thatausaha

Seokmin duduk di kursi pengemudi dan Jisoo di sebelahnya. Keduanya tidak ada yang bersuara. Seokmin fokus pada jalanan dan Jisoo yang fokus pada pikirannya. Apakah kakeknya akan suka dengan pilihannya?

Selama 1 jam mereka menempuh perjalanan, akhirnya keduanya sampai di rumah kakek Hong.

“Seok, kamu cuma perlu diam. Biar saya yang jawab pertanyaan kakek.”

Perkataan Jisoo berbanding terbalik dengan kenyataan. Buktinya, sekarang malah Seokmin yang asik ngobrol dengan sang kakek.

Antara kesal dengan senang, kesal karena di abaikan dan senang karena kakeknya menerima Seokmin dengan baik.

“Jadi kalian akan tinggal dimana setelahnya?”

“Di rumah pak Jisoo, kek.” Jawab Seokmin

“Kok kamu masih manggil dia pak Jisoo? Memangnya tidak ada panggilan sayang?”

Seokmin dan Jisoo menoleh kikuk.

“Mungkin karena kita belum nikah, jadi saya masih segan manggil pak Jisoo dengan sebutan lain.” Jawab Seokmin lagi.

“Kan biar terbiasa.”

“Nanti kita biasakan kek.”

Lalu keduanya kembali larut dalam obrolan mereka, melupakan Jisoo yang masih ada di sana.

. . . . . . . . . .

Jisoo menghampiri Seokmin yang sedang memberi makan ikan-ikan kakeknya.

“Akrab banget sama kakek.”

Seokmin menoleh, ia tersenyum sampai akhirnya ia fokus kembali ke ikan-ikan itu.

“Seok ih.” Jisoo merengek.

“Kenapa pak?” Seokmin mencuci tangannya setelah selesai memberi makan ikan-ikan.

“Tau ah.” Jisoo mengerucutkan bibirnya dan melipat kedua tangannya di dadanya. Ngambek

“Gemas.” batin Seokmin

Seokmin ikut duduk di sebelah Jisoo yang sedang merajuk. Lalu dengan perlahan ia menarik tangan Jisoo, Jisoo yang tidak mengerti hanya mengikuti gerakan Seokmin. Hingga kini, Jisoo duduk di atas pangkuan Seokmin.

“Seok, malu ih.”

Seokmin menahan kita Jisoo akan bangkit dari atasnya.

“Seok, ini tuh di rumah kakek.”

“Tapi kakek gak ada pak.”

“Seok?”

“Apa sayang?”

Jisoo membulatkan matanya terkejut. “Seok!”

“Kata kakek harus terbiasa. Ayo sekarang kita harus coba.”

Jisoo menggeleng.

“Engga mau?”

“Malu.” Ucap Jisoo pelan. Ia bahkan tidak sadar kalau sudah menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seokmin.

Seokmin terkekeh, ia mempererat pelukannya. Membiarkan Jisoo bersembunyi di sana.

. . . . . . . . . .

“Jadi pernikahan kalian kapan?” Saat ini mereka sedang makan malam bersama.

“Kalo 3 bulan lagi kecepatan gak kek?” Tanya Jisoo

“Tidak, lebih cepat lebih baik.” Jisoo mengangguk.

“Papi mu tau?”

Gerakan tangan Jisoo terhenti ketika mendengar pertanyaan kakeknya. Lalu ia menggeleng.

“Aku gak kasih tau papi, aku harap kakek juga.”

Kakek Hong menghela nafasnya. “Oke, kakek gak akan kasih tau papi mu. Kamu bisa pastiin kalo dia gak akan gagalin rencana kamu?”

“Wonwoo mau bantu.” Ucap Jisoo

“Ya sudah, berarti kakek tidak perlu turun tangan.”

“Kakek cuma perlu dateng dan kasih restu untuk kita.”

. . . . . . . . . .

“Eunghhhh.”

Jisoo dan Seokmin sedang berada di jalanan dekat rumah Seokmin. Keduanya sedang saling bercumbu mesra.

Jisoo bisa merasakan tangan Seokmin yang sudah menyusup kedalam bajunya. Mengelus-elus putingnya dan perutnya. Jisoo melenguh ketika lidah Seokmin menggelitik langit-langit mulutnya.

Selama 15 menit keduanya menyudahi ciuman mereka. Seokmin melihat Jisoo yang berantakan. Ia membuat berantakan bosnya

“Maaf bibirnya sampe bengkak.”

Jisoo menatap Seokmin dengan tatap sayu, ia masih dilanda nikmat. Dan ia mengangguk.

“Bisa pulang sendiri?” Lagi-lagi Jisoo mengangguk.

“Tidur dirumah aku aja?”

Aku bukan saya lagi batin Jisoo

“Terus aku tidur dimana?” Jisoo membalas “aku” pada Seokmin.

“Tidur sama aku.”

Jisoo merasakan ada kupu-kupu berterbangan di perutnya. Aneh sekali rasanya ketika Seokmin lebih manis seperti ini. Tapi ia suka.

“Yakin?”

Seokmin mengangguk.

“Tidur aja?”

Seokmin mengangguk lagi. “Tidur aja—”

“—Karena ada Chan di rumah.”

15.00

Tepat pukul 3 sore Seungcheol pulang, tapi ia merasa rumahnya seperti tidak berpenghuni.

“Sayang, aku pulang.”

Tapi tidak ada jawaban. Akhirnya Seungcheol memutuskan untuk menuju kamarnya, dan ada Jisoo di sana.

“Sayang?”

Jisoo menoleh, lalu tersenyum kecil. Badannya sudah tidak sepanas semalam tapi kepalanya masih pusing.

“Han mana?”

“Mandi.” Jawab Jisoo pelan

Jisoo merentangkan kedua tangannya meminta dipeluk.

“Aku mandi bentar ya? Keringetan banget.” Jisoo mengangguk. Seungcheol mengambil baju di lemarinya dan masuk ke kamar mandi dimana ada Jeonghan di sana.

“Cheol ih.” Seungcheol tertawa, lalu ia ikut mandi bersama Jeonghan.

“Mandinya jangan lama-lama, Jisoo ditinggal sendirian.”

“Aku baru bentar kok, baru 15menit yang lalu kayaknya.”

Seungcheol tidak menjawab, ia langsung menyabuni tubuhnya sendiri. Ia mandi secepat kilat.

“Kamu kalo masih mau mandi lama gapapa, tapi jangan lama-lama banget nanti sakit. Aku gantian jaga Soo.”

“Oke.” Sebelum keluar, Seungcheol menarik tangan Jeonghan agar menjauhi shower dan mencium bibir Jeonghan dengan rakus. Jeonghan hanya pasrah dengan apa yang Seungcheol lakukan pada bibirnya.

“Bengkak yang.” Ucap Seungcheol, ia tertawa. Jeonghan memukul lengan Seungcheol.

“Kebiasaan.”

“Aku tuh udah kecanduan bibir kamu sama Soo. Jadi sabar aja ya?” Ucap Seungcheol sambil mengedipkan matanya.

“Ya emang harus aku sama Soo aja. Awas aja ada orang lain.”

“Mana berani aku. Udah ah, kasian Soo sendirian. Love you yang.”

“Love you too yang.”

. . . . . . . . .

Saat ini Seungcheol dan Jisoo sedang berbagi kehangatan. Seungcheol memeluk erat tubuh Jisoo yang masih lemas.

“Makannya tadi abis gak yang?”

Jisoo mengangguk. “Tapi aku makannya lama, Jeonghan jadi telat makan karena nyuapin aku. Maaf ya yang.”

“Gapapa yang, Jeonghan nya juga ga marah.”

Jisoo mendusal ke leher Seungcheol. “Kamu anget banget sih, Cheol.”

“Biar pacarku pada nyaman kalo dipeluk.”

Cklekkkk

Jeonghan keluar dari kamar mandi dan mendapati kekasihnya sedang saling menghangatkan.

“Tadi kamu beli apa Cheol buat makan malem?”

“Beli tongseng ayam yang.”

“Lah Jisoo juga kamu beliin tongseng?”

“Gak lah, aku beliin bubur.”

“Bubur terus yang, bosen.” Ucap Jisoo merengek di leher Seungcheol.

“Aku beli cream soup sama ayam juga sih.”

“Kamu mau makan itu aja Soo?”

“Iya katanya yang.” Seungcheol merasakan anggukan kepala Jisoo.

“Yaudah aku angetin dulu.”

“Yang, mau jus melon dong.” Ucap Seungcheol

Jeonghan mengangguk. “Soo mau apa?”

“Mau juga, tapi boleh pake es gak?”

“Ga.” Jawab Jeonghan cepat.

“Cheol.” Ucap Jisoo merengek, bermaksud mengadu pada Seungcheol.

“Nurut ah sama Jeonghan.”

“Dikit aja yang. Panas banget nih, aku keringetan banget.”

“Oke, sedikit. Bener-bener sedikit.” Ucap Jeonghan

Jisoo tersenyum. “Makasih sayang, love you. Udah sana kamu angetin, aku mau pacaran dulu sama pacar aku.”

“Heh, kurang ajar. Emang aku pembantu.”

Seungcheol dan Jisoo tertawa.

“Makasih sayangnya aku, love you. Udah 2x loh aku ngomongnya.”

“Love you too.” Ucap Jeonghan lalu ia langsung pergi ke dapur.

“Pacar kamu tuh.”

“Pacar kamu juga.”

Seungcheol membawa Jisoo ke dalam ciumannya.

Jisoo terbangun dari tidurnya, ia berjalan menuju kamar kekasihnya yang sedang asik bergumul.

Cklekkkk

Jisoo melihat Jeonghan berada di atas tubuh Seungcheol dengan kejantanan Seungcheol yang tertanam dalam lubang Jeonghan.

“Yang kenapa?”

Jisoo tidak menjawab, ia malah ikut merebahkan tubuhnya di samping Seungcheol yang telanjang bulat. Lalu ia menyembunyikan wajahnya di ketiak Seungcheol.

“Yang kenapa?” Tanya Seungcheol

“Pusing.” Jawab Jisoo lirih

Saat Jeonghan akan menyelesaikan kegiatannya dengan Seungcheol, Jisoo melarangnya.

“Kamu kelarin dulu, kasian kalian belum keluar. Aku nunggu disini.”

“Gimana bisa deh yang kamu sakit aku malah ngewe.” Jawab Jeonghan

“Bisa sayang. Kasian tuh Cheol nya belum keluar juga.”

“Udah Han, main cepet aja. Aku yang gerak.”

Seungcheol membalikkan tubuh mereka, sekarang Jeonghan yang dibawah. Tangan Jeonghan terulur ke kening Jisoo, ia merasakan kening Jisoo panas. Jisoo demam

Seungcheol masih terus menggerakkan pinggulnya, dengan pandangan sedih ke Jisoo.

“Ahh Cheol—.” Jeonghan berteriak ketika Seungcheol mengenai sweet spotnya. Tubuhnya terlonjak-lonjak.

Jisoo melihat itu, ia menatap Jeonghan yang sedang dikejar nafsu. Tangannya menggenggam tangan Jeonghan.

“Kamu cantik banget kalo lagi gini, yang.” Ucap Jisoo, sebelah tangannya ia gunakan untuk mengelus pipi Jeonghan.

“Cium aku.” Ucap Jeonghan

“Aku lagi sakit, nanti kamu ketularan.”

“Kamu demam bukan flu. Cepetan Soo.”

Akhirnya Jisoo mencium bibir Jeonghan, tangannya yang menganggur ia gunakan untuk merangsang Jeonghan tepat di putingnya.

“Kamu mau ikutan Soo?” Tanya Seungcheol

Jisoo menggeleng ketika menyudahi ciumannya dengan Jeonghan.

“Aku lemes banget, yang.”

“Yaudah kalo mau bilang ya.”

Jisoo kembali mengangguk, lalu kembali juga mencium Jeonghan.

“Han, aku keluar.”

“ARGHHHH.” Seungcheol dan Jeonghan keluar secara bersamaan.

Dengan cepat Seungcheol melepaskan tautan tubuh mereka. Ia bergerak mengambil tisu, mengelap kejantanannya dan memakai celananya. Lalu mengelap cairannya yang masih menetes dari lubang Jeonghan, juga cairan Jeonghan di perutnya. Setelahnya Seungcheol memakaikan lagi celananya.

“Pake baju Han?”

“Jangan. Aku mau dipeluk begini.” Jisoo yang menjawab.

Lalu Seungcheol dan Jeonghan mengapit Jisoo, memberikan kehangatan untuk kekasihnya itu.

“Aku ambil air kompresan dulu deh.”

Saat Seungcheol akan pergi Jisoo menahannya.

“Jangan pergi.”

“Aku ke dapur doang yang.”

Jisoo menggeleng. Seungcheol mengalah. Ia kembali memeluk kedua kekasihnya.

. . . . . . . . .

Keesokan harinya, Jeonghan sudah bangun lebih dulu. Ia memasak untuk kedua kekasihnya.

Tiba-tiba tubuhnya di peluk erat oleh Jisoo.

“Kok bangun yang? Masih pusing kan?” Tanya Jeonghan sambil mengelus lengan Jisoo yang di perutnya.

“Kamu nya gak ada.”

Jeonghan terkekeh. “Kan ada Cheol.”

Jisoo masih diam, memperhatikan Jeonghan yang masih sibuk menyiapkan masakan.

“Yang, kok disini?” Seungcheol mengucek matanya

“Bawa nih yang, nanti aku ke kamar lagi bangunin kalian.”

“Ayo yang?”

“Gendong.”

Seungcheol langsung menggendong Jisoo seperti koala. Jisoo menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seungcheol.

“Kamu kerja jam berapa Cheol?”

“Aku udah bilang dateng telat yang.”

“Aku gak mau ke rumah sakit, Cheol.” Ucap Jisoo merengek

“Nanti ga sembuh.”

Jisoo makin merengek, dan itu cukup membuat Seungcheol kewalahan.

“Oke-oke. Tapi nurut sama Jeonghan.” Jisoo mengangguk.

Seungcheol membawa Jisoo ke kamar, dan menidurkan lagi Jisoo.

“Gak usah kerja, yang.” Ucap Jisoo

“Gak bisa yang, aku musti ketemu klien penting. Nanti aku janji pulang cepet.”

“Janji ya?”

“Iya sayang, kan ada Jeonghan.”

Jisoo kembali mengeratkan pelukannya. Seungcheol mengelus-elus punggungnya sampai Jisoo tertidur.

Saat ini jam makan siang, tapi Seokmin belum menerima perintah dari Jisoo untuk membeli makanan.

“Pak, gak makan siang?”

“Kamu saja Seokmin, saya tidak lapar.” Ucap Jisoo tanpa menoleh ke arah Seokmin.

Seokmin mengernyitkan keningnya, seperti ada yang tidak beres dengan Jisoo. Apa karena masalah semalam?

“Yaudah saya ijin beli makan dulu ya pak.” Jisoo hanya mengangguk. Lalu Seokmin pergi dengan banyak tanda tanya di kepalanya.

. . . . . . .

Beberapa menit kemudian Seokmin datang dengan menenteng plastik yang berisi makanan.

“Saya pikir kamu makan di sana.”

Seokmin tidak menjawab, ia menarik kursi kosong dan memposisikannya di sebelah Jisoo yang sedang berkutat dengan pekerjaannya.

Kali ini Jisoo yang mengernyit heran.

“Kamu ngapain?”

“Saya mau nyuapin bapak.”

“Hah? Gak usah, kan saya bilang saya gak lapar.”

“Aneh, mana ada orang gak laper.” Ucap Seokmin sambil mengaduk-aduk ketoprak telur yang tadi ia beli. Lalu menyendoknya dan mengarahkan ke Jisoo.

“Buka mulutnya, pak.”

“Seok?”

“Aaaaaa?” Seokmin memperagakan dengan membuka mulutnya tapi Jisoo tidak kunjung membuka mulutnya.

Seperti tidak habis akal, Seokmin menarik sendok itu menjauh dari Jisoo.

“Pesawat siap mendarat.....” Seokmin membawa tangannya memperagakan cara terbang pesawat.

Tapi itu cukup membuat Jisoo terkekeh kecil dan membuka mulutnya. Satu suapan pertama mendarat dengan ciamik di mulut Jisoo.

“Saya gak tau bapak kenapa, tapi makan itu adalah kebutuhan pokok manusia. Mana ada orang gak laper, adanya orang males makan.”

Jisoo hanya mengangguk sambil mengunyah makanannya.

“Kamu gak makan?” Tanya Jisoo ketika makanannya sudah ia telan.

“Ini saya makan.” Jawab Seokmin sambil menyuapi dirinya sendiri dengan sendok yang sama dengan Jisoo.

Jisoo benar-benar dibuat takjub oleh tingkah sekretarisnya itu.

“Semalem bapak mau es cekek kan? Tuh saya beliin.”

Jisoo dengan cepat membuka plastik yang lain dimana ada es cekek yang ia inginkan.

“Ah.” Ucapnya ketika ia berhasil menyedot es cekek itu.

“Seger banget ya?” Tanya Seokmin sambil terkekeh. Ia kembali menyuapi Jisoo dan Jisoo menerimanya dengan senang hati.

Lalu keduanya sama-sama menikmati makanan siang mereka bersama.

. . . . . . .

Sekarang, posisinya Jisoo dan Seokmin berada di sofa ruangan Jisoo. Keduanya sama-sama kekenyangan.

“Kamu belinya porsi 5 orang ya Seok?”

“Ngaco, buat 2 orang. Tapi saya gak tau bakal sebanyak itu.” Jawab Seokmin sambil mengelus-elus perut nya yang begah.

Lalu keduanya sama-sama terdiam. Jisoo terdiam karena pikirannya dan Seokmin karena kekenyangan.

“Semalem ada nomor asing chat saya.” Ucap Jisoo memulai pembicaraan mereka. Dan Seokmin mengalihkan pandangannya pada sosok bosnya itu.

“Dia ngaku jadi orang yang bakal dijodohin sama saya.”

Jujur, Seokmin terkejut. Lalu untuk apa Jisoo ingin menikah dengannya?

“Seokmin, dulu saya sangat bangga dengan papi saya. Saya selalu menjadikan dia role model hidup saya. Saya selalu banggakan beliau di depan teman-teman saya. Tapi suatu ketika, semua yang saya banggakan itu hilang dalam sekejap.”

Jisoo menarik nafasnya dalam. Lalu membuangnya dengan kasar.

“Orang yang saya banggakan itu, jadi orang yang paling saya benci. Kamu tau kenapa?”

Seokmin menggeleng.

“Papi saya selingkuh, Seokmin. Dengan sekretarisnya sendiri.”

Seokmin bisa merasakan perbedaan suara Jisoo. Jisoo seperti sedang menahan tangisnya.

“Pak, kalo emang bapak mau nangis gapapa. Disini cuma ada saya.”

Seketika tangis Jisoo pecah. Tangis yang ia tahan semalaman akhirnya keluar. Di depan sekretarisnya ia menangis seperti anak kecil.

Dengan sigap, Seokmin membawa Jisoo ke pelukannya. Ia membiarkan Jisoo membasahi kemejanya.

“Mami sakit, saya gak tau harus apa pada saat itu. Saya berkali-kali menelpon papi, tapi tidak ada jawaban sama sekali.”

Seokmin bisa merasakan kalau pelukan Jisoo mengerat.

“Sampai saya menguping pembicaraan kakek dengan anak buahnya, anak buah kakek berkata kalau papi ada disebuah hotel di Bandung, dengan sekretarisnya. Padahal mereka tidak ada jadwal meeting dengan siapapun di sana.”

“Saya marah, tapi apa yang bisa dilakukan anak umur 14 tahun pada saat itu kalau tidak menangis?”

Seokmin mengelus punggung Jisoo, agar dia lebih tenang.

“Mami yang temani papi saat papi dibawah, tapi kenapa pada saat papi di atas bukan mami juga yang menemani? Mami saya salah apa Seok?”

“Stt, udah jangan diterusin pak. Udah ya, jangan nangis lagi nanti dadanya sakit.”

Jisoo menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seokmin—ia menghirup aroma parfum Seokmin. Pelukannya juga mengerat. Ia suka dipeluk oleh Seokmin.

Selama kurang lebih 30 menit keduanya sama-sama terdiam. Seokmin yang lebih dulu melepaskan pelukan mereka, ia menangkup wajah bosnya itu. Menghapus jejak air mata yang tercetak jelas di pipi bosnya.

“Saya gak akan pernah biarin air mata bapak jatuh lagi kayak gini. Enak aja mereka ngelewatin pipi chubby bapak.” Ucap Seokmin, ia bahkan mengelus-elus pipi mulus itu.

Jisoo memejamkan matanya ketika ia rasa Seokmin mulai mendekat ke arahnya. Dan sedetik kemudian ia merasakan sesuatu yang kenyal menyentuh bibirnya.

Dengan keheningan yang menyapa, keduanya saling mengecap satu sama lain.

“Pak?”

Jisoo membuka kedua matanya. Menatap Seokmin yang menatapnya.

“Rasanya ketoprak ya, pak?”

Jisoo tidak bisa tidak tertawa, ia memukul sedikit lengan Seokmin. Lalu keduanya kembali berpelukan, menyamankan diri satu sama lain.

Jeonghan membukakan pintu gerbang untuk mobil Seungcheol.

“Ngapain segala dibukain sih?” Tanya Jisoo yang keluar pertama dan langsung mengecup kening Jeonghan.

“Gapapa yang. Beli gak pesenan aku?”

Jisoo mengangkat plastik bawaannya. “Beli dong, ntar kalo ga beli ngamuk kincinya aku.”

Jeonghan memekik senang karena pesanannya sampai.

“Ayo makan yang, laper.”

Jeonghan merangkul pinggang Jisoo dan tidak lupa menggandeng tangan Seungcheol untuk masuk ke rumah mereka.

. . . . . . . . .

Mereka bertiga makan dengan lahap, karena memang ketiganya sama-sama lapar.

“Kamu besok udah masuk Han?” Tanya Seungcheol

“Lusa yang.” Jawab Jeonghan

“Kok lama sih wfh nya?”

Jeonghan mengangkat bahunya. “Aku sih ikut bos aja.”

“Enak kamu kerja sambil tiduran.”

“Eh tadi kan aku zoom meeting ya yang, belum mandi eh di suruh nyalain kamera. Aku langsung pake baju rapih.”

Jisoo dan Seungcheol tertawa mendengar cerita Jeonghan.

“Lagian orang mah bangun pagi yang.”

“Aku bangun pagi, cuma ga mandi pagi.”

“Terus besok ada zoom lagi?”

Jeonghan mengangguk dan menguyah lagi ayam kesukaannya.

“Mandi pagi besok.” Ucap Jisoo

“Bareng kamu ya?”

Jisoo menggeleng. “Kamu suka iseng. Aku besok juga ada meeting pagi.”

“Sama aku aja Han?” Usul Seungcheol

“Gak dulu.” Jisoo tertawa melihat Seungcheol yang mengerucutkan bibirnya.

. . . . . . . . . .

Saat ini mereka sudah berada di ranjang kamar Seungcheol—karena ranjang Seungcheol lebih lebar dari kamar lainnya. —Posisinya Seungcheol-Jeonghan-Jisoo.

“Besok sarapan apa?” Tanya Jisoo

“Nasi goreng ga pake kecap enak kayaknya yang.” Jawab Seungcheol.

“Oke, kamu juga Han?”

“Aku mah gampang, masak mie juga ayo.”

“No, aku gak bolehin kamu makan mie terus. Besok aku masakin juga.”

“Oke-oke, aku ngantuk.”

Seungcheol sedikit bangkit, ia mengecup bibir kedua kekasihnya itu.

“Good night, sayang-sayangnya singa.”

“Good night, kapten.” Ucap keduanya bersamaan.

Jisoo duduk di kursi penumpang, lalu ia menaruh tas kerjanya di kursi belakang mobil Seungcheol.

“Cium yang.”

Jisoo langsung mencondongkan tubuhnya agar bisa mengecup bibir kekasihnya itu. Setelah memberikan satu kecupan Jisoo memeluk tubuh Seungcheol dengan erat—menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Seungcheol.

“Capek ya?”

Jisoo mengangguk. Ia menghirup aroma parfum Seungcheol—yang menurutnya bisa membuatnya lebih tenang.

“Capek, gak mau kerja. Mau di rumah aja.” Ucap Jisoo lirih, tapi Seungcheol masih bisa mendengarnya.

Seungcheol terkekeh. “Boleh sayang boleh.”

“Terus jajannya pake apa?”

“Pake duit aku lah.”

Jisoo tertawa kemudian melepaskan pelukannya dan mengecup bibir Seungcheol lagi.

“Ayo pulang, kasian pacar aku satu lagi kelaperan.”

Seungcheol tertawa, lalu ia menyalakan mesin mobilnya dan mereka bergegas pulang.

Disinilah Seungcheol dan Jeonghan berada, di depan rumah keluarga Seungcheol. Dimana sudah ada keluarga Seungcheol bahkan Jeonghan di sana.

Jeonghan meremas tangan Seungcheol erat—ia takut.

“Ada mas.” Itu yang selalu Seungcheol katakan padanya.

“Assalamualaikum beh, nyak, bu, pak.” Seungcheol berniat menyalami mereka ber-4 tapi hanya ibu dan nyak nya yang menanggapi. Jeonghan juga mengikuti Seungcheol.

“Mas Jeonghan.” Sang ibu memeluk Jeonghan, keduanya menangis karena sama-sama saling rindu.

“Kenapa jadi gini mas?”

“Bu, kita ngobrol di dalem aja ya?”

Seungcheol memotong pembicaraan Jeonghan dan ibunya, ia menarik tangan Jeonghan untuk ikut masuk ke dalam rumahnya.

Saat ini mereka duduk saling berhadapan.

“Gimana bang, apa nyang pengen lu obrolin? Babeh pengen cepet-cepet kelar.” Ucap babehnya ketus.

“Sebelumnya, Cheol mau minta maaf sama ibu, bapak karena udah bikin Jeonghan milih ninggalin keluarganya, demi sama Cheol.”

“Kamu emang sama kurang ajarnya sama bapakmu itu.”

“Jiakhh sekate-kate lu kalo ngomong.”

“Beh, please dengerin Abang dulu.”

Seungcheol menoleh ke arah Jeonghan yang mengelus-elus lengannya. Lalu ia mengangguk menatap Jeonghan.

“Cheol sama Han sama-sama saling sayang. Kita berdua nekat karena capek kucing-kucingan sama kalian. Iya tau kita salah, tapi menurut kita kalian juga salah karena berusaha memisahkan dua insan yang sama-sama saling butuh.”

“Nyak, beh, bu, pak, di perut Jeonghan nih. Anak Cheol sama Jeonghan. Buah cinta kita. Ini hasilnya.”

“Maaf kalau kita nikah tanpa ngasih tau siapa-siapa. Tapi Cang Bumzu tau kok beh, kita kabur ke sana.”

“Bener-bener tu si bumju, belom aje lek-lekannya gue sentil.” Ucap babeh kesal.

“Beh, Abang mohon jangan salahin Cang. Ini permintaan Cheol biar Cang ga bilang ke babeh.”

Jeonghan dan Seungcheol memandang kedua orang tua mereka, sepertinya kedua orang tua mereka belum mau menyetujui hubungan mereka.

Jeonghan berdiri, lalu ia berlutut di depan bapaknya.

“Pak.” Sang bapak sempat menepis tangan Jeonghan yang memegang tangannya.

Jeonghan menangis, ia masih berlutut sambil memegangi perutnya yang sudah membesar.

“Mas minta maaf ya pak.”

“Mas tau ndak, gimana kecewanya bapak pas tau mas lebih milih orang ini daripada keluarga mas?”

Jeonghan masih diam dalam tangisnya.

“Mas kecewakan bapak.”

“Maafin mas pak.”

“Sekarang mas pilih, bapak atau orang ini?”

Jeonghan menggeleng. “Mas gak bisa, pak.”

“Berarti mas, lebih mau kehilangan bapak. Orang yang udah besarin mas selama ini.”

“Pak.”

“Ayo bu, pulang. Bapak gak sudi lama-lama disini.”

Jeonghan menangis, ia bahkan sempat terseret sedikit karena memegangi kaki bapaknya. Kalau saja Seungcheol tidak menahannya, mungkin Jeonghan akan lebih parah dari itu.

Jeonghan menatap kepergian ibu dan bapaknya di pelukan Seungcheol. Dan sehabis itu, semuanya gelap.

. . . . . . . . . .

Jeonghan tersadar, ia mengedarkan pandangannya—kamar Seungcheol. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Seungcheol ada di sana dengan sebuah nampan berisi makanan dan vitamin untuknya.

“Mas?”

“Stt, jangan dipikirin dulu dek. Makan dulu ya, kasian baby-nya ikutan sedih karena papanya sedih.”

Jeonghan buru-buru mengelus perutnya yang buncit. “Baby, maafin papa ya. Papa janji gak bakal bikin baby sedih lagi.”

Seungcheol tersenyum, lalu ia menyuapkan makanan pada Jeonghan dan Jeonghan menerimanya.

“Aku pingsan lama ya mas? Baby gapapa kan?”

“Lumayan dek, tapi baby baik-baik aja kok.”

Jeonghan memperhatikan wajah Seungcheol, ada lebam di pipinya.

“Pipi mas kenapa?” Tanya Jeonghan sambil memegang pipi Seungcheol.

“Nanti mas kasih tau, sekarang makan dulu.”

“Kalo ini perbuatan bapak, Adek minta maaf ya mas.”

Seungcheol tersenyum. “Mas pantes dapet ini, dek.”

“Engga, mas gak pantes dapet ini.”

“Mas rela babak belur kalo akhirnya kamu bisa sama mas.”

Jeonghan menatap Seungcheol tidak percaya. “Mas, bapak......”

“Iya sayang.”

Jeonghan memeluk Seungcheol dengan erat dan tidak lupa mengucapkan syukur atas semuanya.

. . . . . . . .

Jeonghan sedang duduk di sebelah ibu mertuanya yang sedang mengupasinya apel.

“Seungcheol tuh dari kecil keras kepala. Dia harus dapet apa yang dia mau. Tapi yang terakhir ini yang bikin nyak kaget, dia bisa bawa kabur anak orang. Di hamilin lagi.”

Jeonghan terkekeh. “Kan di nikahin juga nyak.”

“Babeh Seungcheol sama bapak lu tuh dulu sahabatan, kemana-mana berdua. Sampe akhirnya ada satu masalah yang bikin mereka bertengkar, padahal cuma salah paham. Jadi yang kena imbas lu sama Seungcheol.”

Yup, babeh dan bapak dulunya bersahabat. Tapi ada salah paham antara mereka yang membuat hubungan keduanya renggang dan berakibat pada Seungcheol dan Jeonghan.

“Nyak minta tolong sama Jeonghan, kalo Seungcheol bandel di bilangin jangan di diemin. Dia tuh kagak peka sama sekitar.”

Jeonghan tersenyum. “Sekarang mas udah gak gitu nyak, mas orang paling peka yang pernah Han kenal.”

“Bagus dah kalo begitu.”

Jeonghan memakan apel yang tadi di kupas oleh nyak.

“Jeonghan sayang banget ya sama Seungcheol?”

Jeonghan mengangguk. “Banget nyak.”

“Iyalah kalo kagak sayang kenapa mau di bawa kabur yak.”

Jeonghan memperhatikan wajah ibu dari laki-laki yang ia cintai.

“Jangan tinggalin Seungcheol ya Jeonghan. Nyak minta tolong.”

. . . . . . . . .

Jeonghan memasuki kamarnya dengan Seungcheol.

“Lama banget ngobrol sama nyak nya.”

Jeonghan sedikit meringis saat akan duduk. Dan sengan sigap Seungcheol mengelus-elus perut buncit Jeonghan. Membantu Jeonghan merebahkan tubuhnya.

“Nyak gak ngomong aneh-aneh kan sama adek?”

Jeonghan menggeleng. “Tadi nyak kupasin apel buat Adek.”

“Nyak gak pernah gitu sama mas.”

“Berarti nyak sayangnya sama adek.”

Seungcheol mengecupi pipi tembem suaminya itu.

“Iya deh yang di sayang nyak.”

“Mas ceritain, tadi kamu gimana sama bapak.”

“Jadi ceritanya gini........”

Flashback on

Seungcheol mendatangi rumah keluarga Jeonghan. Ia bahkan meninggalkan Jeonghan yang masih pingsan.

“Mau apa lagi kamu?”

Baru sampai saja ia sudah di teriaki oleh mertuanya.

“Pak, izinin Cheol cerita yang sebenarnya.”

“Ndak. Kamu pergi saja dari sini. Saya ndak butuh penjelasan dari kamu.”

Seungcheol menjatuhkan dirinya di depan bapak mertuanya itu. Ia bahkan memegangi kaki mertuanya. Memohon maaf pada mertuanya itu.

“Lepasin saya.”

“Cheol mohon pak, bapak boleh pukul Cheol tapi tolong jangan marah sama adek. Ini semua salah Cheol.”

Mertuanya itu hanya diam.

“Berdiri.”

Cheol masih diam.

“BERDIRI SAYA BILANG.”

Cheol langsung buru-buru berdiri.

Bukkkkkkkk

Bukkkkkkkk

Dua pukulan keras mengenai pipi Seungcheol.

“Bapakkk.” Itu suara ibu mertuanya, ibu mertuanya melerai keduanya.

“Sakit hati saya ndak seberapa dengan apa yang kamu terima tadi. Kamu paham?”

Seungcheol mengangguk. Ia memegangi kedua pipinya yang terasa sakit.

“Sekali lagi kamu bawa anak saya pergi, saya ndak segan-segan bunuh kamu.”

Seungcheol hanya diam.

“Cari rumah disini, saya mau liat tumbuh kembang anak yang di dalam kandungan Jeonghan.” Sehabis berbicara seperti itu bapak masuk ke rumah, ibu mendekat ke arah Seungcheol.

“Di obati di rumah saja ndak papa ya Seungcheol?”

“Buk, bapak....”

“Tolong jaga kepercayaan bapak ya, Seungcheol.”

Seungcheol mengangguk, air matanya bahkan terjatuh lalu ia mengecup tangan ibu mertuanya.

“Jeonghan baik-baik saja?”

“Jeonghan pingsan bu.”

Seungcheol bisa merasakan kekhawatiran seorang ibu.

“Tapi Cheol pastiin Jeonghan baik-baik aja.”

“Tolong jaga Jeonghan ya.”

Seungcheol mengangguk. “Pasti bu.”

Flashback off

“Mas, makasih ya.”

“Mas ngelakuin yang harusnya mas lakuin dek.”

“Baby pasti bangga jadi anaknya ayah Cheol.”

“Harus dong dek.”

“Mas, terus kita tinggal dimana?”

“Kita cari rumah kontrakan di sini aja ya dek?”

“Kerjaan mas?”

“Mas mau resign, temen mas nawarin mas kerja di perusahaannya. Adek tenang aja ya. Adek harus seneng terus biar baby juga seneng.”

Jeonghan memeluk Seungcheol. “Adek sayang banget sama mas. Baby juga sayang sama ayah.”

“Ayah juga sayang papa sama baby.”

End

“Bang, belum kelar juga?”

“Bentar pah, lagi pake sepatu.”

Setelahnya Chan berlari kecil turun dari kamarnya menuju meja makan dimana kedua orang tuanya sudah menunggunya.

“Bukunya udah di cek lagi? Biar gak ada yang ketinggalan.”

“Udah aku cek kok ayah.”

Chan memakan nasi goreng buatan papanya.

“Chaca belum bangun pah?” Beberapa detik pertanyaan itu keluar dari mulut Chan, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi.

Mereka bertiga tertawa, dengan sang papa yang sigap menuju kamar anak perempuannya.

Sang papa keluar dengan seorang bayi perempuan berusia 2 tahun di gendongannya.

“Pagi, bayi.”

“Pagi Abang Chan.” Papanya menirukan suara bayi.

“Nanti Abang Chan pulang sekolah kita main ya, Cha.”

“Iya Abang Chan.”

“Udah abisin makannya, nanti kita telat.”

“Ayah ada meeting?”

“Engga bang, ayah senggang hari ini. Kenapa?”

“Pulang cepet dong?”

“Bisa. Kamu mau minta apa?”

“Bawain pizza.” Jawab Chan sambil menyengir.

Sang ayah menggelengkan kepalanya. “Dasar anak papa.”

“Giliran suka minta bawain anak papa ya, bang.”

“Tau nih ayah. Padahal kan aku anak ayah sama papa.”

Sang ayah tertawa. “Iya, anak ayah sama papa yang paling ganteng.”

“Jelas, soalnya kan Chaca cantik.”

Mereka bertiga tertawa. . . . . .

“Abang berangkat dulu ya, Chaca.” Ucap Chan sambil mengecup pipi adiknya.

“Abang berangkat dulu ya, papa.” Chan mengecup pipi papanya.

“Hati-hati ya sayang. Belajar yang bener. Ditungguin Chaca di rumah.”

“Oke papa Jihoon.” Jihoon tertawa mendengar ucapan anak sulungnya.

“Aku berangkat ya, sayang.”

Jihoon mengangguk. Ia merasakan hangat di keningnya ketika suaminya mengecup keningnya. “Jangan nakal ya mas.”

Sang suami tertawa. “Cukup sekali mas kehilangan kamu. Gak lagi-lagi. Bisa mati mas kalo ga ada kamu.”

“Hati-hati Abang Chan, hati-hati ayah Cheol.” Chan dan Seungcheol melambaikan tangan ke arah Jihoon yang berdiri di depan pintu.

Setelah mobil Seungcheol pergi, Jihoon masuk dengan anak bungsunya.

“Nah, Chaca mandi sama papa ya.”

. . . . . . . .

Singkatnya, Jihoon dan Seungcheol benar-benar berpisah tapi tidak bercerai, mereka hanya pisah rumah. Mereka juga memberitahukan kepada kedua keluarga. Selama setahun mereka berpisah—untuk mengetahui apakah keduanya masih saling sayang.

Dan ternyata, keduanya masih sama-sama butuh satu sama lain. Dan setahun setelahnya mereka kembali bersama, mencoba berdamai dengan masa lalu. Jihoon keluar dari pekerjaannya, ia memutuskan untuk di rumah saja mengurusi keluarganya dan Seungcheol memilih bekerja di perusahaan milik orang tuanya.

Kemana Chan selama mereka berpisah?

Chan di ungsikan ke rumah Seokmin, karena memang Jihoon yang tidak mau kalau Chan di kembalikan ke sana. Dan Chan yang tidak mau salah satu dari kedua orang tuanya. Jihoon dan Seungcheol secara bergantian menjenguk Chan di sana.

Dan ini akhirnya, saat ini mereka hidup bahagia dengan kehadiran seorang bayi di keluarga mereka. Jihoon dan Seungcheol kembali mengadopsi anak dari panti asuhan yang sama dengan tempat Chan.

Dan ini benar-benar akhir dari semua yang mereka lalui.

Tamat

Chan memperhatikan kedua orang tuanya. Ia tau ada hal yang tak beres antara mereka.

“Ayah sama papa kenapa? Papa kenapa matanya bengkak? Papa nangis? Ayah marahin papa?”

Tapi keduanya tidak menjawab.

“Chan, ada yang mau ayah omongin sama Chan.”

Chan menunggu ayahnya melanjutkan ucapannya.

“Ayah sama papa mau cerai.” Ucap Seungcheol. Jihoon sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya.

“Cerai itu apa ayah?”

Seungcheol baru sadar kalau anaknya itu masih terlalu kecil untuk mengetahui apa itu cerai.

“Pisah, Chan.”

“Kenapa?”

Seungcheol menatap Chan sendu.

“Kenapa ayah sama papa pisah? Chan nakal ya sampe ayah sama papa pisah?”

Seungcheol menggeleng. “Chan gak nakal. Yang nakal ayah sama papa. Jadinya harus pisah.”

“Terus gimana ayah?”

“Chan mau ikut ayah atau papa?”

“Bener-bener gak bisa tinggal bertiga lagi?”

Seungcheol menggeleng.

“Chan pikirin dulu ya ayah. Chan ke kamar dulu.”

Chan beranjak pergi. Ia tau ada masalah di keluarganya, bahkan Jeonghan sudah tidak bekerja.

Jihoon menangis sesenggukan. “Maafin papa, Chan.”

. . . . . . . . .

Chan mengetuk pintu kamar orang tuanya. Dan Seungcheol membukanya.

“Chan udah ada jawabannya.”

Seungcheol dan Jihoon harus siap mendengar pilihan Chan.

“Ayah, papa, Chan dari panti asuhan kan?”

Ah ya, Chan bukan anak kandung keduanya. Jihoon dan Seungcheol mengadopsi Chan sejak Chan bayi, sampai sekarang Chan berusia 10 tahun.

“Ayah sama papa masih inget gak dimana panti asuhannya?”

Jihoon dan Seungcheol saling berpandangan. Lalu keduanya sama-sama mengangguk.

Chan tersenyum. “Ayah sama papa balikin aja Chan ke sana. Chan gak bisa kalau harus milih ayah atau papa. Chan sayang kalian berdua. Chan gak mau buat papa sedih kalo Chan pilih ayah begitu sebaliknya. Jadi jalan satu-satunya adalah kembalikan Chan ke sana. Chan gapapa kok.”

Jihoon memarkirkan mobilnya di depan rumahnya, ia segara masuk ke dalam rumahnya, takut terjadi apa-apa. Tidak biasanya Seungcheol tidak membuka handphonenya.

Ahh

Jihoon terdiam, lalu ia berjalan perlahan. Tidak mungkin kan?”

Jihoon melanjutkan langkahnya, dan tiba-tiba langkahnya terhenti.

Suaminya. Laki-laki yang selama ini ia yakini tidak akan membuatnya patah hati. Saat ini sedang mengecupi bongkahan pantat baby sitter anaknya.

“Mas Seungcheol.”

Air mata Jihoon terjatuh, ia berjalan cepat menuju keduanya.

“Mas!” Seungcheol dan Jeonghan terkejut ketika melihat Jihoon di sana.

“Sayang.”

Jihoon memukuli tubuh Seungcheol dengan keras, ia bahkan melemparkan semua yang bisa ia gapai.

“Sayang, sayang dengerin mas dulu.”

Tapi Jihoon tidak mengindahkan ucapan Seungcheol. Ia beralih ke Jeonghan yang sudah memakai kembali celananya.

“Kamu saya pecat.”

Jeonghan terdiam.

“Dasar gak tau diri, saya baik selama ini sama kamu. Tapi apa balasan kamu? Kamu malah godain suami saya.”

PLAKKK Jeonghan tersungkur ketika sebuah tamparan keras mengenai pipinya. Jihoon bahkan menjambak rambut Jeonghan dengan kuat, kalau saja tidak di lerai Seungcheol mungkin rambut Jeonghan akan lepas dari kepalanya.

“Pergi.”

Tapi Jeonghan masih tetap diam.

“Saya bilang pergi.”

Jeonghan beranjak pergi ke kamarnya, dan memasukkan seluruh bajunya ke dalam tas besarnya. Ia berpamitan dengan Seungcheol dan Jihoon tapi hanya Seungcheol yang menanggapi.

. . . . .

Jihoon dan Seungcheol sedang berada di kamar mereka, Jihoon baru saja berenti menangis.

“Sayang?”

“Jangan panggil aku sayang.”

Seungcheol terdiam.

“Tega kamu mas, aku kerja tapi kamu malah enak-enakan disini sama baby sitter nya anak kamu.” Jihoon kembali menangis.

“Jahat kamu mas.”

Seungcheol benar-benar jengah. Ia berjalan ke arah tv yang ada di kamar mereka, lalu menyambungkan kabel dari handphonenya. Dan menampilkan video dua orang yang sedang asik bercumbu.

Itu Jihoon dan Soonyoung

Kali ini Jihoon mati kutu. Ia tertangkap basah juga.

“Kamu masih bisa bilang aku jahat?”

Jihoon terdiam.

“Berapa lama?”

Jihoon mendongak menatap Seungcheol, baru kali ini Seungcheol marah. Jelas, suami mana yang tidak marah ketika tau suaminya berselingkuh? Dia saja marah

*BERAPA LAMA MAS TANYA?” Pertama kalinya juga Seungcheol membentaknya.

“Satu tahun.” Jawab Jihoon pelan.

Seungcheol memejamkan matanya, menahan amarahnya. Selama itu suaminya berselingkuh darinya.

“Kenapa ji? Mas salah apa sama kamu?”

Jihoon menangis sesenggukan dan menggeleng.

“Aku yang salah mas, aku. Semuanya salah aku. Aku yang gak bisa tahan godaan, dan karena aku juga kamu selingkuh.”

Seungcheol terduduk, menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya. Tubuhnya bergetar. Dan ini pertama kalinya juga Seungcheol menangis.

Jihoon ingin sekali memeluk suaminya tapi kakinya kaku, ia tidak bisa melangkah ke arah Seungcheol yang menangis.

“Ayo pisah, ji.”

Jihoon terkejut. “Mas?”

. . . . . .

Flashback

Seungcheol melamun. Memikirkan hal yang tidak-tidak.

“Gak mungkin Jihoon selingkuh.”

Tapi pikiran itu terus bersemayam dibenaknya.

“Kalo beneran selingkuh gimana?”

Seungcheol mengacak-acak rambutnya. Tapi tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.

“Cctv mobil.”