Seungcheol terbangun dengan kram di sekujur tubuhnya. Setelah ia bertemu dengan Juna, Seungcheol kembali ke apartemennya tapi ia tidak ke unitnya, ia memilih tidur basemen—di dalam mobilnya. Ia sengaja tidak menemui Jeonghan semalam, karena Jeonghan pasti masih emosi.
Setelah tubuhnya sudah enakkan, ia berjalan menuju unit apartemennya. Setelah memasukkan pin apartemen, ia masuk. Ia mendapati Jeonghan yang sedang mondar-mandir seperti orang bingung.
“Han?”
“Mas?”
“Kamu kenapa?”
“Chan ngabarin aku kemarin katanya ibu dateng ke rumah dan minta uang ibu bahkan marah-marah sama Chan dan bapak. Aku takut banget mas.”
Seungcheol membawa Jeonghan ke dalam pelukannya.
“Nanti aku suruh anak buah aku ke rumah kamu ya, udah kamu tenang dulu. Jangan stress yang, nanti baby nya ikutan stress.”
“Mas tumben pagi-pagi udah kesini?” Tanya Jeonghan, ia mendongakkan kepalanya menatap Seungcheol.
“Mas disini dari semalem, tidur di mobil.”
“Kenapa mas? Kenapa ga kesini aja?”
“Mas takut kamu masih emosi, daripada mas liat kamu tidur di sofa mendingan mas gak kesini dulu.”
Jeonghan kembali memeluk Seungcheol. “Maafin Han ya mas, semalem Han rasanya kesel banget jadinya kayak gitu. Harusnya Han gak gitu.”
“Gapapa sayang, mas yang harusnya minta maaf. Mas juga kasar kan semalem, sakit ya tangannya?” Seungcheol mengambil tangan Jeonghan yang semalam ia cengkram terlalu kuat dan mengecupnya.
“Udah gak sakit kok mas. Mas mau mandi dulu? Han siapin air hangatnya dulu ya? Mas mau makan apa?”
“Iya mas mau mandi dulu, tapi mas siapin sendiri aja. Terus mas lagi mau makan all you can eat, jadi kita makan ke luar yuk?”
Mata Jeonghan berbinar-binar ketika mendengar ajakan Seungcheol. Sejujurnya ia sangat ingin makan daging dari kemarin, tapi karena ia tidak mau mengganggu Seungcheol jadi ia urungkan niatnya.
Jeonghan mengangguk. “Yuk mas.”
Seungcheol tertawa, lalu ia mengecup kening Jeonghan.
“Mas mandi dulu ya sayang.”
“Aku siapin bajunya ya mas.” Seungcheol mengangguk sebagai jawabannya.
. . . . . . . . . .
“Soo, lo bisa gak ya ke rumah gue dulu? Chan cerita katanya ibu ke sana kemarin dan sempet marah-marah juga. Gue khawatir banget. Tapi kalo lo gak bisa yaudah gapapa. Sorry ya ngerepotin elo terus.”
Jisoo memasukkan kembali ponselnya ke dalam tasnya dan ia dengan cepat menuju rumah sahabatnya itu.
Sesampainya Jisoo di sana, ia melihat Chan tampak menghadang seorang wanita—ibu sahabatnya. Ibu sahabatnya itu tampak sedang memaksa masuk ke rumah dan berteriak-teriak.
“Mana si Jeonghan itu.”
“Ibu, mas Han gak ada bu.”
“Jangan bohong kamu, mau jadi apa kamu masih kecil udah jadi tukang bohong.”
Bukannya Chan tidak bisa menghadang ibunya, tapi karena Chan tidak mau menyakiti wanita yang telah melahirkannya itu.
“Tante.”
Chan dan ibunya menatap Jisoo yang tiba-tiba datang.
“Si pahlawan kesiangan dateng. Kamu pasti di suruh Jeonghan kan untuk kesini. Kasih tau saya dimana anak gak tau diri itu.”
“Saya gak tau Jeonghan dimana Tante, tapi kenapa Tante nyariin Jeonghan? Uang Tante udah abis ya?”
Jisoo melihat perubahan wajah dari wanita di hadapannya. Marah
“Jaga ucapan kamu ya. Kamu gak tau apa-apa tentang saya.”
“Saya emang gak tau apa-apa Tante, tapi apa di cari orang yang udah ninggalin keluarganya dan bawa semua uang anaknya lalu tiba-tiba datang kembali kalo bukan uangnya abis?”
Plakkkkk
“Mas Jisoo.” Chan berteriak ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri ibunya menampar pipi Jisoo.
Jisoo memegangi pipinya yang terasa panas.
“Jangan ikut campur urusan saya.”
Sehabis itu, wanita itu pergi meninggalkan Chan dan Jisoo.
“Mas, atas nama ibu Chan minta maaf ya.”
“Kamu gak harusnya minta maaf Chan, mas juga keterlaluan tadi.”
“Mas itu berdarah, Chan obatin dulu ya?”
Jisoo menggeleng. “Mas langsung pergi aja Chan. Kalo ibu kesini lagi, kasih tau mas ya?”
“Iya mas, aku pasti kasih tau mas. Makasih ya mas.”
“Iya, kamu baik-baik ya. Jagain bapak selama mas Han lagi ga di rumah. Mas pergi dulu.”
“Iya mas, hati-hati ya mas.”
Jisoo berjalan sambil memegangi sudut bibirnya yang berdarah.
“Eh si mas.”
Jisoo menatap laki-laki di depannya. Dia lagi dia lagi
“Eh mas itu bibirnya kenapa?”
Laki-laki itu hampir saja menyentuh bibir Jisoo kalo Jisoo tidak menepisnya.
“Jangan lancang ya lo.”
“Sorry sorry, gue ga sengaja. Gue reflek aja liat luka. Tapi itu harus cepet di obatin, kalo gak nanti infeksi.”
“Iya gue tau, nanti gue obatin sendiri.”
“Gue punya p3k di mobil.”
“Gue gak nanya.”
“Gue ngasih tau.”
“Nyebelin banget sih lo.”
“Ayo gue obatin dulu.”
“Gak usah.”
“Batu banget sih.”
“Biarin aja.”
Tangan Jisoo langsung di tarik oleh laki-laki itu, ia dibawa ke dalam mobil laki-laki itu.
“Tahan dikit ya.”
Jisoo merasakan perih di bibirnya dan ia juga memejamkan matanya bahkan tidak sengaja ia mencengkram erat tangan laki-laki di depannya.
“Mingyu, sakit.”
Mingyu tersenyum ketika namanya di sebut oleh si pujaan hati.
“Udah kelar.”
Jisoo membuka matanya, wajah Mingyu sangat-sangat dekat dengan wajahnya. Jisoo memperhatikan seluruh wajah Mingyu yang menurutnya lumayan tampan. Tidak, tidak lumayan tapi sangat tampan.
“Saya ganteng ya, sampe mas nya ngeliatin saya segitunya.”
Jisoo mendorong wajah Mingyu dengan cepat, ia juga buru-buru membuang pandangannya.
“Bisa ga sih ga usah panggil gue mas, kayaknya juga tuaan elo.”
“Terus panggilnya apa?”
“Ya nama aja kan elo udah tau nama gue.”
“Gak ada embel-embel nya gitu?”
“Embel-embel apanya?”
“Kayak pake sayang gitu.”
Jisoo memukul kepala Mingyu dengan tangannya.
“Pake nasi aja biar kenyang.”
Mingyu tertawa sambil mengelus-elus kepalanya yang terasa sakit karena dipukul Jisoo.
“Btw, makasih ya udah obatin gue.”
“Sama-sama, tapi saya butuh balas budi nih.”
“Dih, elo cuma ngobatin luka kecil bukan operasi. Lagian duit gue gak bakal cukuplah.”
“Saya gak minta duit kok.”
“Terus?”
“Temenin saya makan siang yuk?”
. . . . . . . . .
Hari ini Juna sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Karena momma nya tidak bisa menjemput, jadi ia jemput oleh Wonwoo.
“Udah na?”
Juna mengangguk.
Wonwoo mendorong kursi roda Juna.
“Mau makan dulu gak?”
“Makan di rumah aja nanti.”
“Udah lama loh na kita gak makan bareng, mau ya?”
Juna memutar bola matanya jengah tapi ia tetap mengangguk.
Wonwoo tersenyum ketika melihat Juna mengangguk. “Mau makan apa na?”
“Ayce.”
“Oke, berangkat.”
Skip time
Keduanya sudah duduk dan sudah mengambil apa yang ingin mereka makan. Sambil menunggu matang, Juna memberitahu teman-temannya. Setelahnya, Juna sibuk memasukkan daging dan macam-macam yang mereka ambil.
Sama seperti dulu, Juna selalu menyiapkan apa yang Wonwoo akan makan. Dan semuanya terjadi lagi hari ini.
“Mangkuk kamu mana, nu?”
Nu
Kata-kata yang Wonwoo rindukan dari mulut Juna.
Lalu Juna memasukkan daging yang sudah matang ke mangkuk Wonwoo.
Keduanya fokus pada makanan mereka. Wonwoo mengedarkan pandangannya, ia memicingkan matanya—melihat ada seseorang yang ia kenal di sana.
“Na, itu bukannya pak Seungcheol ya? Kok sama cowok ? Itu siapa ya na? Pak Seungcheol selingkuh?”
Juna menatap Wonwoo datar.
“Seungcheol gak sebejad itu, nu. Lagian kamu seenaknya aja nuduh orang kayak gitu. Dia gak kayak kamu.”
Wonwoo sedikit keras menaruh sumpitnya.
“Aku gak selingkuh, na.”
“Aku gak mau bahas ini, nu.”
“Tapi sampe kapan kita kayak gini? Kamu tau aku sayang banget sama kamu.”
“Aku tau, tapi aku gak percaya sama kamu.”
“Makannya kasih aku kesempatan untuk jelasin semuanya.”
“Kapan-kapan aja, jangan ngerubah mood makan aku.”
Lagi-lagi Wonwoo mengalah. Tapi ia berjanji pada dirinya sendiri kalau ia tidak akan pernah melepaskan Juna begitu saja.