Jeonghan menaruh tas nya di kursi belakang saat ia sudah masuk ke dalam mobil. Seokmin hanya memperhatikan ketika laki-laki itu membuka jas dan menggulung lengan kemejanya juga. Jeonghan yang merasa diperhatikan pun menoleh dan tersenyum lebar lalu ia merentangkan kedua tangannya meminta untuk di peluk.

“Uhhh sayangku.” Seokmin menepuk-nepuk punggung Jeonghan.

“Love you aa.”

“Love you too sayangku.”

Lalu keduanya sama-sama terdiam menikmati pelukan mereka.

“Besok weekend mau kemana buy?”

Jeonghan melepaskan pelukannya. “Ke IKEA yuk a? Beli lemari, kayaknya lemarinya ga cukup kalo buat baju kita.”

“Oke, apa lagi?”

“Apa ya, kulkas udah, mesin cuci udah, terus peralatan masak udah. Atau kamu mau belanja isi kulkas juga a?”

“Ya kalo bisa sekalian ya sekalian, daripada bolak-balik. Tapi kalo sayur buah gitu mendingan ga usah banyak yang, itu ntar aja.”

“Ya paling cemilan kan? Buat sepupu-sepupu kamu yang dari Bandung.” Rumah mereka nantinya akan digunakan untuk tempat menginap keluarga Seokmin yang dari Bandung, kebetulan keluarga besar Seokmin benar-benar besar—bahkan ada yang menginap di rumah Seungcheol juga.

Seokmin menjalankan mobilnya menuju rumah mereka. Niatnya, hari ini mereka akan menginap di rumah itu—latihan berumah tangga katanya. Rumah yang Seokmin beli sudah lengkap dengan isinya—Jeonghan hanya perlu bawa badan dan baju-bajunya saja. Rumah itu juga cukup besar, Seokmin sengaja biar nanti kalau ada saudara darinya atau Jeonghan bisa menginap di sana.

Sesampainya di rumah itu, Jeonghan lebih dulu masuk sedangkan Seokmin memarkirkan mobilnya dan menutup gerbang sekalian. Ketika Seokmin masuk, ia mendapati Jeonghan yang malah merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah.

“Kenapa tiduran disini sih? Ke kamar ayo.” Jeonghan merentangkan kedua tangannya—meminta untuk dibangunkan—dengan sigap Seokmin menariknya dan ia sampiran ke bahunya, kemudian satu tangannya ia gunakan untuk merangkul pinggang Jeonghan satu tangannya lagi untuk membawa tas mereka berdua.

Di kamar, Jeonghan membuka seluruh pakaiannya—kecuali celana dalamnya—ini adalah kebiasaannya dan Seokmin memakluminya—malah ia senang diberi tanpa meminta. Kemudian Jeonghan masuk ke kamar mandi, Seokmin mengambil pakaian tidur untuk keduanya.

Beberapa menit kemudian Jeonghan selesai, ia mengucapkan terima kasih pada Seokmin karena menyiapkan baju untuknya. Sekarang gantian Seokmin yang mandi, sedangkan Jeonghan memesan makanan—jadi Seokmin kelar mandi mereka bisa langsung makan. Sungguh kerjasama yang baik.

Setelah beberapa menit kemudian, Seokmin sudah selesai kemudian ia menuju meja makan. Ia melihat sudah tertata dengan rapih beberapa makanan yang Jeonghan pesan. Lalu mereka makan sambil berbincang-bincang mengenai persiapan pernikahan mereka.

. . . . . . . . . . . . .

“Kalo udah beneran capek dan pengen keluar kurang dari 2 Minggu ya gapapa yang, ntar aku yang bayar pinaltinya.” Ucap Seokmin sambil memainkan rambut Jeonghan yang berada di dadanya.

“Janganlah, masa kamu semua yang bayar. Aku lagi nguat-nguatin aja sih, pasti bisalah 2 Minggu lagi ini.”

“Ya daripada kamu ga nyaman gini.”

“Nyaman, kan dipeluk aa.”

Seokmin menggigit hidung Jeonghan pelan. “Gemes aku.”

“Aa?”

“Apa sayangku?”

“Makasih ya a.”

“Makasih apa lagi? Kamu jangan kebanyakan makasih buy, yang aku lakuin ini tuh udah kewajiban aku.”

“Makasih karena udah kasih aku banyak kesempatan, makasih udah mau pilih aku yang banyak kurangnya ini, makasih udah sayang terus sama aku.”

“Buy, aku udah janji sama diri aku sendiri. Aku ga bakal nikah kalo bukan sama kamu. Mendingan aku tua sendirian daripada harus nikah sama orang lain. Mendingan aku ga punya rencana lain dibanding ada rencana tapi ga ada kamu di dalamnya.”

Jeonghan menenggelamkan wajahnya di dada Seokmin. Mengecupi dada itu beberapa kali.

“A, aku juga janji sama diri aku sendiri kalo aku gak akan pernah lagi minta pisah dari kamu. Bisa gila aku kalo liat kamu sama yang lain.”

“Makannya jangan tinggalin aku lagi ya, buy.”

“Gak akan pernah lagi, a.” Lalu bibir keduanya sudah saling menyatu. Saling mentransfer kehangatan satu sama lain. Kali ini, tidak ada nafsu yang ada rasa cinta dari keduanya.

“Buy, kamu mau tau gak tadi aku jajanin Jeongyeon karena apa?” Tanya Seokmin ketika ciuman mereka selesai.

“Dia minta?”

Seokmin menggeleng. “Bukan.”

“Terus?”

“Karena ini.” Seokmin memperlihatkan ponselnya pada Jeonghan. Jeonghan terkejut karena yang di perlihatkan adalah fotonya jaman dulu ketika rambutnya masih panjang.

“Ih malu tau a.”

“Cantik buy, cantik banget.”

Jeonghan menatap Seokmin yang menatapnya penuh cinta—itu yang ia lihat di mata Seokmin.

“Aa suka aku begini?”

“Aku suka kamu gimana aja buy, selama kamu nyaman.”

Lagi-lagi, Jeonghan merasa dicintai sebesar ini dengan laki-laki di depannya itu. Jeonghan tertawa tapi air matanya mengalir.

“Buy?” Seokmin panik karena Jeonghan menangis tiba-tiba.

“No, ini air mata bahagia aku. Bahagia karena bisa dicintai sama kamu sebesar ini a.”

“Karena kamu pantes dapet cinta yang sebesar ini, buy.”