sedikit terungkap.

Acara private yang Soonyoung adakan untuk pesta kekasihnya—Jihoon sangat-sangat mewah. Soonyoung memesan salah satu ballroom hotel bintang lima hanya untuk orang-orang yang tidak lebih dari 15 orang.

“Mewah banget sih nyong.” Ucap Mingyu yang datang lebih awal dari semuanya.

“Demi ayank.”

“Najissssssss.”

“Jisoo nanti kalo ulang tahun minta dibuatin gini aja sama bagong, dia duitnya banyak tapi medit banget.”

Soonyoung sudah berkenalan dengan Jisoo karena memang mereka sudah beberapa kali bertemu beda dengan Seungcheol dan Juna yang bahkan belum bertemu Jisoo.

“Ini yang lain lama banget sih, laper gue.”

“Mas Mingyu kalo laper makan cake dulu aja.” Ucap Jihoon yang tiba-tiba datang.

“Gak enaklah, masa gue duluan yang punya hajat belom makan.”

“Apaan, si Soonyoung mah udah nyemilin lapis Surabaya satu kotak.”

“Yang bener aje lu nyong.”

“Cintaku kok kamu bukan aib aku sih.”

Jisoo hampir tertawa mendengar suara Soonyoung yang tiba-tiba menjadi lembut ketika berbicara dengan Jihoon.

“Kamu geli gak Soo dengernya?” Tanya Mingyu

“Lebih ga ke biasa aja sih, gu.”

Sudah sedekat itu hubungan Jisoo dan Mingyu, kalau kata anak muda jaman sekarang pendekatan UHUY!

“Apalagi aku yang udah ngikutin mereka bertahun-tahun.” Jisoo tertawa cekikikan ketika melihat Jihoon yang cemberut dan Soonyoung yang menatap tajam Mingyu.

“Sorry, telat.” Juna datang dengan kado di tangannya.

“For Jihoon.”

“Aaaa makasih mas Juna.”

“Si bagong bawa kado gak dia? Kalo gak bawa jangan boleh makan.”

“Bawa gue, berdua sama ayank.”

“Najis, Jisoo lu harus sadar dari sekarang.”

“Bagong ga baik buat kesehatan lu, Jisoo.” Soonyoung ikutan mengompori Jisoo.

“Mas Jisoo jangan di dengerin, mereka berdua iri sama mas Mingyu—”

“Nah, Jihoon lu emang yang terbaik dari yang paling baik.”

“—tapi mas Mingyu emang ga jelas sih.”

“Anjrit, cocok lu emang sama si nyong.” Mereka menertawakan Mingyu.

“Ned telpon Seungcheol dong, dah sampe mana dia.”

“Tadi gue dah chat, lagi nganterin Han ke toilet bentar.”

Tapi tiba-tiba....

“Sorry gue telat.”

“Lah laki lu mana?”

“Masih di toilet, katanya sakit perut. Gue di suruh duluan.”

“Lagi hamil Cheol.”

“Iya, kita acara dulu gapapa katanya ntar gue samperin lagi ke sana.”

“Berarti kita duluan aja gapapa mas?” Tanya Jihoon

“Gapapa, ji.” Seungcheol memberikan kado untuk Jihoon.

Skip time

Jeonghan merapihkan pakaiannya kembali, lalu ia keluar dari toilet itu. Tapi di luar ia tidak sengaja bertemu seseorang.

“Mba Rachel?”

Rachel yang namanya di panggil menoleh.

“Elo? Ngapain lo disini?”

Jeonghan tidak tau harus menjawab apa.

“Lo sama suami gue?”

Lagi-lagi Jeonghan tidak menjawab.

“Jawab, brengsek.”

“Chel?”

“Oh kamu udah kelar, won.”

Orang yang dipanggil “won” itu mengangguk.

“Ini siapa?” Orang itu menunjuk Jeonghan.

“Aku gak kenal, won. Yuk?”

Rachel menggandeng tangan laki-laki itu, tapi laki-laki itu tak bergeming.

“Wonwoo?”

“Ah ya, ayo. Kamarnya nomor berapa?”

Keduanya pergi meninggalkan Jeonghan yang masih mematung di sana.

Rachel berselingkuh?

“Han?”

Jeonghan tersadar dari lamunannya.

“Hai mas, lama ya aku?”

“Lumayan, masih sakit?”

Jeonghan menggeleng. “Udah mendingan. Udah kelar acaranya?”

“Udah tiup lilin sama potong kue sih. Ini pada mau makan, ayo.”

Seungcheol menggandeng tangan Jeonghan.

“Mas?”

“Ya sayang?”

“Kamu tau gak kalo mba Rachel disini?”

Langkah Seungcheol terhenti. “Rachel? Dia kan lagi di Semarang.”

“Aku liat dia disini tadi. Barusan.”

“Salah liat kali kamu.”

“Mana mungkin, aku ngobrol tadi.”

“Han—.”

“—aku liat dia sama laki-laki mas—.”

“—namanya Wonwoo.”

Jeonghan merasakan cengkraman tangan Seungcheol menguat di telapak tangannya.

“Wonwoo kamu bilang?”

“Mas, aku gak bermaksud ngadu sama kamu. Tapi aku gak mau nutupin apapun dari kamu.”

“Kemana mereka?”

Jeonghan menggeleng. “Aku gak sempet denger, tapi mereka udah booking kamar.”

Rahang Seungcheol mengeras. Jadi benar kalau Rachel bermain api di belakangnya? Tapi kenapa dengan Wonwoo?”

Seungcheol mengeluarkan ponselnya, ia menelpon Juna.

“Ned, lu ke toilet bisa gak? Sendiri aja tapi.”

Lalu setelahnya ia mematikan sambungan telepon itu

“Mas?”

“Nanti kamu masuk sama Juna ya, aku ada urusan bentar.” Jeonghan merasakan nada bicara Seungcheol yang berbeda.

Beberapa menit kemudian Juna datang.

“Cheol?”

“Gue titip Jeonghan dulu. Gue ada urusan.”

“Urusan apa?”

Seungcheol tidak menjawab, ia langsung buru-buru pergi—menghiraukan panggilan Jeonghan.

“Han?”

“Kak, feeling aku gak enak. Ayo kita kejar mas Seungcheol.”

“Han, tapi Seungcheol gak suka dibantah.”

“Please kak.” Jeonghan memohon kepada Juna dan Juna mengiyakan. Lalu keduanya mengejar Seungcheol yang turun ke resepsionis—mungkin untuk menanyakan apakah benar ada istrinya di sana.

“Tapi maaf pak, kami tidak bisa membocorkan data pengunjung.” Itu yang Jeonghan dan Juna dengar.

Brakkkkk

Seungcheol menggebrak papan nama “resepsionis” ketika ia tidak mendapatkan apa yang ia mau.

“Istri saya ada disini, dengan laki-laki. Saya bakal bayar berapa aja asal kalian kasih tau kamar nomor berapa yang mereka booking.”

“Pak tapi—.”

“NOMOR BERAPA BRENGSEK.”

para penjaga mulai berdatangan ke tempat dimana Seungcheol berada. Juna ikut maju.

“Mba, saya menjamin kalo ini benar-benar istri teman saya. Saya akan jadi jaminan kalo kalian kena marah atasan kalian.” Seungcheol sudah tidak perduli lagi. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Jeonghan yang melihat itu hanya diam, ia juga sakit hati. Sakit hati ternyata laki-laki yang mengisi hatinya itu masih sangat mencintai istrinya. Lagi-lagi ia kembali menelan pil pahit dari semua yang ia lakukan.

“Kamar 317.” Mendengar itu Seungcheol langsung buru-buru pergi. Ia bahkan melewati Jeonghan begitu saja.

“Han, ayo.”

“Kak Juna, bisa gak kakak aja yang kejar mas Seungcheol? Han tunggu sini aja ya? Kaki Han sakit tiba-tiba.”

“Yaudah, aku anter ke tempat Jihoon dulu ya?”

Jeonghan menggeleng. “Keburu mas Seungcheol ngamuk. Tolong ya kak.”

“Yaudah, Han tunggu sini kalo udah kelar kakak kesini lagi jemput Han.” Jeonghan mengangguk. Lalu ia duduk di sofa yang ada di lobby hotel.

Sementara itu, ternyata Juna mengabari Soonyoung.

“Jeonghan di lobby, gue ngejar Seungcheol dulu. Nanti gue jelasin, nyong. Tolong samperin Jeonghan dulu.

“Gong?”

“Si Han di lobby.”

“Lah katanya di toilet?”

“Gue ga tau ada apa, tapi kayaknya ini serius. Ayo samperin ke lobby.”

“Soo, kamu disini dulu ya? Aku nyamperin temen ku dulu.”

Jisoo menatap Mingyu bingung tapi ia mengangguk.

“Young, kenapa?”

“Yang kamu disini dulu ya, nanti aku kesini lagi.”

Tapi baru selangkah Soonyoung dan Mingyu berjalan. Ponsel Soonyoung berdering. Juned is calling

“Halo ned?”

“Nyong, lu bisa ke 317 gak? Seungcheol ngamuk. Si bagong aja yang kebawah.”

“Ned ada apaan sih?”

“Gue gak bisa jelasin sekarang. Please banget.”

Juna langsung memutuskan sambungan teleponnya.

“Kenapa nyong?”

“Gong, gue disuruh ke atas. Lo ke lobby ya.”

“Nyong, ada apa sih?”

“Gue ga tau gong, kerjasamanya dulu ya.”

Soonyoung berjalan lebih dulu.

“Soo, disini aja. Nanti aku balik.”

“Gu, aku ikut aja ya?”

“Kamu disini aja temenin Jihoon.”

“Aku juga mau ikut mas.”

Mau tidak mau Mingyu mengajak keduanya.

Soonyoung berlari dengan cepat, dan sesampainya di sana ia melihat Seungcheol memukuli seseorang. Wonwoo.

“Seungcheol.” Tapi Seungcheol tidak berhenti.

Soonyoung juga melihat Juna yang kewalahan menghadapi Seungcheol—karena badan Seungcheol lebih besar darinya.

Seungcheol membabibuta—mengeluarkan semua emosinya.

Dengan seluruh kekuatannya, Soonyoung menendang Seungcheol dari samping sampai Seungcheol terjatuh.

“Lo mau bunuh anak orang? Hah?”

“Gue emang harus bunuh dia nyong.”

“Jangan gila.”

“DIA YANG GILA, DIA MAIN GILA SAMA ISTRI GUE DIBELAKANG GUE.”

Soonyoung terdiam, ia menatap Wonwoo yang sudah terkapar. Sedangkan ia melihat ada Rachel di dalam kamar.

“Gue udah percaya sama dia. Gue jadiin dia lawyer kepercayaan gue. Tapi ini balesannya yang dia kasih ke gue? Dia nusuk gue.”

Seungcheol tidak menangis. Tapi ia marah. Sangat-sangat marah.

Seungcheol sudah maju lagi, ia kembali mencengkeram kerah baju Wonwoo.

“SEUNGCHEOL STOP.”

Juna berteriak dengan sekuat tenaganya.

“Kenapa? Elo masih belain bajingan ini? Masih cinta lo sama dia?”

Dada Juna naik turun akibat emosinya.

“Seenggaknya elo dengerin dia dulu.”

“Apa yang harus gue dengerin ned? Jelas-jelas gue liat mereka dalam satu kamar yang sama.”

Juna mengepalkan tangannya. Ia bahkan tidak kuat menatap Wonwoo yang menatapnya dengan lemah.

Baru akan menjelaskan, tapi tiba-tiba saja Soonyoung mengumpat.

“Shit—”

“—Jeonghan pendarahan.”

.....................................................

Yang terjadi

Setelah Soonyoung pergi, Mingyu, Jisoo dan Jihoon menuju lobby dimana Jeonghan berada.

“Han?”

Jeonghan menoleh dan mendapati Mingyu di sana. Ia tersenyum tapi beberapa detik kemudian senyumnya luntur begitu saja ketika melihat siapa yang berada di belakang Mingyu.

“Jisoo?”

Jeonghan melihat Jisoo yang menatapnya marah.

“Soo, gue—.”

“Jogja ya, Han.”

Nafas Jeonghan tercekat.

“Lo bohongin gue.” Jisoo tertawa miris. Jeonghan mencoba menggapai tangan Jisoo—tapi ditepis.

“Gue mati-matian jagain Adek sama bokap lo, tapi elo malah enak-enakan sama laki orang.”

“Jisoo, dengerin gue dulu.” Jeonghan menangis sekarang. Ia kembali mencoba memegang tangan Jisoo tapi tidak diizinkan oleh Jisoo.

“Gue jijik sama lo, Han.”

Jeonghan terkejut mendengar ucapan Jisoo. Jisoo satu-satunya orang yang ada di saat dia terpuruk, sekarang jijik dengannya.

Jeonghan menggeleng. Ia meminta Jisoo tidak berbicara seperti itu.

“Lo jual diri lo demi uang. Lo biayain keluarga lo pake duit haram. Sadar gak lo?”

“Soo—.” Kali ini Mingyu.

“Lo juga tau kan masalah ini? Lo nyembunyiin masalah ini dari gue?”

“Aku gak tau Jeonghan sahabat kamu, Soo.”

“Bullshit.”

Jihoon yang tidak paham situasi ini hanya diam, ia memperhatikan orang-orang yang memperhatikan mereka.

“Lucu banget, gue dibohongin sama 2 orang yang bahkan gue sangka gak bakal bohong sama gue.”

“Soo—.”

“Nyesel gue percaya sama lo berdua. Brengsek.”

“Jisoo, gue mohon dengerin gue dulu.”

“BERAPA KALI GUE BILANG JEONGHAN, GUE BISA BANTU LO. GUE BAKAL BANTING TULANG BIAR BISA BANTU LO—”

“—tapi elo malah milih jual diri sama suami orang.”

Jeonghan menutup telinganya. Ia tidak kuat dengan apa yang Jisoo bicarakan. Sangat sakit rasanya ketika semua kata-kata itu keluar dari mulut sahabatnya.

“Lo gak lebih dari sekedar jalang—”

“Jisoo.” Mingyu benar-benar harus menghentikan ini.

Jisoo menghapus air matanya, ia menatap remeh ke arah Mingyu dan Jeonghan secara bergantian.

“Mulai detik ini, jangan anggap kita saling kenal. Gue gak mau lagi ketemu sama lo.” Ucap Jisoo sambil menunjuk Mingyu.

“Dan buat lo, lo bukan lagi sahabat gue Jeonghan. Gue gak mau berurusan lagi sama lo. Gue jijik sama lo.”

Jisoo berjalan meninggalkan Jeonghan yang bersimpuh sambil menangis, sedangkan Jihoon mencoba menenangkan Jeonghan.

“Jisoo—AKHHHHH.” Jeonghan merasakan perutnya kram.

“Mas Mingyu, kakinya kak Jeonghan—ada darahnya.”

Jeonghan tidak perduli, ia memanggil-manggil nama Jisoo. Tapi, Jisoo tidak memperdulikannya.

Sampai akhirnya, semua menggelap bagi Jeonghan.