Juna memarkirkan mobilnya di depan rumah keluarga Jeon. Kalau bukan karena sang momma, ia tidak akan pernah mau menginjakkan kakinya di sana lagi.
“Una, ayo.”
Juna mengangguk. Lalu ia melepaskan seat belt nya dan ikut keluar dari mobilnya.
“Eh jeng, udah dateng ayo masuk.” Itu Tante Jeon.
“Iya nih jeng, telat ga sih?”
“Engga kok, baru beberapa orang yang dateng. Eh Una.” Juna mau tidak mau harus tersenyum membalas senyuman tulus wanita itu.
“Kamu apa kabar sih? Ya ampun mama kangen banget sama kamu.”
Mama
Dulu, sebelum negara api menyerang ia memang sedekat itu dengan keluarga Jeon.
“Baik Tante, Tante gimana kabarnya?”
Juna bisa melihat perubahan wajah wanita itu. Tampak sedih.
“Una.” Momma nya mencubit pelan lengannya.
“Mama baik kok Una.” Dan lagi-lagi Juna bisa melihat senyum yang dipaksakan oleh wanita itu.
“Ayo jeng masuk, Una kalo mau ke taman belakang boleh ya.”
“Makasih Tante.”
Lalu kedua wanita itu masuk, meninggalkan Juna yang masih mematung di depan pintu.
Dulu, ia selalu sering ke rumah ini. Bahkan ia sudah menganggap rumah itu sebagai rumahnya sendiri.
Juna berjalan perlahan memasuki rumah itu. Memperhatikan setiap sudutnya yang masih sama seperti dulu.
Sampailah ia disini, di halaman belakang rumah itu. Spot favorit yang selalu ia datangi kalau datang ke rumah itu.
“Hai?”
Juna hafal suara itu. Tubuhnya tiba-tiba saja menegang.
Juna membalikkan tubuhnya dan mendapati laki-laki yang selama ini ia hindari.
“Una?” Tangan Juna di genggam oleh laki-laki itu. Tapi dengan cepat Juna menepisnya.
“Una, kamu masih belum mau dengerin penjelasan aku?”
Juna diam.
“Una, onu kangen.”
Onu
Juna mengepalkan tangannya menahan amarahnya. Bisa-bisanya laki-laki itu berbicara tentang rindu padanya.
“Una?”
“Lo bisa ga sih gak usah muncul lagi di depan muka gue? Ya gue tau, kalo ini rumah lo tapi bisa kan kalo lo pura-pura ga kenal sama gue.”
“Gak bisa, aku gak bisa na dan gak akan pernah bisa.”
“Terserah lo.”
Juna beranjak pergi dari hadapan laki-laki itu.
“Untuk kedua kalinya kamu pergi tanpa mau dengerin penjelasan aku, na?”
Juna menghentikan langkahnya. Tapi masih membelakangi laki-laki itu.
“Aku bakal lakuin apa aja maunya kamu. Kecuali, harus pura-pura gak kenal sama kamu. Una, sampai kapanpun kamu tetap jadi pemenang dari semua kandidat.”
Laki-laki yang tadi berbicara dengan Juna adalah Wonwoo. Mantan kekasih Juna dulu. Dan saat ini, Wonwoo yang meninggalkan Juna yang masih mematung di tempatnya.
. . . . . . . . .
Jeonghan tampak mengeluarkan air mata ketika melihat sebuah gumpalan di dalam perutnya. Ia menggenggam tangan Seungcheol yang juga masih terharu dengan apa yang baru saja ia lihat.
“Gong, itu beneran anak gue?”
“Iya, anak kalian berdua. Selamat ya, usianya baru 2 minggu. Nanti saya kasih vitamin ya Jeonghan, biar janin nya sehat dan gak mual-mual terus.”
“Tapi kalo makanan banyak gapapa ya dok?”
“Malah sangat di sarankan, soalnya kan kamu makan buat 2 orang. Terus saya anjurin buat sedia cemilan karena biar ga repot kalo malem-malem dan kamu lagi ga enak badan.”
Jeonghan mengangguk. “Ada pantangan lain gak dok?”
“Pantangan gak ada, cuma karena masih hamil muda jangan makan nanas dulu ya? Dan jangan berhubungan badan dulu. Karena janinnya masih lemah.”
Wajah Jeonghan bersemu kemerahan ketika mendengar ucapan Mingyu. Sedangkan Seungcheol sudah menyiapkan sumpah serapah untuk temannya itu.
Skip time
Setelah selesai pemeriksaan, Mingyu, Jeonghan dan Seungcheol memutuskan untuk makan siang bersama.
“Si Juned sama nyong beneran berantem?”
“Tau deh, gak jelas.”
“Mas, Han mau nambah udangnya boleh?”
“Boleh sayang.” Seungcheol kembali memanggil pelayan untuk memesan udang yang Jeonghan inginkan.
Mingyu? Jelas saja ia mencibir kelakuan Seungcheol.
“Gong, gimana kelanjutan hubungan lu sama si pangeran yang lu temuin di jembatan?”
“Aduh Cheol, gue gak pernah lagi ketemu. Mana dia udah jarang buka Twitter.”
“Punya pacar kali dia.”
“Jangan matahin semangat gue gitu lah anjing.”
Jeonghan tertawa mendengar obrolan Seungcheol dan Mingyu.
“Han, kok kamu kuat sih sama dia? Nyebelin banget loh ini dia.”
“Mas Seungcheol baik kok dok.”
“Gue baik sama orang yang tepat aja. Kalo ga baik sama lu artinya lu gak telat.”
“Halah tai.”
Saat sedang berbincang-bincang, tiba-tiba saja ponsel Mingyu berbunyi.
“Halo ned, napa?”
”.............”
“Hah? Terus ini elo dimana?”
”.............”
“Si anjing, yaudah bentar tungguin dulu.”
Pip sambungan telepon itu terputus.
“Kenapa gong?”
“Temen lu nabrak pohon.”
“Hah? Kok bisa?”
“Ntar gue ceritain, gue ke sana dulu.”
“Yaudah gue ikutlah.”
“Janganlah, kasian Jeonghan musti banyak istirahat.”
“Mas kalo mau pergi gapapa, Han naik taksi aja.”
“Jangan Han, mas anter kamu pulang dulu abis itu nyusul si Bagong.”
“Nah iya gitu aja, bahaya Han pulang sendiri apalagi lagi hamil.”
Jeonghan akhirnya setuju, lalu setelah membayar makanan mereka, mereka berjalan berpisah. Seungcheol dan Jeonghan pulang, Mingyu menuju tempat dimana Juna berada.