thatausaha

“aww masshh.”

Jihoon memekik keras ketika Seungcheol menggigit lehernya. Seungcheol tertawa kecil lalu ia membuka kemeja yang suaminya kenakan. Mereka tidak jadi mengawali kegiatan seks mereka dari kamar mandi, karena sejak di mobil Jihoon sudah menggoda Seungcheol dengan terus-terusan menyentuh kejantanan Seungcheol.

“Kok puting kamu merah?”

Jihoon memutar otaknya ketika Seungcheol bertanya.

“I-itu mas, dada aku gatel banget terus aku agak cubit tapi kayaknya kekencangan jadi merah gini.”

“Mana ada gatel, udah jelas itu bekas gigitan.”

“Gatel?”

Jihoon mengangguk. “Udah lama ga di gigit mas kayaknya.”

Seungcheol tersenyum, lalu ia mengelus-elus puting itu.

“Kalo mas gigit sekarang, sakit gak?”

“Aku malah mau di gigit sama mas, gigit ya mas?”

Seungcheol tertawa. “Jangan ngeluh loh ya kalo nanti bengkak terus sakit ke gesek-gesek baju.”

“Iya mas sayang.”

Seungcheol dengan cepat memasukkan puting Jihoon ke dalam mulutnya. Dijilat. Digigit. Dihisap. Secara berkala, dan tentunya membuat Jihoon melenguh. Jihoon menekan kepala Seungcheol agar terus mengerjai putingnya. Sebelah tangan Seungcheol ia arahkan ke lubangnya. Dengan senang hati Seungcheol memasukan satu jarinya ke lubang suaminya itu.

Longgar

Tapi Seungcheol tidak menghentikan kegiatannya itu. Ia kembali memaju-mundurkan jarinya di lubang suaminya itu, dengan mulutnya yang sudah berpindah ke puting Jihoon yang satu lagi.

Jihoon sudah sangat-sangat pusing karena kenikmatan itu. Ia hanya bisa mengeluarkan suara-suara desahan yang membuat Seungcheol makin giat mengerjainya.

Sudah puas dengan kedua puting Jihoon, Seungcheol mengecupi perut datar suaminya. Dan turun ke kejantanan Jihoon. Masih mengecupi bagian paha dalam suaminya yang sudah merengek minta di masukkan.

“Mas gak pake kondom ya?”

“Kenapa?”

“Abis.”

“Kayaknya masih ada beberapa deh kemarin?”

Skakmat

“Ngaco, terakhir tuh yang waktu itu kita pake.”

Jihoon tidak mementingkan masalah pengaman, ia sudah benar-benar tidak berpikir apapun, ia hanya berpikir jika suaminya harus cepat memasukkan kejantanannya ke dalam lubangnya dan mereka berteriak nikmat.

“Tapi nanti mas bersihin aku ya?”

Seungcheol mengecup bibir Jihoon. “Kapan mas biarin kamu bersihin sendiri?”

Jihoon tertawa. Ia menarik lagi tengkuk leher suaminya dan mencium bibir suaminya dengan berantakan. Dan itu cukup membuat Seungcheol kewalahan tapi tetap bisa mengimbangi permainan bibir suaminya.

Ciuman mereka terlepas ketika Jihoon memutuskannya, dan berteriak. Itu karena Seungcheol dengan tiba-tiba memasukkan kejantanannya.

“Mas ih.”

“Maaf sayang.”

“Kamu biasanya mau lama-lama finger-in aku.”

Kenapa musti lama, kamu longgar Jihoon

“Aku gak kuat yang.” Ucap Seungcheol sambil menyengir.

Jihoon mengalungkan tangannya di leher Seungcheol.

“Setubuhi aku, mas.”

. . . . . . . . . .

Seungcheol menggeliat tidak nyaman dalam tidurnya, ia merasakan sesuatu bergerak di bawah sana. Ia membuka matanya, dan terkejut ketika melihat Jeonghan sedang melahap kejantanannya.

“Jeonghan, kamu gila.” Pekiknya pelan karena jujur saja, Jihoon masih tidur memeluk dirinya.

Jeonghan melepaskan kejantanan Seungcheol dari mulutnya, ia bergerak ke atas dan menatap wajah Seungcheol. Dan menaruh telunjuknya di bibir majikannya itu.

“Kalo bapak berisik, kita ketauan.” Ucap Jeonghan tepat di telinga Seungcheol.

Jeonghan bangkit, dan kemudian dengan gerakan sensual ia membuka seluruh pakaiannya. Dan itu membuat Seungcheol terkejut, ia meminta Jeonghan tidak melakukan itu. Tapi Jeonghan tidak menurutinya, ia malah mengambil tangan Seungcheol dan mengarahkannya ke putingnya.

Seungcheol melirik ke suaminya yang masih terlelap, dengan takut-takut ia memilin puting milik Jeonghan. Jeonghan menggigit bibir bawahnya—menggoda Seungcheol. Lalu ia menangkup kejantanan Seungcheol dan mengurutnya dengan pelan.

Keduanya melenguh pelan keduanya makin bersemangat mengerjai masing-masing sesuatu yang mereka sukai satu sama lain.

Jeonghan kemudian ikut bergabung di atas ranjang Seungcheol dan Jihoon. Ia mengarahkan putingnya ke mulut Seungcheol dan dengan cepat Seungcheol meraupnya. Di waktu yang bersamaan, Jihoon menggeliat dan membalikkan tubuhnya—memunggungi Seungcheol dan Jeonghan.

Tangan Seungcheol yang tadi di jadikan bantalan oleh Jihoon, kini menganggur dan itu Jeonghan gunakan untuk ia arahkan ke lubangnya.

“Pak Jihoon bahkan bolehin kita bersetubuh pak.”

. . . . . . . . . .

Jeonghan terlonjak-lonjak kecil ketika Seungcheol menyentaknya dengan pelan tapi cukup membuatnya ingin berteriak. Tapi ia harus menahan desahannya karena ada Jihoon di sana.

Jeonghan menyandarkan tubuhnya ke tubuh Seungcheol yang berada di belakangnya. Tangannya ia kalungkan di leher Seungcheol, dan keduanya berciuman dengan Seungcheol yang masih menggerakkan pinggulnya dari belakang.

Seungcheol melepaskan tangan Jeonghan dan menyuruhnya bertumpu pada ranjangnya. Doggy-style

“Ouhhhh—.” Lenguh Jeonghan pelan

Keduanya bersetubuh di belakang Jihoon. Benar-benar dibelakang

“Anghhhhh.” Desah pelan keduanya ketika mereka berdua sama-sama mencapai puncak kenikmatan.

Keduanya terengah-engah, Jeonghan dengan cepat mencium bibir Seungcheol.

“Gimana pak?”

“Kamu gila Jeonghan—”

“—tapi saya suka.”

Lalu keduanya larut dalam ciuman panas mereka.

20.00

“Chan pulang.”

Chan mengernyitkan keningnya, karena biasanya kakaknya sudah ada di rumah jam segini. Chan bergegas menuju kamar kakaknya.

“Mas?”

Seokmin terkejut ketika mendengar suara Chan.

“Baru pulang?”

Chan mengangguk. “Kirain mas yang belum pulang.”

“Mas udah pulang dari tadi sih.”

“Ini mas ngapain beresin baju? Mau bisnis keluar kota? Tapi kok semuanya di keluarin?” Tanya Chan ketika melihat Seokmin sedang memasuki baju-bajunya ke dalam koper.

Seokmin menuntun Chan untuk ikut dengannya duduk di atas ranjangnya.

“Chan, mas mau nikah.”

“Hah? Sama siapa? Mas gak pernah cerita sama Chan kalo punya pacar.”

“Mas emang ga punya pacar. Tapi mas mau nikah. Sama pak Jisoo.”

“Hah? Kok bisa?”

Seokmin tidak mungkin menceritakan detailnya pada Chan.

“Mungkin karena kita kerja bareng, jadi mas sama pak Jisoo ngerasa kalo sama-sama saling butuh.”

“Mas sama pak Jisoo pernah itu.....”

Ucapan Chan menggantung, tapi Seokmin tau kemana arah pembicaraan mereka.

“Engga, bukan itu. Maksud mas, kita sering bareng-bareng. Jadi udah ngerti satu sama lain.”

Seokmin bisa melihat wajah Chan yang melega ketika mendengar perkataannya.

“Terus mas gak tinggal disini lagi? Chan sendirian disini?”

Seokmin menggeleng. “Chan ikut mas, kemanapun mas pergi. Nanti kalo udah senggang Chan beresin baju-baju Chan ya?”

“Tapi disini kan banyak kenangan sama ayah ibu, mas.”

Seokmin meremat tangan Chan. “Terkadang kita harus tau kalo kenangan ya harusnya emang cuma di kenang aja. Gak semuanya harus di ulang. Apalagi kalau orangnya ga lengkap.”

Chan memeluk Seokmin erat. “Chan mau ikut ya, mas?”

“Chan akan selalu ikut kemanapun mas pergi.”

Seokmin dan Jisoo sedang menikmati makan siang mereka.

“Jadi gimana itu utang keluarga kamu Seok?”

“Ya mau gak mau saya yang harus bayar pak.”

“Berapa sih? Dan masih berapa lagi?”

“40 juta, saya baru bayar 10 juta. Ya bapak tau sisanya masih banyak.”

“Lagian kok utang sebanyak itu kamu gak tau?”

“Kayaknya waktu itu buat pengobatan bapak saya deh pak.”

“Terus gimana kamu bayar sisanya?”

Seokmin mengangkat bahunya. “Gak tau deh. Saya ada niat mau jual diri sih pak.”

Uhuk

Jisoo yang sedang minum, tersedak mendengar ucapan Seokmin.

“Udah gila.”

Seokmin tertawa. “Tapi kayaknya sih gak laku.”

“Eh tapi banyak ga sih pak, kolega bapak yang butuh baby sugar? Kenalin ke saya dong pak.”

Jisoo menggeleng. “Udah ga waras.”

Seokmin kembali tertawa, sebenarnya ia senang menjahili bosnya itu dan saat ini ia sedang mencoba menjahili Jisoo.

Lalu keduanya sama-sama terdiam, Jisoo karena pikirannya dan Seokmin karena ia kembali makan.

“Oh saya tau kamu harus ngapain.”

“Ngapain?”

“Gapapa, kamu jual diri aja.”

Uhuk

Gantian Seokmin yang tersedak. Ia menatap Jisoo tidak percaya, karena sebenarnya ia hanya bercanda tapi kenapa Jisoo membuatnya menjadi serius.

“Pak.....”

“Tapi jualnya ke saya.”

“Hahhhhhhhh?”

“Iya jualnya ke saya. Kamu jual, saya beli. Saya pastiin utang kamu lunas dalam sekejap.”

Seokmin menempelkan punggung tangannya di kening Jisoo.

“Bapak panas ya?”

Jisoo menepisnya. “Saya sehat-sehat aja.”

“Pak, bapak sadar ga sih sama apa yang baru aja bapak bilang?”

Jisoo mengangguk. “100% saya sadar.”

Seokmin mengacak-acak rambutnya. “Buat apa bapak beli saya? Gak ada gunanya. Malah nyusahin bapak.”

“Loh kamu banyak gunanya kok, kan selama ini yang ngurusin saya itu kamu. Sampai makan siang pun kamu yang urus, dimana letak kamu tidak berguna?”

Kali ini Seokmin diam. Karena yang Jisoo omongkan benar, tapi sebenarnya itu ya sebagian besar pekerjaannya.

“Saya pinjemin 30 juta, kamu bayarnya dengan nikah sama saya.”

“Pak, serius dulu dong.”

“Saya udah serius, Seokmin.”

“Tapi gimana kalo keluarga bapak gak setuju bapak nikah sama saya?”

“Saya gak butuh persetujuan mereka.”

“Pak, kalo bapak nikah sama saya kita gak bakal bisa punya keturunan.”

“Kita bisa adopsi anak.”

“Pak, bapak kan butuh pewaris untuk perusahaan bapak.”

“Seokmin?”

“Ya pak?”

“Saya sebenernya gak butuh anak. Saya cuma butuh orang yang nemenin saya saat semua orang mungkin bakal ninggalin saya. Dan saya maunya kamu, Seokmin. Kamu yang nemenin saya.”

Setelah mendengar penuturan Jisoo, Seokmin tidak lagi membantah.

Seokmin kembali setelah membeli makan siang untuknya dan Jisoo. Kedunya sering makan siang bersama seperti ini. Karena ya, Jisoo menganggap Seokmin sebagai partner kerjanya dan temannya. Seokmin dan Jisoo hanya beda satu tahun—Jisoo lebih tua dari Seokmin.

Jisoo melihat wajah Seokmin yang murung.

“Kenapa?”

Seokmin menatap Jisoo. “Apanya yang kenapa pak?”

“Kamu kenapa? Balik beli makanan sedih gitu, gak ikhlas beliin saya makanan?”

Seokmin menggeleng. “Gak gitu pak, saya ada sedikit masalah aja di rumah.”

“Kamu berantem sama adik kamu?”

“Bukan, adalah masalah yang saya ga bisa ceritain ke bapak.”

“Oke, tapi kalo kamu butuh sesuatu kasih tau saya aja. Siapa tau saya bisa bantu.”

Seokmin mengangguk. “Iya pak.”

Jisoo memasuki ruangannya dengan wajah lelah, ia duduk di kursinya dan mengendurkan dasi yang ia rasa terasa sangat mencekiknya.

Seokmin masuk beberapa saat kemudiannya. Ia menaruh berkas-berkas yang tadi mereka gunakan untuk meeting.

“Kopi atau jus pak?”

Jisoo yang sempat memejamkan matanya kini membuka matanya.

“Jus melon boleh Seok.”

Tanpa menjawab Seokmin bergegas menuju pantry dan membuatkan jus melon untuk Jisoo. Beberapa menit kemudian setelah selesai ia kembali ke ruangan Jisoo dan menaruh jus itu di meja Jisoo.

“Saya ga habis pikir sama kinerja mereka. Kenapa makin buruk sih?”

“Capek juga bilangin orang-orang batu kayak mereka.” Seokmin hanya diam ketika Jisoo mengeluarkan unek-uneknya. Jisoo hanya ingin di dengar, bukan di beri nasihat.

“Seok?”

Nah, kalo sudah begini baru deh Seokmin bisa memberikan tanggapan untuk emosi Jisoo.

“Saya udah boleh ngomong ya pak?” Jisoo mengangguk.

“Gini ya pak, kalo menurut saya kali ini bapak harus tegas. Saya bukannya mau ngomporin sih, cuma emang akhir-akhir kinerja mereka menurun saya juga ga tau karena apa.”

“Tegasnya gimana?”

“Kasih peringatan, kalo masih kayak gini ya mau gak mau turun jabatan.”

Jisoo tampak memikirkan ucapan Seokmin.

“Saya coba pikirin lagi deh.”

Seokmin mengangguk. Lalu ia berdiri untuk kembali ke mejanya.

“Saya balik ke meja dulu pak.”

Jisoo mengangguk. “Makan siang apa?”

“Bapak maunya apa?”

“Lagi pengen makan nasi Padang deh Seok.”

“Tumben.”

“Gak tau pengen aja.”

“Makan di sana atau take away?”

“Take away aja lah. Dikasih sendok kan?”

“Jiakhh, makan nasi Padang pake sendok. Mana nikmat.”

“Berminyak tau.”

Seokmin tertawa. “Yaudah nanti saya beli ke sana.”

“Sekalian es yang kamu beli kemarin tuh.”

“Es cekek? Emang di Amerika gak ada es teh di cekek ya pak?”

“Ya engga ada, paling di gelas kayak kopi gitu.”

“Gak asik banget ga tau es cekek.”

“Lagian kenapa namanya es cekek sih?”

“Itu minumnya pake plastik terus di pegang gitu kayak di cekek. Jadinya es cekek.”

Jisoo ber-oh ria ketika tau apa arti dari es yang sering Seokmin minum.

“Bapak pake lauk apa?”

“Kamu apa?”

“Saya biasanya ayam bakar, tapi lagi pengen rendang.”

“Yaudah saya ayam bakar aja.”

“Oke, saya ke meja saya dulu.”

Lalu Seokmin pergi ke meja dan melanjutkan pekerjaannya.

Saat ini Seokmin dan Jisoo sedang berada di ruangan Jisoo. Seokmin adalah sekretaris dari Jisoo. Kebiasaan keduanya adalah makan siang bersama.

“Terus gimana Seok utang orang tua kamu?”

“Ya mau gak mau saya yang harus bayar pak.” Jawab Seokmin sambil mengunyah makan siangnya.

“Terus kamu ada kerjaan lain selain disini? Kayak di film-film gitu.”

“Jangan kebanyakan nonton film dah pak, aneh jadinya bapak.”

Jisoo tertawa. “Terus gimana?”

“Saya sih niatnya mau jual diri pak.”

Uhuk

Jisoo tersedak air minum ketika mendengar ucapan Seokmin.

“Tau deh ada yang mau apa engga. Tapi kayaknya gak bakal laku sih. ” Lanjut Seokmin

“Yaudah, jual aja.”

Seokmin menatap Jisoo. Lalu dengan santai Jisoo juga membalas tatapannya.

“Ke saya.”

“Hah?”

Hari ini rumah keluarga besar Lee sedang berkumpul. Termasuk Jisoo yang sekarang sudah menyandang status sebagai suami dari anak bungsu keluarga Lee.

“Hai?”

Jisoo menoleh dan mendapati Dokyeom di depannya dengan segelas jus segar. Jisoo menjadi canggung dengannya.

Jisoo dan Dokyeom dulunya adalah sepasang kekasih yang bahkan sudah bertunangan dan beberapa bulan lagi mereka sudah akan menikah. Tapi ya seperti itu, Dokyeom adalah tipe orang yang cuek dan Jisoo adalah orang tipe orang yang harus di sayang setiap saat.

Sebenernya Jisoo sudah memaklumi sifat Dokyeom tapi pada saat itu adalah final dari buah kesabarannya.

“Mana ada final fitting di gantiin orang lain?” Pikir Jisoo pada saat itu.

“Soo?”

Jisoo tersadar dari lamunannya. “Oh ya kyeom. Hai juga.”

“Apa kabar, Soo?” Ini adalah bulan ke-5 setelah pernikahan Jisoo—dan Jisoo langsung di boyong Seokmin ke apartemen milik Seokmin. Dan ini adalah pertama kalinya lagi mereka bertemu.

“Aku baik, kyeom. Kamu?”

“Ya gini-gini aja sih aku mah.”

Lalu keduanya sama-sama terdiam.

“Kamu....keliatan lebih bahagia sekarang ya, Soo?”

Senyum Jisoo mengembang tiba-tiba. Ia mengingat bagaimana Seokmin memperlakukannya dengan baik selama 5 bulan belakangan ini. Seokmin selalu membangunkannya tiap pagi dengan kecupan-kecupan kecil diwajahnya, Seokmin selalu membuatkan makanan-makanan yang mungkin biasa bagi orang lain tapi sangat berharga untuknya.

Dokyeom melihat senyum Jisoo yang dulu untuknya—kini malah menjadi untuk adik kembarnya.

“Seokmin, memperlakukan kamu dengan baik ya Soo?”

Jisoo mengangguk. “Seokmin tuh ajaib banget. Selama 5 bulan nikah sama dia, aku ngerasa kalo aku beruntung banget bisa sama dia. Dia benar-benar memperlakukan aku like a prince. Dan memperlakukan aku layaknya berlian yang harus bener-bener di jaga.”

Dokyeom tersenyum miris ketika mendengar Jisoo memuji-muji orang lain di depannya.

“Waktu dulu sama aku, kamu ga seneng ya Soo?”

“Aku seneng sama kamu. Tapi kamu kan tau, aku gak bisa di diemin gitu terus.”

“Tapi aku kerja juga buat kamu Soo.”

“Seokmin juga kerja buat aku, tapi dia selalu menomorsatukan aku di setiap kesibukannya.”

Dokyeom terdiam.

“Aku gak bermaksud ngebandingin kamu sama Seokmin. Tapi itu kenyataanya kyeom.”

Dokyeom mengangguk. “Maaf ya, Soo.”

“Nanti kalo suatu saat kamu dapet yang lain, jangan gitu lagi ya kyeom. Cukup aku aja yang ngerasain dinginnya kamu.”

Dokyeom mengangguk. “Iya, Soo.”

“Yaudah aku ke Seokmin dulu. Semangat kakak ipar.”

. . . . . . . . . .

“Omin.” Jisoo mengejutkan Seokmin dengan memeluknya dari belakang.

“Yaelah, baru aja mau marah-marah karena di peluk tiba-tiba. Tapi kalo yang meluk begini mah, eratin dong yang.” Jisoo tertawa lalu ia mengecup pipi suaminya itu.

“Kamu darimana aja?”

“Tadi aku ngobrol sama Dokyeom.”

“Oh ya? Ngomongin apa?”

“Ya intinya dia minta maaf sih karena dulu begitu sama aku.”

“Kamu tuh belum ketemu lagi sama mas ya? Setelah kita nikah.”

Jisoo menggeleng. “Kan kamu nya sibuk.”

“Ya ketemu aja sendiri?”

“Engga ah, nanti suami aku cemburu.”

“Jiakhh, bisa aje lu kak.”

“Don't kak me, Seokmin.”

“Oke-oke, tapi aku gak papa yang kalo kamu mau ketemuan sama mas tanpa aku.”

“Aku yang gak mau.”

“Kenapa?”

“Ya gak mau aja, aku maunya sama kamu kalo ketemu dia.”

“Takut goyah?”

Jisoo menggeleng. “Aku ngehormatin kamu sebagai suami aku, Seok. Lagipula aku udah ga ada rasa sama dia.”

“Terus ada rasa sama siapa?”

“Ya sama kamu lah.”

“Cie yang ada rasa sama aku.”

Jisoo memanyunkan bibirnya. “Rese.”

Seokmin tertawa lalu ia menarik Jisoo masuk ke pelukannya.

“Makasih ya kamu udah berpikiran kayak gitu. Makasih juga udah sayang sama aku.”

“Kamu yang buat aku sayang banget sama kamu tau.”

“Tujuan awal omin itu kak.”

Jisoo mengalungkan lengannya di leher Seokmin lalu mengecup bibir tebal suaminya.

“Makasih juga udah selalu menomorsatukan aku.”

“Kamu emang harus jadi nomor satu tau.”

“Love you, mas Seokmin.”

Seokmin tersenyum lalu menggigit kecil bibir Jisoo.

“Love you too, dek Jisoo.”

Jisoo memukul lengan Seokmin. “Aku lebih tua tau.”

“Gak ngaruh, ga ada serem-seremnya menurut aku. Gemes yang ada, apalagi kalo udah ngerengek. Mau aku kurung tiap hari di kamar.”

“Mau dong di kurung.”

Seokmin langsung mengangkat tubuh Jisoo dan Jisoo dengan sigap melilit pinggang Seokmin dengan kakinya—gendong koala.

“Seok, yang bener aja dong? Ini di rumah mama tau.”

“Gak perduli, yang penting aku bisa kurung suami aku.”

“SEOKKKMIIIIINNNNN.”

End

Jihoon mengerang ketika Soonyoung dengan tiba-tiba meremas pantatnya dari belakang.

“Pak, nanti kalo ketauan orang gimana?”

“Gak bakal lah, kan di lantai ini cuma saya sama kamu aja.”

Soonyoung tiba-tiba saja membuka resleting celana Jihoon tanpa membuka gesper nya terlebih dahulu. Dan dengan cepat mengeluarkan kejantanan Jihoon.

“Pak, di dalem aja.”

“Disini juga gapapa ji.”

Jihoon tidak bisa membantah lagi ketika Soonyoung sudah memasukkan kejantanannya ke dalam mulutnya. Soonyoung dengan lihai memaju-mundurkan kepalanya untuk memakan habis kejantanan Jihoon. Sedangkan Jihoon, ia berpegangan pada meja kerjanya. Kepalanya terdongak ke atas ketika Soonyoung menghisap kejantanannya dengan kuat. Ia meremas rambut bos nya itu untuk menyalurkan afeksinya.

“Pak—enak banget.” Jihoon mendorong kepala Soonyoung agar lebih memasukkan kejantanannya. Tangan Soonyoung juga mulai meraba bagian dada sekretarisnya itu. Jihoon hampir menangis karena Soonyoung memberikannya kenikmatan atas bawah.

“Pak, saya mau keluar.”

“Keluarin aja, sayang.”

“Ahhhhhh—.” Suara Jihoon menggema di lantai itu. Jadi sebenarnya, lantai itu hanya khusus CEO dan sekretarisnya. Jadi tidak ada orang lain di sana kecuali mereka.

Jihoon terkulai lemas ketika ia berhasil mengeluarkan cairannya di dalam mulut bosnya. Dengan sigap Soonyoung membantu menopang tubuhnya.

“Sayang mau ngewe disini?”

“Ini beneran ga ada yang liat kan pak?”

“Iya gak ada.”

Jihoon mengalungkan lengannya di leher Soonyoung.

“Gendong ya, pak?”

Soonyoung tertawa. “Maunya berdiri?”

Jihoon mengangguk. Lalu Soonyoung menyandarkan tubuh Jihoon ke tembok belakang mereka, lalu dengan cepat ia membuka celananya dan celana Jihoon.

Soonyoung meraba lubang Jihoon yang sudah basah—karena pelumas.

“Udah di siapin sendiri?”

“Tadi di mobil. Kita ada meeting nanti jam 10 pak.”

“Jadinya quickie nih?”

“Iya, nanti agak sorean lagi gapapa.”

“Nah gini dong, dapet double.”

“Cepetttt, gatel tau.”

Soonyoung langsung memasukkan kejantanannya ke dalam lubang Jihoon. Jihoon meringis kecil ketika kejantanan besar itu menerobos masuk ke lubangnya.

“Kok masih sakit sih ya?”

“Lubang kamu terlalu ketat.”

Soonyoung menggerakkan pinggulnya sambil menopang tubuh Jihoon agar tidak terjatuh. Jihoon benar-benar bertumpu pada tubuh Soonyoung. Dengan tubuh yang terlonjak-lonjak, Jihoon berpegangan pada bahu Soonyoung.

“Bapak, bisa cium saya gak?”

Tanpa menjawab, Soonyoung mencium bibir Jihoon dengan rakus, ia melesakkan lidahnya ke mulut Jihoon, ia menghisap lidah Jihoon sampai sang empu melenguh nikmat.

“Bisa gak kamu buka kancing baju kamu?”

Jihoon mengangguk, ia membuka kancing bajunya sendiri dengan cepat dan langsung menarik kepala Soonyoung agar memakan juga putingnya.

Soonyoung terus bergerak liar dengan mulut mengecap puting Jihoon, layaknya seorang bayi yang sedang menyusu.

“Pak—.”

“Keluarin aja kalo mau keluar.”

“Nanti kena baju bapak.”

“Ya udah saya balik ya?”

Jihoon mengangguk. Lalu Soonyoung melepaskan penyatuan mereka dan membalik tubuh Jihoon agar menghadap ke tembok lalu dengan cepat ia masukkan lagi kejantanannya.

“Awas kepala kamu kebentur tembok, sayang.”

Jihoon memberikan jeda agar kepalanya tidak terantuk tembok. Soonyoung memilin puting Jihoon dari belakang, sesekali ia cubit dengan keras sampai Jihoon berteriak.

“Teriak aja, saya suka denger kamu teriak.”

“Pakkkkkk enak banget—huu.” Jihoon merengek ketika ia merasakan kenikmatan yang Soonyoung berikan.

“Kamu yang enak Jihoon. Lubang kamu nih meres penis saya kenceng banget.” Jihoon suka saat Soonyoung berbicara kotor ketika mereka sedang menyatu.

Sebelah tangan Jihoon memegang pinggang Soonyoung agar lebih dalam.

“Jihoon, saya mau keluar.”

“Jangan di dalem pak, di mulut aja ya?”

Soonyoung melepaskan kejantanannya, mendudukkan Jihoon di kursinya dan langsung memasukkan kejantanannya ke mulut Jihoon, dengan kasar ia lesakkan itu di mulut Jihoon. Jihoon tersedak ketika Soonyoung dengan kasar menggerakkan pinggulnya agar kejantanannya masuk, tapi dengan cepat juga ia menyeimbangkan gerakan Soonyoung. Tangan Soonyoung juga ia gunakan untuk mengocok kejantanan Jihoon.

Soonyoung menahan kepala Jihoon ketika ia akan meledak.

“AHHHHHHH—.”

“Pak Kwon—ahhh.”

Keduanya sampai pada pelepasan mereka. Setelah merasa kejantanannya sudah tidak mengeluarkan cairan, Soonyoung mengeluarkannya dari mulut Jihoon dan langsung mencium bibir Jihoon.

“Kenapa gak boleh di dalem?”

“Bersihinnya susah pak. Mas Cheol juga lagi sering minta jatah. Maaf ya?”

“Iya gapapa, yang penting jatah saya tetep jalan. Nanti sore lagi kan?”

“Iya, nanti sore lagi. Sekarang siap-siap buat meeting.”

“Okay, sayang.”

. . . . . . . . . .

Disisi lain juga.....

Jeonghan mengetuk pintu ruang kerja Seungcheol, setelah dipersilahkan masuk ia masuk dengan segelas jus segar di tangannya.

“Jus pak?”

Seungcheol tertawa. “Boleh sini.”

Jeonghan memberikan jus yang tadi ia bawa kepada Seungcheol.

“Bapak nyuruh saya kesini ada apa pak?”

“Katanya kamu mau manjain saya?”

“Bapak maunya gimana?”

“Terserah kamu mau gimana.”

“Sebenernya saya pengen di atasnya bapak.”

“Lakuin apa yang kamu mau, Jeonghan.”

Jeonghan langsung duduk di atas pangkuan Seungcheol.

“Saya mau liat badan kamu boleh?”

“Mau liat aja?”

“Mau saya kecup, saya jilat, saya gigit. Boleh?”

Jeonghan membusungkan tubuhnya. “Bukain dong, pak.”

Seungcheol dengan tatapan lapar membuka kancing kemeja Jeonghan. Ia bisa melihat betapa mulusnya kulit Jeonghan, ingin rasanya ia membubuhkan tanda merah di sana.

“Saya tandain boleh?”

“Silahkan, pak.”

Seungcheol langsung memburu kulit leher Jeonghan. Ia mengecupi bagian sama dan membuat tanda kemerahan. Jeonghan sendiri sudah mendongakkan kepalanya agar Seungcheol lebih leluasa.

Setelah puas dengan leher Jeonghan, Seungcheol mendudukkan Jeonghan di atas meja kerjanya, lalu ia mengecupi dada Jeonghan, memberinya tanda juga. Jeonghan mengerang ketika Seungcheol menghisap putingnya.

“Oh, pak Seungcheol—.” Kepala Jeonghan terdongak ke belakang karena sengatan nikmat dari Seungcheol.

“Mulutnya suami orang enak banget sialan”

Setelah puas dengan leher dan dada Jeonghan, Seungcheol turun ke paha dalam Jeonghan. Ia mengecupi juga paha itu dan memberinya tanda juga. Karena Jeonghan memakai celana pendek jadi dengan leluasa mengerjai paha Jeonghan.

Setelah puas memberi tanda dimana-mana, Seungcheol menatap Jeonghan yang sudah tak beraturan.

“Kita harus cepet kan? Chan harus dijemput.”

“Saya juga udah ga kuat pak, mulut bapak enak banget.”

“Saya masukin kamu boleh, Jeonghan?”

“Boleh pak Seungcheol boleh.” Jeonghan sudah kepalang nafsu, ia sudah pasrah Seungcheol akan melakukan apa padanya.

Seungcheol berdiri, memaksa Jeonghan berdiri dan melepaskan seluruh pakaian keduanya. Jeonghan di tidurkan di atas meja kerjanya.

“Lube saya sama pengaman di kamar. Mau saya ambil dulu?”

“Langsung aja pak, dibasahin pake ludah bapak aja. Lubang saya udah gatel banget.”

PLAKKKK

Jeonghan terkejut ketika Seungcheol memukul pantatnya. Rasanya panas dan nikmat secara bersamaan.

“Nakal banget mulutnya.”

“Pak Seungcheol, please masukin saya pak.”

PLAKKKK

“Ouhh—.” Jeonghan mendongak ketika Seungcheol kembali memukul pantatnya.

Seungcheol menundukkan tubuhnya tepat di depan lubang Jeonghan lalu ia menjilati lubang itu dengan lihai, seperti menjilati toples madu—menurut Seungcheol. Jeonghan berpegangan pada meja karena ia sudah tidak kuat lagi.

Seungcheol langsung mengarahkan kejantanannya ke lubang Jeonghan.

“Sempit.”

Seungcheol masih berusaha untuk memasukkan kejantanannya.

“Jeonghan, kamu bisa gigit saya karena ini bakal sakit banget.”

Seungcheol memberikan bahunya ke Jeonghan sambil ia terus memasukkan kejantanannya dan Jeonghan benar menggigit pundak Seungcheol. Keduanya sama-sama sakit, tapi Seungcheol yakin Jeonghan lebih sakit darinya.

Setelah beberapa menit berusaha, akhirnya kejantanan Seungcheol masuk tepat mengenai sweet spot milik Jeonghan.

“Pak—.”

Seungcheol menggerakkan pinggulnya ketika ia rasa Jeonghan sudah tidak terlalu sakit.

“Ah ah ah ah ah—.” Tubuh Jeonghan terlonjak-lonjak karena tumbukan dari Seungcheol.

“Jeonghan, enak?”

Jeonghan mengangguk setengah sadar. Ia tidak bisa berpikir lagi. Yang ia rasakan ini adalah kenikmatan yang luar biasa baginya.

“Pak, saya mau keluar.”

“Boleh, Jeonghan.”

“Nanti kena badan bapak.”

“Gapapa, keluarin aja.”

Setelah Seungcheol berkata seperti itu, Jeonghan mengeluarkan cairannya yang lumayan banyak—mengenai dada dan perut Seungcheol.

Seungcheol tidak membiarkan Jeonghan diam, ia kembali menggerakkan pinggulnya dengan cepat.

“Pak, ah—.”

“Saya dikit lagi keluar, Jeonghan.”

“Ah ah ah ah.”

“Terus mendesah, Jeonghan. Saya suka denger suara kamu.”

Jeonghan makin berisik ketika Seungcheol makin kencang menggerakkan pinggulnya.

“Saya keluar di dalam?”

Jeonghan mengangguk. “Di dalam aja, pak. Gak bakal bikin saya hamil.”

Seungcheol makin membabi buta dan Jeonghan makin ricuh sekali. Untung saja hanya mereka berdua di rumah. Karena ruang kerja Seungcheol tidak kedap suara.

“Jeonghaaaaannnnn arghhhh.” Seungcheol bergetar hebat ketika pelepasannya. Jeonghan bahkan merasakan perutnya begah karena cairan Seungcheol.

Keduanya terengah-engah karena pelepasan mereka. Lalu Seungcheol kembali mengajak Jeonghan untuk beradu lidah.

“Ini dahsyat, Jeonghan.” Ucap Seungcheol, kening keduanya saling menyatu.

“Next time kita bikin yang lebih dahsyat ya, pak.”

Lalu keduanya kembali berciuman.

Setelah kejadian itu Seungcheol dan Jeonghan makin dekat, bahkan Jeonghan sering menggodanya saat Jihoon masih di rumah—tapi Jihoon sama sekali tidak sadar akan hal itu.

Contohnya saat ini, Seungcheol, Jihoon, Chan dan Jeonghan sedang sarapan bersama dengan Jeonghan yang duduk tepat di depan Seungcheol. Dengan sengaja ia mengelus kaki Seungcheol dengan kakinya dan tentu saja dengan gerakan sensual.

Jeonghan mengelus, sampai akhirnya kakinya tepat di selangkangan Seungcheol. Ia mengelus kejantanan Seungcheol dengan kakinya dari luar celananya. Dengan bersikap biasa—ia sedang menyuapi Chan sesekali ia melihat wajah Seungcheol yang memerah karena elusannya.

“Mas, kamu baik-baik aja?” Tanya Jihoon saat melihat suaminya bertingkah aneh.

“Baik-baik aja kok yang, kayaknya aku kepedesan deh.”

“Hah? Ini pedes? Kayaknya aku buat gak sepedes itu.”

“Iya kayaknya yang kepedesan.”

“Maaf ya mas, kamu mau aku buatin lagi?”

“Engga usah yang, nanti kamu telat. Chan juga jadinya telat nanti.”

“Yaudah gak usah di makan lagi, kamu makan sereal aja sana.”

“Aku udah kenyang kok. Nanti kalo laper aku makan sereal.”

Jihoon mengangguk lalu kembali ia fokus pada sarapannya. Sementara Seungcheol, ia menahan kaki Jeonghan yang di selangkangannya dengan kedua pahanya, ia melirik Jeonghan—memintanya agar terus bergerak. Dan Jeonghan paham, ia menggerakkan kakinya dengan pelan, bahkan Seungcheol hampir saja mendesah ketika Jeonghan dengan sengaja menekan pelan dibagian itu.

“Hm—.”

Jihoon menatap Seungcheol. “Kenapa mas?”

“Engga yang, aku lagi mikir kalo hari ini kerjaan aku banyak. Soalnya pihak penerbit udah minta tulisan aku secepatnya.”

“Oh, kamu lagi mentok banget atau gimana?”

“Sedikit, tapi hari ini aku bakal selesaiin.”

“Kalo masih gak bisa, refreshing aja mas. Biar ada ide lagi.”

“Iya yang.”

Lalu Jihoon mengalihkan pandangannya pada Chan.

“Chan udah kelar?”

“Udah pa.”

“Berangkat sekarang ya?”

Chan mengangguk, lalu ia mengambil tas nya dan menyampirkannya di pundaknya.

“Mas, aku sama Chan berangkat dulu. Kamu kalo butuh sesuatu telfon aku aja ya?”

“Iya sayang. Hati-hati ya.” Seungcheol mengecup kening Jihoon dan Chan

“Nanti ayah jemput Chan kan?”

“Iya dong.”

“Jangan lupa ya mas?”

“Iya sayang.”

Setelah Jihoon dan Chan pergi, tinggallah Seungcheol dan Jeonghan.

“Kamu nakal banget sih?” Seungcheol memukul pantat Jeonghan ketika Jeonghan sedang mencuci piring.

“Tapi enakkan pak?”

“Ada enaknya, ada sensasi deg-degannya.”

“Kapan-kapan cobain yang lebih deh pas ada pak Jihoon. Pasti lebih seru.”

“Dasar. Saya ke ruang kerja dulu.”

“Gak mau di lanjutin yang tadi pak?”

“Jihoon suka pulang tiba-tiba karena ada yang ketinggalan, saya pastiin dulu dia udah sampai di kantornya.”

“Panggil saya kalo bapak butuh saya manjain.”

Seungcheol mengecup bibir Jeonghan. “Saya gak sabar di manjain sama kamu.”

Sampai siang hari Seungcheol belum juga keluar dari kamarnya, setelah melihat “pemandangan pagi hari” ia jadi tidak berani menatap wajah Jeonghan.

Karena di rasa sudah terlalu lama di kamar, perutnya lapar dan Jeonghan pasti sedang menjemput Chan, Seungcheol keluar dari kamarnya. Ia menuju dapur dan membuka kulkas mencari susu coklat yang biasa ia minum.

“Pak Seungcheol?”

Seungcheol hampir tersedak ketika mendengar suara Jeonghan.

“Baru keluar kamar pak?”

Seungcheol mengangguk. “Chan mana? Bukannya udah jam pulang sekolah?”

“Itu pak, Chan tadi mau main dulu sama Seungkwan.” Seungcheol mengangguk lagi, ia menuju meja makan dan bersiap untuk makan.

“Ini siapa yang masak?”

“Saya pak.”

Seungcheol memakan makanan yang Jeonghan buat, dengan lahap dia menghabiskannya.

“Jeonghan?”

“Ya pak?”

“Tadi pagi, ehm kamu kenapa gak pakai baju?” Tanya Seungcheol tanpa melihat Jeonghan.

“Bapak liat saya ya? Aduh maaf banget ya pak, saya kebiasaan di rumah kayak gitu terus saya lupa kalo bukan di rumah.” Jawab Jeonghan. Ia pura-pura terkejut tidak mengetahui Seungcheol melihatnya.

“Iya, tapi jangan gitu lagi. Apalagi saya kerja di rumah. Takutnya....” Ucapan Seungcheol menggantung.

“Takutnya apa pak?”

“Takutnya gue ga kuat buat ga nyerang lo.”

“Takutnya ada yang kesini liat dan kamu lagi gitu kan ga enak.”

Jeonghan mengangguk. “Iya pak, maaf ya.”

“Iya gapapa.”

. . . . . . . . . .

Seungcheol keluar dari ruangan kerjanya, ia merentangkan tangannya untuk mengusir pegal di tubuhnya.

“Pak Seungcheol, mau saya buatin minum?” Seungcheol memperhatikan Jeonghan dari atas ke bawah. Jeonghan mengenakan kemeja putih dan celana pendek. Tulang selangka Jeonghan terlihat jelas di mata Seungcheol.

“Pak?”

Panggilan Jeonghan membuyarkan lamunan Seungcheol, lalu ia mengangguk.

Jeonghan dengan sigap membuatkan Seungcheol minuman. Seungcheol memperhatikan gerak-gerik Jeonghan dari belakang, ia melihat ke arah paha mulus Jeonghan yang seakan-akan memanggilnya untuk menjamahnya.

“Ini pak.” Jeonghan menaruh minuman itu di depan Seungcheol. Jeonghan duduk di depan Seungcheol, ia membuka kancing atas kemejanya dan mengibas-ngibaskan tangannya menandakan ia kepanasan.

“Panas?” Tanya Seungcheol. Jeonghan tau arah pandang Seungcheol.

“Iya pak, padahal AC nya nyala ya.”

“Gedein aja.”

“Nanti bapak kedinginan. Gapapa saya gini aja, gapapa kan pak saya buka kancing atas?”

Seungcheol menelan ludahnya lalu kemudian ia mengangguk.

Jeonghan memulai aksinya, ia berpura-pura mengelap keringat yang jatuh di dadanya. Ia sedikit mengelus bagian bahu dari dalam kemejanya, menggigit bibir bawahnya.

Seungcheol menggigit bibir bawahnya juga ketika ia melihat Jeonghan mengelap keringatnya dengan gerakan sensual.

“Arghhhh, gue ga kuat

Jeonghan bisa melihat gelagat Seungcheol yang duduk dengan tidak nyaman.

“Kenapa pak?” Jeonghan berjalan ke arah Seungcheol, ia sedikit memijat pundak Seungcheol yang tegang.

“Tegang banget deh pak. Lemesin aja. Kenapa sih?” Jeonghan sudah bukan memijat, ia sudah mulai mengelus-elus bagian dada Seungcheol. Seungcheol mencoba untuk menahan dirinya.

“Jeonghan.” Seungcheol menekankan suaranya saat Jeonghan mulai membuat gerakan memutar di dadanya. Tapi Jeonghan tidak menghiraukan panggilan Seungcheol, ia masih mengelus dada itu bahkan ia berani mencubitnya.

Jeonghan tersenyum kemenangan ketika Seungcheol menyandarkan tubuhnya ke belakang kursi makan, ia agak lebih rileks sekarang.

“Pak Seungcheol, suka gak saya giniin?” Tanya Jeonghan tepat di telinga Seungcheol. Seungcheol merasakan tubuhnya merinding mendengar suara Jeonghan. Tapi sedetik kemudian ia mengangguk. Jujur saja, ia suka di elus di bagian dadanya dan Jihoon jarang menyentuhnya di sana.

“Jeonghan stop. Saya gak bisa nahan lagi.” Ucap Seungcheol, ia sudah tidak tahan lagi, bisa-bisa ia menyerang Jeonghan saat ini.

“Keluarin aja pak, jangan di tahan.”

“Ahh—.” Seungcheol mendesah ketika Jeonghan mengelus bagian bawahnya dari luar celananya.

“Pak Seungcheol, saya kulum boleh? Kita main cepet ya pak, sebelum Chan pulang. Tadi kan pak Seokmin bilang mau anter Chan jam 2 sekarang udah jam 1. Gimana pak?”

“Terserah kamu Jeonghan, saya udah gak kuat.”

Jeonghan tersenyum lebar ketika Seungcheol memberinya lampu hijau. Ia menarik tangan Seungcheol menuju kamar mandi.

“Rumah saya gak ada cctv nya kok.”

Jeonghan tersenyum. “Kirain saya ada pak, tapi gak papa ya disini aja?”

Seungcheol mengangguk.

Jeonghan mendudukkan Seungcheol di closet duduk kamar mandi itu—tapi sebelumnya ia melepaskan celana kolor yang Seungcheol gunakan.

“see who's happy to meet me?”

Jeonghan menoleh kearah Seungcheol yang memperhatikannya, Seungcheol menaruh tangannya dibelakang rambut Jeonghan. Sedetik kemudian ia merasakan panasnya mulut Jeonghan di kejantanannya. Jeonghan mengemutnya bagaikan lollipop, ia juga melihat Jeonghan yang memanjakan twins ball nya.

Anjrit mulutnya enak banget.”

Seungcheol menekan kepala Jeonghan dan Jeonghan mengikuti kemauan Seungcheol. Ia menaik-turunkan kepalanya dengan bantuan Seungcheol—ia bahkan sudah mengeluarkan air mata karena kejantanan Seungcheol mengenai kerongkongannya.

Hampir 15 menit dengan posisi mereka seperti itu, kejantanan Seungcheol mulai membesar di dalam mulut Jeonghan. Jeonghan mempercepat gerakannya dan sedikit menekan tangan Seungcheol yang di kepalanya agar ikut menekan kepalanya.

“AHHHHHHH—.”

Seungcheol berteriak ketika ia keluar dan Jeonghan masih menghisap kejantanannya. Ia menekan kepala Jeonghan dengan kedua pahanya—menyelesaikan pelepasannya.

Setelah ia rasa sudah selesai, Seungcheol melepaskan Jeonghan dan membantu Jeonghan bangun.

“Maaf, maaf saya kasar tadi.”

Jeonghan mengelap air liur di sudut bibirnya. “Gapapa pak. Saya suka kok.”

Keduanya saling bertatapan, dan tidak ada yang tau tiba-tiba saja bibir mereka sudah saling beradu. Seungcheol kembali menahan kepala Jeonghan agar terus mengikuti gerakannya.

Beberapa menit kemudian mereka melepaskan cumbuan itu.

“Kalau bapak mau, saya bisa kasih bapak yang lebih dari ini.”

“Siang Jeonghan.”

“Maksudnya?”

“Cuma siang hari kita bisa begini.”

Jeonghan tersenyum, lalu ia kembali mengajak Seungcheol beradu lidah. Keduanya masih seperti itu sampai Chan pulang.