thatausaha

Seungcheol terbangun lebih dulu dibanding Rachel. Ia meruntuki kebodohannya sekarang. Jeonghan pasti menunggunya. Ia mengecek ponselnya dan benar ada spam chat dari Jeonghan lalu ia membuka notifikasi Twitter nya dan Rachel memasukkan foto mereka. Sebenernya, ini harusnya adalah hal yang wajar untuk pasangan suami istri, tapi tidak bagi pasangan itu. Seungcheol tidak terlalu suka kalau masalah rumah tangganya dibawa-bawa ke media sosial.

Selain itu, ia juga tidak suka juga nantinya Jeonghan mengetahuinya. Tapi ia tidak yakin, karena feeling-nya mengatakan kalau Jeonghan tidak se-kepo itu pada masalah pribadinya.

“Jeonghan gak mungkin tau.” Tanpa menunggu Rachel bangun, ia membersihkan tubuhnya dan pergi untuk menemui Jeonghan.

Sementara itu Jeonghan yang sedari tadi mual-mual hanya bisa meratapi nasibnya yang hanya seorang diri. Orang yang ia yakini akan menemaninya malah tidak ada.

Dan, seharusnya Jeonghan tidak sesakit hati ini kan? Atau mungkin ia sudah punya perasaan yang lebih untuk Seungcheol?

. . . . . . . . .

Seungcheol masuk ke dalam apartemennya, ia mendapati Jeonghan yang sedang menonton film dengan fokus sampai tidak tau kalau ia sudah datang.

“Han?”

Semangkuk buah anggur yang tadi menemaninya hampir terjatuh karena ia terkejut.

“Mas, maaf Han gak denger mas masuk.”

“Gapapa sayang.”

Sayang ntah kenapa sekarang rasanya sakit ketika Seungcheol mengucapkan kata itu.

Seperti, itu hanya penenang ketika Seungcheol sudah menyakiti hati Jeonghan.

“Sayang, mas minta maaf ya.”

Minta maaf lagi

“Gapapa mas.”

“Sayang, semalem habis pulang dari rumah sakit tempat Juna di rawat tiba-tiba aja badan mas gak enak, dan rumah yang terdekat dari rumah sakit. Mas gak pengen kenapa-kenapa.”

Jeonghan mengangguk. “It's okay, aku beneran gapapa. Karena emang seharusnya mas pulang ke rumah kan?”

Jeonghan mengatakannya dengan menatap tepat ke mata Seungcheol.

“Han, mas tau Han marah. Makannya maafin mas ya?”

“Aku udah maafin.”

“Karena aku sadar mas, sampai kapanpun aku cuma pilihan kedua kamu.”

“Han, udah makan? Keluar yuk cari makan sama mas.”

“Han udah makan. Mas aja yang makan.”

Baru kali ini Jeonghan menolaknya, biasanya Jeonghan akan selalu mengiyakan ajakan Seungcheol sekalipun ia sudah makan—biasanya untuk menemani Seungcheol.

“Oh yaudah ntar mas pesen aja. Han lagi pengen apa? Biar mas pesenin sekalian.”

“Gak usah, gapapa mas. Makanan Han masih banyak.”

Lagi-lagi ditolak.

Seungcheol merasa sakit sekali saat menelan ludahnya—seperti ada yang mengganjal di kerongkongannya.

Seungcheol akhirnya duduk di sebelah Jeonghan yang kembali fokus pada layar datar di depannya.

“Baby-nya rewel gak yang?”

“Biasa aja mas, tadi pagi Han mual-mual tapi kata dokter Mingyu kemarin itu hal yang wajar untuk orang hamil. Semuanya masih bisa Han handle sendiri. Dan mungkin bakal Han handle sendiri terus.”

Dan mungkin bakal Han handle sendiri terus

Seungcheol hanya diam ketika mendengar ucapan Jeonghan.

Skip time

“Mas nginep?”

“Iya sayang.”

Jeonghan mengangguk. Lalu ia berjalan menuju sisi ranjang kosong di sebelah Seungcheol, ia mengambil bantal, guling dan mengambil selimut baru di lemari. Seungcheol yang melihat itu, tampak bingung.

“Han, kamu mau kemana?”

“Han tidur di sofa ya mas malem ini.”

“Hah? Kenapa?”

“Gapapa, Han lagi pengen aja.”

Lalu Jeonghan merebahkan tubuhnya di atas sofa yang lumayan besar di ruang tamu. Seungcheol jadi kesal karenanya, ia menyusul dimana Jeonghan berada.

“Pindah ke kasur.” Seungcheol mencengkram erat tangan Jeonghan, bahkan ia tidak perduli dengan ringisan kecil Jeonghan.

“Han mau tidur disini.”

“Pindah.”

Satu kata penuh penekanan dari Seungcheol.

“Kalo kamu marah sama mas, oke mas terima. Lagian juga mas udah minta maaf dan kamu maafin. Jangan kayak anak kecil, Jeonghan.”

Jeonghan menghentakkan tangannya yang di genggam oleh Seungcheol. Ia memegangi tangannya yang sedikit memerah.

“Kenapa ya mas, cuma kamu yang boleh egois disini?”

Seungcheol terdiam. Ia melihat ada setetes air mata yang jatuh dari mata Jeonghan.

“Harusnya kita gak gini, tugasku cuma jadi ayah pengganti untuk anak kamu sama mba Rachel. Harusnya, ketika aku udah hamil yaudah kita ga perlu skinship berlebihan, toh tinggal nunggu anak ini lahir. Abis itu kita gak ada hubungan apapun lagi.”

Jeonghan menyeka air matanya.

“Aku cuma mau terbiasa tanpa adanya kamu. Ketika nanti, semua kontrak kerja kita selesai.”

Jeonghan berjalan menuju kamar tidur, ia merebahkan tubuhnya membelakangi Seungcheol yang masih menatap punggungnya.

Beberapa menit Jeonghan tidak merasakan Seungcheol mengikuti langkahnya. Yang ia dengar malah suara pintu apartemen yang terbuka dan tertutup—seseorang keluar dari dalamnya.

Seharusnya, ia tidak sakit hati dengan ini karena ini maunya. Tapi saat ini, ia merasakan dadanya sesak. Lagi dan lagi ia merasakan rasanya dibuang.

Ia kembali paham, kalau saat ini ia sudah salah menempatkan perasaannya. Tidak seharusnya ia menjatuhkan hatinya pada seseorang yang sudah jelas-jelas tidak akan bisa untuknya.

Juna memarkirkan mobilnya di depan rumah keluarga Jeon. Kalau bukan karena sang momma, ia tidak akan pernah mau menginjakkan kakinya di sana lagi.

“Una, ayo.”

Juna mengangguk. Lalu ia melepaskan seat belt nya dan ikut keluar dari mobilnya.

“Eh jeng, udah dateng ayo masuk.” Itu Tante Jeon.

“Iya nih jeng, telat ga sih?”

“Engga kok, baru beberapa orang yang dateng. Eh Una.” Juna mau tidak mau harus tersenyum membalas senyuman tulus wanita itu.

“Kamu apa kabar sih? Ya ampun mama kangen banget sama kamu.”

Mama

Dulu, sebelum negara api menyerang ia memang sedekat itu dengan keluarga Jeon.

“Baik Tante, Tante gimana kabarnya?”

Juna bisa melihat perubahan wajah wanita itu. Tampak sedih.

“Una.” Momma nya mencubit pelan lengannya.

“Mama baik kok Una.” Dan lagi-lagi Juna bisa melihat senyum yang dipaksakan oleh wanita itu.

“Ayo jeng masuk, Una kalo mau ke taman belakang boleh ya.”

“Makasih Tante.”

Lalu kedua wanita itu masuk, meninggalkan Juna yang masih mematung di depan pintu.

Dulu, ia selalu sering ke rumah ini. Bahkan ia sudah menganggap rumah itu sebagai rumahnya sendiri.

Juna berjalan perlahan memasuki rumah itu. Memperhatikan setiap sudutnya yang masih sama seperti dulu.

Sampailah ia disini, di halaman belakang rumah itu. Spot favorit yang selalu ia datangi kalau datang ke rumah itu.

“Hai?”

Juna hafal suara itu. Tubuhnya tiba-tiba saja menegang.

Juna membalikkan tubuhnya dan mendapati laki-laki yang selama ini ia hindari.

“Una?” Tangan Juna di genggam oleh laki-laki itu. Tapi dengan cepat Juna menepisnya.

“Una, kamu masih belum mau dengerin penjelasan aku?”

Juna diam.

“Una, onu kangen.”

Onu

Juna mengepalkan tangannya menahan amarahnya. Bisa-bisanya laki-laki itu berbicara tentang rindu padanya.

“Una?”

“Lo bisa ga sih gak usah muncul lagi di depan muka gue? Ya gue tau, kalo ini rumah lo tapi bisa kan kalo lo pura-pura ga kenal sama gue.”

“Gak bisa, aku gak bisa na dan gak akan pernah bisa.”

“Terserah lo.”

Juna beranjak pergi dari hadapan laki-laki itu.

“Untuk kedua kalinya kamu pergi tanpa mau dengerin penjelasan aku, na?”

Juna menghentikan langkahnya. Tapi masih membelakangi laki-laki itu.

“Aku bakal lakuin apa aja maunya kamu. Kecuali, harus pura-pura gak kenal sama kamu. Una, sampai kapanpun kamu tetap jadi pemenang dari semua kandidat.”

Laki-laki yang tadi berbicara dengan Juna adalah Wonwoo. Mantan kekasih Juna dulu. Dan saat ini, Wonwoo yang meninggalkan Juna yang masih mematung di tempatnya.

. . . . . . . . .

Jeonghan tampak mengeluarkan air mata ketika melihat sebuah gumpalan di dalam perutnya. Ia menggenggam tangan Seungcheol yang juga masih terharu dengan apa yang baru saja ia lihat.

“Gong, itu beneran anak gue?”

“Iya, anak kalian berdua. Selamat ya, usianya baru 2 minggu. Nanti saya kasih vitamin ya Jeonghan, biar janin nya sehat dan gak mual-mual terus.”

“Tapi kalo makanan banyak gapapa ya dok?”

“Malah sangat di sarankan, soalnya kan kamu makan buat 2 orang. Terus saya anjurin buat sedia cemilan karena biar ga repot kalo malem-malem dan kamu lagi ga enak badan.”

Jeonghan mengangguk. “Ada pantangan lain gak dok?”

“Pantangan gak ada, cuma karena masih hamil muda jangan makan nanas dulu ya? Dan jangan berhubungan badan dulu. Karena janinnya masih lemah.”

Wajah Jeonghan bersemu kemerahan ketika mendengar ucapan Mingyu. Sedangkan Seungcheol sudah menyiapkan sumpah serapah untuk temannya itu.

Skip time

Setelah selesai pemeriksaan, Mingyu, Jeonghan dan Seungcheol memutuskan untuk makan siang bersama.

“Si Juned sama nyong beneran berantem?”

“Tau deh, gak jelas.”

“Mas, Han mau nambah udangnya boleh?”

“Boleh sayang.” Seungcheol kembali memanggil pelayan untuk memesan udang yang Jeonghan inginkan.

Mingyu? Jelas saja ia mencibir kelakuan Seungcheol.

“Gong, gimana kelanjutan hubungan lu sama si pangeran yang lu temuin di jembatan?”

“Aduh Cheol, gue gak pernah lagi ketemu. Mana dia udah jarang buka Twitter.”

“Punya pacar kali dia.”

“Jangan matahin semangat gue gitu lah anjing.”

Jeonghan tertawa mendengar obrolan Seungcheol dan Mingyu.

“Han, kok kamu kuat sih sama dia? Nyebelin banget loh ini dia.”

“Mas Seungcheol baik kok dok.”

“Gue baik sama orang yang tepat aja. Kalo ga baik sama lu artinya lu gak telat.”

“Halah tai.”

Saat sedang berbincang-bincang, tiba-tiba saja ponsel Mingyu berbunyi.

“Halo ned, napa?”

”.............”

“Hah? Terus ini elo dimana?”

”.............”

“Si anjing, yaudah bentar tungguin dulu.”

Pip sambungan telepon itu terputus.

“Kenapa gong?”

“Temen lu nabrak pohon.”

“Hah? Kok bisa?”

“Ntar gue ceritain, gue ke sana dulu.”

“Yaudah gue ikutlah.”

“Janganlah, kasian Jeonghan musti banyak istirahat.”

“Mas kalo mau pergi gapapa, Han naik taksi aja.”

“Jangan Han, mas anter kamu pulang dulu abis itu nyusul si Bagong.”

“Nah iya gitu aja, bahaya Han pulang sendiri apalagi lagi hamil.”

Jeonghan akhirnya setuju, lalu setelah membayar makanan mereka, mereka berjalan berpisah. Seungcheol dan Jeonghan pulang, Mingyu menuju tempat dimana Juna berada.

Seungcheol memasuki rumahnya yang sepi, beda dengan ketika ia pulang ke apartemen—Jeonghan akan selalu menyambutnya, tapi ketika ia di rumah seperti tidak ada kehidupan.

“Aku pulang.”

“Oh inget rumah ya?”

Seungcheol memejamkan matanya—menahan emosinya. Ia sedang lelah, tidak ingin berdebat.

“Enakkan di luar ya daripada di rumah sendiri?”

“Chel, aku capek. Jangan ajak aku berdebat.”

“Aku kan nanya, bukan ngajak kamu debat. Udah berapa jalang yang muasin kamu?”

“RACHEL.”

“Kenapa? Benerkan aku?”

“Jaga mulut kamu ya Chel.”

“Yaudah sih, mana ada maling mau ngaku. Tapi yang harus kamu inget ya Cheol, aku tidak akan pernah memberikan kamu pada siapapun. Kalau aku gak bisa berakhir sama kamu, berarti orang lain juga engga.”

Selalu seperti ini, Rachel selalu menuduhnya bahkan mengancam. Sebenernya ia muak, tapi ia tidak bisa pergi begitu saja.

Toxic relationship, maybe

Setelah berbicara seperti itu Rachel berjalan menuju kamarnya.

“Kamu ada apa ketemu Wonwoo?”

Tubuhnya membeku tiba-tiba.

Namun, Seungcheol tetaplah Seungcheol. Ia bahkan tidak bisa untuk tidak menyentuh tubuh mulus Jeonghan.

“Ahhhh—.” Jeonghan terlonjak ketika dengan tiba-tiba Seungcheol masuk dari belakang tanpa berbicara padanya.

“Mas jangan ngagetin gitu dong.”

“Maaf sayang, mas gak kuat.” Seungcheol terus menggempur lubang sempit Jeonghan.

“Ah ah ah ah ah ah.” Jeonghan menyandarkan tubuhnya di dada Seungcheol dengan tangan ia taruh di leher Seungcheol. Sementara Seungcheol selain menggerakkan pinggulnya ia juga mengocok kejantanan Jeonghan—membuat Jeonghan makin mengeluarkan suara-suara desahan yang menggema di dalam kamar mandi.

“Mas—nghh.”

“Ya sayang?”

“Ma—u keluar.” Dengan susah payah Jeonghan berbicara.

“Keluarin aja, yang.”

Jeonghan makin berisik ketika Seungcheol makin menjadi-jadi ketika menggerakkan pinggulnya.

“Arghhhh—mashhh.”

Cairan Jeonghan mengenai tembok di depan mereka. Dengan terengah-engah, Jeonghan kembali terlonjak-lonjak ketika Seungcheol tidak memberinya kesempatan untuk mengatur nafasnya.

“Mas mau keluar sayang.”

Jeonghan mengangguk ribut. Kepalanya terasa pusing ketika kembali ia merasakan kalau dirinya akan keluar lagi.

“Mau keluar lagi kamu?” Tanya Seungcheol yang masih memegang kendali kejantanan Jeonghan yang mulai membesar lagi.

“Mashhhh—.”

“Keluarin bareng ya sayang.”

Seungcheol kembali mengambil alih semua pergerakan mereka. Ia tidak membiarkan Jeonghan bergerak lebih.

“Anghhhh—.” Jeonghan memejamkan matanya ketika tangan Seungcheol yang satu juga ikut memilin putingnya.

“Mas, aku ga kuat.”

“Ayo sayang.”

Dua kali tumbukan keras dari Seungcheol.

“MAS/JEONGHAN.”

Keduanya terengah-engah—mengatur nafas keduanya. Seungcheol mengecup bahu telanjang Jeonghan yang bergerak naik turun akibat pelepasan mereka.

“Capek?”

“Capek berdiri, mas.”

Seungcheol mengeluarkan kejantanannya dari lubang Jeonghan, Jeonghan berpegangan pada tubuh Seungcheol.

Dengan sekali gerakan, Seungcheol menggendong Jeonghan menuju bathtub untuk membersihkan tubuh mereka.

“Perasaan tadi kita niatnya mandi deh mas.”

Seungcheol tertawa. “Siapa suruh punya badan menarik perhatian. Mas jadi gak kuat mau makan kamu terus.”

Jeonghan memukul lengan Seungcheol. “Lebay. Tapi ngomong-ngomong makan, aku laper deh mas.”

“Yaudah abis ini kita pesen makan. Atau kamu mau keluar cari?”

“Kayaknya mau pesen aja. Aku lemes.”

“Oke nanti kita pesen, ya.”

Skip time

Keduanya saat ini sedang menonton film—dalam keadaan telanjang yang hanya tertutup selimut tebal. Setelah makan, keduanya memilih untuk beristirahat sejenak.

Seungcheol yang sedang fokus pada ponselnya, hanya diam saja ketika dengan jahil tangan Jeonghan menggenggam kejantanannya.

Membelai. Mengocok.

“Sayang, nanti mas gak mau berhenti loh kalo kamu godain terus.”

“Abis mas sibuk sama hp. Katanya kita liburan.” Ucap Jeonghan sambil cemberut tapi tangannya tidak berhenti membelai kejantanan Seungcheol.

“Ini temen-temen mas sayang. Bentar doang kok.”

Jeonghan tidak menjawab, ia menyampingkan tubuhnya menghadap Seungcheol dengan tangan yang masih di kejantanan Seungcheol. Lalu tangannya bergerak naik ke arah puting Seungcheol.

Jeonghan memilin puting itu, mencubitnya pelan dan membelainya.

“Ngapain sih kamu?” Tanya Seungcheol

Jeonghan tidak menjawab, ia masih melakukan yang tadi ia lakukan. Tapi Jeonghan menatap Seungcheol yang sedang menatapnya juga. Seungcheol tidak mengeluarkan lenguhan tapi ia merasakan kenikmatan yang Jeonghan berikan.

Lalu Jeonghan turun dari ranjang dan mengambil madu botol yang tadi disediakan pihak hotel. Lalu Jeonghan melumurinya di puting Seungcheol.

Dengan sekali tangkup Jeonghan memasukkan puting Seungcheol ke dalam mulutnya. Seungcheol hanya memperhatikan apa yang Jeonghan lakukan.

“Belajar darimana, yang?” Jeonghan mendongak menatap Seungcheol yang sedang menatapnya sambil menggigit bibir bawahnya—artinya Seungcheol menikmati mulut Jeonghan.

“Aku pernah nonton blue film.” Jawab Jeonghan setengah tertawa.

“Enak gak mas?”

Seungcheol mengangguk. “Enak banget sayang.”

“Mas mau nyoba gak?”

“Pake madu juga?”

Jeonghan mengangguk. “Tapi—.”

“Tapi apa?”

“—tapi di lubang aku.”

. . . . . . . . .

Seungcheol sudah berada di depan lubang Jeonghan yang berkedut. Ia mengoleskan madu ya tadi Jeonghan ambil di sana. Dengan gerakan memutar, Seungcheol bisa melihat wajah Jeonghan yang mendongak ke atas—Jeonghan bahkan menahan kedua kakinya agar tidak mengganggu Seungcheol yang sedang berada di lubangnya.

“Ngghhhh.” Jeonghan berjengkit ketika lidah Seungcheol menari-nari di atas lubangnya.

“Manis.” Ucap Seungcheol sambil menjilat bekas madu yang menempel di bibirnya.

Lalu Seungcheol membalikkan tubuh Jeonghan agar menungging membelakanginya. Lalu lagi-lagi ia oleskan madu itu.

Jeonghan menumpukan telapak tangannya di ranjang untuk menahan dirinya agar tidak jatuh—tapi Seungcheol membuat pertahanannya runtuh. Lagi-lagi Jeonghan mendongak ketika kembali ia rasakan lidah panas Seungcheol menyapa lubangnya.

“Anghhhh—mas.”

Setelah puas, Seungcheol membalikkan lagi tubuh Jeonghan dan kali ini kembali telentang dengan pasrah. Seperti kecanduan, Seungcheol kembali mengoleskan lagi madunya di kejantanan Jeonghan.

“Akhhh—.” Ketika tidak sengaja gigi-gigi Seungcheol mengenai kejantanannya. Perih sekaligus nikmat.

Seungcheol menaik-turunkan kepalanya—melahap habis kejantanan Jeonghan. Menjilatinya. Memutar-mutar lidahnya di kepala kejantanan Jeonghan. Bahkan mengemut kedua twins ball Jeonghan.

Jeonghan menahan kepala Seungcheol dan membuat kejantanannya menabrak langit-langit dalam mulut Seungcheol.

“MASHHH—.”

Jeonghan mengeluarkan cairannya di dalam mulut Seungcheol.

“Udah mas, capek.” Ucap Jeonghan dengan terengah-engah.

“Kan tadi mas bilang kalo mas gak bakal berenti eh kamu malah ngajakin.”

Jeonghan mengerucutkan bibirnya. “Istirahat bentar ya?”

Seungcheol tertawa, lalu mengangguk. Kemudian ia ikut merebahkan tubuhnya di samping Jeonghan. Jeonghan menaruh kepalanya di atas dada Seungcheol—membuat Seungcheol bisa mengecupi pucuk kepala Jeonghan.

“Nanti malem dinner mau gak, yang?”

“Dimana mas?”

“Mau gak?”

Jeonghan mengangguk. “Mau.”

“Oke.”

“Kemana dulu?”

“Mau tau aja sih kamu.” Seungcheol mengecup gemas kepala Jeonghan.

“Pelit dasar.” Jeonghan mengeratkan pelukannya.

“Mas?”

“Hm?”

“Kok aku belum hamil juga ya?”

Seungcheol lupa. Lupa bahwa ia dan Jeonghan harusnya hanya sekedar berhubungan badan saja—tapi ia dan Jeonghan malah seperti pasangan yang sedang honeymoon.

“Sabar dong, kan kita juga lagi usaha.”

“Nanti, kamu bakal jauhin aku sama si bayi gak ya mas?”

Seungcheol diam. Karena tujuan awalnya Seungcheol memang hanya butuh anak itu.

“Han?”

“Ya mas?”

“Mas lagi pengen main kasar, Han mau gak? Kalo gak mau gapapa.”

Lagi-lagi Seungcheol tidak menjawab.

Tapi itu tidak mengganggu pikiran Jeonghan. Jeonghan mengangguk. “Mau mas.”

Seungcheol membuka selimut yang tadi menutupi seluruh tubuh mereka. Ia membawa Jeonghan ke dalam ciuman panasnya. Lalu ia mengangkat tubuh Jeonghan ke gendongannya. Posisinya, Jeonghan digendong koala oleh Seungcheol.

Setelah Jeonghan terbuai, Seungcheol secara paksa melebarkan kedua pipi pantat Jeonghan, dan memajukan pinggulnya—untuk memasukkan kejantanannya.

“Mhhmm—.” Jeonghan sedikit mengigit bibir Seungcheol ketika ia terkejut dengan Seungcheol yang tiba-tiba masuk.

Seungcheol melepaskan ciumannya, ia menjelajahi leher mulus Jeonghan—membuat Jeonghan mendongak memberikan akses untuk Seungcheol.

Seungcheol menggerakkan pinggulnya, membuat Jeonghan yang di gendongannya naik-turun mengikuti ritme gerakan Seungcheol.

“Ah ah ah ah ah.”

Seungcheol menurunkan Jeonghan dan menghadapkannya ke meja lemari di kamar itu. Jeonghan menempelkan pipinya di cermin lemari itu. Seungcheol menjambak rambut Jeonghan—lalu ia menjilati leher Jeonghan. Menggigit dan mengulum telinga Jeonghan.

Jeonghan merasa kakinya lemas, ia bahkan bisa jatuh kalo saja Seungcheol tidak menahannya.

“Sayang?”

“Ngghhhh—.” Hanya lenguhan yang keluar dari mulut Jeonghan.

“Enakkan?”

Jeonghan mengangguk sambil terus mengeluarkan desahan-desahan yang mampu membuat Seungcheol keras.

“Anghhhh—mas Seungcheol.”

“Ya sayang?”

“Lebih dal-amnghhh.” Seungcheol kembali menekan kejantanannya agar semakin masuk ke lubang Jeonghan dan mengenai sweet spot

Seungcheol mendorong Jeonghan agar berjalan menuju balkon kamar hotel yang mereka tempati.

“Mas, nanti keliatan orang.”

“Kita dilantai 35 sayang, kecuali yang liat punya sayap bisa terbang.”

Seungcheol menaruh kedua tangan Jeonghan di pagar pembatas di balkon itu.

“Pegangan, sayang.” Jeonghan menungging dengan tangan mencengkeram erat pagar itu.

“Ngghhhh—.” Seungcheol sudah menggerakkan kembali pinggulnya. Lalu ia juga kembali menjambak rambut Jeonghan.

“Liat sayang, mana ada yang bisa liat kamu disini,hm? Cuma aku yang boleh liat.”

“Ah ah ah ah ah ah ah—.”

Jeonghan merasakan kejantanannya akan mengeluarkan cairan.

“Mas, keluar.”

“Keluarin aja.”

“Nanti jatoh ke bawah.”

“Kalo gak mau jatoh, tahan sebentar.”

Jeonghan menggeleng. “Gak bisa—nghhh.”

“Pilihannya cuma dua, keluarin atau tahan.”

Jeonghan memilih menahannya.

Seungcheol kembali menggerakkan pinggulnya dengan ritme kasar. Ia bahkan beberapa kali melenguh ketika kejantanannya di remas-remas oleh lubang sempit Jeonghan.

“Anghhhhhhhh—.”

Jeonghan rasanya mau menangis sekarang, ia benar-benar tidak bisa lagi menahan lagi. Ia benar-benar ingin keluar.

“Mashhh mau keluar—nghhh.”

“Dikit lagi sayang.”

Seungcheol makin kencang menggerakkan pinggulnya.

2 kali tumbukan keras.

“JEONGHAN.”

Seungcheol mengeluarkan cairannya di dalam tubuh Jeonghan. Sedangkan Jeonghan, ia benar-benar belum keluar.

“Masih mau keluar, yang?”

“Menurut kamu?” Seungcheol tertawa mendengar suara Jeonghan yang marah tapi bergetar.

Seungcheol mengeluarkan kejantanannya, dan membalikkan tubuh Jeonghan—jadinya, Jeonghan bersandar di pagar pembatas dengan tangan terentang untuk berpegangan. Seungcheol melahap kejantanan Jeonghan yang mengacung tegak.

“Ah ah ah ah ah ah—.” Jeonghan ikut menggerakkan pinggulnya secara berlawanan dengan kuluman Seungcheol—membuat Seungcheol hampir tersedak.

Jeonghan menjambak rambut Seungcheol yang ada dibawahnya. Kemudian ia menekan kepala Seungcheol.

“MAS SEUNGCHEOL.” Jeonghan mengeluarkan cairannya di dalam mulut Seungcheol untuk kedua kalinya.

Jeonghan hampir tumbang kalau saja Seungcheol tidak menahan pinggulnya. Setelah Seungcheol rasa cairan Jeonghan sudah keluar semua, Seungcheol melepaskan kulumannya dan kembali menggendong Jeonghan lalu merebahkan tubuh Jeonghan di atas ranjang.

“Keluarnya banyak banget.” Ucap Seungcheol

“Nahannya lama tau. Pusing banget kepala aku tadi.”

Seungcheol masuk ke dalam kaki Jeonghan dan menaruh kepalanya di atas dada Jeonghan, ia bahkan bisa mendengar debar jantung Jeonghan. Sedangkan Jeonghan ia mengapit Seungcheol dengan kedua kakinya.

“Tadi itu, enak banget yang.”

“Iya mas, aku juga ngerasa gitu. Tapi kenapa tumben kamu kasar?”

“Lagi pengen aja, sakit gak?”

“Nyeri dikit, karena kamu masuknya tiba-tiba tadi.”

“Maaf ya?”

Jeonghan mengangguk. “Kan aku juga mau.”

“Han?”

“Ya mas?”

“Makasih ya.”

“Sama-sama mas, tidur yuk? Nanti malem jadikan?”

“Jadi dong, tapi kalo Han masih capek ya engga usah. Besok-besok aja.”

“Han kuat.”

“Oke-oke.”

“Mas, besok kita beli oleh-oleh yuk? Aku mau kasih ke Chan sama bapak.”

“Boleh sayang, kamu besok mau kemana-mana aku siap anter.”

“Asik punya sopir ganteng. Bayarannya apa pak?”

“Ngewe di mobil.”

Jeonghan memukul pelan punggung Seungcheol, dan Seungcheol hanya tertawa. Seungcheol kemudian mendongak dan mencium sekilas bibir Jeonghan.

“Bobok ya?”

Jeonghan mengangguk. Lalu Seungcheol bangkit dan merebahkan tubuhnya di samping Jeonghan—lalu ia gantian menyandarkan kepala Jeonghan ke dadanya. Membawa Jeonghan ke dalam pelukan hangatnya. Menepuk-nepuk punggung Jeonghan sampai Jeonghan tertidur pulas. Setelahnya, ia yang juga memejamkan matanya—ikut ke alam mimpi dengan Jeonghan.

(Selesai, selamat menyesal)

Setelah Seungcheol pergi, Jeonghan bergegas membersihkan badannya. Setiap melihat tanda kemerahan yang Seungcheol buat ditubuhnya membuat hatinya sakit.

Apakah ia jalang yang digunakan lalu ditinggalkan begitu saja?

Apakah ia tidak pantas untuk mendapatkan kebahagiaan?

Tapi, setelah kejadian kedua Seungcheol seperti ini ia mendapatkan jawabannya. Jawabannya adalah, hanya ia yang terbelenggu dengan keadaan itu sedangkan Seungcheol, ia sudah berperan sesuai dengan apa yang seharusnya.

Menyedihkan.

Setelah selesai Jeonghan keluar dari kamar mandi, karena memang hanya ia seorang jadi ia tidak membawa baju ke kamar mandi.

Ia berdiri di depan lemari bajunya dan Seungcheol, memilih baju yang hangat.

Tapi saat sedang memilih, sepasang lengan memeluk tubuhnya kembali—sama seperti yang tadi Seungcheol lakukan padanya.

Jeonghan menoleh, dan ia menemukan Seungcheol di sana.

“Mas?”

“Mandinya jangan lama-lama sayang, nanti sakit.”

“Kok mas disini? Bukannya mas udah pergi daritadi? Ada yang ketinggalan ya?” Jeonghan memberondong pertanyaan pada Seungcheol.

Seungcheol menggeleng.

“Terus kenapa?”

Bukannya menjawab, Seungcheol melepaskan pelukannya dan menarik tangan Jeonghan untuk duduk di ranjang bersamanya.

“Sayang, mas minta maaf ya?”

Jeonghan mengerutkan keningnya. “Minta maaf kenapa mas?”

“Harusnya mas gak ninggalin kamu gitu aja.”

“Mas, tapi aku gapapa.”

“Gak mungkin, kamu pasti sedih banget. Sayang, mas juga inget waktu pertama kali kita ngelakuin mas nyebut nama orang lain. Mas minta maaf banget ya sayang.”

Jeonghan tidak tau kenapa tiba-tiba saja air matanya menetes dari kedua matanya. Ia langsung buru-buru memeluk Seungcheol—menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seungcheol.

“Sayang mau kan maafin mas?”

Jeonghan mengangguk.

“Makasih ya sayang. Sekarang bobok yuk.”

“Mas gak jadi ke mba Rachel?”

“Engga, mas disini aja sama Han.”

“Mas, Han gapapa. Mas jangan kasian sama Han.”

“Mas gak kasian sama Han, mas emang maunya disini. Mau sama Han.” Jeonghan mengeratkan pelukannya.

“Disini aja ya, mas.”

“Iya sayang.”

Tolong biarkan Jeonghan egois untuk sekali ini saja.

Setelah bertukar pesan dengan Seungcheol, Jeonghan langsung buru-buru menghangatkan kembali masakan yang tadi ia buat.

Sebenarnya, sudah hampir 5 hari keduanya tidak bertemu—mereka hanya bertukar pesan dan itu juga tidak setiap saat. Jeonghan yang tidak mau mengganggu Seungcheol dengan Rachel dan Seungcheol yang seperti tidak ingat kalau ada orang yang lain yang menunggu kabarnya.

“Hayo, ngelamunin apa.” Jeonghan terkejut ketika sepasang lengan memeluk tubuhnya dari belakang.

“Mas, kapan masuk deh? Aku kaget banget. Aku kira orang jahat.”

Jadi menurutmu dia tidak jahat ya, Han?

“Abis kamu ngelamun aja sampe gak denger aku masuk.”

“Iya-iya maaf.”

“Ngelamunin apa?”

Jeonghan menggeleng. “Lagi fokus ngeliatin ini.” Sambil menunjuk masakan yang sedang ia hangatkan.

Cup

Jeonghan menatap Seungcheol yang baru saja mengecup pipinya.

“Kenapa mas?”

“Kamu jangan banyak pikiran, nanti pusing.”

“Iya. Mandi dulu sana? Bajunya udah aku siapin di kamar mandi.”

“Makasih sayang.” Seungcheol kembali mengecup pipi Jeonghan lalu ia beranjak masuk ke kamar mandi.

. . . . . . . . .

Setelah selesai makan, yang mereka lakukan saat ini adalah saling memeluk satu sama lain. Jujur saja Jeonghan merindukan sosok yang sedang memeluknya itu.

“Mas nginep?”

Jeonghan bisa merasakan Seungcheol mengangguk dan mengeratkan pelukannya.

“Mba Rachel gak nyariin?”

“Dia lagi ke rumah mamanya.”

Lalu keduanya sama-sama saling diam. Menikmati detik demi detik kehangatan satu sama lain.

“Sayang?”

“Hm?”

“Mas pengen, boleh gak?”

Jeonghan mengerti apa yang dimaksud Seungcheol. Lalu ia mengangguk—karena memang ia juga ingin disentuh lebih.

Setelah mendapat lampu hijau dari Jeonghan, Seungcheol dengan cepat menarik dagu Jeonghan untuk ia cium.

Jeonghan melenguh ketika lidah Seungcheol sudah berhasil masuk ke dalam mulutnya dan menggelitik langit-langit mulutnya. Jeonghan mencengkam dengan kuat di bahu Seungcheol—memberitahukan Seungcheol bahwa ia menikmati permainan mereka.

Sedangkan Seungcheol tidak habis akal untuk membuat Jeonghan lemah tak berdaya. Ia menyingkap piyama bawah Jeonghan dan menampilkan kulit mulus Jeonghan yang tidak ada cacat sedikitpun.

Lalu sedetik kemudian, seluruh kulit dalam Jeonghan sudah banyak bercak merah dari Seungcheol.

. . . . . . . . .

Suara kulit yang bertabrakan dan suara desahan-desahan kedua orang yang saling bersahutan membuat ruangan apartemen Seungcheol menjadi berisik.

Seungcheol yang dengan semangat menumbukkan kejantanannya membuat Jeonghan terlonjak-lonjak. Jeonghan menarik kepala Seungcheol dan ia arahkan ke telinganya. Dengan cepat Seungcheol mengecup, menjilat, dan menggigit telinga Jeonghan.

“Sayang, enak ya? Kamu sampe merem-merem.”

“En—nak banget mas—eunghh.”

Seungcheol makin gencar, karena ia juga merasakan Jeonghan akan keluar— ia tahu dari kejantanan Jeonghan yang sedang ia genggam. Ia pun juga merasakan akan meledakkan cairannya.

tling

Notifikasi ponsel Seungcheol berbunyi—menandakan ada pesan masuk.

tling

tling

tling

“ARGHHHH—”

Keduanya sama-sama mengeluarkan cairan mereka. Cairan Seungcheol di dalam Jeonghan dan cairan Jeonghan mengenai tubuh keduanya.

Setelah menyelesaikan klimaksnya, Seungcheol mengambil ponselnya dan melihat siapa yang mengiriminya pesan.

“Cheol, mama nyuruh kamu ke rumah.”

“Kita nginep yuk.”

“Udah lama juga kita ga nginep.”

Cheol?”

Seungcheol buru-buru mengeluarkan kejantanannya dan mengambil baju bersih di lemari bajunya. Lalu ia masuk ke dalam kamar mandi—untuk kembali mandi. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan pakaian yang sudah rapih. Lalu ia mengambil kunci mobilnya.

“Jeonghan, mas gak jadi nginep ya. Rachel minta mas ke rumah mamanya.”

Setelah itu, Jeonghan lagi-lagi hanya bisa meruntuki kebodohannya.

Jisoo sedang menunggu taksi online untuk mengantarnya, Chan dan ayah Jeonghan ke rumah mereka.

“Mas Jisoo, makasih ya udah bantuin aku sama bapak.”

“Sama-sama Chan, lagian kan Chan sama bapak udah mas anggep keluarga sendiri. Santai aja. Kalo ada apa-apa kabarin mas ya.”

Chan mengangguk.

“Mas?”

Jisoo dan Chan menoleh. Tapi hanya Jisoo yang terkejut. Chan tidak memperdulikan orang itu, ia berjalan sambil mendorong kursi roda bapaknya—untuk menunggu di tempat yang tidak panas.

“Duh ketemu lagi kita. Jangan-jangan kita jodoh.”

“Apaansi gak jelas banget.”

“Mas, kita belum kenalan tau. Tapi kemarin kan saya udah sebutin nama saya.”

Jisoo ingat. Laki-laki tukang ceramah.

“Lo nguntit gue ya?”

Jisoo melihat kening laki-laki di depannya berkerut.

“Kok lo tau gue disini?”

“Saya kerja disini.”

“Hah? Jadi apa? Office boy?”

“Masa ganteng-ganteng begini office boy.”

“Terus?”

“Saya dokter kandungan.”

Jisoo terkejut, ternyata laki-laki itu benar-benar kaya.

“Mas namanya siapa sih? Kenalan dong.”

“Kepo. Gue gak kenalan sama orang asing.”

Tiba-tiba....

“Mas Jisoo, mobilnya dateng.”

Jisoo memejamkan matanya, meruntuki Chan yang tiba-tiba saja memanggil namanya. Lalu Jisoo menatap laki-laki yang kini tersenyum padanya.

“Mas Jisoo tuh mobilnya udah dateng.”

“Rese.” Jisoo berjalan meninggalkan laki-laki yang sedang terkekeh geli.

“Mas Jisoo, kalo lupa nama saya Mingyu. Salam kenal ya mas Jisoo.”

Setelah mendapat lampu hijau dari Jeonghan, Seungcheol tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.

Ia langsung membubuhkan tanda kemerahan di leher lawannya itu. Ada beberapa tanda yang ia torehkan di sana. Membuat sang empu mengerang nikmat sekaligus sakit yang secara bersamaan.

Ngghhhh

Lagi-lagi lenguhan Jeonghan keluar begitu saja dari mulutnya.

“Keluarin aja suaranya, mas mau denger Han manggil nama mas.”

Seperti disuruh, Jeonghan langsung mengeluarkan suara-suara yang mampu membangkitkan gairah Seungcheol. Seungcheol sudah membuka seluruh kancing piyama Jeonghan. Lalu mengecup kedua gundukan kecil itu dengan bergantian.

“Mas Cheol—nghhh.”

“Ya sayang?”

“Lagi—AKHHH.” Jeonghan terkejut ketika secara tiba-tiba Seungcheol menggigit salah satu putingnya.

“Pelan-pelan aja mas, Han masih disini kok.” Ucap Jeonghan sambil menangkup wajah Seungcheol.

“Kasih tau mas ya sayang kalo mas terlalu kasar.”

Jeonghan mengangguk. Lalu ia menekan lagi kepala Seungcheol agar meraup putingnya lagi. Seungcheol dengan senang hati melakukan itu.

Jeonghan mendongakkan kepalanya, menikmati jilatan demi jilatan di dadanya.

“Biar mas aja.” Ketika Seungcheol melihat Jeonghan akan memilin puting satunya lagi.

“Kamu tinggal nikmatin apa yang mas lakuin. Jangan ngelakuin apa-apa ya?”

Wajah sayu Jeonghan merona ketika mendengar ucapan Seungcheol. Jeonghan benar-benar diperlakukan dengan lembut oleh Seungcheol.

Dengan mulut yang terus-terusan mengerjai puting Jeonghan serta tangan yang memilin puting satunya, Seungcheol semakin gencar ketika Jeonghan terus-menerus menekan kepalanya. Itu artinya Jeonghan meminta lebih lama ia di sana.

Tiba-tiba saja Jeonghan bisa merasakan tangan Seungcheol yang semula di putingnya bergerak turun menuju bagian bawahnya. Sedangkan Jeonghan bisa melihat Seungcheol masih setia di dadanya. Seakan-akan tidak memperdulikan tangannya yang sudah memegang kendali di bagian bawah Jeonghan yang masih tertutup celana.

“Mas pegang boleh ga, sayang?”

Lagi-lagi Jeonghan tersihir oleh mulut manis Seungcheol. Jeonghan mengangguk—ia bahkan membuka kakinya agar Seungcheol lebih leluasa melakukan sesuatu di bawah sana.

“Anghhhh—.” Jeonghan melenguh ketika tangan Seungcheol menggenggam kejantanannya. Dengan perlahan Jeonghan bisa merasakan kalau tangan Seungcheol bergerak naik-turun di sana.

Jeonghan menatap Seungcheol yang menatapnya juga. Jeonghan bisa melihat ada kilatan nafsu di mata laki-laki yang lebih tua darinya itu.

“Mas—anghhhhh.” Belum selesai dengan kejantanannya, Seungcheol sudah memasukkan jarinya ke dalam lubang ketat milik Jeonghan. Jeonghan merasa tegang, karena ini pertama kalinya ia merasakan ada yang membelai pinggiran lubangnya.

“Sakit?”

Jeonghan mengangguk. “Aneh juga mas.”

“Sayang, tahan sedikit bisa kan? Mas musti buka jalannya dulu. Kalo engga, nanti mas gak bisa masuk.”

“Sakit banget?”

“Dikit, gigit mas aja. Mau?”

Jeonghan mengangguk. Sedangkan Seungcheol langsung memberikan bahunya untuk di gigit oleh Jeonghan.

Arghh Seungcheol bisa merasakan bahunya perih karena gigitan Jeonghan—yang artinya Jeonghan jauh lebih sakit.

“Maaf, sayang.”

“Lanjut aja mas, aku masih bisa tahan.”

Katakanlah Seungcheol aneh, dulu sewaktu melakukan malam pertama dengan Rachel ia tidak selembut itu, karena ya dia tau kalau ia bukan orang pertama yang masuk—karena ia bisa merasakan milik Rachel yang sudah ada jalur masuknya.

“Titipan mas dibeliin gak?”

Jeonghan mengangguk. “Ada di laci, mas.”

Seungcheol mengambil lubricant itu dengan cepat, lalu membuka tutupnya dan menuangkan cairan itu ke jarinya. Setelah dilihat sudah cukup, Seungcheol kembali menerobos masuk lubang sempit Jeonghan.

Jeonghan agak berjengkit ketika satu jari Seungcheol masuk, dan ketika Seungcheol mulai akan memasukan jarinya yang lain.

“Awwwwww—.”

Jeonghan merasakan perih di lubangnya. Apalagi ketika satu jari Seungcheol kembali menerobos masuk.

“AWWWWWW—” Jeonghan memukul lengan Seungcheol pelan. “Sakit, mas.”

“Maaf sayang, mas udah gak tahan.”

Saat ini dua jari Seungcheol sudah bertengger di lubang Jeonghan. Ia memaju-mundurkan jarinya—sesekali ia melakukan gerakan menggunting di sana.

“Sayang, kalo udah enak bilang ya?”

“I—nghh—ni ud—ahhh luma-yan-arghhh mashhh.” Seungcheol terkekeh ketika ia sengaja mempercepat jarinya dan itu berefek besar untuk Jeonghan.

“Sayang, coba kamu ikutan gerak.”

“Gerak gimana?”

“Berlawanan sama mas.”

Jeonghan pun menurut. Ketika Seungcheol sedikit mengeluarkan jarinya, Jeonghan maju untuk memakan kembali jari itu dan ketika Seungcheol maju, Jeonghan bergerak mundur. Mereka melakukan itu sampai Jeonghan merasakan akan mengeluarkan sesuatu dari kejantanannya.

“Mas—nghh—aku ma-uuu—nghhh—.”

“Mau apa sayang?”

“Pi—pishhh.” Tapi Seungcheol tidak menghentikan kegiatannya ia bahkan mempercepat tempo gerakan jarinya.

“Mashhh—.” Jeonghan merengek meminta Seungcheol berhenti sejenak. Tapi Seungcheol tidak melakukan itu.

“Keluarin aja, sayang.”

Seungcheol makin gencar, ia bahkan sedikit melakukan gerakan menggaruk di dalam lubang Jeonghan.

Ketika Jeonghan berteriak...

“MASSSSS SEUNGCHEOL—AHHHHH.” Baru Seungcheol berhenti. Seungcheol bahkan baru sadar kalau ia belum membuka bajunya tapi bajunya lebih dulu terkena cairan yang Jeonghan keluarkan.

“Mas mah, jadi kena kan.” Saat Jeonghan akan bangkit untuk mengambil tissue, Seungcheol menahannya.

“Gapapa, kan mau dibuka juga.” Seungcheol membuka seluruh pakaiannya sampai ia bertelanjang bulat di depan Jeonghan.

Jeonghan menatap lapar ke arah Seungcheol. Lalu ketika Seungcheol mendekat, ia mencoba menyentuh tubuh Seungcheol—tapi ditahan oleh Seungcheol.

“Mas, udah diri banget sayang. Sakit. Memangnya nanti aja ya?”

Jeonghan merona, ia tertangkap basah menatap lapar Seungcheol.

Tanpa menunggu jawaban Jeonghan, Seungcheol sudah melumuri kejantanannya dengan lubricant dan sudah siap masuk ke dalam lubang Jeonghan.

“Mas, masuk ya?” Jeonghan mengangguk. Ia berpegangan lada lengan kekar Seungcheol. Menancapkan kuku-kukunya di sana. Jeonghan menahan nafasnya ketika kejantanan Seungcheol yang lebih besar darinya menerobos masuk.

“Sial, cepet banget nutupnya ini lubang.” Batin Seungcheol.

“Tahan, sayang, tahan.”

“ARGHHHH.” Jeonghan berteriak ketika sekali tumbuk kejantanan Seungcheol masuk ke dalam miliknya.

Keduanya saling bertatapan, lalu Seungcheol mencium bibir Jeonghan guna untuk mengalihkan rasa sakitnya. Ia bahkan harus menahan sakit ketika harus berdiam diri terlebih dahulu—karena Jeonghan lebih sakit.

Setelah dirasa Jeonghan sudah merasa lebih baik, Seungcheol menggerakkan pinggulnya dengan ritme sedang. Sambil mencari-cari sweet spot milik Jeonghan.

Jarinya tidak ia biarkan menganggur, ia memilin-milin kedua puting Jeonghan—untuk menyamarkan sakit yang berlebihan.

Rintihan sakit dari Jeonghan lama-kelamaan berubah menjadi rintihan nikmat. Jeonghan juga tidak tau, kalau ternyata berhubungan badan senikmat ini.

Seungcheol menarik Jeonghan agar menaiki dirinya. Posisinya saat ini keduanya sama-sama duduk dengan Jeonghan yang berada di atas Seungcheol.

“Ouuuuuu—” Jeonghan merasakan kejantanan Seungcheol semakin dalam di dalam dirinya.

“Mas—.” Jeonghan susah payah memanggil Seungcheol karena dirinya terus terlonjak-lonjak dan selalu saja suara desahan yang keluar dari mulutnya.

“Ya sayang?”

“Enak—mashhh ngghhhh.” Jeonghan memeluk Seungcheol—menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seungcheol yang sesekali ia kecup dan ia tinggalkan beberapa tanda kemerahan.

Seungcheol sendiri tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia menggigit gemas bahu mulus Jeonghan yang sudah banyak tanda merahnya.

“Mas, aku mau keluar lagi.”

“Keluarin aja sayang—nghh.” Lubang Jeonghan seperti memakan semua kejantanannya.

Jeonghan merasakan pusing di kepalanya—pusing karena kenikmatan yang Seungcheol berikan padanya.

“Ahhhhhhhhhh—” lagi-lagi cairan Jeonghan mengenai tubuh Seungcheol. Padahal Seungcheol belum memegang kejantanan Jeonghan dalam waktu yang lama tapi Jeonghan sudah 2x keluar.

Seungcheol kembali membaringkan tubuh Jeonghan yang terengah-engah.

“Mas, belum keluar-keluar.”

“Dikit lagi sayang. Kakinya jepit pinggul mas ya.”

Jeonghan mengapit pinggul Seungcheol, menekannya dengan sisa-sisa tenaganya. Sehingga, kejantanan Seungcheol lagi-lagi semakin dalam di dalamnya. Tapi itu yang membuatnya menjadi nikmat.

Dengan keras Seungcheol menumbuk Jeonghan. Ia menekan dua sisi kepala Jeonghan—kepalanya terdongak ke atas ketika ia merasakan lagi-lagi lubang Jeonghan menghisap kejantanannya.

“Ah ah ah ah ah ah.” Suara Jeonghan makin menggema di ruangan yang tidak tertutup itu—untung saja apartemen Seungcheol kedap suara kalau tidak mungkin sekarang mereka sudah di grebek tetangga sebelah.

“Sayang, mas keluar.”

Jeonghan juga makin menggerakkan pinggulnya dengan cara berlawanan dengan Seungcheol. Ia bisa merasakan kejantanan Seungcheol yang membesar di sana. Tangan Seungcheol yang sedang mengocok kejantanan Jeonghan bahkan mulai mengikuti ritme gerakan keduanya.

“Mas Seungcheol—mas Seungcheol—ah ah ah—aaaaa mas Seungcheol—.”

“MAS SEUNGCHEOL/RACHEL.”

Seungcheol terjatuh di atas tubuh Jeonghan. Sedangkan Jeonghan, ia merasakan sakit dua kali lipat. Di dada dan tubuhnya.

Jeonghan masuk ke dalam mobil dimana Seungcheol sudah menunggunya. Keheningan menyelimuti mereka. Sebenernya Seungcheol yang masih malu karena kejadian tadi siang—membuatnya ingin menghilang dari muka bumi.

“Mas?”

“Ya Han?”

“Kamu kenapa? Muka kamu merah banget. Kamu sakit mas?”

Seungcheol menyentuh wajahnya yang terasa panas.

“Engga kok, kayaknya aku kepanasan.”

“Tapi kan ada AC mas.”

Ah, ya juga. Orang bodoh mana yang mencari alasan seperti itu?

“Iya, AC nya kurang dingin.”

Jeonghan mengangguk. Lalu mencari sesuatu di tas belanjaannya.

“Aku tadi beli salad buah, mas mau gak? Aku suapin ya?”

“Boleh Han.”

Jeonghan menyendok salad yang tadi ia beli, lalu menyodorkannya pada Seungcheol.

“Enak gak?”

Seungcheol mengangguk. “Bukannya semua salad gini ya?”

“Kan kadang ada yang mayonaise nya gak enak mas, atau buahnya udah ga seger.”

“Tapi ini enak sih. Kamu beli berapa?”

“Cuma beli 2, ntar aku bikinin aja kalo mas masih mau. Aku tadi beli buah-buahan kok.”

“Kayaknya enak ngerjain kerjaan sambil makan salad buah.”

“Mas bawa kerjaan lagi?”

Seungcheol mengangguk.

“Kenapa gak dikelarin di kantor? Kan tadi aku bilang kelarin dulu.”

“Kenapa? Aku ganggu ya kalo kerja?”

“Bukan mas, cuma kan kalo udah pulang tuh ya istirahat. Kalo di kantor kamu kerja, di rumah kerja juga, kapan istirahatnya? Nanti kalo sakit gimana?”

Seungcheol malah terkekeh ketika Jeonghan berceloteh seperti itu.

“Kok ketawa sih mas?”

“Abis kamu bawel banget. Aku kerja di rumah kan cuma ngecek-ngecek aja. Gak bakal capek.”

“Ya tetep aja dong mas.”

“Iya-iya, mas gak bawa kerjaan lagi ke rumah.” Ucap Seungcheol, sambil menjawil dagu Jeonghan.

Setelahnya, Jeonghan kembali menyuapi Seungcheol salad buah itu.

. . . . . . . . .

Setelah sampai di rumah, Jeonghan menyuruh Seungcheol untuk mandi terlebih dahulu. Seperti biasa, Jeonghan kembali menyiapkan pakaian untuk Seungcheol, setelahnya ia menatap semua barang-barang yang tadi ia beli di supermarket.

“Han, mas udah kelar.”

Jeonghan yang sedang menyiapkan makan malam pun mengangguk.

“Kamu mau makan duluan?”

“Nunggu kamu aja, sekalian aku mau ngerjain kerjaan dulu biar nanti abis makan langsung tidur.”

Jeonghan mengiyakan. Ia langsung pergi mengambil baju dan langsung masuk ke kamar mandi. Dan Seungcheol juga langsung mengerjakan pekerjaannya.

. . . . . . . . .

Saat ini keduanya sedang menikmati makan malam mereka—dengan keheningan.

Beberapa menit kemudian, selesai. Jeonghan membereskan piring bekas makan mereka. Sedangkan Seungcheol, ia menuju kamar tidur mereka. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Beberapa menit kemudian Jeonghan masuk ke dalam kamar itu.

“Mba Rachel kapan pulang mas?” Tanya Jeonghan sambil mengoleskan skincare malamnya.

“Nanti kalo uangnya dia abis.”

“Kamu emangnya engga kangen sama dia?”

“Engga, Jeonghan.”

“Ya kangen sih, kenapa emang?”

“Engga, aku liat kalo disini kamu gak pernah telpon dia.”

Jeonghan sadar

“Tadi di kantor aku udah telpon dia.”

“Aku bohong, Han.”

“Bagus deh, gimanapun juga dia kan istri kamu.”

Seungcheol mengangguk. Jeonghan merebahkan tubuhnya di samping Seungcheol.

“Kamu ngapain aja hari ini?” Tanya Seungcheol—secara refleks tangannya mengelusi rambut Jeonghan

“Aku tadi beberes rumah aja kok mas.”

“Adik dan ayah kamu apa kabar?”

“Baik, tadi aku baru telpon mereka. Bapak udah baik-baik aja mas. Berkat kamu.”

“Seneng dengernya.”

Lalu keduanya sama-sama saling diam, tapi tangan Seungcheol tidak beranjak dari kepala Jeonghan. Sedangkan Jeonghan, ia menikmati setiap usapan di kepalanya.

“Jeonghan bobo oh Jeonghan bobo kalo tidak bobo di gigit—.”

“—mas Seungcheol.” Jeonghan dan Seungcheol tertawa.

“Emang aku apaan gigit-gigit.”

“Emangnya juga aku bayi dinyanyiin gitu.”

“Bayinya aku ga sih?”

“Bayi bisa bikin bayi.” Seungcheol tertawa, ia gemas dengan Jeonghan dan secara tidak sadar ia sedikit mengigit pipi chubby Jeonghan.

“Tuhkan gigit.”

“Abis kamu gemes.”

Jeonghan mengelus-elus pipinya tadi Seungcheol gigit. Lalu secepat kilat Seungcheol mengecup pipi itu.

“Biar cepet sembuh.”

“Wah, aku sembuh.” Ucap Jeonghan meledek.

“Dasar nyebelin.” Seungcheol sedikit menggelitik pinggang Jeonghan.

Setelah lelah tertawa, ntah apa yang terjadi sebelumnya tapi saat ini keduanya sudah saling tatap dengan tangan Seungcheol yang berada di pipi Jeonghan.

“Boleh mas cium?”

Bak tersihir, Jeonghan mengangguk.

Seungcheol meraup bibir merah milik Jeonghan. Menghisap bibir bawah itu dengan lembut. Sedetik kemudian ia menggigit bibir bawah itu, meminta akses untuk masuk menjelajahi mulut hangat Jeonghan. Jeonghan sendiri sudah terbuai dengan ciuman lembut Seungcheol pun mengizinkan Seungcheol untuk mengeksplor mulutnya.

Ngghhhh

Jeonghan melenguh ketika dengan lembut Seungcheol menggelitik langit-langit mulutnya.

Dan Seungcheol suka mendengar Jeonghan melenguh

Sekali lagi ia ingin mendengar suara halus itu. Ia membelit lidah Jeonghan dengan lidahnya. Dihisap dengan penuh nafsu sampai Jeonghan mengeluarkan suara lenguhan panjang.

Setelah puas dengan mulut Jeonghan, Seungcheol melepaskan ciumannya. Ia menatap Jeonghan yang menatapnya dengan sayu, dengan bibir bengkak tentu saja.

“Rasa strawberry.” Ucap Seungcheol sambil mengelus bibir Jeonghan.

“Mas Seungcheol?”

“Hm?”

“Aku baru pertama kali ngerasain di cium selembut itu.”

“Aku juga Jeonghan, baru pertama kali nyium selembut itu.”

“Kamu suka?”

Jeonghan mengangguk.

“Mau lagi?”

Jeonghan mengangguk lagi.

“Mas bisa kasih yang lebih lembut dari itu, kamu mau coba gak?”

Lagi-lagi Jeonghan mengangguk.

“Mas butuh jawaban Jeonghan, bukan cuma anggukan.”

“Mau mas.”

“Mau apa, sayang?”

Darah Jeonghan berdesir.

“Mau kayak tadi—.”

“—atau bahkan lebih.”

. . . . . . .

Bersambung (kek cinta Fitri)

KRING KRING KRING (ceritanya bunyi alarm yak. Anggep aja sih)

Jeonghan yang lebih dulu membuka matanya, ia melirik seseorang yang masih tertidur di sebelahnya. Melirik sebentar handphonenya oh, jam 6.30. Setelah itu, Jeonghan menuju lemari pakaiannya untuk mengambil baju dan celananya—setelahnya ia masuk ke kamar mandi. (Narasi apaansi ini wkwkwk anggep aja bagus yak)

Beberapa menit kemudian Jeonghan sudah menyelesaikan kegiatan mandinya.

“Mas?” Jeonghan menepuk-nepuk pelan lengan Seungcheol.

Ngghhhh Seungcheol merentangkan tangannya untuk merenggangkan otot-ototnya yang kaku.

“Udah setengah 7, mandi dulu ya?”

Seungcheol mengangguk. Lalu ia langsung masuk ke dalam kamar mandi—dengan mata setengah terpejam.

“Mas, bajunya udah aku siapin ya.”

Jeonghan bisa mendengar suara Seungcheol yang membalas ucapannya. Lalu setelahnya Jeonghan menuju dapur untuk membuatkan sarapan untuk Seungcheol.

Beberapa menit kemudian juga Seungcheol sudah selesai dengan kegiatannya.

“Masak apa?”

Jeonghan menoleh ke arah Seungcheol yang sudah rapih.

“Nasi goreng mas, ternyata kulkasnya kosong.”

“Oh ya? Aku biasanya kalo nginep disini beli sih makanannya.”

“Iya, makannya nanti aku izin mau ke supermarket ya mas? Sekalian beli keperluan aku.”

“Mau aku anter?”

“Kamu nginep disini lagi gak?”

Seungcheol mengangguk.

“Yaudah mas jemput aku aja kalo ga repot.”

“Aku juga bisa kalo disuruh nemenin kamu belanja.”

“Gak usah gapapa, mas kan capek abis kerja.”

“Beneran?”

Jeonghan mengangguk.

“Yaudah aku nurut deh.”

Jeonghan tertawa. “Good boy.”

Setelahnya, masakan Jeonghan matang. Dan mereka pun menghabiskan waktu sarapan dengan canda tawa.