Saat ini jam makan siang, tapi Seokmin belum menerima perintah dari Jisoo untuk membeli makanan.

“Pak, gak makan siang?”

“Kamu saja Seokmin, saya tidak lapar.” Ucap Jisoo tanpa menoleh ke arah Seokmin.

Seokmin mengernyitkan keningnya, seperti ada yang tidak beres dengan Jisoo. Apa karena masalah semalam?

“Yaudah saya ijin beli makan dulu ya pak.” Jisoo hanya mengangguk. Lalu Seokmin pergi dengan banyak tanda tanya di kepalanya.

. . . . . . .

Beberapa menit kemudian Seokmin datang dengan menenteng plastik yang berisi makanan.

“Saya pikir kamu makan di sana.”

Seokmin tidak menjawab, ia menarik kursi kosong dan memposisikannya di sebelah Jisoo yang sedang berkutat dengan pekerjaannya.

Kali ini Jisoo yang mengernyit heran.

“Kamu ngapain?”

“Saya mau nyuapin bapak.”

“Hah? Gak usah, kan saya bilang saya gak lapar.”

“Aneh, mana ada orang gak laper.” Ucap Seokmin sambil mengaduk-aduk ketoprak telur yang tadi ia beli. Lalu menyendoknya dan mengarahkan ke Jisoo.

“Buka mulutnya, pak.”

“Seok?”

“Aaaaaa?” Seokmin memperagakan dengan membuka mulutnya tapi Jisoo tidak kunjung membuka mulutnya.

Seperti tidak habis akal, Seokmin menarik sendok itu menjauh dari Jisoo.

“Pesawat siap mendarat.....” Seokmin membawa tangannya memperagakan cara terbang pesawat.

Tapi itu cukup membuat Jisoo terkekeh kecil dan membuka mulutnya. Satu suapan pertama mendarat dengan ciamik di mulut Jisoo.

“Saya gak tau bapak kenapa, tapi makan itu adalah kebutuhan pokok manusia. Mana ada orang gak laper, adanya orang males makan.”

Jisoo hanya mengangguk sambil mengunyah makanannya.

“Kamu gak makan?” Tanya Jisoo ketika makanannya sudah ia telan.

“Ini saya makan.” Jawab Seokmin sambil menyuapi dirinya sendiri dengan sendok yang sama dengan Jisoo.

Jisoo benar-benar dibuat takjub oleh tingkah sekretarisnya itu.

“Semalem bapak mau es cekek kan? Tuh saya beliin.”

Jisoo dengan cepat membuka plastik yang lain dimana ada es cekek yang ia inginkan.

“Ah.” Ucapnya ketika ia berhasil menyedot es cekek itu.

“Seger banget ya?” Tanya Seokmin sambil terkekeh. Ia kembali menyuapi Jisoo dan Jisoo menerimanya dengan senang hati.

Lalu keduanya sama-sama menikmati makanan siang mereka bersama.

. . . . . . .

Sekarang, posisinya Jisoo dan Seokmin berada di sofa ruangan Jisoo. Keduanya sama-sama kekenyangan.

“Kamu belinya porsi 5 orang ya Seok?”

“Ngaco, buat 2 orang. Tapi saya gak tau bakal sebanyak itu.” Jawab Seokmin sambil mengelus-elus perut nya yang begah.

Lalu keduanya sama-sama terdiam. Jisoo terdiam karena pikirannya dan Seokmin karena kekenyangan.

“Semalem ada nomor asing chat saya.” Ucap Jisoo memulai pembicaraan mereka. Dan Seokmin mengalihkan pandangannya pada sosok bosnya itu.

“Dia ngaku jadi orang yang bakal dijodohin sama saya.”

Jujur, Seokmin terkejut. Lalu untuk apa Jisoo ingin menikah dengannya?

“Seokmin, dulu saya sangat bangga dengan papi saya. Saya selalu menjadikan dia role model hidup saya. Saya selalu banggakan beliau di depan teman-teman saya. Tapi suatu ketika, semua yang saya banggakan itu hilang dalam sekejap.”

Jisoo menarik nafasnya dalam. Lalu membuangnya dengan kasar.

“Orang yang saya banggakan itu, jadi orang yang paling saya benci. Kamu tau kenapa?”

Seokmin menggeleng.

“Papi saya selingkuh, Seokmin. Dengan sekretarisnya sendiri.”

Seokmin bisa merasakan perbedaan suara Jisoo. Jisoo seperti sedang menahan tangisnya.

“Pak, kalo emang bapak mau nangis gapapa. Disini cuma ada saya.”

Seketika tangis Jisoo pecah. Tangis yang ia tahan semalaman akhirnya keluar. Di depan sekretarisnya ia menangis seperti anak kecil.

Dengan sigap, Seokmin membawa Jisoo ke pelukannya. Ia membiarkan Jisoo membasahi kemejanya.

“Mami sakit, saya gak tau harus apa pada saat itu. Saya berkali-kali menelpon papi, tapi tidak ada jawaban sama sekali.”

Seokmin bisa merasakan kalau pelukan Jisoo mengerat.

“Sampai saya menguping pembicaraan kakek dengan anak buahnya, anak buah kakek berkata kalau papi ada disebuah hotel di Bandung, dengan sekretarisnya. Padahal mereka tidak ada jadwal meeting dengan siapapun di sana.”

“Saya marah, tapi apa yang bisa dilakukan anak umur 14 tahun pada saat itu kalau tidak menangis?”

Seokmin mengelus punggung Jisoo, agar dia lebih tenang.

“Mami yang temani papi saat papi dibawah, tapi kenapa pada saat papi di atas bukan mami juga yang menemani? Mami saya salah apa Seok?”

“Stt, udah jangan diterusin pak. Udah ya, jangan nangis lagi nanti dadanya sakit.”

Jisoo menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seokmin—ia menghirup aroma parfum Seokmin. Pelukannya juga mengerat. Ia suka dipeluk oleh Seokmin.

Selama kurang lebih 30 menit keduanya sama-sama terdiam. Seokmin yang lebih dulu melepaskan pelukan mereka, ia menangkup wajah bosnya itu. Menghapus jejak air mata yang tercetak jelas di pipi bosnya.

“Saya gak akan pernah biarin air mata bapak jatuh lagi kayak gini. Enak aja mereka ngelewatin pipi chubby bapak.” Ucap Seokmin, ia bahkan mengelus-elus pipi mulus itu.

Jisoo memejamkan matanya ketika ia rasa Seokmin mulai mendekat ke arahnya. Dan sedetik kemudian ia merasakan sesuatu yang kenyal menyentuh bibirnya.

Dengan keheningan yang menyapa, keduanya saling mengecap satu sama lain.

“Pak?”

Jisoo membuka kedua matanya. Menatap Seokmin yang menatapnya.

“Rasanya ketoprak ya, pak?”

Jisoo tidak bisa tidak tertawa, ia memukul sedikit lengan Seokmin. Lalu keduanya kembali berpelukan, menyamankan diri satu sama lain.