jujur Seungcheol tidak membicarakan ini dengannya.

“Saya mau melamar Jeonghan.” Ucapan Seungcheol bukan hanya membuat kedua orang tua Jeonghan terkejut, tapi Jeonghan begitu juga dengan Jun.

“Cherry, kamu belum bilang ini sama aku?”

“Maaf berr, aku niatnya emang cuma mau minta izin dulu.”

“Gue ga setuju.” Semua orang menatap Jun.

“Dek?”

“Pa, ma, laki-laki ini gak baik. Dia ini dulunya udah ninggalin sahabat aku, dan sekarang seenaknya aja ngelamar Jeonghan.” Ucap Jun

“Gue ga nikahin sahabat lo juga karena lo ngasih pandangan yang jelek ke dia, sampe dia takut nikah.” Jawab Seungcheol, ia sebenarnya tidak enak dengan papa mama Jeonghan tapi ia merasa Jun lama-lama bersikap seolah-olah ia yang salah disini.

“Cherry?” Jeonghan menatap Seungcheol seperti meminta agar Seungcheol tidak berbicara seperti itu didepan orang tuanya.

“Maaf ya Seungcheol, tapi om sama sekali ga ngerti maksud kamu apa? Jun kasih pandangan jelek ke sahabatnya?” Papa dan mama Jeonghan sama sekali tidak paham dengan apa yang terjadi.

“Iya om, Jun ini sebenarnya adik tingkat saya di kampus dulu singkat cerita saya pacaran dengan sahabatnya Jun. Saya berhubungan selama 3 tahun, sebelum akhirnya saya ketemu sama Jeonghan. Selama saya pacaran dengan sahabatnya Jun, pacar saya selalu menganggap kalau pernikahan adalah omong kosong belaka. Saya tanya sama dia, siapa yang bilang seperti itu dan dia jawab Jun yang kasih tau. Itu berlangsung selama 3 tahun, sampai akhirnya saya putus. Dan sekarang saya bertemu Jeonghan, kemarin dia juga minta saya putus dengan Jeonghan. Saya ga tau salah saya apa sama dia, sampai dia seperti itu sama saya.” Ucap Seungcheol panjang lebar.

Jun menggeleng. “Bohong pa, dia bohong. Papa percaya kan sama aku? Aku ga mungkin kayak gitu.”

Papa Jeonghan menatap Jun dan Seungcheol secara bergantian. “Om gak tau siapa yang salah dan benar disini, cuma om merasa kalau anak om tidak mungkin seperti itu, mungkin kamu salah sangka sama Jun, Seungcheol.”

Seungcheol harusnya tau, tidak ada orang tua yang tidak membela anaknya. Sampai tenggorokannya putus pun papa Jeonghan tidak akan mempercayainya karena ia harus membela anaknya.

“Saya jujur om.” Ucap Seungcheol.

“Cherry, harusnya kamu jangan bilang gitu di depan papa.” Seungcheol menatap Jeonghan yang berbicara seperti itu.

“Berr, kalo kayak gini nasib hubungan kita sama kayak hubungan ku dulu. Aku gak mau berr kayak gitu, aku mau serius sama kamu.” Ucap Seungcheol sambil menatap Jeonghan intens.

Tapi, Jeonghan hanya diam. Ia juga tidak tau harus berbuat apa, karena posisinya tercekik disini. Tapi Seungcheol tidak mengerti.

“Berr, kamu ga percaya sama aku?” Tanya Seungcheol.

Jeonghan menggelengkan kepalanya. “Cherr, ga gitu sayang. Aku cuma—.” Jeonghan tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

“Kamu ga percaya sama aku, berr.” Ucap Seungcheol, ia melepaskan genggamannya. Sedangkan Jeonghan, ia berusaha untuk berbicara tapi tidak tau kenapa mulutnya seperti terkunci.

Seungcheol menatap Jun, yang menatapnya remeh. Lalu ia menatap kedua orang tua Jeonghan.

“Om tante, mungkin menurut om dan tante omongan saya tadi cuma bualan saja, tapi saya tidak akan pernah berbohong pada orang yang lebih tua, setidaknya itu yang diajarkan kedua orang tua saya. Saya permisi.” Seungcheol langsung pergi meninggalkan mereka semua, sedetik kemudian Jeonghan mengejarnya.

“Cherry, tunggu.” Jeonghan berhasil menghentikan langkah Seungcheol.

“Kenapa?” Tanya Seungcheol dingin.

“Cherry, ga gitu maksud aku. Posisi aku bener-bener terhimpit sekarang, aku ga bisa langsung membenarkan ucapan kamu di depan orang tua aku, kamu harusnya ngertiin posisi aku cherr.” Ucap Jeonghan, sambil ia menggenggam tangan Seungcheol.

Seungcheol melepaskan genggaman tangan Jeonghan. “Tapi kamu ga percaya sama aku, berr. Itu yang ada di mata kamu.”

Jeonghan menggelengkan kepalanya. “Gak gitu, cherr—please ngertiin aku dulu. Kasih aku space untuk ngomong sama orang tua aku, mereka juga pasti kaget tau kalau jun kayak gitu.”

“Berr, kita kayaknya ga bisa kayak gini. Aku ga bisa sama orang yang ga percaya sama aku.”

“Cherr, kamu jangan egois gini dong. Tolong ngertiin posisi aku.”

“Iya maaf kalo aku egois. Kamu bisa cari orang yang ga egois, kita putus aja ya. Dari awal ternyata kamu ga percaya sama aku, bukan karena malam ini tapi dari awal, dari aku ceritain semuanya. Itu yang bikin aku sedih. Jaga diri baik-baik ya berr, maaf kamu harus ketemu orang egois kayak aku.” Ucapan Seungcheol membuat Jeonghan menangis terisak-isak. Bukan, bukan ini akhir yang Jeonghan mau.

Seungcheol masuk ke mobilnya dan langsung pergi meninggalkan rumah Jeonghan. Meninggalkan Jeonghan yang masih menangis terisak-isak.

Jeonghan tidak tau apa permasalahan keduanya, tapi saat ini Seungcheol dan Jun saling berpandangan dengan tatapan sulit diartikan.

“Putusin dia.”

Ucapan Jun membuat Jeonghan terkejut. Kenapa ia harus putus?

“Dek, maksudnya apa?”

“Gue mau lo putusin dia. Gue bakal bersikap baik ke elo, kalo lo ga sama dia.” Ucap Jun

Seungcheol tertawa mencemooh. Membuat Jun tambah jengkel melihatnya.

“Dulu, putusin dia gue bakal ada buat lo terus. Sekarang, putusin dia gue bakal bersikap baik ke lo. Lo ga bosen apa nyuruh-nyuruh orang terus?”

“Dulu?” Tanya Jeonghan

“Dengerin gue, Jeonghan. Lo bakal nyesel kalo sama dia.” Ucap Jun.

“Sebentar, ini ada apa sih? Kalian saling kenal? Kok bisa?”

“Jeonghan, gue janji bakal jadi adik yang baik asal lo putus dulu sama dia.”

“Jun?”

Seungcheol muak. Lagi-lagi Jun ada di dalam hidupnya, sebagai sebuah masalah. Lagi.

“Han, aku pulang aja. Nanti kita ngobrol lagi, aku males satu ruangan sama orang kayak dia.” Ucap Seungcheol. Jeonghan hanya mengangguk, lalu ia ikut berjalan keluar mengantar Seungcheol.

“Lo pikir gue mau satu ruangan sama orang modelan lo? Gak sudi gue, Seungcheol.”

Seungcheol tertawa datar, menatap Jun. “Sampe lo ngancurin hubungan gue lagi, gue yang bakal ngancurin lo pake tangan gue.”

“Cherry.” Jeonghan meremas tangan Seungcheol yang sedang ia genggam. Meminta agar Seungcheol tidak berkata seperti itu.

“Lo liat sendiri kan, Jeonghan? Dia itu kasar, lo ga bakal kuat sama dia.”

Seungcheol geram. Tidak sengaja ia ikut meremas tangan Jeonghan sampai kekasihnya itu meringis.

“Stop, Jun. Lo ga puas bikin gue sama Wonwoo putus? Sekarang lo mau juga gue putus sama kakak lo? Stop ikut campur tentang hubungan gue.” Ucap Seungcheol sedikit berteriak.

Jeonghan terkejut, ternyata Jun yang membuat Seungcheol putus dengan mantan pacarnya. Tapi apa yang Jun lakukan?

“Gue bakal ngelindungin siapapun dari lo.” Jun menunjuk Seungcheol.

“Cherry, udah ya. Jangan dilanjut, aku takut. Jun, udah kamu masuk dulu kakak mau anter Cherry keluar dulu.” Jeonghan berusaha menengahi keduanya.

“Lo akan selalu kalah dari gue, Seungcheol.” Jun berjalan meninggalkan Seungcheol dan Jeonghan.

“Lo pikir kali ini gue bakal ngalah?”

Jun menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Seungcheol.

“Gue gak akan pernah ngelepasin Jeonghan. Gue ga akan ngalah kayak dulu. Lo liat Jun, gue ga akan kalah dari lo. Lagi.” Seungcheol menarik tangan Jeonghan untuk ikut keluar, meninggalkan Jun yang kesal.

Seungcheol mendorong Jeonghan untuk masuk ke mobilnya.

“Cherry?”

Seungcheol membenturkan kepalanya ke stir mobilnya.

“Cherry, udah udah. Sakit nanti kepala kamu.” Jeonghan menghentikan Seungcheol yang sedang membenturkan kepalanya.

“Berr, janji sama aku. Kamu bakal percaya sama aku. Aku ga bisa berr, kalo harus kehilangan kamu juga.” Seungcheol menggenggam tangan Jeonghan. Jeonghan sendiri hanya mengangguk, tapi dalam kepalanya ia bertanya-tanya sebenarnya ada apa, kenapa Seungcheol dan Jun seperti itu?

Jadi, ia harus percaya dengan siapa?

Kekasihnya atau adiknya?

Deg-degan. Itu yang Seungcheol rasakan ketika ia berkenalan dengan keluarga Jeonghan. Pertama kalinya ia berkenalan dengan keluarga dari pacarnya. Tapi, ini berjalan dengan lancar. Kedua orang tua Jeonghan menerimanya dengan baik.

“Maaf ya Seungcheol, Tante sama om harus pergi dulu.” Ucap mama Jeonghan.

“Gapapa Tante, Seungcheol yang minta maaf karena tiba-tiba dateng.”

“Jeonghan udah ngomong dari kemarin, makannya Tante sempet masak.”

Benar, mama Jeonghan sudah memasak makanan yang cukup banyak karena Seungcheol datang.

“Han, papa sama mama pergi dulu ya. Adek mu ajak makan sana.” Ucap mama Jeonghan

“Iya ma, nanti Han ajak makan. Papa sama mama hati-hati.”

“Jaga rumah ya kak.” Ucap papanya.

Jeonghan mengangguk. Kemudian ia salim pada kedua orang tua, begitu juga Seungcheol.

“Hati-hati om tante.”

Papa Jeonghan mengangguk, lalu ia pergi dengan mama Jeonghan yang mengikuti dibelakangnya.

“Adek kamu mau dipanggil dulu gak?”

“Nanti aja. Kamu mau nambah gak?”

“Udah yang, ga muat.” Ucap Seungcheol sambil mengelus-elus perutnya yang begah. Jeonghan tertawa, ia ikut mengelus-elus perut Seungcheol.

“Udah berapa bulan pak?”

“7 bulan nih, 2 bulan lagi keluar.”

Mereka tertawa bersama. Lalu saling menatap, kemudian bibir mereka sudah saling merekat.

“Aku panggil adek dulu ya.” Ucap Jeonghan sambil mengelap bibir Seungcheol yang basah. Seungcheol hanya mengangguk sambil memainkan ponselnya sembari menunggu Jeonghan.

“Yang, kenalin ini adek aku.”

Seungcheol menoleh. Senyum di bibir nya hilang.

“Seungcheol?”

Jeonghan menatap adiknya bingung. “Adek, udah kenal Seungcheol?”

Adiknya tidak menjawab. Jeonghan menatap adiknya yang menatap Seungcheol dengan tatapan benci.

“Apa kabar, Jun?”