sedikit kebenaran (lagi)

Sore itu dengan segenap keberaniannya Jeonghan memutuskan untuk memantapkan hati menemui keluarganya. Jeonghan juga udah siap ketika ayah dan adiknya membenci dirinya.

Jeonghan menolak ketika Seungcheol menawarkan diri mengantarnya. Jeonghan tidak mau semuanya tambah berantakan.

Jeonghan menarik nafasnya, dan membuangnya secara perlahan. Menenangkan hatinya.

“Lo bisa, Han.”

Tok tok tok tok

Jeonghan mengetuk pintu rumahnya. Beberapa detik kemudian pintunya terbuka. Menampilkan Chan di sana.

Semula, Chan menatap Jeonghan bahagia. Tapi ketika pandangannya turun ke bagian perut Jeonghan, senyumnya luntur begitu saja.

“Mas?”

Jeonghan menangis ketika ia melihat sorot mata Chan yang terkejut.

“Siapa Chan?”

Itu suara ayahnya. Jeonghan mengepalkan tangannya mencoba menahan suara tangisnya.

Jeonghan melihat, laki-laki yang sudah berumur menggerakkan kursi rodanya.

“Mas?”

Tangis Jeonghan pecah saat itu juga. Jeonghan berlutut di depan kaki ayahnya, menangis di atas paha ayahnya. Jeonghan bisa merasakan ketika bagian belakang kepalanya di elus oleh ayahnya.

“Maafin mas, pak.”

Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulutnya.

“Bapak mas yang minta maaf sama mas. Bapak buat mas susah terus.”

Chan hanya bisa menyaksikan kedua orang yang penting dalam hidupnya saling meminta maaf.

“Maafin mas, pak. Mas bikin bapak malu. Mas bikin bapak kecewa.”

“Mas, mas gak pernah bikin bapak kecewa. Mas sama Chan tetap kebanggaan bapak.” Chan melihat sang ayah menghapus air matanya.

“Bapak yang harusnya minta maaf sama mas dan Chan, karena bapak belum bisa jadi bapak yang sempurna untuk mas sama Chan. Bapak gagal jadi bapak yang baik buat mas dan Chan.” Jeonghan merasakan sakit di dadanya ketika mendengar ucapan sang ayah yang menyayat hatinya. Chan juga tidak kuasa menahan air matanya, ia ikut berlutut di kaki ayahnya.

“Bapak gagal jagain mas sama Chan. Harusnya bapak yang kerja, bapak yang cari uang untuk keluarga kita. Karena bapak kepala keluarganya. Tapi bapak malah bikin mas yang harus nerima semuanya, bapak malah bikin Chan jagain bapak selama bapak sakit padahal harusnya Chan main sama temen-temen Chan—.”

“—bapak minta maaf, mas Chan.”

Ketiganya sama-sama masih menangis. Jeonghan bahkan sekarang seperti tidak punya muka di depan ayah dan adiknya.

“Pak, bapak mau kan terima Han lagi? Han udah ga punya siapa-siapa lagi pak, selain bapak sama Chan.”

“Mas Jeonghan, selamanya mas masih anak bapak. Anak bapak yang bapak sayang. Dan, sampai kapanpun mas akan tetap jadi mas nya Chan. Iya kan Chan?”

Chan mengangguk. “Selamanya, mas.”

. . . . . . . . .

Chan menempelkan telinganya pada perut buncit Jeonghan. Ia baru saja merasakan sebuah tendangan dari dalam.

“Anak mas cowok?”

Jeonghan mengangguk, sambil ia mengelus-elus rambut Chan.

“Pasti ganteng kayak mas.” Jeonghan terkekeh.

“Mas, nginep disini aja ya? Udah malem juga, bahaya kalo kamu pulang.”

“Iya pak.”

“Mas, selama ini mas tinggal dimana? Jadi mas ga bener-bener di Jogja?” Tanya Chan.

Jeonghan menghela nafasnya. “Mas tinggal di apartemen mas Seungcheol, Chan.”

“Mas Seungcheol itu—.” Ucapan Chan menggantung, tapi Jeonghan tau apa yang Chan tanyakan dan ia mengangguk. Sehabis itu, Chan tidak bertanya lagi.

“Ikhlas ya, mas. Gimanapun juga nak Seungcheol banyak bantu kita.” Jeonghan memang sudah menceritakan sepenuhnya pada ayah dan adiknya itu.

Jeonghan mengangguk. “Mas ikhlas pak.”

Lain di mulut, lain di hati. Ia bahkan tidak tau hatinya sama dengan mulutnya atau tidak.

Saat sedang berbincang-bincang tiba-tiba saja....

“Pak, Chan, mas Soo bawa ayam bakar favorit ba—pak.”

Satu lagi kebenaran yang terungkap sekarang, Jisoo-nya masih seperti yang dulu.