—Akhir.
Disinilah Seungcheol dan Jeonghan berada, di depan rumah keluarga Seungcheol. Dimana sudah ada keluarga Seungcheol bahkan Jeonghan di sana.
Jeonghan meremas tangan Seungcheol erat—ia takut.
“Ada mas.” Itu yang selalu Seungcheol katakan padanya.
“Assalamualaikum beh, nyak, bu, pak.” Seungcheol berniat menyalami mereka ber-4 tapi hanya ibu dan nyak nya yang menanggapi. Jeonghan juga mengikuti Seungcheol.
“Mas Jeonghan.” Sang ibu memeluk Jeonghan, keduanya menangis karena sama-sama saling rindu.
“Kenapa jadi gini mas?”
“Bu, kita ngobrol di dalem aja ya?”
Seungcheol memotong pembicaraan Jeonghan dan ibunya, ia menarik tangan Jeonghan untuk ikut masuk ke dalam rumahnya.
Saat ini mereka duduk saling berhadapan.
“Gimana bang, apa nyang pengen lu obrolin? Babeh pengen cepet-cepet kelar.” Ucap babehnya ketus.
“Sebelumnya, Cheol mau minta maaf sama ibu, bapak karena udah bikin Jeonghan milih ninggalin keluarganya, demi sama Cheol.”
“Kamu emang sama kurang ajarnya sama bapakmu itu.”
“Jiakhh sekate-kate lu kalo ngomong.”
“Beh, please dengerin Abang dulu.”
Seungcheol menoleh ke arah Jeonghan yang mengelus-elus lengannya. Lalu ia mengangguk menatap Jeonghan.
“Cheol sama Han sama-sama saling sayang. Kita berdua nekat karena capek kucing-kucingan sama kalian. Iya tau kita salah, tapi menurut kita kalian juga salah karena berusaha memisahkan dua insan yang sama-sama saling butuh.”
“Nyak, beh, bu, pak, di perut Jeonghan nih. Anak Cheol sama Jeonghan. Buah cinta kita. Ini hasilnya.”
“Maaf kalau kita nikah tanpa ngasih tau siapa-siapa. Tapi Cang Bumzu tau kok beh, kita kabur ke sana.”
“Bener-bener tu si bumju, belom aje lek-lekannya gue sentil.” Ucap babeh kesal.
“Beh, Abang mohon jangan salahin Cang. Ini permintaan Cheol biar Cang ga bilang ke babeh.”
Jeonghan dan Seungcheol memandang kedua orang tua mereka, sepertinya kedua orang tua mereka belum mau menyetujui hubungan mereka.
Jeonghan berdiri, lalu ia berlutut di depan bapaknya.
“Pak.” Sang bapak sempat menepis tangan Jeonghan yang memegang tangannya.
Jeonghan menangis, ia masih berlutut sambil memegangi perutnya yang sudah membesar.
“Mas minta maaf ya pak.”
“Mas tau ndak, gimana kecewanya bapak pas tau mas lebih milih orang ini daripada keluarga mas?”
Jeonghan masih diam dalam tangisnya.
“Mas kecewakan bapak.”
“Maafin mas pak.”
“Sekarang mas pilih, bapak atau orang ini?”
Jeonghan menggeleng. “Mas gak bisa, pak.”
“Berarti mas, lebih mau kehilangan bapak. Orang yang udah besarin mas selama ini.”
“Pak.”
“Ayo bu, pulang. Bapak gak sudi lama-lama disini.”
Jeonghan menangis, ia bahkan sempat terseret sedikit karena memegangi kaki bapaknya. Kalau saja Seungcheol tidak menahannya, mungkin Jeonghan akan lebih parah dari itu.
Jeonghan menatap kepergian ibu dan bapaknya di pelukan Seungcheol. Dan sehabis itu, semuanya gelap.
. . . . . . . . . .
Jeonghan tersadar, ia mengedarkan pandangannya—kamar Seungcheol. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Seungcheol ada di sana dengan sebuah nampan berisi makanan dan vitamin untuknya.
“Mas?”
“Stt, jangan dipikirin dulu dek. Makan dulu ya, kasian baby-nya ikutan sedih karena papanya sedih.”
Jeonghan buru-buru mengelus perutnya yang buncit. “Baby, maafin papa ya. Papa janji gak bakal bikin baby sedih lagi.”
Seungcheol tersenyum, lalu ia menyuapkan makanan pada Jeonghan dan Jeonghan menerimanya.
“Aku pingsan lama ya mas? Baby gapapa kan?”
“Lumayan dek, tapi baby baik-baik aja kok.”
Jeonghan memperhatikan wajah Seungcheol, ada lebam di pipinya.
“Pipi mas kenapa?” Tanya Jeonghan sambil memegang pipi Seungcheol.
“Nanti mas kasih tau, sekarang makan dulu.”
“Kalo ini perbuatan bapak, Adek minta maaf ya mas.”
Seungcheol tersenyum. “Mas pantes dapet ini, dek.”
“Engga, mas gak pantes dapet ini.”
“Mas rela babak belur kalo akhirnya kamu bisa sama mas.”
Jeonghan menatap Seungcheol tidak percaya. “Mas, bapak......”
“Iya sayang.”
Jeonghan memeluk Seungcheol dengan erat dan tidak lupa mengucapkan syukur atas semuanya.
. . . . . . . .
Jeonghan sedang duduk di sebelah ibu mertuanya yang sedang mengupasinya apel.
“Seungcheol tuh dari kecil keras kepala. Dia harus dapet apa yang dia mau. Tapi yang terakhir ini yang bikin nyak kaget, dia bisa bawa kabur anak orang. Di hamilin lagi.”
Jeonghan terkekeh. “Kan di nikahin juga nyak.”
“Babeh Seungcheol sama bapak lu tuh dulu sahabatan, kemana-mana berdua. Sampe akhirnya ada satu masalah yang bikin mereka bertengkar, padahal cuma salah paham. Jadi yang kena imbas lu sama Seungcheol.”
Yup, babeh dan bapak dulunya bersahabat. Tapi ada salah paham antara mereka yang membuat hubungan keduanya renggang dan berakibat pada Seungcheol dan Jeonghan.
“Nyak minta tolong sama Jeonghan, kalo Seungcheol bandel di bilangin jangan di diemin. Dia tuh kagak peka sama sekitar.”
Jeonghan tersenyum. “Sekarang mas udah gak gitu nyak, mas orang paling peka yang pernah Han kenal.”
“Bagus dah kalo begitu.”
Jeonghan memakan apel yang tadi di kupas oleh nyak.
“Jeonghan sayang banget ya sama Seungcheol?”
Jeonghan mengangguk. “Banget nyak.”
“Iyalah kalo kagak sayang kenapa mau di bawa kabur yak.”
Jeonghan memperhatikan wajah ibu dari laki-laki yang ia cintai.
“Jangan tinggalin Seungcheol ya Jeonghan. Nyak minta tolong.”
. . . . . . . . .
Jeonghan memasuki kamarnya dengan Seungcheol.
“Lama banget ngobrol sama nyak nya.”
Jeonghan sedikit meringis saat akan duduk. Dan sengan sigap Seungcheol mengelus-elus perut buncit Jeonghan. Membantu Jeonghan merebahkan tubuhnya.
“Nyak gak ngomong aneh-aneh kan sama adek?”
Jeonghan menggeleng. “Tadi nyak kupasin apel buat Adek.”
“Nyak gak pernah gitu sama mas.”
“Berarti nyak sayangnya sama adek.”
Seungcheol mengecupi pipi tembem suaminya itu.
“Iya deh yang di sayang nyak.”
“Mas ceritain, tadi kamu gimana sama bapak.”
“Jadi ceritanya gini........”
Flashback on
Seungcheol mendatangi rumah keluarga Jeonghan. Ia bahkan meninggalkan Jeonghan yang masih pingsan.
“Mau apa lagi kamu?”
Baru sampai saja ia sudah di teriaki oleh mertuanya.
“Pak, izinin Cheol cerita yang sebenarnya.”
“Ndak. Kamu pergi saja dari sini. Saya ndak butuh penjelasan dari kamu.”
Seungcheol menjatuhkan dirinya di depan bapak mertuanya itu. Ia bahkan memegangi kaki mertuanya. Memohon maaf pada mertuanya itu.
“Lepasin saya.”
“Cheol mohon pak, bapak boleh pukul Cheol tapi tolong jangan marah sama adek. Ini semua salah Cheol.”
Mertuanya itu hanya diam.
“Berdiri.”
Cheol masih diam.
“BERDIRI SAYA BILANG.”
Cheol langsung buru-buru berdiri.
Bukkkkkkkk
Bukkkkkkkk
Dua pukulan keras mengenai pipi Seungcheol.
“Bapakkk.” Itu suara ibu mertuanya, ibu mertuanya melerai keduanya.
“Sakit hati saya ndak seberapa dengan apa yang kamu terima tadi. Kamu paham?”
Seungcheol mengangguk. Ia memegangi kedua pipinya yang terasa sakit.
“Sekali lagi kamu bawa anak saya pergi, saya ndak segan-segan bunuh kamu.”
Seungcheol hanya diam.
“Cari rumah disini, saya mau liat tumbuh kembang anak yang di dalam kandungan Jeonghan.” Sehabis berbicara seperti itu bapak masuk ke rumah, ibu mendekat ke arah Seungcheol.
“Di obati di rumah saja ndak papa ya Seungcheol?”
“Buk, bapak....”
“Tolong jaga kepercayaan bapak ya, Seungcheol.”
Seungcheol mengangguk, air matanya bahkan terjatuh lalu ia mengecup tangan ibu mertuanya.
“Jeonghan baik-baik saja?”
“Jeonghan pingsan bu.”
Seungcheol bisa merasakan kekhawatiran seorang ibu.
“Tapi Cheol pastiin Jeonghan baik-baik aja.”
“Tolong jaga Jeonghan ya.”
Seungcheol mengangguk. “Pasti bu.”
Flashback off
“Mas, makasih ya.”
“Mas ngelakuin yang harusnya mas lakuin dek.”
“Baby pasti bangga jadi anaknya ayah Cheol.”
“Harus dong dek.”
“Mas, terus kita tinggal dimana?”
“Kita cari rumah kontrakan di sini aja ya dek?”
“Kerjaan mas?”
“Mas mau resign, temen mas nawarin mas kerja di perusahaannya. Adek tenang aja ya. Adek harus seneng terus biar baby juga seneng.”
Jeonghan memeluk Seungcheol. “Adek sayang banget sama mas. Baby juga sayang sama ayah.”
“Ayah juga sayang papa sama baby.”
End