thatausaha

Jeongcheol

Sore harinya Seungcheol sudah berada di kamar rawat Jeonghan.

“Juno rewel ga yang?” Tanya Seungcheol sambil menaruh semua barang yang tadi ia bawa—termasuk pie yang tadi ia tawarkan ke Jeonghan.

“Anteng banget mas, tadi di gendong Jisoo langsung tidur terus belum bangun nih.”

“Han, tapi nanti lu bangunin ya. Belum minum susu soalnya.” Ucap Jisoo. Jeonghan mengangguk.

“Dokter Mingyu belum kelar, Soo?”

“Mingyu bentar lagi kelar sih. Ini gue langsung ke ruangannya aja deh.”

“Thanks ya Soo.”

“Sama-sama Cheol. Han, gue pergi dulu. Kabarin kalo butuh apa-apa. Bayi, om Chu pulang dulu ya besok ketemu lagi.”

“Hati-hati Soo.”

Setelah Jisoo pergi, Seungcheol mendekati Jeonghan lalu mengecup kening Jeonghan. Jeonghan mengelus-elus pipi Seungcheol.

“Capek ya mas?”

“Lumayan yang, ternyata ribet juga ngurus semuanya.”

“Kenapa ga nunggu Han pulih aja mas? Biar Han bantuin.”

“Kan tadi mas udah bilang, Han kerjanya cuma tungguin Juno bangun aja, kalo yang begini kerjaan mas. Han gak boleh capek, ya?”

Jeonghan tersenyum, ia menangkup pipi Seungcheol. “Beruntung banget aku punya kamu mas.”

“Mas yang harusnya bilang begitu, mas yang beruntung dapet Han.”

Seungcheol memajukan kepalanya, kemudian ia mencium bibir Jeonghan dengan lembut. Jeonghan memejamkan matanya menikmati setiap gigitan kecil yang Seungcheol lakukan pada bibirnya. Ketika lidah Seungcheol sudah mulai membelai langit-langit mulutnya, ia merasakan sensasi yang lebih nikmat. Jeonghan melenguh kecil, meremas rambut belakang sang dominan.

Beberapa menit kemudian Seungcheol memutus ciuman itu, ia menatap Jeonghan yang terengah-engah dengan wajah merah padam.

“Mas.” Jeonghan merengek meminta agar Seungcheol melakukannya lebih lama.

“Udah ah, nanti mas gak bisa nahan. Han belum boleh ngelayanin mas.”

“Tapi Han juga pengen. Mas udah lama ga nyentuh Han. Mas udah ga mau ya nyentuh Han, karena perut Han jelek?”

“Hey, kok ngomongnya gitu? Mas gak pernah berpikiran begitu Han, mas bukan gak mau nyentuh Han cuma belum waktunya, sayang. Han juga belum boleh banyak gerak kan? Jaitannya Han belum kering ini, nanti kalo kenapa-kenapa gimana?” Jeonghan masih belum mau menjawab, ia masih merajuk.

“Han, ini di rumah sakit nanti kalo ada yang liat gimana?”

“Kan bisa di kunci.”

“Oke bisa di kunci, tapi emang Han mau ngelakuin di depan Juno? Ya mas tau ini gak masuk tapi kan tetep aja.”

Jeonghan menengok ke arah Juno yang masih tertidur pulas. Ia juga gak tega kalo biarin Juno denger hal-hal 'kotor' dari kedua ayahnya.

“Gimana, jadi gak?”

Jeonghan menggeleng. “Kasian Juno.”

Seungcheol tertawa kemudian ia kembali mencium bibir Jeonghan yang membengkak.

“Mas mandi dulu ya?”

Jeonghan mengangguk. “Jangan lama-lama. Takutnya nanti Juno keburu bangun.”

“Iya papa.”

. . . . . . . . . .

Seungcheol dan Jeonghan sedang menikmati makan malam mereka.

“Kamu gapapa ga kerja-kerja mas?”

“Mas kerja kok, tapi gak ke kantor. Juna bantu handle kerjaan di kantor.”

“Wah kayaknya nanti mas harus tambahin gaji kak Juna deh.”

Seungcheol mengangguk. “Gak usah kayaknya yang, emang udah ditodong aku.”

Jeonghan tertawa, menepuk-nepuk pucuk kepala Seungcheol. “Sabar ya.”

Saat sedang berbincang, Juno menangis. Juno sebenarnya sudah bangun tadi, minum susu dan langsung tidur lagi. Tapi ini belum sampai 2 jam sudah bangun lagi. Benar-benar mau melek karena ada ayah, ya? Pikir Jeonghan.

“Uuuhhh anak ayah udah bangun lagi, kenapa sayang?”

Seungcheol mengangkat anaknya itu. Lalu ia menatap Jeonghan.

“Ngompol yang.”

Jeonghan tersenyum, lalu ia meminta Juno pada Seungcheol. Seungcheol memberikannya, lalu ia mengambil perlengkapan bayinya.

Setelah selesai membersihkan Juno, Seungcheol menimang-nimang kembali Juno agar tertidur lagi. Beberapa kali ia menguap, tapi tetap harus sadar karena ada Juno di gendongannya. Dan setelah Juno tertidur, ia kembali menaruh anaknya itu di tempat tidur bayi. Jeonghan hanya melihat itu, karena ia sendiri belum bisa bergerak leluasa. Tapi kalo dipikir-pikir iya juga ya, ia belum boleh gerak banyak tapi sudah mau sok-sokan ngelayanin mas-nya itu, wong gerak sedikit aja rasanya kayak badannya dan kakinya misah.

“Han, kok ngelamun?”

“Engga kok mas, cuma lagi liatin kamu sama Juno.”

“Udah cocok ya aku jadi ayah?”

“Loh kan udah?”

“Udah apa?”

“Udah jadi ayah.”

Seungcheol menepuk keningnya. “iya juga ya.”

“Kamu mending tidur deh mas, capek kayaknya.”

Seungcheol tertawa, ia kemudian mendekati Jeonghan lagi. Duduk dipinggiran ranjang Jeonghan.

“Mas mau tidur disini sama Han?”

Seungcheol menggeleng. “Nanti kena perut Han. Mas cuma mau bilang.”

“Bilang apa?”

“Han?”

“Ya mas?”

“Nikah yuk?”

Seungcheol mondar-mandir di depan ruang operasi dimana ada Jeonghan yang sedang bertaruh nyawa.

“Cheol, lo duduk aja gue jadi ikutan pusing ngeliatnya.” Ucap Soonyoung

“Gue ga bisa tenang, nyong.”

“Berdoa, Cheol. Serahin semuanya sama yang di atas, doain bagong juga semoga dia bisa bantuin Jeonghan.” Ucap Jun. Seungcheol langsung mendudukkan dirinya di sebelah Jun, mulutnya beberapa kali merapalkan doa untuk semua yang di dalam.

Beberapa menit kemudian ayah Jeonghan, Chan, mami, papi Seungcheol sudah sampai di rumah sakit.

“Mas, gimana?” Tanya sang mami

“Lagi proses mi. Doain ya mi.”

“Pasti.” Sang mami menggenggam erat tangan Seungcheol yang dingin.

Skip time.

Hampir 1 jam lebih lamanya Jeonghan di dalam. Semuanya cemas karena operasi tidak kunjung selesai.

“Pak, Chan takut mas Han kenapa-kenapa.”

“Stt, kamu ga boleh gitu. Doain semoga mas mu sama bayinya selamat.”

Beberapa menit kemudian lampu kamar operasi sudah mati. Menandakan operasi sudah selesai. Pintu ruangan itu terbuka, Mingyu yang keluar dari sana.

“Gong gimana?” Seungcheol langsung mendekati Mingyu.

“Lancar Cheol, Jeonghan sama anak lo selamat.”

Mereka semua mengucapkan syukur.

“Terus gue udah bisa ngeliat Jeonghan?”

“Nanti kalo udah di ruang rawat. Bentar lagi juga anak lo mau dibawa ke ruang bayi.”

Mingyu melihat Seungcheol yang masih tidak puas dengan jawabannya.

“Jeonghan aman Cheol, anak lo ganteng kayak lo berdua.” Ucap Mingyu

“Lebih mirip siapa gong?” Tanya Soonyoung

“Nah ini, gue bersyukur banget ni anak lebih mirip sama Jeonghan.”

“Ya emang kenapa kalo lebih mirip gue?” Tanya Seungcheol sewot

“Maksud gue, miripnya lebih ke aura malaikat kayak Jeonghan. Bukan buaya rawa kek lo.” Semua yang di sana tertawa, mereka tau Mingyu sedang mencairkan suasana di sana.

Saat sedang berbincang, seorang suster datang.

“Dok, pasien dan bayinya sudah siap dibawa ke ruang rawat. Sekarang?”

“Iya sekarang.”

Suster itu masuk kembali, dan beberapa menit kemudian membawa Jeonghan dan bayinya keluar.

“Gong, kok Jeonghan merem? Dia kenapa gong?” Tanya Seungcheol panik ketika melihat Jeonghan dengan mata terpejam.

“Tidur itu dia, lo tenang aja sih ah.”

“Jadinya caesar ya, Mingyu?” Tanya mami Choi

“Iya Tante, Jeonghan udah ga kuat ngeden tadi karena diteken kenceng.”

“Gapapa deh, yang penting selamat dua-duanya. Makasih ya Mingyu sudah bantu Jeonghan.”

Mingyu tersenyum. “Sudah tugas saya, Tante.”

“Yaudah, sekarang kita bisa liat Jeonghan kan?” Tanya papi Choi

“Bisa om, silahkan. Gue ganti baju bentar, ntar nyusul ke sana Cheol.” Mingyu masuk kembali ke ruang operasi, dan yang lain menuju ruangan Jeonghan.

Setelah mengganti pakaian, Mingyu keluar untuk menuju ruangan Jeonghan juga. Tapi baru membuka pintu, sudah ada kekasihnya di sana.

“Kok masih disini, Soo?”

Bukannya menjawab, Jisoo malah memeluknya erat. Mingyu membalasnya dengan tak kalah erat.

“Mingyu, makasih. Makasih udah bantu Jeonghan.”

“Kan ini tugas aku, yang.” Mingyu mengecup pucuk kepala Jisoo

“Kamu hebat, Mingyu. Aku sayang banget sama kamu.”

“Aku sayang kamu juga, Soo. Ke ruangan Han, yuk?”

Lalu keduanya melepaskan pelukan mereka, berjalan beriringan dengan tangan saling menggenggam.

“Mingyu?”

“Ya yang?”

“Aku mau kasih hadiah ke kamu.”

“Hadiahnya apa?”

“Nanti aja aku kasih taunya.”

“Oke.”

“Mingyu?”

“Ya sayang?”

“Besok malem aku nginep di apartemen kamu ya?”

Skip time.

“Sayang, udah bangun?” Seungcheol langsung mendekati Jeonghan yang baru membuka matanya.

“Mas, baby-nya….” Jeonghan meraba perutnya. Tapi ia juga merasakan sakit di sana. Lalu menggeleng, mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu.

“Mas, baby-nya gimana….”

“Stt, sayang hey. Baby-nya ada di ruang bayi. Sebentar lagi dibawa kesini.”

“Baby-nya gapapa kan mas?”

“Gapapa, sayang. Baby kita sehat. Ganteng kayak kamu.”

Beberapa menit kemudian ada suster yang datang dengan membawa bayi mereka.

“Selamat malam pak, ini bayi nya. Selamat ya.”

“Makasih sus.” Jeonghan menerima bayinya. Air matanya jatuh dengan sendirinya. Bayi yang selama ini ia tunggu-tunggu akhirnya berada di pelukannya saat ini.

“Mas….” Jeonghan menatap Seungcheol

“Makasih ya sayang, makasih udah bertahan dan bisa membawa dia ke dunia ini. Makasih sekali lagi.” Seungcheol mengecup kening Jeonghan.

“Cheol, kayaknya gue sama yang lain pamit pulang dulu. Besok kita kesini lagi. Udah malem juga.” Ucap Juna

“Iya ned, makasih ya udah bantuin gue. Nyong, jihoon, wonwoo, Jisoo juga.”

Mereka mengangguk.

“Papi mami juga pulang ya Cheol?”

“Iya Pi. Bapak sama Chan mau disini aja? Besok Cheol anter pulang.”

“Bapak sama gue aja Cheol, kan gue mau anter Jisoo juga.” Ucap Mingyu

“Oke deh, titip ya gong. Nyong, titip bokap nyokap gue juga.”

“Siap boss. Jeonghan, pulang ya kita.”

“Iya dokter Soonyoung, makasih ya. Jihoon hati-hati.”

“Besok aku kesini lagi ya kak?”

Jeonghan mengangguk.

“Oh ya Han, jangan terlalu banyak gerak dulu ya. Kalo caesar sakitnya setelah persalinan. Anaknya kasih ke Cheol dulu aja.”

“Iya dokter Mingyu, makasih ya.”

Lalu mereka semua pamit. Tinggallah mereka bertiga.

“Sakit ya yang?”

“Baru berasa, mas.”

“Sini anaknya.”

“Aku masih kuat mas.”

“Kalo sakit banget bilang ya.”

Jeonghan mengangguk. “Mau kamu kasih nama siapa mas?”

“Juno. Choi Juno.”

Jeonghan tersenyum sambil melihat bayinya. “Halo Juno, ini papa.”

Jisoo dan Jeonghan berjalan beriringan memasuki salah satu toko perlengkapan bayi. Keduanya antusias mencari barang-barang lucu di sana.

“Lo emang sengaja ga cek kelaminnya Han?”

Jeonghan mengangguk. “Biar surprise.”

“Tapi kalo kayak gini susah ga sih? Jadi kita gak tau mau beli warna apa.”

“Beli yang netral aja kalo Soo, kayak warna biru atau cokelat.”

“Oh oke-oke.” Keduanya kembali fokus pada kegiatan mereka.

Sampai, Jeonghan menemukan baju bergambar beruang yang lucu. Ia berusaha mengambil baju itu, karena terlalu di atas membuatnya harus berjinjit terlebih dahulu.

“Tinggi banget sih.”

Jeonghan terus mencoba, tapi sendalnya terlalu licin di lantai membuatnya tergelincir. Jeonghan memejamkan matanya ketika ia merasa akan terjatuh.

Tapi, bukannya terjatuh ia lebih merasa kalau tubuhnya di tangkap seseorang. Ia membuka matanya perlahan dan melihat siapa yang menangkapnya.

“Hati-hati dong, Han.”

Itu Seungcheol. Laki-laki yang sedang Jeonghan hindari ada di sana. Menangkap tubuhnya yang hampir terjatuh.

Jeonghan buru-buru melepaskan diri dari Seungcheol, ia mencoba pergi tapi ditahan oleh Seungcheol.

“Lepas, mas.”

“Han, sayang tolong jangan kayak gini. Kasih mas kesempatan buat jelasin semuanya.”

Jeonghan meronta-ronta, meminta dilepaskan. Tapi tenaga Seungcheol lebih besar. Seungcheol sempat melihat ada Jisoo di sana—tapi laki-laki itu tidak memperhatikan. Seungcheol membawa pergi Jeonghan secara diam-diam.

“Mas.”

“Ikut sebentar, sayang.”

Mau tidak mau Jeonghan mengikuti Seungcheol karena daritadi mereka diperhatikan oleh orang-orang.

Ternyata Seungcheol mengajaknya ke mobil.

“Han?”

Jeonghan hanya diam.

“Mas minta maaf kalo ada salah sama kamu, tapi tolong izinin mas cerita semuanya. Habis itu kalo kamu mau pergi, mas gak akan tahan lagi. Boleh?”

Jeonghan masih diam, tapi sedetik kemudian ia mengangguk.

Setelah diberi kesempatan, Seungcheol memberitahukan semuanya. Semua yang ia tahu. Tanpa ada yang ditutup-tutupi.

“Jadi gitu, Han. Mas berani sumpah kalo gak ada yang tutup-tutupi dari kamu.”

Jeonghan bimbang. Ia harus percaya atau tidak dengan Seungcheol.

“Mas darimana?” Tanya Jeonghan pelan.

“Mas dari rumah. Kenapa?”

Jeonghan menggeleng. Jadi benar, ternyata Seungcheol dan Rachel masih sering berhubungan badan.

“Kenapa, Han?”

“Engga apa-apa kok mas.”

“Sayang, hei.” Seungcheol memegang tangan Jeonghan, meminta Jeonghan agar sedikit memiringkan badannya untuk menatapnya.

“Mas tau Han bohong, ada apa?”

Jeonghan tidak menatap Seungcheol, ia malah menatap tangannya yang digenggam oleh Seungcheol.

“Sayang?”

“Mas, bilang udah kirim surat cerai ke mba Rachel. Tapi kenapa mas masih berhubungan badan sama mba Rachel?” Sekuat tenaga Jeonghan mengeluarkan seluruh uneg-unegnya.

“Hah? Aku berhubungan badan sama Rachel?”

Jeonghan mengangguk.

“Kamu kata siapa Han?”

“Mba Rachel.”

“Rachel ada chat kamu? Chat apa?”

“Gak penting, mas. Udah aku mau ke tempat Jisoo lagi.” Jeonghan berusaha melepaskan genggaman tangan Seungcheol.

“Han, mas emang ke rumah. Tapi mas gak ada berhubungan badan sama Rachel. Rachel ngancem mau minum obat-obatan. Tapi sumpah demi apapun, mas tidak menyentuh dia. Jadi apapun yang kamu dapet tadi, bukan kebenarannya—”

“—kamu percaya kan sama mas?”

kebenaran sesungguhnya.

00.00

Saat ini, geng COwok LIhai dan Wonwoo berada di apartemen milik Seungcheol. Soonyoung, Mingyu duduk di karpet ruang tengah sedangkan Seungcheol, Juna dan Wonwoo duduk di sofa.

“Jadi gimana, ned?” Soonyoung mengawali pembicaraan mereka.

“Nu, mau kamu aja yang jelasin?” Seungcheol berdecih ketika mendengar ucapan Juna. Ia tidak kesal pada Juna, hanya pada Wonwoo.

“Aku aja, na.”

Juna mengangguk.

“Jadi sebelumnya saya mau minta maaf dulu sama pak Seungcheol. Mungkin pak Seungcheol sekarang benci banget sama saya—”

“—itu elo tau.”

“Cheol.” Mingyu mengingatkan Seungcheol.

“Tapi, saya sama Bu Rachel tidak ada hubungan apa-apa pak.”

Seungcheol menatap Wonwoo merendahkan.

“Gue liat elo sama istri gue pake mata kepala gue sendiri. Terus sekarang elo masih ngelak? Yang bener aja lo.”

“Seungcheol, elo bisa ga dengerin Wonwoo dulu?”

“Gue bahkan ngeliat mukanya aja udah empet ned.”

“Gue mohon, Cheol.”

“Oke.”

Juna menggenggam tangan Wonwoo.

“Bu Rachel minta saya ambil alih setengah harta bapak.”

Soonyoung, Mingyu, dan Seungcheol jelas saja terkejut.

“Bu Rachel menggoda saya pak.”

“Anjing.” Soonyoung tidak sengaja mengumpat.

“Tapi saya berani bersumpah demi apapun, saya tidak pernah menyentuh istri bapak seujung kuku pun.”

“Tapi kemaren elo check in.”

“Itu gue yang suruh.” Juna ikut berbicara.

“Ned?”

“Lo inget ga kalo dulu gue putus sama Wonwoo karena Wonwoo selingkuh?”

Mereka bertiga mengangguk.

“Rachel orangnya.”

Mereka bertiga terkejut kembali.

“Rachel mau sama Seungcheol, tapi dia juga mau sama Wonwoo.”

“Ned, lo gak bohong kan?”

“Seungcheol, gue sayang banget sama elo. Gue sayang banget sama elo semua, mana mungkin gue nipu lo semua. Gak ada untungnya buat gue.”

“Won, coba lebih detail.” Ucap Mingyu.

“Bu Rachel secara terang-terangan mendekati saya pak, padahal dia tau saya punya pacar. Dia bahkan menjebak saya waktu itu, dia pakai nomor asing dan dia menyuruh Juna datang ke tempat saya, dan di tempat saya dia mencium bibir saya pak dan Juna melihat semuanya dan akhirnya saya dan Juna berakhir—”

“—bahkan sampai bapak dan ibu menikah, Bu Rachel masih mendekati saya. Dan kali ini, dia ingin setengah harta pak Seungcheol.”

“Brengsek.” Seungcheol akhirnya tau semuanya. Jadi selama ini Rachel benar-benar hanya memanfaatkannya. Padahal Seungcheol benar-benar mencintai Rachel.

“Cheol, gue harap elo pikirin lagi apa yang udah diceritain Wonwoo. Gue sengaja gak bilang dari awal karena gue sama sekali gak punya bukti, gue takut elo semua gak percaya sama gue. Tapi gue beneran gak ada niat menutupi ini semua dari kalian.” Ucap Juna.

“Cheol, udah saatnya elo buka mata lo.”

sedikit kebenaran (lagi)

Sore itu dengan segenap keberaniannya Jeonghan memutuskan untuk memantapkan hati menemui keluarganya. Jeonghan juga udah siap ketika ayah dan adiknya membenci dirinya.

Jeonghan menolak ketika Seungcheol menawarkan diri mengantarnya. Jeonghan tidak mau semuanya tambah berantakan.

Jeonghan menarik nafasnya, dan membuangnya secara perlahan. Menenangkan hatinya.

“Lo bisa, Han.”

Tok tok tok tok

Jeonghan mengetuk pintu rumahnya. Beberapa detik kemudian pintunya terbuka. Menampilkan Chan di sana.

Semula, Chan menatap Jeonghan bahagia. Tapi ketika pandangannya turun ke bagian perut Jeonghan, senyumnya luntur begitu saja.

“Mas?”

Jeonghan menangis ketika ia melihat sorot mata Chan yang terkejut.

“Siapa Chan?”

Itu suara ayahnya. Jeonghan mengepalkan tangannya mencoba menahan suara tangisnya.

Jeonghan melihat, laki-laki yang sudah berumur menggerakkan kursi rodanya.

“Mas?”

Tangis Jeonghan pecah saat itu juga. Jeonghan berlutut di depan kaki ayahnya, menangis di atas paha ayahnya. Jeonghan bisa merasakan ketika bagian belakang kepalanya di elus oleh ayahnya.

“Maafin mas, pak.”

Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulutnya.

“Bapak mas yang minta maaf sama mas. Bapak buat mas susah terus.”

Chan hanya bisa menyaksikan kedua orang yang penting dalam hidupnya saling meminta maaf.

“Maafin mas, pak. Mas bikin bapak malu. Mas bikin bapak kecewa.”

“Mas, mas gak pernah bikin bapak kecewa. Mas sama Chan tetap kebanggaan bapak.” Chan melihat sang ayah menghapus air matanya.

“Bapak yang harusnya minta maaf sama mas dan Chan, karena bapak belum bisa jadi bapak yang sempurna untuk mas sama Chan. Bapak gagal jadi bapak yang baik buat mas dan Chan.” Jeonghan merasakan sakit di dadanya ketika mendengar ucapan sang ayah yang menyayat hatinya. Chan juga tidak kuasa menahan air matanya, ia ikut berlutut di kaki ayahnya.

“Bapak gagal jagain mas sama Chan. Harusnya bapak yang kerja, bapak yang cari uang untuk keluarga kita. Karena bapak kepala keluarganya. Tapi bapak malah bikin mas yang harus nerima semuanya, bapak malah bikin Chan jagain bapak selama bapak sakit padahal harusnya Chan main sama temen-temen Chan—.”

“—bapak minta maaf, mas Chan.”

Ketiganya sama-sama masih menangis. Jeonghan bahkan sekarang seperti tidak punya muka di depan ayah dan adiknya.

“Pak, bapak mau kan terima Han lagi? Han udah ga punya siapa-siapa lagi pak, selain bapak sama Chan.”

“Mas Jeonghan, selamanya mas masih anak bapak. Anak bapak yang bapak sayang. Dan, sampai kapanpun mas akan tetap jadi mas nya Chan. Iya kan Chan?”

Chan mengangguk. “Selamanya, mas.”

. . . . . . . . .

Chan menempelkan telinganya pada perut buncit Jeonghan. Ia baru saja merasakan sebuah tendangan dari dalam.

“Anak mas cowok?”

Jeonghan mengangguk, sambil ia mengelus-elus rambut Chan.

“Pasti ganteng kayak mas.” Jeonghan terkekeh.

“Mas, nginep disini aja ya? Udah malem juga, bahaya kalo kamu pulang.”

“Iya pak.”

“Mas, selama ini mas tinggal dimana? Jadi mas ga bener-bener di Jogja?” Tanya Chan.

Jeonghan menghela nafasnya. “Mas tinggal di apartemen mas Seungcheol, Chan.”

“Mas Seungcheol itu—.” Ucapan Chan menggantung, tapi Jeonghan tau apa yang Chan tanyakan dan ia mengangguk. Sehabis itu, Chan tidak bertanya lagi.

“Ikhlas ya, mas. Gimanapun juga nak Seungcheol banyak bantu kita.” Jeonghan memang sudah menceritakan sepenuhnya pada ayah dan adiknya itu.

Jeonghan mengangguk. “Mas ikhlas pak.”

Lain di mulut, lain di hati. Ia bahkan tidak tau hatinya sama dengan mulutnya atau tidak.

Saat sedang berbincang-bincang tiba-tiba saja....

“Pak, Chan, mas Soo bawa ayam bakar favorit ba—pak.”

Satu lagi kebenaran yang terungkap sekarang, Jisoo-nya masih seperti yang dulu.

Jeonghan membuka matanya perlahan, ia melihat sekelilingnya dan meyakini ia berada di rumah sakit. Tapi, saat ia membuka matanya orang pertama yang ia lihat adalah Jihoon. Bukan Seungcheol apalagi Jisoo.

Jeonghan menghela nafasnya, mungkin sekarang ia benar-benar akan merasakan kehilangan semuanya.

“Kak Jeonghan, aku panggilin dokter dulu ya.”

Jihoon berlalu tanpa menunggu jawaban Jeonghan, ia memanggil Mingyu dan Soonyoung.

“Han?” Sapa Mingyu sambil memeriksa kondisi Jeonghan.

Lagi-lagi Jeonghan tidak menjawab.

“Han, kondisi bayi kamu baik-baik aja. Tadi kamu kecapean jadinya pendarahan.” Ucap Mingyu.

“Han, Seungcheol lagi dalam perjalanan kesini kok. Tadi dia ada yang harus diurus di rumah.”

Jeonghan mengangguk.

“Kak Jeonghan, mau minum?” Tanya Jihoon.

Jeonghan mengangguk. Lalu Jihoon dengan sigap membantu Jeonghan minum, saat sedang menyesap minumnya pintu kamar rawat Jeonghan terbuka. Dan Seungcheol ada di sana.

“Gimana gong?” Tanya Seungcheol langsung

“Baik-baik aja Cheol, kecapean aja.” Seungcheol mengangguk. Ia mendekat ke arah Jeonghan, dan mengelus rambut Jeonghan.

“Ada yang sakit gak yang?”

Jeonghan menggeleng.

“Yaudah Cheol kalo gitu gue balik ke ruangan dulu. Han, saya pergi dulu ya.” Ucap Mingyu. Jeonghan mengangguk

“Gue juga, ayo yang.” Soonyoung mengajak Jihoon

“Makasih ya gong, nyong, ji.”

“Sama-sama Cheol.” Jawab Mingyu dan Soonyoung

“Kak Jeonghan, aku pergi dulu ya. Kalo butuh temen cerita, kabarin aku aja.” Ucap Jihoon

“Makasih ya ji.” Itu kata-kata pertama yang keluar dari mulut Jeonghan sehabis ia sadar.

Dan tinggallah Seungcheol dan Jeonghan di kamar itu. Jeonghan membuang pandangannya ketika Seungcheol kembali menatapnya.

“Kamu marah sama mas?”

Jeonghan tidak menjawab.

“Han, mas minta maaf tadi mas ninggalin kamu sampe kamu bisa ada disini.”

Bulir air mata Jeonghan menetes begitu saja.

“Han, mas mau ceraikan Rachel.”

Ucapan Seungcheol membuat Jeonghan menoleh.

“Maksud kamu?”

“Mas gak bisa sama dia lagi.”

“Terus kalo kamu cerai, gimana sama anak ini?”

“Han?”

“Jangan cerai mas, kasian baby-nya—”

“—karena aku gak bisa gantiin mba Rachel.”

“Ngghhhh.” Jeonghan menggeliat dari tidurnya.

“Pusing palanya yang?”

Jeonghan mengangguk. “Dikit.”

“Jisoo marah-marah sama aku.”

“Kenapa?” Tanya Jeonghan sambil terkekeh.

“Disangkanya aku gak jagain kamu.”

Jeonghan tertawa. “Pasti dia minta pulang ya?”

“Yaiyalah, tapi gak aku bolehin kasian Yena sama Yeri pasti mau di sana.”

“Sedih banget gak bisa nyusul ke sana. Maaf ya Cheol, kita jadi gak jadi liburan.”

“Ini musibah tau, gak ada mau. Aku gak nyalahin kamu, tapi besok-besok lebih hati-hati ya sayang. Aku sedih banget kalo kamu atau Jisoo sakit.”

Jeonghan mengangguk. “Cium aku.”

Seungcheol menundukkan kepalanya untuk mencium bibir suaminya itu.

“Mau makan apa?” Tanya Seungcheol menyudahi ciuman mereka.

“Ayce.”

“Keluar dong?”

Jeonghan mengangguk.

“Yaudah ayo deh.”

“Mandinya gimana?” Tanya Jeonghan

“Ya aku mandiin lah.” Seungcheol menyeringai lebar.

“Bener kata Jisoo.”

“Apa?”

“Kamu kayak om-om mesum.”

Seungcheol tertawa, tapi ia langsung menggendong Jeonghan menuju kamar mandi.

“Aku mau mandi doang, Cheol.”

sedikit terungkap.

Acara private yang Soonyoung adakan untuk pesta kekasihnya—Jihoon sangat-sangat mewah. Soonyoung memesan salah satu ballroom hotel bintang lima hanya untuk orang-orang yang tidak lebih dari 15 orang.

“Mewah banget sih nyong.” Ucap Mingyu yang datang lebih awal dari semuanya.

“Demi ayank.”

“Najissssssss.”

“Jisoo nanti kalo ulang tahun minta dibuatin gini aja sama bagong, dia duitnya banyak tapi medit banget.”

Soonyoung sudah berkenalan dengan Jisoo karena memang mereka sudah beberapa kali bertemu beda dengan Seungcheol dan Juna yang bahkan belum bertemu Jisoo.

“Ini yang lain lama banget sih, laper gue.”

“Mas Mingyu kalo laper makan cake dulu aja.” Ucap Jihoon yang tiba-tiba datang.

“Gak enaklah, masa gue duluan yang punya hajat belom makan.”

“Apaan, si Soonyoung mah udah nyemilin lapis Surabaya satu kotak.”

“Yang bener aje lu nyong.”

“Cintaku kok kamu bukan aib aku sih.”

Jisoo hampir tertawa mendengar suara Soonyoung yang tiba-tiba menjadi lembut ketika berbicara dengan Jihoon.

“Kamu geli gak Soo dengernya?” Tanya Mingyu

“Lebih ga ke biasa aja sih, gu.”

Sudah sedekat itu hubungan Jisoo dan Mingyu, kalau kata anak muda jaman sekarang pendekatan UHUY!

“Apalagi aku yang udah ngikutin mereka bertahun-tahun.” Jisoo tertawa cekikikan ketika melihat Jihoon yang cemberut dan Soonyoung yang menatap tajam Mingyu.

“Sorry, telat.” Juna datang dengan kado di tangannya.

“For Jihoon.”

“Aaaa makasih mas Juna.”

“Si bagong bawa kado gak dia? Kalo gak bawa jangan boleh makan.”

“Bawa gue, berdua sama ayank.”

“Najis, Jisoo lu harus sadar dari sekarang.”

“Bagong ga baik buat kesehatan lu, Jisoo.” Soonyoung ikutan mengompori Jisoo.

“Mas Jisoo jangan di dengerin, mereka berdua iri sama mas Mingyu—”

“Nah, Jihoon lu emang yang terbaik dari yang paling baik.”

“—tapi mas Mingyu emang ga jelas sih.”

“Anjrit, cocok lu emang sama si nyong.” Mereka menertawakan Mingyu.

“Ned telpon Seungcheol dong, dah sampe mana dia.”

“Tadi gue dah chat, lagi nganterin Han ke toilet bentar.”

Tapi tiba-tiba....

“Sorry gue telat.”

“Lah laki lu mana?”

“Masih di toilet, katanya sakit perut. Gue di suruh duluan.”

“Lagi hamil Cheol.”

“Iya, kita acara dulu gapapa katanya ntar gue samperin lagi ke sana.”

“Berarti kita duluan aja gapapa mas?” Tanya Jihoon

“Gapapa, ji.” Seungcheol memberikan kado untuk Jihoon.

Skip time

Jeonghan merapihkan pakaiannya kembali, lalu ia keluar dari toilet itu. Tapi di luar ia tidak sengaja bertemu seseorang.

“Mba Rachel?”

Rachel yang namanya di panggil menoleh.

“Elo? Ngapain lo disini?”

Jeonghan tidak tau harus menjawab apa.

“Lo sama suami gue?”

Lagi-lagi Jeonghan tidak menjawab.

“Jawab, brengsek.”

“Chel?”

“Oh kamu udah kelar, won.”

Orang yang dipanggil “won” itu mengangguk.

“Ini siapa?” Orang itu menunjuk Jeonghan.

“Aku gak kenal, won. Yuk?”

Rachel menggandeng tangan laki-laki itu, tapi laki-laki itu tak bergeming.

“Wonwoo?”

“Ah ya, ayo. Kamarnya nomor berapa?”

Keduanya pergi meninggalkan Jeonghan yang masih mematung di sana.

Rachel berselingkuh?

“Han?”

Jeonghan tersadar dari lamunannya.

“Hai mas, lama ya aku?”

“Lumayan, masih sakit?”

Jeonghan menggeleng. “Udah mendingan. Udah kelar acaranya?”

“Udah tiup lilin sama potong kue sih. Ini pada mau makan, ayo.”

Seungcheol menggandeng tangan Jeonghan.

“Mas?”

“Ya sayang?”

“Kamu tau gak kalo mba Rachel disini?”

Langkah Seungcheol terhenti. “Rachel? Dia kan lagi di Semarang.”

“Aku liat dia disini tadi. Barusan.”

“Salah liat kali kamu.”

“Mana mungkin, aku ngobrol tadi.”

“Han—.”

“—aku liat dia sama laki-laki mas—.”

“—namanya Wonwoo.”

Jeonghan merasakan cengkraman tangan Seungcheol menguat di telapak tangannya.

“Wonwoo kamu bilang?”

“Mas, aku gak bermaksud ngadu sama kamu. Tapi aku gak mau nutupin apapun dari kamu.”

“Kemana mereka?”

Jeonghan menggeleng. “Aku gak sempet denger, tapi mereka udah booking kamar.”

Rahang Seungcheol mengeras. Jadi benar kalau Rachel bermain api di belakangnya? Tapi kenapa dengan Wonwoo?”

Seungcheol mengeluarkan ponselnya, ia menelpon Juna.

“Ned, lu ke toilet bisa gak? Sendiri aja tapi.”

Lalu setelahnya ia mematikan sambungan telepon itu

“Mas?”

“Nanti kamu masuk sama Juna ya, aku ada urusan bentar.” Jeonghan merasakan nada bicara Seungcheol yang berbeda.

Beberapa menit kemudian Juna datang.

“Cheol?”

“Gue titip Jeonghan dulu. Gue ada urusan.”

“Urusan apa?”

Seungcheol tidak menjawab, ia langsung buru-buru pergi—menghiraukan panggilan Jeonghan.

“Han?”

“Kak, feeling aku gak enak. Ayo kita kejar mas Seungcheol.”

“Han, tapi Seungcheol gak suka dibantah.”

“Please kak.” Jeonghan memohon kepada Juna dan Juna mengiyakan. Lalu keduanya mengejar Seungcheol yang turun ke resepsionis—mungkin untuk menanyakan apakah benar ada istrinya di sana.

“Tapi maaf pak, kami tidak bisa membocorkan data pengunjung.” Itu yang Jeonghan dan Juna dengar.

Brakkkkk

Seungcheol menggebrak papan nama “resepsionis” ketika ia tidak mendapatkan apa yang ia mau.

“Istri saya ada disini, dengan laki-laki. Saya bakal bayar berapa aja asal kalian kasih tau kamar nomor berapa yang mereka booking.”

“Pak tapi—.”

“NOMOR BERAPA BRENGSEK.”

para penjaga mulai berdatangan ke tempat dimana Seungcheol berada. Juna ikut maju.

“Mba, saya menjamin kalo ini benar-benar istri teman saya. Saya akan jadi jaminan kalo kalian kena marah atasan kalian.” Seungcheol sudah tidak perduli lagi. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Jeonghan yang melihat itu hanya diam, ia juga sakit hati. Sakit hati ternyata laki-laki yang mengisi hatinya itu masih sangat mencintai istrinya. Lagi-lagi ia kembali menelan pil pahit dari semua yang ia lakukan.

“Kamar 317.” Mendengar itu Seungcheol langsung buru-buru pergi. Ia bahkan melewati Jeonghan begitu saja.

“Han, ayo.”

“Kak Juna, bisa gak kakak aja yang kejar mas Seungcheol? Han tunggu sini aja ya? Kaki Han sakit tiba-tiba.”

“Yaudah, aku anter ke tempat Jihoon dulu ya?”

Jeonghan menggeleng. “Keburu mas Seungcheol ngamuk. Tolong ya kak.”

“Yaudah, Han tunggu sini kalo udah kelar kakak kesini lagi jemput Han.” Jeonghan mengangguk. Lalu ia duduk di sofa yang ada di lobby hotel.

Sementara itu, ternyata Juna mengabari Soonyoung.

“Jeonghan di lobby, gue ngejar Seungcheol dulu. Nanti gue jelasin, nyong. Tolong samperin Jeonghan dulu.

“Gong?”

“Si Han di lobby.”

“Lah katanya di toilet?”

“Gue ga tau ada apa, tapi kayaknya ini serius. Ayo samperin ke lobby.”

“Soo, kamu disini dulu ya? Aku nyamperin temen ku dulu.”

Jisoo menatap Mingyu bingung tapi ia mengangguk.

“Young, kenapa?”

“Yang kamu disini dulu ya, nanti aku kesini lagi.”

Tapi baru selangkah Soonyoung dan Mingyu berjalan. Ponsel Soonyoung berdering. Juned is calling

“Halo ned?”

“Nyong, lu bisa ke 317 gak? Seungcheol ngamuk. Si bagong aja yang kebawah.”

“Ned ada apaan sih?”

“Gue gak bisa jelasin sekarang. Please banget.”

Juna langsung memutuskan sambungan teleponnya.

“Kenapa nyong?”

“Gong, gue disuruh ke atas. Lo ke lobby ya.”

“Nyong, ada apa sih?”

“Gue ga tau gong, kerjasamanya dulu ya.”

Soonyoung berjalan lebih dulu.

“Soo, disini aja. Nanti aku balik.”

“Gu, aku ikut aja ya?”

“Kamu disini aja temenin Jihoon.”

“Aku juga mau ikut mas.”

Mau tidak mau Mingyu mengajak keduanya.

Soonyoung berlari dengan cepat, dan sesampainya di sana ia melihat Seungcheol memukuli seseorang. Wonwoo.

“Seungcheol.” Tapi Seungcheol tidak berhenti.

Soonyoung juga melihat Juna yang kewalahan menghadapi Seungcheol—karena badan Seungcheol lebih besar darinya.

Seungcheol membabibuta—mengeluarkan semua emosinya.

Dengan seluruh kekuatannya, Soonyoung menendang Seungcheol dari samping sampai Seungcheol terjatuh.

“Lo mau bunuh anak orang? Hah?”

“Gue emang harus bunuh dia nyong.”

“Jangan gila.”

“DIA YANG GILA, DIA MAIN GILA SAMA ISTRI GUE DIBELAKANG GUE.”

Soonyoung terdiam, ia menatap Wonwoo yang sudah terkapar. Sedangkan ia melihat ada Rachel di dalam kamar.

“Gue udah percaya sama dia. Gue jadiin dia lawyer kepercayaan gue. Tapi ini balesannya yang dia kasih ke gue? Dia nusuk gue.”

Seungcheol tidak menangis. Tapi ia marah. Sangat-sangat marah.

Seungcheol sudah maju lagi, ia kembali mencengkeram kerah baju Wonwoo.

“SEUNGCHEOL STOP.”

Juna berteriak dengan sekuat tenaganya.

“Kenapa? Elo masih belain bajingan ini? Masih cinta lo sama dia?”

Dada Juna naik turun akibat emosinya.

“Seenggaknya elo dengerin dia dulu.”

“Apa yang harus gue dengerin ned? Jelas-jelas gue liat mereka dalam satu kamar yang sama.”

Juna mengepalkan tangannya. Ia bahkan tidak kuat menatap Wonwoo yang menatapnya dengan lemah.

Baru akan menjelaskan, tapi tiba-tiba saja Soonyoung mengumpat.

“Shit—”

“—Jeonghan pendarahan.”

.....................................................

Yang terjadi

Setelah Soonyoung pergi, Mingyu, Jisoo dan Jihoon menuju lobby dimana Jeonghan berada.

“Han?”

Jeonghan menoleh dan mendapati Mingyu di sana. Ia tersenyum tapi beberapa detik kemudian senyumnya luntur begitu saja ketika melihat siapa yang berada di belakang Mingyu.

“Jisoo?”

Jeonghan melihat Jisoo yang menatapnya marah.

“Soo, gue—.”

“Jogja ya, Han.”

Nafas Jeonghan tercekat.

“Lo bohongin gue.” Jisoo tertawa miris. Jeonghan mencoba menggapai tangan Jisoo—tapi ditepis.

“Gue mati-matian jagain Adek sama bokap lo, tapi elo malah enak-enakan sama laki orang.”

“Jisoo, dengerin gue dulu.” Jeonghan menangis sekarang. Ia kembali mencoba memegang tangan Jisoo tapi tidak diizinkan oleh Jisoo.

“Gue jijik sama lo, Han.”

Jeonghan terkejut mendengar ucapan Jisoo. Jisoo satu-satunya orang yang ada di saat dia terpuruk, sekarang jijik dengannya.

Jeonghan menggeleng. Ia meminta Jisoo tidak berbicara seperti itu.

“Lo jual diri lo demi uang. Lo biayain keluarga lo pake duit haram. Sadar gak lo?”

“Soo—.” Kali ini Mingyu.

“Lo juga tau kan masalah ini? Lo nyembunyiin masalah ini dari gue?”

“Aku gak tau Jeonghan sahabat kamu, Soo.”

“Bullshit.”

Jihoon yang tidak paham situasi ini hanya diam, ia memperhatikan orang-orang yang memperhatikan mereka.

“Lucu banget, gue dibohongin sama 2 orang yang bahkan gue sangka gak bakal bohong sama gue.”

“Soo—.”

“Nyesel gue percaya sama lo berdua. Brengsek.”

“Jisoo, gue mohon dengerin gue dulu.”

“BERAPA KALI GUE BILANG JEONGHAN, GUE BISA BANTU LO. GUE BAKAL BANTING TULANG BIAR BISA BANTU LO—”

“—tapi elo malah milih jual diri sama suami orang.”

Jeonghan menutup telinganya. Ia tidak kuat dengan apa yang Jisoo bicarakan. Sangat sakit rasanya ketika semua kata-kata itu keluar dari mulut sahabatnya.

“Lo gak lebih dari sekedar jalang—”

“Jisoo.” Mingyu benar-benar harus menghentikan ini.

Jisoo menghapus air matanya, ia menatap remeh ke arah Mingyu dan Jeonghan secara bergantian.

“Mulai detik ini, jangan anggap kita saling kenal. Gue gak mau lagi ketemu sama lo.” Ucap Jisoo sambil menunjuk Mingyu.

“Dan buat lo, lo bukan lagi sahabat gue Jeonghan. Gue gak mau berurusan lagi sama lo. Gue jijik sama lo.”

Jisoo berjalan meninggalkan Jeonghan yang bersimpuh sambil menangis, sedangkan Jihoon mencoba menenangkan Jeonghan.

“Jisoo—AKHHHHH.” Jeonghan merasakan perutnya kram.

“Mas Mingyu, kakinya kak Jeonghan—ada darahnya.”

Jeonghan tidak perduli, ia memanggil-manggil nama Jisoo. Tapi, Jisoo tidak memperdulikannya.

Sampai akhirnya, semua menggelap bagi Jeonghan.

Seungcheol terbangun dengan kram di sekujur tubuhnya. Setelah ia bertemu dengan Juna, Seungcheol kembali ke apartemennya tapi ia tidak ke unitnya, ia memilih tidur basemen—di dalam mobilnya. Ia sengaja tidak menemui Jeonghan semalam, karena Jeonghan pasti masih emosi.

Setelah tubuhnya sudah enakkan, ia berjalan menuju unit apartemennya. Setelah memasukkan pin apartemen, ia masuk. Ia mendapati Jeonghan yang sedang mondar-mandir seperti orang bingung.

“Han?”

“Mas?”

“Kamu kenapa?”

“Chan ngabarin aku kemarin katanya ibu dateng ke rumah dan minta uang ibu bahkan marah-marah sama Chan dan bapak. Aku takut banget mas.”

Seungcheol membawa Jeonghan ke dalam pelukannya.

“Nanti aku suruh anak buah aku ke rumah kamu ya, udah kamu tenang dulu. Jangan stress yang, nanti baby nya ikutan stress.”

“Mas tumben pagi-pagi udah kesini?” Tanya Jeonghan, ia mendongakkan kepalanya menatap Seungcheol.

“Mas disini dari semalem, tidur di mobil.”

“Kenapa mas? Kenapa ga kesini aja?”

“Mas takut kamu masih emosi, daripada mas liat kamu tidur di sofa mendingan mas gak kesini dulu.”

Jeonghan kembali memeluk Seungcheol. “Maafin Han ya mas, semalem Han rasanya kesel banget jadinya kayak gitu. Harusnya Han gak gitu.”

“Gapapa sayang, mas yang harusnya minta maaf. Mas juga kasar kan semalem, sakit ya tangannya?” Seungcheol mengambil tangan Jeonghan yang semalam ia cengkram terlalu kuat dan mengecupnya.

“Udah gak sakit kok mas. Mas mau mandi dulu? Han siapin air hangatnya dulu ya? Mas mau makan apa?”

“Iya mas mau mandi dulu, tapi mas siapin sendiri aja. Terus mas lagi mau makan all you can eat, jadi kita makan ke luar yuk?”

Mata Jeonghan berbinar-binar ketika mendengar ajakan Seungcheol. Sejujurnya ia sangat ingin makan daging dari kemarin, tapi karena ia tidak mau mengganggu Seungcheol jadi ia urungkan niatnya.

Jeonghan mengangguk. “Yuk mas.”

Seungcheol tertawa, lalu ia mengecup kening Jeonghan.

“Mas mandi dulu ya sayang.”

“Aku siapin bajunya ya mas.” Seungcheol mengangguk sebagai jawabannya.

. . . . . . . . . .

“Soo, lo bisa gak ya ke rumah gue dulu? Chan cerita katanya ibu ke sana kemarin dan sempet marah-marah juga. Gue khawatir banget. Tapi kalo lo gak bisa yaudah gapapa. Sorry ya ngerepotin elo terus.”

Jisoo memasukkan kembali ponselnya ke dalam tasnya dan ia dengan cepat menuju rumah sahabatnya itu.

Sesampainya Jisoo di sana, ia melihat Chan tampak menghadang seorang wanita—ibu sahabatnya. Ibu sahabatnya itu tampak sedang memaksa masuk ke rumah dan berteriak-teriak.

“Mana si Jeonghan itu.”

“Ibu, mas Han gak ada bu.”

“Jangan bohong kamu, mau jadi apa kamu masih kecil udah jadi tukang bohong.”

Bukannya Chan tidak bisa menghadang ibunya, tapi karena Chan tidak mau menyakiti wanita yang telah melahirkannya itu.

“Tante.”

Chan dan ibunya menatap Jisoo yang tiba-tiba datang.

“Si pahlawan kesiangan dateng. Kamu pasti di suruh Jeonghan kan untuk kesini. Kasih tau saya dimana anak gak tau diri itu.”

“Saya gak tau Jeonghan dimana Tante, tapi kenapa Tante nyariin Jeonghan? Uang Tante udah abis ya?”

Jisoo melihat perubahan wajah dari wanita di hadapannya. Marah

“Jaga ucapan kamu ya. Kamu gak tau apa-apa tentang saya.”

“Saya emang gak tau apa-apa Tante, tapi apa di cari orang yang udah ninggalin keluarganya dan bawa semua uang anaknya lalu tiba-tiba datang kembali kalo bukan uangnya abis?”

Plakkkkk

“Mas Jisoo.” Chan berteriak ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri ibunya menampar pipi Jisoo.

Jisoo memegangi pipinya yang terasa panas.

“Jangan ikut campur urusan saya.”

Sehabis itu, wanita itu pergi meninggalkan Chan dan Jisoo.

“Mas, atas nama ibu Chan minta maaf ya.”

“Kamu gak harusnya minta maaf Chan, mas juga keterlaluan tadi.”

“Mas itu berdarah, Chan obatin dulu ya?”

Jisoo menggeleng. “Mas langsung pergi aja Chan. Kalo ibu kesini lagi, kasih tau mas ya?”

“Iya mas, aku pasti kasih tau mas. Makasih ya mas.”

“Iya, kamu baik-baik ya. Jagain bapak selama mas Han lagi ga di rumah. Mas pergi dulu.”

“Iya mas, hati-hati ya mas.”

Jisoo berjalan sambil memegangi sudut bibirnya yang berdarah.

“Eh si mas.”

Jisoo menatap laki-laki di depannya. Dia lagi dia lagi

“Eh mas itu bibirnya kenapa?”

Laki-laki itu hampir saja menyentuh bibir Jisoo kalo Jisoo tidak menepisnya.

“Jangan lancang ya lo.”

“Sorry sorry, gue ga sengaja. Gue reflek aja liat luka. Tapi itu harus cepet di obatin, kalo gak nanti infeksi.”

“Iya gue tau, nanti gue obatin sendiri.”

“Gue punya p3k di mobil.”

“Gue gak nanya.”

“Gue ngasih tau.”

“Nyebelin banget sih lo.”

“Ayo gue obatin dulu.”

“Gak usah.”

“Batu banget sih.”

“Biarin aja.”

Tangan Jisoo langsung di tarik oleh laki-laki itu, ia dibawa ke dalam mobil laki-laki itu.

“Tahan dikit ya.”

Jisoo merasakan perih di bibirnya dan ia juga memejamkan matanya bahkan tidak sengaja ia mencengkram erat tangan laki-laki di depannya.

“Mingyu, sakit.”

Mingyu tersenyum ketika namanya di sebut oleh si pujaan hati.

“Udah kelar.”

Jisoo membuka matanya, wajah Mingyu sangat-sangat dekat dengan wajahnya. Jisoo memperhatikan seluruh wajah Mingyu yang menurutnya lumayan tampan. Tidak, tidak lumayan tapi sangat tampan.

“Saya ganteng ya, sampe mas nya ngeliatin saya segitunya.”

Jisoo mendorong wajah Mingyu dengan cepat, ia juga buru-buru membuang pandangannya.

“Bisa ga sih ga usah panggil gue mas, kayaknya juga tuaan elo.”

“Terus panggilnya apa?”

“Ya nama aja kan elo udah tau nama gue.”

“Gak ada embel-embel nya gitu?”

“Embel-embel apanya?”

“Kayak pake sayang gitu.”

Jisoo memukul kepala Mingyu dengan tangannya.

“Pake nasi aja biar kenyang.”

Mingyu tertawa sambil mengelus-elus kepalanya yang terasa sakit karena dipukul Jisoo.

“Btw, makasih ya udah obatin gue.”

“Sama-sama, tapi saya butuh balas budi nih.”

“Dih, elo cuma ngobatin luka kecil bukan operasi. Lagian duit gue gak bakal cukuplah.”

“Saya gak minta duit kok.”

“Terus?”

“Temenin saya makan siang yuk?”

. . . . . . . . .

Hari ini Juna sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Karena momma nya tidak bisa menjemput, jadi ia jemput oleh Wonwoo.

“Udah na?”

Juna mengangguk.

Wonwoo mendorong kursi roda Juna.

“Mau makan dulu gak?”

“Makan di rumah aja nanti.”

“Udah lama loh na kita gak makan bareng, mau ya?”

Juna memutar bola matanya jengah tapi ia tetap mengangguk.

Wonwoo tersenyum ketika melihat Juna mengangguk. “Mau makan apa na?”

“Ayce.”

“Oke, berangkat.”

Skip time

Keduanya sudah duduk dan sudah mengambil apa yang ingin mereka makan. Sambil menunggu matang, Juna memberitahu teman-temannya. Setelahnya, Juna sibuk memasukkan daging dan macam-macam yang mereka ambil.

Sama seperti dulu, Juna selalu menyiapkan apa yang Wonwoo akan makan. Dan semuanya terjadi lagi hari ini.

“Mangkuk kamu mana, nu?”

Nu

Kata-kata yang Wonwoo rindukan dari mulut Juna.

Lalu Juna memasukkan daging yang sudah matang ke mangkuk Wonwoo.

Keduanya fokus pada makanan mereka. Wonwoo mengedarkan pandangannya, ia memicingkan matanya—melihat ada seseorang yang ia kenal di sana.

“Na, itu bukannya pak Seungcheol ya? Kok sama cowok ? Itu siapa ya na? Pak Seungcheol selingkuh?”

Juna menatap Wonwoo datar.

“Seungcheol gak sebejad itu, nu. Lagian kamu seenaknya aja nuduh orang kayak gitu. Dia gak kayak kamu.”

Wonwoo sedikit keras menaruh sumpitnya.

“Aku gak selingkuh, na.”

“Aku gak mau bahas ini, nu.”

“Tapi sampe kapan kita kayak gini? Kamu tau aku sayang banget sama kamu.”

“Aku tau, tapi aku gak percaya sama kamu.”

“Makannya kasih aku kesempatan untuk jelasin semuanya.”

“Kapan-kapan aja, jangan ngerubah mood makan aku.”

Lagi-lagi Wonwoo mengalah. Tapi ia berjanji pada dirinya sendiri kalau ia tidak akan pernah melepaskan Juna begitu saja.

Seungcheol memasuki kamar rawat Juna dengan wajah murung. Membuat Juna kesal melihatnya.

“Kenapa sih muka lo?”

Seungcheol duduk di sofa yang tersedia di sana, ia mengacak-acak rambutnya frustasi.

“Kenapa sih?”

“Si Jeonghan ngambek sama gue.”

“Lah kenapa?”

“Gara-gara kemaren balik dari sini gue ga ke apartemen padahal gue udah janji sama dia.”

“Lo udah jelasin belom alesannya?”

“Udah ned, tapi ya gitu dia bilang udah maafin gue tapi tadi gue deketin malah ngejauh bahkan dia gak mau skinship sama gue.”

“Dan elu uring-uringan?”

Seungcheol mengangguk.

“Elo sadar ga sih sama apa yang terjadi sama lo sekarang ini? Semenjak ada Jeonghan. Ya kita kesampingkan dulu masalah dia surrogate.”

“Maksud lo?”

“Cheol, elo kayak anak kemaren sore yang lagi kasmaran dan tiba-tiba berantem sama pacar lo. Lo sadar gak sih?”

Seungcheol bungkam. Ia menatap Juna dengan tatapan tidak percaya.

“Elo uring-uringan mikirin Jeonghan yang ngambek, padahal elo sendiri gak pernah tuh yang namanya musingin Rachel yang tiba-tiba aja marah karena elo gak nurutin maunya dia.”

“Ini Jeonghan loh Cheol, Jeonghan. Orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan lo.”

Apa yang dikatakan Juna ada benarnya, harusnya ia tidak sebegininya kan sama Jeonghan? Bahkan Jeonghan tadi juga bilang hal yang hampir sama.

“Terus gue harus apa, Jun?”

“Ikutin kata hati lo, maybe?”

Seungcheol lagi-lagi terdiam. Ia bahkan tidak tau apa yang hatinya mau.

“Ikutin kata hati lo, jangan hati lo mulu yang ngikutin maunya elo. Bisa mati rasa nanti.”

Seungcheol masih belum menanggapi Juna.

“Sekarang gue tanya sama lo, lo sayang gak sama Rachel?”

Seungcheol diam sejenak lalu ia mengangguk.

“Kalo Jeonghan elo mikir gue percaya, ini Rachel Cheol istri lo sendiri, elo segala mikir.” Ucap Juna sambil tersenyum meremehkan.

“Ned gue ga tau harus apa.”

“Pilih salah satu.”

Seungcheol menggeleng.

“Lo gak bisa lah milikin dua-duanya. Mana ada orang mau di madu?”

“Gue gak bisa ned.” Ucap Seungcheol pelan.

“Lo bisa, cuma elo ga mau. Elo gak mau lepasin Rachel karena elo udah janji gak bakal ninggalin dia. Padahal bisa aja sewaktu-waktu dia yang ninggalin elo yang notabene nya dia juga udah janji gak bakal ninggalin elo. Jangan terlalu percaya sama janjinya manusia.”

“Lo gak mau lepasin Jeonghan, karena ya emang mungkin dia orang yang selama ini elo cari.”

Seungcheol memikirkan semua yang Juna ucapkan. Benar yang Juna bilang, ia harus memilih.

“Pilihannya ada di tangan lo, Cheol.”

Juna memandangi Seungcheol yang sedang berpikir.

“Mungkin elo harus tau dulu Cheol apa yang Rachel lakuin di belakang lo.”