thatausaha

Jisoo sekuat tenaga untuk tidak menangis. Keluarga Seokmin benar-benar keterlaluan.

“Soo...”

“Ayo putus.”

Seokmin menggeleng. “Aku gak mau Soo, aku sayang sama kamu.”

“Kalo kamu sayang sama aku kamu gak bakal diem aja aku diperlakukan kayak tadi, Seok.” Ucap Jisoo

Lagi-lagi Seokmin hanya diam. Itu yang membuat Jisoo muak dengannya.

“Ini udah ga sehat, orang tua kamu gak sama sekali terima aku. Aku capek harus berkali-kali ngertiin ini semua, aku mau berenti Seok. Kita ga bisa jalan bareng-bareng.”

“Soo....” Seokmin menggeleng. Ia benar-benar tidak bisa kehilangan Jisoo.

“Aku udah ga bisa, Seok.” Jisoo melepaskan genggaman tangan Seokmin.

Jisoo melangkah pergi, meninggalkan Seokmin yang masih menangisinya.

Jisoo berjalan tanpa tujuan. Ia menatap kosong jalan depannya. Hatinya sakit harus berpisah dengan Seokmin, tapi ia juga tidak bisa mempertahankan apa yang tidak bisa di pertahankan.

Jisoo berdiri di jembatan, dengan tangisnya yang belum reda. Kalau saja ada Jeonghan, mungkin ia akan berlari ke rumah Jeonghan dan memeluk sahabatnya itu.

Saat sedang menangisi patah hatinya, tiba-tiba saja ada.....

“Rokok mas.”

Jisoo menatap laki-laki yang tiba-tiba saja menghampirinya.

“Saya gak ngeroko.” Orang itu mengangguk.

“Disini ngapain? Mau bunuh diri?”

“Bukan urusan, mas.”

“Bunuh diri itu dosa tau mas, kalo di agama saya ya haram hukumnya. Kalo bunuh diri ntar ga bisa kemana-mana mas, emangnya mas mau melayang-layang gak jelas terus nyangkut di pohon?”

“Saya gak mau bunuh diri.”

“Oh engga, kirain mau. Capek-capek ceramah taunya engga.”

“Ngapain sih? Kenal juga engga sok asik banget.”

“Yaudah ayo kita kenalan.”

“Engga mau. Saya mau pulang.”

Jisoo berjalan meninggalkan laki-laki yang menurutnya aneh.

“Mas, nama saya Mingyu.”

Jisoo berhenti sejenak, lalu kembali melangkahkan kakinya pergi.

Jeonghan menatap Seungcheol yang sedang makan dengan lahap.

“Mas, pelan-pelan aja. Nanti keselek. Gak ada yang minta juga.”

Seungcheol menenggak air putih yang sudah Jeonghan sediakan untuknya. Untuk pertama kalinya, ia merasa kalau diurusi oleh seseorang. Pasalnya, sang istri tidak bisa memasak apalagi harus menyiapkan keperluannya.

“Ini enak banget Han.” Seungcheol jadi ikut-ikutan memanggil Jeonghan dengan nama panggilannya di rumah.

“Iya, tapi mas kayak gak makan seminggu.” Jeonghan terkekeh ketika melihat Seungcheol merajuk.

“Kamu udah lama bisa masak?”

Jeonghan mengangguk. “Kalo bukan Han, siapa lagi?”

“Ibumu?”

“Semenjak bapak sakit, ibu udah gak perduli lagi sama kita mas. Mungkin ibu kesel kali ya, karena dari yang punya apa-apa jadi gak punya apa-apa.”

“Kalo boleh saya tau, awalnya kenapa bisa jadi kayak gini?”

Seungcheol melihat perubahan wajah Jeonghan yang terlihat sedih.

“Kalo kamu gak mau cerita gapapa, saya ga paksa kamu.”

“Dulu ibu pernah ikut arisan mas, tapi ternyata arisan itu arisan bodong. Semua uang yang ibu pake dibawa kabur semua. Akhirnya bapak sakit dan sampe sekarang.”

“Terus sekarang ibu kamu kemana?”

“Ibu pergi, engga tau kemana. Bahkan ibu bawa semua tabungan saya yang untuk tambahan operasi bapak.”

“Jahat banget ibu kamu.”

“Ya begitulah mas.”

“Tapi jujur ya Han, selama saya menikah dengan Rachel saya ga pernah yang namanya dimasakin kayak gini, disambut pas pulang. Rachel itu terlalu sibuk sama dunianya sendiri, sampai dia kadang lupa kalo punya suami.”

Jeonghan masih setia mendengarkan cerita Seungcheol.

“Saya sama Rachel kalo ketemu ya pas malem aja, kita bahkan bisa bareng pun ya karena kebutuhan biologis aja. Kalo udah kelar, yaudah masing-masing.”

“Mas Seungcheol gak pernah protes?”

Seungcheol menggeleng. “Dia bahkan kayaknya gak takut sama gertakan saya.”

“Maaf ya mas kalo saya boleh tanya. Mas kenapa bisa nikah sama mba Rachel?”

“Saya sama Rachel ketemu itu pas kita kuliah. Gak tau kenapa tiba-tiba saya tertarik sama dia, kita pacaran lalu menikah. Awalnya juga mami saya gak setuju kalo saya nikah sama Rachel, karena bagi mami Rachel kayaknya cuma suka sama harta saya aja.” Seungcheol tertawa kecil ketika mengingat kejadian sewaktu dia meminta restu kepada maminya.

“Tapi saya tetep gigih untuk memperjuangkan Rachel. Sampai akhirnya mami setuju, kita menikah dengan mewah waktu itu. Saya pikir setelah menikah hubungan mami sama Rachel akan baik-baik saja. Tapi ternyata engga, apalagi waktu Rachel bilang kalau dia gak mau punya anak. Jujur saya kaget, gimana bisa dia gak mau punya anak, sedangkan keluarga saya adalah keluarga yang suka keramaian. Mereka menaruh harapan banget waktu saya menikah. Tapi ternyata, Rachel gak berpikiran seperti itu.”

“Tapi mami nya mas tau kalo mas pake surrogate?”

“Saya belum bilang, Han. Saya belum tau harus bilangnya gimana.”

Jeonghan secara tidak sadar, ia mengelus-elus lengan Seungcheol. “Semoga ga ketauan ya mas.”

“Semoga. Oh ya Han, kayaknya beberapa hari ini saya bakal nginep disini. Gapapa?”

Jujur saja Jeonghan terkejut. Tapi ia tidak bisa bilang tidak pada Seungcheol. Toh, apartemen ini kan sebenarnya milik Seungcheol.

“Mba Rachel gak nyariin emang?”

“Rachel lagi ke Paris sama temen-temennya.”

“Oh ya udah, mas gak bawa baju tapi kan?”

“Sebenernya apartemen ini udah lama saya beli, kalo lagi pengen sendirian suka kesini. Jadinya punya baju disini.”

Jeonghan bergumam, lalu ia membereskan piring bekas makan mereka.

. . . . . . . . .

Seungcheol sedang mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda. Sedangkan Jeonghan, dengan inisiatifnya ia membuatkan cokelat hangat untuk Seungcheol.

“Mas, ini Han buatin cokelat hangat.”

“Makasih ya Han. Kamu tidur duluan aja.”

Jeonghan terdiam sejenak, dadanya berdebar ketika memikirkan akan tidur satu ranjang dengan Seungcheol.

“Kalo kamu gak nyaman, nanti saya tidur di sofa.”

“Gapapa mas, disini aja bareng-bareng.” Seungcheol mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya. Jeonghan merebahkan tubuhnya di samping Seungcheol. Ia menatap Seungcheol yang sedang fokus pada laptopnya.

Menurutnya, Seungcheol benar-benar berkharisma. Apalagi saat sedang fokus seperti itu.

“Kenapa?” Seungcheol yang merasa diperhatikan, menoleh menatap Jeonghan.

“Gapapa mas, masih banyak ya kerjaannya?”

“Dikit lagi sih.”

“Kalo kerja jamberapa mas?”

“Jam 8 jalan dari rumah biasanya.”

“Besok mau sarapan apa?”

“Terserah kamu aja, saya bakal makan kok.”

“Mau dibawain bekel sekalian?”

“Engga usah, saya mau makan siang sama geng col—i.”

“Hah?”

“Maksudnya sama Soonyoung, Mingyu, Jun.”

“Oh, tapi nama gengnya aneh.”

“Orangnya juga pada aneh-aneh.”

“Mas juga dong?”

“Menurut kamu, mas aneh?”

“Engga sih, kayaknya mas yang paling lempeng di antara mereka.”

Seungcheol tertawa mendengarnya. “Kamu sendiri gimana? Punya temen yang bisa di ajak susah gak?”

Jisoo

Jeonghan menepuk keningnya. Ia lupa memberitahu Jisoo.

“Saya lupa kasih kabar ke sahabat saya mas.”

“Yaudah kasih kabar dulu. Kasian dia pasti nungguin kamu.”

Jeonghan langsung mengambil handphonenya dan menghubungi Jisoo.

Jeonghan mengira Seungcheol akan membawanya ke restoran tapi ternyata ia salah, Seungcheol malah membawanya ke apartemen—memang tidak terlalu besar tapi cukup mewah untuk Jeonghan.

“Pak, kita ngapain disini?”

“Jeonghan, saya mau selama kamu mengandung anak saya kamu tinggal disini.”

Hah?

“Tapi adik dan ayah saya gimana pak?”

“Nanti adik kamu akan saya biayai untuk kuliah juga, dan biaya rumah sakit sudah saya lunasi. Besok ayah kamu bisa operasi.”

“Pak Seungcheol serius? Maksud saya, adik saya juga—”

Ucapan Jeonghan belum selesai, tapi Seungcheol sudah mengangguk. Jeonghan tidak bisa berkata apa-apa lagi sekarang. Dia benar-benar menjual dirinya untuk keluarganya.

“Jeonghan, kita makan dulu. Nanti habis itu kita ke rumah sakit untuk periksa kesehatan kita berdua.” Jeonghan mengangguk.

“Saya bilangnya apa pak ke adik saya?”

“Bilang aja kamu dapet kerjaan di luar kota. Masalah adik kamu dan ayah kamu saya sudah siapkan bodyguard untuk menjaga mereka selama kamu disini. Ohya, saya juga bakal ngasih kamu yang bulanan. Jadi kamu bisa beli semua keperluan kamu.”

Jeonghan benar-benar tidak percaya, ternyata Seungcheol sekaya itu.

“Maaf kalau saya merepotkan bapak.”

“Kita sama-sama dapat untung disini. Ngomong-ngomong, jangan panggil saya bapak. Kamu panggil Jun kakak masa saya bapak, padahal saya sama Jun seumuran.”

“Bapak mau dipanggil kakak juga?”

Seungcheol menggeleng.

“Terus?”

“Ya terserah kamu, asal gak sama kayak Jun.” Seungcheol meminum air yang tersedia dia meja makan.

“Kalo mas Seungcheol?”

Uhuk

Seungcheol tersedak minumannya. Jantungnya serasa jatuh ke perut ketika mendengar Jeonghan memanggilnya seperti itu. Jeonghan sendiri langsung kelabakan karena terkejut melihat Seungcheol tersedak.

“Kok bisa tiba-tiba kesedak sih?”

“Gapapa, kaget aja.”

“Terus gimana, mas aja?”

Seungcheol mengangguk gugup. “Boleh.”

Lalu keduanya sama-sama kembali fokus pada makanan mereka.

. . . . . . . . . .

“Hasil pemeriksaan, bagus sih dua-duanya.” Ucap Mingyu yang sekarang duduk di depan Seungcheol dan Jeonghan.

“Terus prosesnya gimana, Gyu?” Mingyu menatap Seungcheol tidak suka. Bisa aje ni buaya aktingnya

“Sebenernya ada beberapa metode, Cheol. Cuma belum tentu berhasil, soalnya ada beberapa yang beberapa kali suntik tapi gak ada hasil dan malah buang-buang waktu dan uang. Tapi ada satu lagi metode yang diyakini ampuh.”

“Apa?” Jeonghan menatap Mingyu gugup, dengan memijat-mijat jari-jari tangannya sendiri.

“Berhubung badan.”

“Hah?” Seungcheol dan Jeonghan kompak terkejut.

“Cara lainnya lagi gak ada ya dok?” Tanya Jeonghan

“Belum ada, Jeonghan.”

Jeonghan menghela nafasnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi. Tubuhnya tiba-tiba lemas seketika.

“Itu artinya, gue bukan cuma harus rela minjemin rahim gue tapi harus rela kalo anak gue tiba-tiba diambil sama mereka.” Jeonghan memijat keningnya yang terasa pening. Ini seperti makan buah simalakama. Maju mundur kena.

Skip time

Setelah mendengar penjelasan Mingyu, Jeonghan tidak lagi berbicara sepatah katapun sampai di kamar ayahnya pun Jeonghan masih diam.

“Mas kenapa?”

Jeonghan tersadar ketika mendengar suara Chan.

“Mas baik-baik aja kok Chan. Chan mas mau ngomong sama Chan.”

“Ngomong apa mas?”

Jeonghan menghela nafasnya terlebih dahulu sebelum berbicara dengan Chan.

“Chan, sebenernya ibu pergi. Ibu ninggalin kita semua.”

“Pergi? Kemana mas?” Jeonghan bisa melihat wajah Chan yang terkejut.

“Mas juga gak tau Chan. Yang lebih parahnya lagi, ibu bawa semua tabungan kita untuk bapak.”

Chan benar-benar terkejut, ia bahkan menangis sekarang.

“Terus gimana mas? Bapak gimana?”

“Mas udah dapet kerjaan Chan, tapi diluar kota. Chan gapapa gak kalo mas tinggal? Nanti mas kirimin uang setiap bulan.”

“Kemana mas?”

“Mas—di Jogja.”

“Jauh ya mas.” Ucap Chan lirih

“Deket Chan, Jogja kan masih di Indonesia juga. Masih pulau Jawa juga lagi. Tapi mas cuma butuh waktu 1 tahun aja kok, abis itu mas balik ke sini lagi, nanti kita bisa tinggal bareng lagi. Oke?” Chan mengangguk.

“Tapi mas minta tolong sama Chan, jagain bapak ya? Sama, Chan harus kuliah. Chan harus bisa jadi kebanggaan keluarga.”

“Tapi kuliah itu kan mahal mas. Mas uang darimana? Kan biaya operasi bapak juga mahal.”

“Chan gak usah mikirin uang. Itu urusan mas. Chan cuma harus pikirin bapak sama kuliah aja, ya?” Chan mengangguk. Jeonghan langsung memeluk Chan.

“Maafin mas, Chan.”

“Mas kapan perginya?”

“Besok, abis bapak operasi.”

Chan mengeratkan pelukannya pada Jeonghan.

“Mas baik-baik di sana ya. Jangan sampe sakit.”

“Chan juga ya.”

Jeonghan sampai di lantai 5 yang Seungcheol maksud. Dan benar, di sana hanya ada 2 ruangan utama dengan satu toilet. Setelah melihat itu, ia jadi memikirkan yang tidak-tidak. Akibat kebanyakan nonton blue film.

Jeonghan menatap salah satu pintu yang bertuliskan CEO of. Ia mendekat dan mengetuk pintu itu, hanya selang 2 detik pintu itu terbuka.

“Jeonghan ya?”

Jeonghan tersenyum gugup dan mengangguk.

“Masuk, Seungcheol nya bentar lagi kelar.”

Jeonghan mengikuti orang itu untuk masuk ke dalam ruangan besar milik Seungcheol.

“Gue Juna, temennya Seungcheol sekaligus manager keuangan disini.”

“Saya Jeonghan pak.” Keduanya berjabat tangan.

“Panggil Jun, atau Juna juga oke kok.”

“Tapi ga sopan pak.”

“Oke, pake kak aja.”

Jeonghan mengangguk. “Oke pa—kak Juna maksud saya.”

“Santai aja, gak usah kaku gitu. Kita kayaknya cuma beda—hm ya ga nyampe 5 tahun kayaknya.”

“Saya 27 kak.”

“Oh tuhkan, gue 30. Seungcheol juga.”

Lagi-lagi Jeonghan mengangguk.

Jeonghan mengikuti arah gerak Jun yang menuju lemari pendingin di ruangan itu. Ia juga melihat Jun mengambil 2 kaleng cola dari sana.

“Gue ga tau lo minum apa, cuma kalo di kulkasnya Seungcheol cuma ada cola kalo gak beer. Air putihnya lagi kosong kayaknya.”

“Gapapa kak, cola aja.”

Jun dan Jeonghan dilanda keheningan.

“Kak Jun, disuruh pak Seungcheol nemenin saya ya? Saya jadi ga enak ganggu kerjaan kakak.”

“Iya, biar lo ga bingung. Tapi kerjaan gue aman kok, tuh gue bawa kesini.” Ucap Jun sambil menunjuk ke arah laptopnya yang masih menyala.

“Lo kerja apa Han? Maksud gue, sebelum mengiyakan tawaran Seungcheol.”

“Saya tadinya kerja di restoran pak,cuma karena kebanyakan izin jadinya saya disuruh keluar.”

“Izin kenapa?”

“Ayah saya lagi dirawat, kak. Yang jaga juga gantian sama adik saya. Jadi mau gak mau harus banyak izin.”

“Sakit apa?”

“Jantung.”

“Oh, dirawat dimana?”

“Rumah sakit Citra Medika.”

“Oh pasiennya Soonyoung ya?”

“Oh, kak Jun tau dokter Soonyoung juga?”

“Gue, Seungcheol, Soonyoung, Mingyu—dokter kandungan di sana juga. Itu temenan dari jaman kuliah.”

“Oh pantes, kemarin saya sama pak Seungcheol ke dokter kandungan dan mereka saling kenal.”

“Jeonghan?”

“Iya kak?”

“Hati-hati—”

“—sama hati.”

Jeonghan terdiam mendengar ucapan Jun. Tapi beberapa detik kemudian Seungcheol datang.

“Ngomongin gue ya?”

Jun membereskan laptopnya dan beberapa berkas yang tadi ia kerjakan.

“Kerjaan gue banyak, gak ada waktu ngomongin lu. Jeonghan, gue duluan ya.”

Jeonghan mengangguk. “Makasih ya kak.”

“Kak?” Seungcheol menatap Jun remeh.

“Dia tau mana yang awet muda mana yang gak awet.” Sebelum Seungcheol melemparkan sesuatu, Jun sudah berlari duluan.

“Jangan didengerin omongan dia.” Ucap Seungcheol dan Jeonghan mengangguk.

Seungcheol sampai ditempat kerja Soonyoung bekerja.

“Dr. Soonyoung ada?” Tanya Seungcheol pada salah satu perawat di sana.

“Ada di ruangannya pak.”

Setelah mengucapkan terima kasih, Seungcheol masuk ke dalam ruangan Soonyoung tanpa mengetuk pintu.

“Buset dah, berasa wilayah lu.”

Seungcheol tidak menjawab, ia malah membuka lemari pendingin di ruangan Soonyoung dan mengambil sekaleng cola dan langsung meneguknya. Setelahnya ia duduk di sofa yang ada di ruangan itu.

“Coy, kagak liat ada manusia disini?”

Seungcheol menatap Soonyoung. “Lah kirain ob lagi bersih-bersih ruangan.”

“Kurang ajar.”

“Udah kelar kerjaan lu?”

“Gue mau periksa satu pasien lagi, abis itu kelar.”

“Yaudah ayo.”

“Kemana?”

“Gua ikut lu periksa pasien.”

“Ngapain? Menuh-menuhin ruangan aja.”

Tapi Soonyoung tetap mengajak Seungcheol. Sesampainya di sana mereka disambut 2 orang laki-laki yang lebih muda dari mereka.

“Pagi dokter Soonyoung.”

“Pagi Jeonghan. Gak kerja? Biasanya Chan yang disini.”

Jeonghan tersenyum samar. “Chan lagi pulang dok, gantian.”

“Oke, saya periksa dulu ya ayahnya.” Jeonghan mengangguk. Lalu tidak sengaja menatap Seungcheol yang sedang menatapnya. Seungcheol langsung membuang muka ketika Jeonghan secara tidak sengaja memergokinya.

“Jeonghan?”

“Iya dok.”

“Ayah kamu bener-bener harus di operasi secepatnya. Ini udah parah banget.”

“Gimana ya dok, saya belum ada uangnya. Saya juga baru keluar dari kerjaan saya. Saya masih cari-cari kerjaan.”

“Loh kenapa kok keluar?”

“Iya katanya saya udah terlalu sering izin dok. Jadinya bos gak kasih lagi.”

“Ya ampun saya ikut sedih, tapi saya gak bisa bantu apapun kecuali doa.”

“Gakpapa dok, doa juga berharga banget buat saya.”

“Nyong?” Seungcheol yang daritadi mendengar pembicaraan Soonyoung dan Jeonghan.

“Kenapa?”

“Gimana kalo dia kerja sama gue?”

“Hah? Ada lowongan di kantor lu?”

Seungcheol menatap Soonyoung dan Jeonghan secara bergantian.

“Jadi surrogate.”

Hah?

Seungcheol dan Rachel baru saja selesai melakukan hubungan seks. Tapi tidak sama dengan pasangan lainnya yang kalau selesai melakukan seks akan berbagi kehangatan—mereka malah saling memunggungi satu sama lain.

“Chel/Cheol?”

Keduanya saling bertatapan.

“Kamu duluan.” Ucap Seungcheol

“Aku jadi ya liburan sama temen-temen aku, kamu tambahin dong uang jajan aku.”

Nahkan

“Uang yang aku kasih tuh udah banyak banget ga sih Chel? Kamu bahkan aku kasih kartu kredit unlimited. Masih mau nambah.”

“Ya kan kamu tau di sana harganya ga 100/200 ribu, mahal. Belum lagi kalo aku liat barang-barang lucu.”

Seungcheol menghela nafasnya. “Oke, tapi aku mau kasih usulan ke kamu tentang masalah anak.”

“Usulan apa?”

“Aku mau pake surrogate.”

“Surrogate itu apa?”

“Ibu pengganti. Jadi kita bayar orang untuk kita pinjem rahimnya untuk melahirkan anak kita.”

“Kamu gila? Gak ya, aku ga setuju.”

“Chel, ini satu-satunya cara yang tertinggal. Kalo kamu gak mau aku pake surrogate ya kamu harus mau aku hamilin.”

“Kita udah omongin ini kan Cheol?”

“Chel, aku mohon sama kamu.”

“Aku gak mau berbagi kamu Cheol.”

“Kamu gak berbagi aku, aku cuma tinggal nyumbangin sperma aku terus di suntik ke surrogate mother itu. Udah kelar. Aku gak bakal ada hubungan apapun sama dia selain dia yang mengandung anak aku.”

“Pokonya aku gak mau.”

“Terserah kamu, kalo kamu kuat disinisin mami.” Ucap Seungcheol sambil beranjak pergi menuju kamar lain.

Seungcheol mengendurkan dasi yang terasa sangat mencekiknya. Ia merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku.

“Belom balik bos?”

Seungcheol menoleh ke arah pintu, dan mendapati sahabatnya di sana.

“Dikit lagi, lo kenapa belom balik?”

“Lembur dikit gue, balik gak?”

“Balik lah.”

“Kayak ada yang nungguin aje.”

“Sialan, gue ga jomblo kayak lo.”

Orang itu tertawa. “Gak jomblo tapi ngewe tetep pake pengaman ye.”

“Anjing.”

Orang itu tertawa lagi. “Ayo balik ah. Makan sate biasa yok.”

Seungcheol tampak berpikir, dan kemudian mengangguk. Ia merapikan beberapa berkas yang berserakan di mejanya. Setelahnya ia pergi bersama sahabatnya.

“Suntuk amat tuh muka.” Seungcheol menghela nafasnya.

“Nyokap lagi?”

“Iyalah siapa lagi.”

“Lagian istri lo kenapa deh gak pengen banget punya anak?”

“Lo tau sendiri Jun, Rachel itu gak suka anak-anak. Dia juga gak mau badannya mekar karena ngelahirin.”

“Ribet banget, padahal badannya dia udah ada yang punya. Mau dipamerin ke siapa lagi sih?”

“Tau deh Jun, mumet gue.”

Beberapa menit kemudian keduanya sampai di tempat sate langganan mereka.

“Si Mingyu otw kesini. Nyong ga bisa, si Jihoon lagi rumit.”

Seungcheol hanya mengangguk. Seungcheol, Jun, Mingyu, dan Soonyoung adalah sahabat sejak kuliah. Mereka tetap berteman meski berbeda-beda profesi. Seungcheol dan Jun bekerja di perusahaan yang sama—Seungcheol sebagai pemiliknya. Sedangkan Mingyu, dia bekerja sebagai dokter kandungan dan Soonyoung bekerja sebagai dokter jantung.

Setelah memesan makanan Seungcheol dan Jun berbincang sedikit sambil menunggu Mingyu. Beberapa menit kemudian Mingyu sampai di sana.

“Sibuk banget hari ini gue.”

“Banyak yang hamil apa?”

“Tau ya, lagi begini pada berkembang biak aja.”

“Ya gapapa Gyu, kan ada lawannya.” Jawab Seungcheol

“Lo kapan nih bro ke tempat gue?”

“Ngapain ke tempat lo?”

“Cek kandungan istri lo lah.” Jun dan Mingyu tertawa mengejek Seungcheol.

“Seneng ya lo pada ngejek gue.”

“Makannya hamilin dong istri lo.”

“Tai, kalo dia mau juga dari kemaren dah gue hamilin.”

“Jebak aja jebak.”

“Najis sama istri sendiri pake jebak-jebakan.”

Beberapa menit kemudian makanan mereka datang.

“Kenapa lo gak adopsi aja Cheol?” Tanya Jun

“Nyokap gue maunya anak kandung gue.”

“Ribet juga.”

“Kenapa gak pake surrogate?” Kali ini Mingyu yang bertanya.

“Surrogate apaan?”

“Ibu pengganti. Jadi si orang itu minjemin rahimnya buat dibuahi terus jadi anak.”

“Gue baru tau ada yang begituan, Gyu.” Ucap Jun.

“Yaelah banyak kali, itu tuh biasanya yang pake jasanya tuh pasangan yang ga bisa punya anak, kayak pasangan suami-suami.”

“Bener-bener minjem?”

Mingyu mengangguk.

“Buahinnya gimana?”

“Tergantung, mau pake suntik atau ngewe langsung. Tergantung kesepakatan.”

“Kalo suntik harus ke dokter kandungan gitu?”

Mingyu mengangguk. “Kan lo gak tau nyuntik dimana, ntar elo suntik di tangan lagi. Mana nyampe Peju lo ke bawah. Nyangkut di ginjal nanti.” Mereka bertiga tertawa.

“Gimana Cheol, tertarik gak?”

“Gak tau gue, ngobrol dulu nanti sama Rachel.”

“Tapi biasanya cewek gak ngasih kalo lo nyarinya cewek Cheol.”

“Lah emang ada yang laki?”

“Ada Jun, laki yang punya rahim tuh sebenernya gak banyak-banyak banget tapi ada.”

“Anjrit baru tau gue.”

“Tapi ya gitu, ga terlalu terekspos. Karena sebagian laki-laki itu nganggapnya aneh, padahal mah ya biasa aja. Alusnya tuh elu pilihan Tuhan, gitu aja.”

“Tuh Cheol, laki ada. Gak mungkin kan lo naksir laki.”

“Ya ga mungkin lah, gue masih suka toket gede.”

“Tapi katanya nyong laki juga gak kalah enaknya sih. Buktinya si nyong langgeng-langgeng aje tuh sama si Jihoon.”

“Sama-sama enak menurut gue, enakkan sama laki malah.” Ucap Mingyu

“Oh ya ni anak pernah jajan laki.”

“Udahlah, gue ga bakal suka sama laki. Tapi ide lo bisa gue pikirin dulu Gyu.”

“Si paling percaya diri, Jun. Sampe lo doyan laki gua orang pertama yang bakal ketawa.” Ucap Mingyu

“Gue kedua, Gyu.” Mingyu dan Jun saling berjabat tangan. Seakan-akan mengejek Seungcheol.

“Tai lu berdua.”

Lalu mereka bertiga kembali berbincang-bincang.

. . . . . . . .

Jeonghan masih setia mengelus-elus rambut Chan yang tertidur di pahanya.

“Lo ga balik Soo?”

“Gue ngikut lo dulu deh Han, besok libur.”

Jeonghan mengangguk.

“Terus gimana, lo udah dapet tempat yang bakal lo lamar?”

“Belum Soo, gue bahkan bingung ngelamar kerja dimana buat lulusan SMA kek gue.”

“Nanti kalo ada, gue kasih tau lo deh Han.”

“Thanks ya Soo.”

“Makasih mulu, gak capek apa?”

“Lo bantu gue mulu, ga capek apa?”

“Najis.” Jeonghan dan Jisoo tertawa kecil.

“Lo gimana sama Seokmin?”

“Apa sih nyebut dia lagi, gue males banget.”

“Lah udahan?”

“Belom, tapi kayaknya mau udahan. Capek gue dipandang sebelah mata mulu sama keluarganya.”

“Yaudah berarti emang harus udahan Soo, cari yang lain. Yang lebih kaya.”

“Betul, banyak dokter muda gue liat-liat disini.”

“Yee, jangan ketinggian juga.”

“Gapapa Han, dokter bokap lo juga ganteng tuh.”

“Dokter Soonyoung? Dah punya laki dia, lebih gemes dari elu.”

“Serius? Yah kalah start gue.”

“Ape dah kalah start, berdiri digarisnya aja kagak.” Jisoo tertawa.

“Udah ah gue mau tidur. Capek.”

“Yaudah tidur deh.”

“Lo juga jangan malem-malem tidurnya.”

“Iye, mesra banget kita saling ngingetin.”

“Najis.” Kali ini Jeonghan yang tertawa. Jisoo langsung merebahkan tubuhnya di atas karpet yang Jeonghan gelar tadi. Sedangkan Jeonghan, dia masih memikirkan bagaimana ia hidup besok.

Jeonghan berjalan cepat menuju kamar inap ayahnya dengan menenteng makanan untuk Chan.

“Chan?”

Chan menoleh dan mendapati Jeonghan di sana.

“Mas.” Chan berhambur kepelukan Jeonghan. Ia menyembunyikan wajahnya di dada Jeonghan.

“Bapak gimana, Chan?”

“Mas, kata dokter bapak harus cepet di operasi. Kalau engga bapak ga bisa ketolong lagi. Tapi sekarang bapak udah baik-baik aja kok mas.”

Jeonghan memejamkan matanya dan juga menghela nafasnya. Uang darimana agar ayahnya bisa di operasi secepatnya?

Jeonghan melepaskan pelukannya. Ia mengelap keringat yang muncul di wajah Chan.

“Sekarang Chan makan dulu ya? Mas mau liat bapak dulu.”

Chan mengangguk, ia menerima makanan yang Jeonghan bawa. Tapi sebelum Jeonghan masuk ke ruangan inap ayahnya, Chan sempat menahannya.

“Mas, ibu mana?”

Jeonghan harus memaksakan senyumnya. “Chan makan dulu, nanti mas jelasin ya?”

Lagi-lagi Chan mengangguk. Lalu Jeonghan masuk ke dalam dan melihat ayahnya terbaring.

“Pak, Han harus apa ya? Han udah bener-bener buntu pak, Han gak tau harus gimana lagi. Han mau nyerah tapi nanti yang jaga Chan sama bapak siapa?” Jeonghan terisak-isak di depan ayahnya yang terbaring lemah.

“Han, minta tolong sama bapak. Tolong kuat sedikit lagi ya pak? Han janji bakal bikin bapak sembuh.” Jeonghan meremat erat tangan ayahnya. Berharap siapa tau ayahnya akan memberinya kekuatan lebih.

Jeonghan keluar dari ruangan itu, ia menatap Chan yang sedang bermain game di handphonenya.

“Chan, mas pulang dulu ya? Ambil baju kamu sama mas. Kamu di dalem aja, takutnya ada apa-apa.”

“Iya mas, hati-hati ya.”

Jeonghan mengecup kening adiknya dan berlalu pergi.

Jisoo melihat wajah murung Jeonghan, ia menghentikan kegiatannya dan mendekati sahabatnya itu.

“Kenapa Han?”

“Bokap gue kritis, Soo.”

“Hah? Terus gimana? Ada siapa di sana?”

“Chan doang.”

“Nyokap lo?”

“Nyokap gue pergi, dia bilang dia muak sama semuanya. Kalo dia aja muak apalagi gue ya Soo? Padahal semuanya terjadi gara-gara dia.” Jeonghan memijat keningnya yang terasa pusing.

“Han, gue ga tau harus bersikap apa. Gue juga gak tau rasanya jadi elo. Tapi gue bakal disini kalo lo butuh temen cerita. Lo gak boleh nyerah, kalo lo nyerah nanti Chan gimana?”

Hah, iya juga Chan gimana kalo dia tak ada?

Jeonghan mengangguk. “Thanks ya Soo. Tapi kayaknya gue harus izin lagi deh. Chan sendirian di sana, kasian dia pasti bingung banget.”

“Tapi gimana ya Han, elo udah terlalu sering izin. Gue takutnya bos ga ngizinin.”

Jeonghan baru ingat kalau dia sudah terlalu sering izin untuk pulang lebih awal.

“Gue coba ngobrol dulu deh sama bos.”

Jisoo mengangguk. “Kalo boleh lo langsung pergi aja, ntar gue yang kelarin.”

“Makasih ya Soo sekali lagi. Gue pergi dulu.”

Jeonghan mengambil tasnya dan menuju ruangan bosnya.

Tok tok tok tok

Jeonghan mendengar suara dari dalam ruangan itu—bosnya menyuruhnya masuk.

“Misi bos.”

Sang bos itu menatap Jeonghan dengan datar.

“Kenapa? Mau izin lagi?”

Jeonghan tersenyum pahit.

“Gak ada ya Han, elo udah terlalu sering izin. Gimana kata pegawai yang lain, nanti disangkanya gue mengistimewakan elo lagi.”

“Bos, sorry banget tapi gue butuh banget. Bokap gue kritis, nyokap lagi ga ada cuma ada Adek gue. Kasian dia pasti bingung harus gimana.”

“Gue udah cukup ngertiin elo Han, balik kerja. Kelarin jam kerja lo.”

“Bos please.”

“Balik kerja atau elo ga usah kerja lagi disini.”

“Bos yang bener aja.”

“Pilihannya cuma itu.”

Jeonghan tidak mungkin membiarkan adiknya sendirian. Tapi bagaimana cara ia bayar biaya rumah sakit kalau ia tidak kerja?

“Han?”

Jeonghan melepaskan nametag yang dia gantung di lehernya. Kemudian ia taruh di atas meja sang bos.

“Gue berenti.”

Tanpa pamit, Jeonghan keluar dari ruangan bosnya itu—menulikan pendengarannya ketika si bos memanggil-manggil namanya.

Makan malam itu terasa sangat mencengkam bagi Rachel dan Seungcheol. Bagaimana tidak, karena sedari tadi mami mereka memperhatikan gerak-gerik keduanya.

Setelah selesai, mereka semua kembali bercengkrama di ruang tengah.

“Jadi kapan kamu mau kasih mami cucu, Cheol?”

Nah ini dia waktunya

“Mi, aku sama Rachel kan udah sering bilang. Kita bukan gak mau, tapi ga bisa.”

“Tapi mami mau cucu, Cheol.”

“Mi, please ngertiin aku sama Seungcheol ya.”

“Kalo kamu minta dingertiin, terus siapa yang ngertiin mami?”

Seungcheol dan Rachel hanya diam. Bagi mereka jika mereka terus meladeni maminya tidak akan ada habisnya.

“Kalo kalian masih anggep mami sebagai orang tua kalian, turuti maunya mami.” Lalu sehabis itu mami Choi pergi meninggalkan mereka.

“Pi?” Seungcheol meminta agar papinya membantunya untuk berbicara dengan maminya.

“Tapi kali ini papi setuju sama mami, Cheol.”

Rachel menghela nafas panjang. Kalau seperti ini tidak ada lagi alasan untuknya menolak.