Seungcheol terbangun lebih dulu dibanding Rachel. Ia meruntuki kebodohannya sekarang. Jeonghan pasti menunggunya. Ia mengecek ponselnya dan benar ada spam chat dari Jeonghan lalu ia membuka notifikasi Twitter nya dan Rachel memasukkan foto mereka. Sebenernya, ini harusnya adalah hal yang wajar untuk pasangan suami istri, tapi tidak bagi pasangan itu. Seungcheol tidak terlalu suka kalau masalah rumah tangganya dibawa-bawa ke media sosial.
Selain itu, ia juga tidak suka juga nantinya Jeonghan mengetahuinya. Tapi ia tidak yakin, karena feeling-nya mengatakan kalau Jeonghan tidak se-kepo itu pada masalah pribadinya.
“Jeonghan gak mungkin tau.” Tanpa menunggu Rachel bangun, ia membersihkan tubuhnya dan pergi untuk menemui Jeonghan.
Sementara itu Jeonghan yang sedari tadi mual-mual hanya bisa meratapi nasibnya yang hanya seorang diri. Orang yang ia yakini akan menemaninya malah tidak ada.
Dan, seharusnya Jeonghan tidak sesakit hati ini kan? Atau mungkin ia sudah punya perasaan yang lebih untuk Seungcheol?
. . . . . . . . .
Seungcheol masuk ke dalam apartemennya, ia mendapati Jeonghan yang sedang menonton film dengan fokus sampai tidak tau kalau ia sudah datang.
“Han?”
Semangkuk buah anggur yang tadi menemaninya hampir terjatuh karena ia terkejut.
“Mas, maaf Han gak denger mas masuk.”
“Gapapa sayang.”
Sayang ntah kenapa sekarang rasanya sakit ketika Seungcheol mengucapkan kata itu.
Seperti, itu hanya penenang ketika Seungcheol sudah menyakiti hati Jeonghan.
“Sayang, mas minta maaf ya.”
Minta maaf lagi
“Gapapa mas.”
“Sayang, semalem habis pulang dari rumah sakit tempat Juna di rawat tiba-tiba aja badan mas gak enak, dan rumah yang terdekat dari rumah sakit. Mas gak pengen kenapa-kenapa.”
Jeonghan mengangguk. “It's okay, aku beneran gapapa. Karena emang seharusnya mas pulang ke rumah kan?”
Jeonghan mengatakannya dengan menatap tepat ke mata Seungcheol.
“Han, mas tau Han marah. Makannya maafin mas ya?”
“Aku udah maafin.”
“Karena aku sadar mas, sampai kapanpun aku cuma pilihan kedua kamu.”
“Han, udah makan? Keluar yuk cari makan sama mas.”
“Han udah makan. Mas aja yang makan.”
Baru kali ini Jeonghan menolaknya, biasanya Jeonghan akan selalu mengiyakan ajakan Seungcheol sekalipun ia sudah makan—biasanya untuk menemani Seungcheol.
“Oh yaudah ntar mas pesen aja. Han lagi pengen apa? Biar mas pesenin sekalian.”
“Gak usah, gapapa mas. Makanan Han masih banyak.”
Lagi-lagi ditolak.
Seungcheol merasa sakit sekali saat menelan ludahnya—seperti ada yang mengganjal di kerongkongannya.
Seungcheol akhirnya duduk di sebelah Jeonghan yang kembali fokus pada layar datar di depannya.
“Baby-nya rewel gak yang?”
“Biasa aja mas, tadi pagi Han mual-mual tapi kata dokter Mingyu kemarin itu hal yang wajar untuk orang hamil. Semuanya masih bisa Han handle sendiri. Dan mungkin bakal Han handle sendiri terus.”
Dan mungkin bakal Han handle sendiri terus
Seungcheol hanya diam ketika mendengar ucapan Jeonghan.
Skip time
“Mas nginep?”
“Iya sayang.”
Jeonghan mengangguk. Lalu ia berjalan menuju sisi ranjang kosong di sebelah Seungcheol, ia mengambil bantal, guling dan mengambil selimut baru di lemari. Seungcheol yang melihat itu, tampak bingung.
“Han, kamu mau kemana?”
“Han tidur di sofa ya mas malem ini.”
“Hah? Kenapa?”
“Gapapa, Han lagi pengen aja.”
Lalu Jeonghan merebahkan tubuhnya di atas sofa yang lumayan besar di ruang tamu. Seungcheol jadi kesal karenanya, ia menyusul dimana Jeonghan berada.
“Pindah ke kasur.” Seungcheol mencengkram erat tangan Jeonghan, bahkan ia tidak perduli dengan ringisan kecil Jeonghan.
“Han mau tidur disini.”
“Pindah.”
Satu kata penuh penekanan dari Seungcheol.
“Kalo kamu marah sama mas, oke mas terima. Lagian juga mas udah minta maaf dan kamu maafin. Jangan kayak anak kecil, Jeonghan.”
Jeonghan menghentakkan tangannya yang di genggam oleh Seungcheol. Ia memegangi tangannya yang sedikit memerah.
“Kenapa ya mas, cuma kamu yang boleh egois disini?”
Seungcheol terdiam. Ia melihat ada setetes air mata yang jatuh dari mata Jeonghan.
“Harusnya kita gak gini, tugasku cuma jadi ayah pengganti untuk anak kamu sama mba Rachel. Harusnya, ketika aku udah hamil yaudah kita ga perlu skinship berlebihan, toh tinggal nunggu anak ini lahir. Abis itu kita gak ada hubungan apapun lagi.”
Jeonghan menyeka air matanya.
“Aku cuma mau terbiasa tanpa adanya kamu. Ketika nanti, semua kontrak kerja kita selesai.”
Jeonghan berjalan menuju kamar tidur, ia merebahkan tubuhnya membelakangi Seungcheol yang masih menatap punggungnya.
Beberapa menit Jeonghan tidak merasakan Seungcheol mengikuti langkahnya. Yang ia dengar malah suara pintu apartemen yang terbuka dan tertutup—seseorang keluar dari dalamnya.
Seharusnya, ia tidak sakit hati dengan ini karena ini maunya. Tapi saat ini, ia merasakan dadanya sesak. Lagi dan lagi ia merasakan rasanya dibuang.
Ia kembali paham, kalau saat ini ia sudah salah menempatkan perasaannya. Tidak seharusnya ia menjatuhkan hatinya pada seseorang yang sudah jelas-jelas tidak akan bisa untuknya.