Jeonghan menyambut Seokmin yang baru datang ke apartemen mereka dengan kecupan-kecupan di seluruh wajah Seokmin. Seokmin tertawa, sambil mengangkat tubuh Jeonghan agar lelaki itu lebih mudah mengecupinya.
“Pas banget kamu dateng pasta nya mateng.” Jeonghan membantu Seokmin membuka hoodie yang ia kenakan.
“Dapet salam dari mama, katanya udah jarang kamu ke rumah.” Kali ini Seokmin yang mengecupi seluruh wajah Jeonghan.
“Iya ya, weekend depan deh aku ke rumah.”
Seokmin mengangguk. “Cium boleh gak?”
“Pake izin segala, boleh lah.” Jeonghan mendekatkan wajahnya ke arah Seokmin dan di sambut oleh Seokmin. Bibir Jeonghan dilumat habis oleh Seokmin, Jeonghan hanya berusaha mengimbangi permainan bibir Seokmin. Tangannya ia kalungkan ke leher Seokmin sebagai pegangannya. Seokmin menggigit bibir bawah Jeonghan untuk meminta akses masuk ke dalam mulut Jeonghan.
Jeonghan melenguh ketika langit-langit mulutnya di gelitik oleh lidah Seokmin, serta lidahnya di hisap juga. Jeonghan memukul pelan Seokmin ketika ia merasakan kehabisan nafas. Keduanya tersengal-sengal sambil saling bertatapan. Seokmin juga menghapus jejak saliva yang berada di mulut Jeonghan.
“Aa tumben ganas banget.”
“Udah lama kayaknya.”
“Aa lagi pengen ya?”
Seokmin menggeleng. “Pengen cium kamu aja, kalo lebih kayaknya lagi ga ada tenaga aku yang. Kamu pengen kah?”
“Kepancing dikit, tapi masih bisa aku handle.”
“Kalo mau ya ayo aku bantu.”
“Engga aa, lagian kayaknya kondom abis deh.”
“Oh iya, terakhir kita yang sebelum aku dinas luar itu ya. Yaudah nanti aku beli lagi.”
“Yaudah ayo ah, keburu dingin pasta nya.” Jeonghan mengajak Seokmin menuju meja makan. Lalu ia memberikan sepiring pasta pada Seokmin.
“Selamat makan, aa.”
“Selamat makan sayang.”
. . . . . . . . . . .
Jeonghan selalu suka ketika ia bersandar di dada Seokmin. Dada bidang yang akan selalu menjadi miliknya.
“Yang, aku mau ngomong sesuatu, boleh?”
Jeonghan mengangkat kepalanya untuk menatap Seokmin. “Ngomong apa?”
“Sayang ada yang mau diceritain gak ke aku?”
Seokmin melihat Jeonghan mengernyitkan keningnya.
“Cerita apalagi a? Aku kan udah cerita yang waktu aku ke Bogor. Aku ga ada cerita lagi.”
“Cerita tentang kamu yang ketemu mantan kamu di sana mungkin?”
Seokmin melihat perubahan wajah Jeonghan yang tiba-tiba saja menjadi gugup.
“Atau kamu yang tadi pagi sarapan bareng dia?”
Jeonghan makin tidak bisa berkutik. Darimana Seokmin tau?
“Pasti bingung aku tau darimana.” Seokmin tertawa kecil. “Kemarin Wonwoo nemenin Jun ke Bogor, dia liat kamu. Terus tadi Seungkwan ga sengaja liat kamu juga. Mungkin ada yang aku ga tau, bisa kamu ceritain.”
“Aa, maaf.” Jeonghan menundukkan kepalanya. Ia menyesal. Sangat-sangat menyesal.
“Ada apa? Kenapa sampe kayak gini?”
“Aa, aku gak sengaja ketemu dia terus yaudah kita ngobrol. Masalah tadi pagi, aku juga ga tau tiba-tiba aja dia bilang dia ada dibawah jadi mau gak mau aku samperin.”
Seokmin menghela nafasnya. “Bahkan kamu ngasih tau alamat apartemen kita.”
“Aa, maaf. Maaf banget, tapi aku ga ada apa-apa sama dia. Aku berani sumpah.”
“Ya kalo ga ada apa-apa kenapa musti bohong? Bohong kalo kamu ga ketemu siapa-siapa lagi. Bohong kalo ada acara padahal acaranya cuma malem, kamu keluar sama dia kan siangnya? Bahkan malem sebelumnya kamu keluar juga sama dia. Yang, kamu tuh gak suka loh sama cuaca dingin, tapi kenapa kemarin kamu bela-belain pake jaket dobel cuma buat keluar sama dia? Terus tadi pagi kamu bohong katanya baru bangun, tau-taunya kamu abis sarapan bareng sama dia. Ini gimana, tolong dong dijelasin ke aku. Aku harus gimana? Aku harus apa?”
Seokmin marah. Ini pertama kalinya Seokmin marah pada Jeonghan. Bagi Jeonghan, Seokmin adalah manusia paling lembut yang ia temui. Tapi kali ini Seokmin marah. Dan itu akibat ulahnya.
“Aku bener-bener cuma ngobrol, nemenin dia gak lebih. Aku ga selingkuh a, aku berani sumpah sama kamu.”
“Terus kenapa ga bilang sama aku?”
“Aku cuma takut kamu marah, a.”
“Terus menurut kamu sekarang aku gak marah? Iya? Terus menurut kamu, aku bakal iya-iya aja abis kamu bohongin? Gitu? Sedangkal itu kamu nilai aku, Han.”
Jeonghan yang tadinya menunduk, langsung menatap Seokmin. Ia tidak suka Seokmin memanggil nama aslinya. Ia tidak suka.
“Terus apa yang kamu obrolin sama dia? Masa lalu kalian? Masa-masa indah kalian dulu? Mau diulang? Iya? Kalo iya, gapapa aku mundur.”
Jeonghan kelabakan ketika Seokmin berbicara seperti itu. Jeonghan menggeleng memohon.
“Jangan a, jangan. Aku maunya sama aa.”
“Ya kalo maunya sama aku ya jangan bohong.”
Jeonghan menangis terisak-isak tapi tidak digubris oleh Seokmin.
“Han, aku gapapa kalo kamu mau ketemu sama dia. Gapapa kalo kamu mau makan sama dia, asal kasih tau aku. Apa sih susahnya ngabarin aku? Kamu kan tau aku paling ga suka kalo tau tentang kamu dari orang lain.”
Jeonghan masih belum bisa menjawab, ia bahkan masih memegangi tangan Seokmin.
“Udahlah, aku pulang dulu. Kita sama-sama dinginin kepala dulu.”
Jeonghan menggeleng. “Noooooo, ayo selesaiin sekarang. Aku ga mau kita berantem berlarut-larut.”
“Apa yang bisa diselesaikan kalo sama-sama panas? Hubungan kita? Iya? Kamu mau hubungan kita yang selesai?”
Jeonghan menggeleng, ia memegangi dadanya yang terasa sakit. Ia tidak mau berakhir dengan Seokmin.
Seokmin masih emosi, ia kemudian mengambil hoodie nya dan langsung pergi, Jeonghan mengejarnya.
“Terus apa bedanya kamu dulu ketemu Jisoo diem-diem? Bahkan kamu juga bohongin aku, Seok.”
Seokmin terhenti dan langsung menatap Jeonghan.
“Aku ketemu Jisoo karena mau bantu dia ngurus pernikahannya. Karena mas Seungcheol lagi sibuk, kasian kalo dia sendirian. Lagian aku ngelakuin itu biar nanti kalo kita nikah, aku udah tau apa-apa aja yang musti disiapin.”
“Tapi sama aja kan, kamu sama aku sama aja. Kita sama-sama bohong.”
Seokmin tidak mengerti jalan pikiran Jeonghan. Tapi jujur, ia terlalu lelah untuk berdebat lebih lanjut.
“Oke, itu semua salah aku. Semua yang terjadi sama kita, itu salah aku. Itukan mau kamu?”
Jeonghan menggeleng lemah. “A, gak gitu...”
“Kita break aja dulu. Sama-sama introspeksi diri. Selama kita break kamu boleh ketemu mantan mu itu, gak usah bilang sama aku. Biar kamu bisa tau, kamu masih butuh aku apa engga.”
Jeonghan terduduk lemas ketika Seokmin mengatakan hal itu. Kenapa jadi seperti ini? Andai aja waktu itu dia gak mengiyakan ajakan mantannya, mungkin saat ini ia dan Seokmin baik-baik saja.
“Kamu jaga kesehatan. Hati-hati setiap kemanapun atau ngelakuin apapun. Aku pergi dulu.”
Seokmin memejamkan matanya ketika ia mendengar jeritan keras dari Jeonghan yang memanggil namanya. Hatinya sakit mendengar Jeonghan menangis, tapi hatinya lebih sakit ketika dibohongi. Seokmin tetap melanjutkan langkahnya meninggalkan Jeonghan yang masih menangis menjerit-jerit di sana.