thatausaha

Seungcheol dan Jeonghan bertemu di salah satu restoran all you can eat di salah satu mall. Jeonghan memasak daging-daging yang mereka pesan, dan Seungcheol hanya diam—sesekali dia melihat ke arah Jeonghan.

“Nah mateng, nih makan mas.”

Seungcheol menerima mangkuk isi daging-daging yang sudah matang.

“Terima kasih, Jeonghan.”

“Ga masalah, ntar gue juga bakal kayak gini terus kan?” Ucapan Jeonghan membuat gerakan tangan Seungcheol terhenti. Tiba-tiba saja ia terpikirkan jika nanti keduanya sudah menikah, ia akan selalu melakukan ini dengan Jeonghan.

“Makanan favorit lo apa mas? Atau ada pantangan makanan?”

Seungcheol menggeleng. “Saya makan apa aja kok. Kamu bisa masak?”

“Bisa dikit sih, cuma nanti gue belajar lagi.”

“Kalo kamu makanan favoritnya apa?”

“Sama aja sih gue makan apa aja. Eh kecuali satu, cumi. Gue alergi.” Seungcheol hanya mengangguk menanggapinya.

“Kuliah kamu sudah sampai mana?”

“Bulan depan gue sidang, mas. Doain lulus ya.” Seungcheol mengangguk.

“Terus kalo nanti kita nikah, kamu mau tinggal dimana?”

“Gue sih dari dulu pengen banget kalo nanti gue nikah, gue tinggal sendiri sama suami gue. Biar mandiri aja. Tapi gue ikut maunya lo aja mas.”

“Saya ada apartemen sih, cuma kalo kamu mau beli rumah gapapa.”

“Gapapa di apartemen lo aja. Rumah mah buat keluarga besar, lagian kita baru berdua.” Lagi-lagi Seungcheol hanya mengangguk menanggapinya.

“Oh ya Jeonghan, saya baru denger cerita kamu dari papa saya. Saya turut sedih kamu ketemu orang yang salah.”

“Oh iya, gue juga kaget ternyata om Siwon tuh papa lo, mas. Kemaren di pukul sekali aja, efeknya gue sampe demam. Apalagi berkali-kali ilang kali nyawa gue.”

“Hati-hati lain kali, gak semua yang luarnya kamu lihat baik dalem nya juga baik.”

Jeonghan tertawa. “Ya engga bakal ada lain kali lagi kali mas, kan gue bakal nikah sama lo. Sama kayak lo, gue juga maunya nikah sekali seumur hidup. Kecuali kalo lo juga kayak gitu, berarti omongan lo bener yang luarnya baik belum tentu dalem nya baik juga.”

. . . . . . . . . . .

Jeonghan dan Seungcheol berjalan beriringan memasuki bioskop—agenda selanjutnya adalah menonton film bersama.

“Rame banget ya, hari apa sih ini?”

Seungcheol mengecek ponselnya. “Rabu.”

“Emangnya anak muda tuh kalo pacaran ga kenal hari ya.”

“Emangnya kalo udah tua gak gitu ya?”

“Ya engga, kan sibuk kerja.” Seungcheol mengangguk. Lalu keduanya berdiri di depan kasir tiket, memilih film dan kursi. Setelahnya mereka pergi ke cafe untuk membeli popcorn dan minuman.

Beberapa menit kemudian terdengar suara pengumuman untuk memasuki studio bioskop.

“Tuh mas lo liat deh isinya anak remaja semua.” Ucap Jeonghan sambil melihat sekelilingnya.

“Iya Jeonghan, ini ada yang masih pake seragam sekolah lagi.”

“Pokonya nanti kalo gue punya anak, gue ga bakal nih izinin anak gue ke bioskop atau mall masih pake baju sekolah. Kayak ga dicariin orang tuanya.”

“Kali aja mereka udah izin.”

“Iya sih, cuma kan kayak ga keren aja gitu mas.”

“Mungkin menurut mereka itu keren.”

“Aneh ya anak jaman sekarang.”

“Iya, kita anak jaman dulu mending diem aja.” Lalu keduanya sama-sama tertawa. Beberapa menit kemudian film mulai diputar.

. . . . . . . . . . .

Seungcheol mematikan mesin mobilnya ketika mereka sampai di depan ruma Jeonghan.

“Saya perlu turun dulu gak ya, Jeonghan?”

“Gak usah mas, papa mama paling udah tidur. Besok aja gue salamin.”

“Oke, yaudah kalo gitu saya pulang dulu ya.”

Jeonghan mengangguk. “Hati-hati mas.” Jeonghan turun dari mobil Seungcheol.

Waktu Seungcheol sudah menyalakan mesin mobil dan akan pergi, Jeonghan menahannya.

“Kenapa, Jeonghan?”

“Em, itu—.”

“Itu apa?”

“Lo bisa ga mas kabarin gue kalo udah sampe rumah?”

Pipi Jeonghan memanas ketika ia berhasil mengatakan itu. Sedangkan Seungcheol merasakan degup jantungnya berdegup kencang.

“Bisa, Jeonghan. Nanti saya kabarin ya.”

Seungkwan dengan susah payah membawa tubuh besar Mingyu masuk ke dalam apartemen milik Mingyu.

“Boo, jangan pergi.” Hanya itu yang Mingyu racaukan daritadi.

“Saya ga pergi kok pak, ini masih disini. Pak Mingyu butuh apa?”

“Butuh kamu.”

Seungkwan tau kalau bos nya itu punya perasaan padanya—dia pun juga begitu. Cuma ada satu kendala, yaitu orang tua Mingyu tidak menyukai kalau Mingyu berpasangan dengan orang dari kalangan menengah sepertinya. Bahkan maminya Mingyu sempat mengancam dirinya, kalau sampai ia berani mempunyai hubungan dengan Mingyu, maminya Mingyu tidak akan tinggal diam. Beliau akan menghancurkan keluarga Seungkwan. Jadi maminya Mingyu mewanti-wanti Seungkwan agar tidak mempunyai perasaan yang sama pada Mingyu, kalau itu benar terjadi, Seungkwan lah yang harus menghilang dari pandangan Mingyu. Dan tentu saja Mingyu tidak mengetahui tentang hal itu. Maminya meminta Seungkwan untuk tutup mulut.

Tapi, sepertinya kali ini ia tidak bisa menahan lagi. Biarlah ia menjadi manusia egois. Ia hanya ingin bersama pujaan hatinya—walau hanya sebentar.

“Kok kamu diem?” Pertanyaan Mingyu membuyarkan lamunan Seungkwan.

“Pak Mingyu, ganti baju dulu yuk?”

“Gak usah pake baju, gimana?”

“Nanti masuk angin, gimana?”

Mingyu tidak menjawab, ia malah menarik tangan Seungkwan ke dalam pelukannya. Menghirup aroma sampo yang Seungkwan gunakan.

“Seungkwan, i love you.”

Seungkwan ingin menangis saat itu juga. Tapi harus bisa ia tahan.

“Pak Mingyu, i love you too.”

Seungkwan merasakan tubuh Mingyu menegang. Kemudian Mingyu menatap wajah Seungkwan.

“Kamu serius?” Seungkwan mengangguk.

Mingyu senang bukan main, ia kembali memeluk Seungkwan dengan erat.

“Aku sayang banget sama kamu, boo.”

“Aku juga, sayang banget sama kamu.”

“Boo, kita nikah aja ya? Aku gak bisa nahan lagi. Aku pengen banget jadiin kamu satu-satunya buat aku.”

Seungkwan tertawa kecil, padahal dalam hatinya dia ingin menangis.

“Pak, saya minta sesuatu boleh gak?”

“Apa? Kamu mau apa sayang,hm?”

Seungkwan merasakan ada kupu-kupu berterbangan di perutnya. Jadi, begini rasanya di sayang Kim Mingyu?

“Tapi harus diturutin ya?”

“Iya, aku bakal turutin semuanya buat kamu.”

“Pak, saya pengen banget ngerasain bapak.”

Seungkwan melihat perubahan wajah Mingyu.

“Maksud kamu?”

“Sayang, bercinta sama aku yuk? Aku pengen kamu jadi yang pertama.”

Ucapan Seungkwan benar-benar membuat Mingyu terkejut. Pasalnya, Seungkwan bukan tipe orang yang suka melakukan itu bahkan membicarakan itupun dia tidak suka.

“Hey sayang, ini kamu mabuk ya? Kok ngelantur gini?”

Seungkwan tersenyum. “Aku sadar tau. Ayo Mingyu, aku pengen.”

“Boo, kamus serius?”

“Sangat-sangat serius.”

“Tapi kamu jangan nyesel ya?”

Seungkwan kembali tersenyum. “Aku udah pikirin ini mateng-mateng. Dan aku gak bakal nyesel, Mingyu.”

“Tapi mungkin aku bakal nyesel karena udah kehilangan kamu, Mingyu.”

. . . . . . . . . . . .

“Nghhhhh—.”

Seungkwan mendesah ketika Mingyu menghentakkan miliknya dengan kencang.

“Ming—gyuh—ahhhh—.”

Mingyu tersenyum ketika melihat Seungkwan dengan susah payah untuk berbicara karena ulahnya.

“Kenapa sayang?”

“Gyu—nghhhhh—.”

“Enak ya diginiin,hm? Suka kamu aku giniin?”

Dengan berantakan Seungkwan mengangguk.

Mingyu makin menggila ketika ia merasakan kejantanannya dijepit oleh lubang Seungkwan. Ia mendongakkan kepalanya ketika dengan sengaja Seungkwan malah memilin-milin putingnya yang menegang.

“Gyu?”

“Hmmm?”

“Sini.” Seungkwan menarik kepala Mingyu agar mendekat ke dadanya. Kemudian ia membusungkan dadanya agar Mingyu memasukkan salah satunya ke mulutnya. Mingyu tersenyum ketika Seungkwan melakukan itu.

“Kenapa kayak gitu?” Tanya Mingyu—sesekali ia melepaskan kulumannya di dada Seungkwan.

“aku pengen kamu masukin aku sambil nenen, Gyu.nghhhhh—.” Mingyu melihat wajah Seungkwan yang memerah, ntah karena menikmati permainan mereka atau karena malu.

“Sayang, kamu tau gak sih kamu cantik banget kalo lagi kayak gini.” Mingyu mengecupi seluruh wajah Seungkwan. Kecupannya turun ke leher Seungkwan tapi ia tidak memperlambat gerakan pinggulnya.

“Ah ah ah ah ah ah Mingyu ah.”

Tubuh Seungkwan terlonjak-lonjak karena tumbukan Mingyu.

“Kamu mau keluar, yang?”

Seungkwan mengangguk ribut. Ia meremat lengan kokoh Mingyu ketika keduanya ada di pinggangnya.

“Ayo bareng.”

Mingyu mendongakkan kepalanya kembali ketika lagi-lagi Seungkwan menjepitnya, ia juga mengocok kejantanan milik Seungkwan. Dengan sisa-sisa tenaganya ia makin mengencangkan gerakannya. Seungkwan sendiri makin mengeluarkan suara-suara desahannya. Kepalanya pusing karena kenikmatan yang Mingyu berikan.

“Mingyu, aku ga ku—ahhhhhhhhhh.” Seungkwan yang lebih dulu keluar.

“Yang, aku kelu—ARGHHHHHHH.” Lalu Mingyu menyusulnya.

Nafas keduanya memburu akibat pelepasan mereka. Mingyu menjatuhkan kepalanya di potongan leher Seungkwan. Memberikan kecupan-kecupan kecil di sana.

“Makasih sayang, kapan-kapan lagi ya?”

“Minggir ah, aku mau tidur.”

Mingyu tertawa, lalu ia menggulingkan tubuhnya ke samping Seungkwan lalu merapatkan tubuh keduanya dengan pelukan.

Seungcheol dan Sooyoung sampai di depan rumah Yoona. Setelah mengirimi Yoona pesan, beberapa menit kemudian Yoona keluar dari rumahnya untuk membukakan pintu pagar.

“Soo, makasih banget ya udah jenguk anak gue.”

“Ya ampun, kayak sama siapa aja lo.”

“Eh ini anak lo itu ya? Terakhir ketemu kayaknya dia SMA ga sih? Sekarang tambah ganteng aja.”

“Iya nih, mas Seungcheol kenalin ini sahabat mama namanya Tante Yoona. Tante Yoona ini yang dulu suka bawain kamu kue nastar kalo ke rumah.”

“Seungcheol, Tante.” Seungcheol menyalami Yoona.

“Ayo masuk yuk?”

“Lagi ada tamu ya, na?”

“Temennya anak gue, satu orang doang.”

Mereka bertiga masuk ke dalam, Yoona langsung mengajak Sooyoung dan Seungcheol masuk ke kamar Jeonghan.

“Mas, ini ada Tante Sooyoung. Masih inget gak?”

“Masih ma, Tante Sooyoung yang suka bikin pudding buah kan?”

“Ih ya ampun kamu inget. Jeonghan apa kabar?”

“Sedikit kurang enak badan Tante, Tante sendiri gimana?”

“Tante baik. Jeonghan, kenalin ini Seungcheol anak Tante.”

“Jeonghan/Seungcheol.” Keduanya berjabat tangan.

“Han, kalo gitu gue balik dulu ya?” Jisoo langsung mengambil tas nya.

“Kok buru-buru, Soo?”

“Iya Tante masih ada tugas. Besok kalo Han belum masuk, Soo kesini lagi.”

“Yaudah yuk Tante anter sampe bawah.”

“Soo, makasih ya.”

“Sama-sama, permisi Tante.” Jisoo juga pamitan pada Sooyoung dan Seungcheol.

“Han, udah makan?”

“Udah Tante, cuma mulutnya pait. Jadi dikit doang.”

“Itu Tante bawa buah, nanti di makan ya? Biar ga pait mulutnya.”

“Duh jadi ngerepotin Tante aja.”

“Gak dong, kan buah doang.”

“Laki lu ga ikut, Soo?” Tanya Yoona yang tiba-tiba datang.

“Lagi sibuk dia, makannya gue kesini sama anak gue.”

“Sibuk mulu dia dari jaman lu berdua pacaran.”

“Demi masa depan yang cerah katanya.” Yoona tertawa mendengar ucapan Sooyoung.

“Kalo mas Seungcheol, udah punya pacar? Atau udah nikah?”

“Duh boro-boro nikah, pacar aja ga punya.”

“Gak ngoceh bokap lo?”

“Ngoceh, makannya gue ngenalin dia sama anak-anaknya temen gue. Tapi ga ada yang nyangkut tuh.”

“Lo terlalu cari spek malaikat kali.”

“Dulunya iya, sekarang udah pasrah gue.”

“Jangan mau mas, selera mama mu terlalu tinggi.”

Seungcheol hanya tersenyum menanggapinya.

“Jeonghan sendiri gimana? Udah punya pacar?”

“Kemaren udah, cuma udah putus katanya. Donghae ga setuju.”

“Dia cuma nyari yang pas buat anak manis kayak Jeonghan. Sayang banget kan yang kayak Jeonghan dapet yang kasar.”

Ucapan Sooyoung membuat Jeonghan mengeratkan genggamannya pada selimut. Jeonghan jadi ingat kembali kejadian waktu itu. Dan hanya Seungcheol yang menyadarinya.

“Tante Yoona maaf, tapi saya boleh minta minum gak ya? Lumayan haus.”

“Ya ampun, Tante sampe lupa. Maaf loh mas, yaudah Tante buatin dulu ya.”

“Mama mau bantu tante Yoona dulu ya mas, sekalian ngupasin buah buat Jeonghan.”

Lalu tinggallah Jeonghan dan Seungcheol, keduanya diselimuti keheningan.

“Kamu agak ke-trigger ya sama omongan mama saya?”

Jeonghan menatap laki-laki di depannya ini.

“Biasa aja.”

“Tapi kamu kelihatan ketakutan.”

“Gue bilang biasa aja.”

“Yaudah, ga usah pake urat.” Keduanya sama-sama diam kembali.

“Gue kok baru tau ya kalo Tante Soo punya anak.”

“Saya dulu sekolah di Amerika, dan baru pulang beberapa tahun yang lalu.”

Jeonghan hanya ber-oh ria.

“Kamu umur berapa?”

“23. Lo?”

“27.”

“Tua ya.”

Seungcheol tertawa. Baru kali ini ada orang yang mengatainya tua di depan mukanya langsung.

“Lo kenapa belum nikah mas?”

“Belum ada yang cocok aja.”

“Belum ada yang cocok atau emang elo nya pemilih? Lagian umur lo udah cocok punya anak 1 kayaknya.”

“Pemilih untuk masa depan yang cerah kan gapapa? Lagian nikah itu bukan karena udah waktunya tapi karena dia orangnya. Kalo sampe sekarang saya belum ketemu orangnya ya berarti belum waktunya menikah. Lagian saya gak mau asal pilih, berujung cerai. Saya maunya sekali seumur hidup.”

Jeonghan hanya mendengarkan ucapan Seungcheol. Seungcheol ada benarnya juga.

Lalu keduanya kembali diselimuti keheningan, sampai kedua mama mereka datang.

Jeonghan duduk dengan gelisah di sebelah sang kekasih—Jonathan. Pokonya ia harus menyelesaikan semuanya malam ini juga.

“Sayang, kamu pasti udah liat yang di base kan?”

Jeonghan menghela nafas, lalu ia mengangguk. “Dia siapa?”

“Itu adek tingkat aku, yang. Dia minta diajarin main basket.”

“Kok pake gandengan?”

“Engga kok yang, itu dia hampir jatuh terus aku nolongin aja.”

Jeonghan mengangguk. Selalu banyak alasan.

“Kamu percaya sama aku kan, yang?”

Jeonghan mengangguk. Jonathan tersenyum, ia mengambil tangan Jeonghan dan kemudian ia kecup.

Skip time

Keduanya masih sibuk dengan makanan yang mereka pesan. Lalu tiba-tiba ponsel Jonathan berdering.

“Yang, aku angkat telepon dulu ya?”

“Kenapa ga disini?”

“Sekalian mau ke toilet aku, tenang aja ini masalah basket kok.”

Jeonghan lagi-lagi mengangguk. Lalu Jonathan pergi menuju toilet.

Hampir 45 menit Jeonghan menunggu, akhirnya Jonathan kembali.

“Maaf ya lama, tadi banyak yang dibahas.”

“Gapapa kok.”

“Kamu mau nambah? Atau mau dessert?”

“Engga usah kak, langsung pulang aja yuk?”

“Capek banget ya kamu?”

Jeonghan mengangguk. “Lumayan.”

“Yaudah, ayo pulang.”

. . . . . . . . . . . .

Di perjalan pulang keduanya hanya diam, sebenarnya Jeonghan hanya mencari tempat yang tepat, kalau saja tiba-tiba dia diturunkan di pinggir jalan. Setidaknya ia bisa mencari taksi kalau itu benar terjadi.

“Jo, aku mau ngomong sama kamu.”

“Ngomong apa yang? Ngomong aja.”

Jeonghan menghela nafasnya, ia meremat jemarinya sendiri.

“Jo, aku mau putus.”

“Hah? Bercanda kamu yang, gak lucu ah.”

“Tapi aku ga bercanda.” Ucap Jeonghan pelan.

Tiba-tiba saja, Jonathan mengerem mendadak membuat Jeonghan takut.

“Maksud kamu apa? Katanya kamu percaya sama aku?”

“Jo, ini udah 5x kamu ketauan jalan sama orang lain. Kamu pikir aku bisa percaya gitu aja? Jo, aku juga punya perasaan. Capek aku diginiin terus.”

Jeonghan menundukkan kepalanya, ia melihat tangan Jonathan yang mengepal. Jeonghan tau, Jonathan sedang menahan emosinya.

“ARTINYA KAMU GA PERCAYA SAMA AKU, KAN?” Jeonghan memejamkan matanya, ia takut, takut kalau Jonathan mengamuk.

Jeonghan mengambil ponselnya, jaga-jaga untuk menelpon Jisoo.

“Aku bener-bener gak bisa sama kamu lagi, Jo.”

“Bulshit, lo pasti punya orang lain kan?”

Jeonghan menatap Jonathan tidak percaya, bagaimana dia yang berselingkuh tapi orang lain yang di tuduh?

“Jangan ngaco kamu, Jo.”

“Atau kamu kemakan omongan dua temen kamu itu? Iya?”

“Engga, ini pure dari pikiran aku. Kamu jangan seenaknya nyalahin orang atas kesalahan kamu dong.” Jeonghan jadi ikut tersulut emosi.

PLAKKKKKKKK

Jeonghan memegangi pipinya yang ditampar oleh Jonathan. Ini bukan sekali dua kali Jonathan seperti ini.

Jeonghan langsung buru-buru keluar dari mobil Jonathan, tapi ia dikejar.

“HEH JALANG, SINI LO. GUE BELOM KELAR, JANGAN SEENAKNYA AJA LO PERGI.”

Jonathan mengejar Jeonghan yang ketakutan. Saat Jeonghan ketangkap oleh Jonathan, ia hanya bisa menangis.

“Cengeng lo. Heh, harusnya elo berterima kasih karena gue masih mau sama lo. Lo pikir ada orang yang mau sama laki-laki aneh kayak lo? Gue doang, Jeonghan.”

Jeonghan hanya menangis. Ia bahkan tidak bisa membalas perkataan Jonathan.

“Brengsek.”

Tangan Jonathan kembali melayang untuk menampar Jeonghan lagi. Tapi tiba-tiba saja tangannya di cegah oleh seseorang.

“Siapa sih lo?” Jonathan menghempas tangan orang itu.

“Kamu yang siapanya dia?”

“Gue pacarnya.”

“Kasar banget.”

“Orang kayak dia emang harus dikasarin.”

“Orang kayak dia gimana maksud kamu?”

“Halah banyak bacot ya lo. Orang tua diem aja.”

Orang itu langsung menyuruh kedua pengawalnya untuk membereskan Jonathan. Lalu ketika selesai, orang itu menghampiri Jeonghan yang terduduk ketakutan.

“Hai, kamu aman sekarang. Ayo, saya antar.”

Jeonghan menatap orang itu ragu-ragu.

“Saya janji gak akan nyakitin kamu. Saya antar sampai rumah ya?”

Akhirnya Jeonghan mau ikut, lalu keduanya pergi meninggalkan Jonathan yang terkapar di sana.

“Nama kamu siapa?” Tanya orang itu, ketika mereka berada di dalam mobil menuju rumah Jeonghan.

“Saya Jeonghan, om.”

“Oke Jeonghan, hati-hati memilih pasangan ya besok-besok. Kamu bisa mati di tangan dia.”

“Terima kasih ya, om.”

Lalu keduanya diselimuti keheningan sampai mereka sampai di depan rumah Jeonghan.

“Om, terima kasih sekali lagi ya? Saya utang budi sama, om.”

Orang itu mengangguk. “Kalau gitu saya permisi ya, Jeonghan.”

“Om, maaf Han boleh tau nama om?”

Orang itu tersenyum. “Saya Siwon, Jeonghan.”

“Oh om Siwon, hati-hati dijalan om. Sekali lagi terima kasih.”

Siwon kembali mengangguk dan mobil berjalan meninggalkan rumah Jeonghan.

“Arghhh—Jeonghan—ahh—yes kayak gitu, baby.”

Seungcheol mendongakkan kepalanya dengan salah satu tangannya berada di bawah meja kerjanya. Ia terus memaju-mundurkan tangannya sesekali mendesah pelan. Dipikirannya, Jeonghan—sang sekretaris—sedang berada dibawahnya dengan memasukkan kejantanannya ke dalam mulut manis laki-laki itu.

“Ouh—Jeonghan—.”

Terus bergerak, dengan mata terpejam dan mulut terus mengeluarkan kata-kata kotor.

“ARGHHH—JEONGHAN.” Seungcheol berhasil mengotori kolong mejanya dengan cairannya.

Sedangkan di luar, Jeonghan tidak sengaja mendengar suara Seungcheol berteriak—hanya bagian akhirnya—

“Gue bikin salah apa ya sampe pak Seungcheol teriakin nama gue gitu?”

Jeonghan mengetuk pintu 3x sebelum Seungcheol menyuruhnya masuk.

“Ada yang bisa saya bantu, pak?”

“Saya udah baca laporannya, nanti kasih ke Mingyu lagi.”

“Baik pak, oh ya pak nanti bapak ketemu temen bapak di kantor atau di luar?”

“Saya ga jadi ketemu temen saya, dia tiba-tiba ada keperluan mendesak.”

“Oh gitu, yaudah saya permisi dulu pak.”

Seungcheol mengangguk. “Jeonghan?” Panggil Seungcheol sebelum Jeonghan keluar dari ruangannya.

“Ya pak?”

“Baju kamu bagus, cocok sama kulit putih kamu.”

Jeonghan tersenyum canggung tapi sedetik kemudian ia mengangguk. “Terima kasih pak, saya permisi.”

Done.

Jeonghan sedang membantu Juno bersiap-siap, karena malam ini mereka akan merayakan ulang tahun Jeonghan bersama.

“Sayang, kamu liat jam tangan aku gak? Yang dari kamu itu.”

“Di tempat jam kamu gak ada emang mas? Biasanya kalo aku nemu ditempat lain aku taro situ lagi.”

Seungcheol akhirnya membuka laci khusus jam tangannya.

“Oh ya ada yang.”

“Jangan kebiasaan kenapa sih mas, nanti kalo diambil Juno terus dibanting gimana?”

“Ya tinggal beli lagi??”

“Jangan boros, jam tangan kamu tuh mahal-mahal. Satu jam tangan kamu aja bisa buat bayar sekolah Juno sampe SMA kali.”

Seungcheol tertawa lalu ia mendekati suaminya itu.

“Oke papa, lagian kan sekarang kartu aku kamu yang pegang semua jadi aku ga bisa boros.” Seungcheol memeluk Jeonghan dari belakang.

“Juno, sama om Chan dulu ya? Nanti papa samperin.” Juno tidak menjawab tapi ia pergi dari kamar orang tuanya itu.

Jeonghan membalikkan tubuhnya menghadap Seungcheol. Ia mengalungkan tangannya di leher Seungcheol. Lalu berjinjit sedikit untuk mengecup bibir suaminya itu.

“Mas Seungcheol, makasih ya buat semuanya. Kamu pake repot-repot bikin acara segala buat aku.”

“Sayang, ini cuma makan malem biasa. Tiap tahun kita ngelakuin ini kan? Jadi kamu gak usah bilang makasih sama aku. Aku yang harusnya bilang makasih sama kamu. Makasih udah kuat waktu itu.”

Flashback on

Jadi pada saat kejadian beberapa tahun yang lalu, Jeonghan mengalami koma selama 5 bulan lamanya. Dokter bilang, tubuh Jeonghan menolak untuk diberikan obat-obatan oleh dokter—sehingga membuatnya tidak sadarkan diri. Dokter bilang juga kalau Jeonghan mengalami depresi jadi ia tidak mau menerima apapun di tubuhnya.

Selama 5 bulan juga hidup Seungcheol hancur. Dia harus menyaksikan orang yang dia sayang hanya terbaring lemah di sana. Rasanya ingin menyerah pada saat itu juga, tapi untungnya Seungcheol punya keluarga dan teman-teman yang mau membantunya.

Awalnya Jeonghan hanya tidak menerima pengobatan, tapi bulan ke-5 tubuhnya drop terus menerus, dokter berkata kalau pengobatan terakhir yang mereka lakukan ditolak juga oleh Jeonghan, dokter tidak bisa memaksa lagi, dokter juga meminta semua pihak mengikhlaskan Jeonghan untuk pergi.

Dan benar, tubuh Jeonghan lagi-lagi menolak. Dan pada saat itu juga pihak keluarga memutuskan untuk mengikhlaskan Jeonghan. Malam terakhir sebelum dokter melepaskan alat-alat yang melekat pada tubuh Jeonghan, Seungcheol membawa Juno ke sana. Seungcheol ingin Juno lihat seperti apa wajah papanya—walaupun ia tau kalau Juno tidak akan mengerti. Tapi malam itu, Juno tidak berhenti menangis. Seungcheol juga tidak tau kenapa, tapi Juno terus-terusan meminta untuk di dekatkan oleh Jeonghan. Akhirnya Seungcheol menaruh Juno tepat disebelah Jeonghan. Juno menangis meraung-raung tepat di telinga Jeonghan—membuat hati Seungcheol juga sakit. Tapi Jeonghan sama sekali tidak merespon, membuat Seungcheol makin yakin kalau memang seharusnya ia mengikhlaskan Jeonghan pergi.

“Jeonghan, mungkin ini terakhir kalinya Juno liat kamu. Maaf ya Juno ganggu tidur kamu. Capek ya, sayang? Maaf ya mas egois karena udah nahan Han disini, sekarang gapapa kalo Han mau pergi. Mas dan Juno sudah ikhlas. Tolong jaga mas sama Juno dari atas sana ya sayang. Mas sayang sekali sama kamu. See you next time, papa Jeonghan.”

Seungcheol mengambil Juno dan akan membawanya pergi tapi baru selangkah dari ranjang Jeonghan, tiba-tiba saja alat yang membantu Jeonghan bertahan hidup bereaksi. Seungcheol membalikan tubuhnya, ia melihat jemari Jeonghan bergerak. Dengan cepat ia memencet bel untuk memanggil dokter. Setelah dokter sampai, Seungcheol diminta keluar ruang terlebih dahulu. Di luar ia mencoba menghubungi keluarganya, ia juga meminta Jisoo menghubungi teman-temannya.

Saat semua sudah berkumpul, tepat saat dokter keluar dari ruang Jeonghan.

“Gimana Dok?”

Mereka semua melihat dokter itu tersenyum.

“Pak Seungcheol, mungkin ini adalah doa dari bapak sekeluarga—.”

“—pak Jeonghan berhasil melewati masa koma nya.”

Ucapan dokter membuat semuanya menangis, ini yang mereka harapkan. Jeonghan kembali pada mereka.

“Tapi saran saya untuk dijenguk besok pagi saja karena pak Jeonghan masih dalam masa pemulihan. Kalau begitu saya permisi.”

Setelahnya, keadaan Jeonghan benar-benar membaik. Lalu setahun kemudian Seungcheol dan Jeonghan memutuskan untuk menikah, disusul oleh Soonyoung lalu Mingyu—yang ternyata mengikuti jejak Seungcheol—lalu yang terakhir Juna.

Oh ya, dan untuk Rachel saat ini Rachel berada di salah satu rumah sakit jiwa. Setelah melakukan percobaan pembunuhan akhirnya ia dicek kejiwaannya dan benar Rachel ternyata depresi berat karena kehilangan suami, calon anaknya dan kedua orang tuanya di dalam penjara.

Flashback off

Seungcheol memajukan kepalanya untuk mencium Jeonghan. Keduanya sama-sama saling menikmati ciuman mereka. Tidak ada nafsu di sana, hanya ada perasaan cinta keduanya yang makin besar setiap waktunya.

“Mas—.” Jeonghan mendorong tubuh Seungcheol yang menurutnya sudah mulai nakal.

“Dikit lagi, yang.”

Jeonghan menggeleng. “Yang ada kita malah berakhir di kasur.”

“Udah lama yang, kangen aku kayanya.”

Jeonghan mengelus pipi Seungcheol. “Nanti kelar acara, mau gak Juno dititipin ke mami?”

. . . . . . . . . . . .

Acara berlangsung dengan meriah, walaupun kata Seungcheol hanya sederhana tapi tidak bagi Jeonghan. Ini benar-benar mewah, tapi karena ini hari baiknya dia tidak mau berdebat dengan suaminya itu. Tapi ga tau kalau besok-besok.

“Cia mana Soo?” Tanya Jeonghan ketika melihat Jisoo yang mendekat ke arahnya.

“Sama bapaknya.”

Lalu keduanya sama-sama terdiam, menikmati makanan mereka.

“Han/Soo.”

Keduanya tertawa.

“Lo duluan deh, Han.”

“Gue cuma mau bilang makasih sama lo. Karena elo yang paling berjasa di hidup gue, gue ga tau deh kalo ga ada elo gimana. Makasih juga udah mau bantu rawat bapak sama Chan selama gue koma. Jisoo, bahkan kata makasih aja ga cukup untuk gue sampein ke elo. Maaf kalo gue pernah bikin lo kesel, maaf kalo gue ga ikutin kata-kata lo. Jisoo tapi gue sayang banget sama lo—.” Belum selesai Jeonghan berbicara, Jisoo sudah memeluknya. Jeonghan membalas pelukan sahabatnya itu. Mereka bahkan sama-sama menangis.

“—Jeonghan gue juga sayang banget sama lo. Kalo gue ga sayang sama lo gue ga bakal tahan sama lo. Jeonghan, harusnya gue yang bilang makasih ke elo, ke bapak karena kalo ga ada kalian mungkin gue udah jadi gelandangan sekarang, atau bahkan udah mati karena gue ga tau harus gimana. Jeonghan, jadi bagian dalam hidup lo adalah salah satu yang paling gue syukuri. Maaf kalo gue suka keterlaluan, tapi makasih juga karena lo sekarang gue hidup bahagia sama Mingyu, sama cia.”

Jeonghan melepaskan pelukan mereka. Ia menghapus air mata Jisoo.

“Jisoo, janji sama gue kita harus bahagia terus. Janji sama gue kita bakal kayak gini sampe maut memisahkan kita.”

“Gue janji, Han.”

. . . . . . . . . . .

“Udah dong yang, mau nangis sampe kapan? Cia nanti bangun denger suara kamu.”

“Mingyu, aku tuh—dulu kayak pernah nyelametin negara sampe aku dapet kehidupan kayak gini.” Jisoo masih menangis ketika mereka pulang.

“Iya-iya, tapi udah ya? Matanya kasian itu, capek. Udah ya.” Mingyu menenangkan Jisoo—sambil menyetir.

“Mingyu?”

“Ya papa Chu?”

“Makasih ya, makasih udah milih aku. Makasih udah sabar sama aku. Makasih udah percaya sama aku. Aku gak tau kalo bukan sama kamu, aku masih bisa bahagia kayak gini apa engga.”

“Soo, kamu tau gak?”

“Apa?”

“Sebelum kamu terima aku jadi pacar kamu, aku selalu berdoa sama tuhan biar kamu mau jadi pacar aku, setelah kamu jadi pacar aku aku berdoa lagi biar kamu jadi orang terakhir di hidup aku, dan setelah kamu jadi orang itu, aku masih berdoa sama tuhan aku minta sama tuhan biarin aku ngebahagian kamu, biarin aku ganti semua waktu kamu yang kamu pake buat nangis aku ganti dengan hal-hal bahagia. Jisoo, dapet kamu itu udah kayak mukjizat dalam hidup aku. Bahkan mama sampe bingung kenapa aku sampe segininya mertahanin kamu aku sendiri gak tau kenapanya tapi yang aku tau aku maunya sama kamu. Aku mau ngelawatin dunia ini sama kamu. Cuma kamu, Soo. Kalo waktu itu kamu gak mau sama aku, aku gak mau nikah. Aku mendingan sendirian daripada harus ga sama kamu.”

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Mingyu menatap Jisoo yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Soo, jangan nangis lagi.”

“Mingyu, bisa minggir dulu gak?”

“Hah? Kenapa yang?”

“Aku mau peluk kamu, mau cium kamu.”

Mingyu tertawa. “Ga di rumah aja yang?”

“Boleh. Mumpung cia udah tidur, dia kan agak kebo ya kayak kamu. Kamu mau aku pake warna apa?”

“Warna apa apanya yang?”

Baju dinasnya, kamu mau aku pake warna apa?”

“Yang ini serius? Kamu ga capek?”

“Mingyu, aku ga bisa kasih kamu apa-apa karena kamu bisa punya sendiri tanpa aku kasih. Waktu itu kamu juga bilang kalau kamu seneng sama badan aku, jadi aku mau bikin kamu seneng. Walaupun sedikit.”

“Udah gila, mana ada sedikit. Ini mah lebih banyak dari dari apa yang gua dapet.”

Jisoo tertawa. “Jadi gimana, mau aku pake warna apa?”

“Yang, ini serius kan?”

Jisoo mengangguk. “Reward buat Kim Mingyu karena udah jadi suami+ayah yang sabar buat Jisoo dan cia.”

“Yang gila dah lu, masa di mobil banget bilangnya. Untung gua sadar kalo ga nabrak dah nih.”

“Hehehehe Mingyu, kamu kan ga akan pernah biarin aku sama cia kesakitan.”

“Arghhh ga bisa ni gua, yang gua izin ngebut dikit tapi hati-hati ya.”

Jisoo mengangguk dan tertawa. Dia selalu suka Mingyu yang apa adanya seperti ini. Eh, kayaknya dia selalu suka Mingyu deh. 25/7 for Kim Mingyu.

“Yang?”

“Hm?”

“Warna item seksi dah.”

“Oke, Daddy gu.”

Selamat hilang kewarasan, Kim Mingyu.

. . . . . . . . . . .

Seungcheol melihat Jeonghan yang baru masuk ke dalam kamar mereka, setelah menidurkan Juno. Seungcheol melihat gerak-gerik Jeonghan yang ke sana kemari.

“Mas, mau yang ini atau yang ini?”

Sama halnya dengan Jisoo, Jeonghan juga bertanya terlebih dahulu pada suaminya itu.

“Yang, kayaknya langsung aja deh.”

“Loh mas ga mau liat aku pake ini dulu? Udah ga bagus ya mas kalo aku yang pake?”

“Eh engga yang, ngaco aja. Bagus banget itu. Cuma mas mau kasih tau kamu dulu.”

“Kasih tau apa?”

“Itu bajunya di simpen dulu aja ya?”

“Kenapa?”

“Hehehehe mas mau ajak Han bulan madu. Kan kita belum bulan madu dari habis nikah. Jadi, mas mau liat Han pake itu tapi view nya laut.”

Seungcheol bisa melihat warna merah di wajah Jeonghan.

“Jadinya itu aku simpen dulu?”

Seungcheol mengangguk. “Kamu ada berada deh yang?”

“Aku ada sekitar 3 sih. Kenapa?”

“Kalo aku robek gapapa?”

“Ya gapapa ga sih? Kamu beli itu buat aku tujuannya emang itu kan?”

“Hehehehe paling ngerti deh kamu. Aku tambahin ya yang? 2 aja kok.”

Jeonghan tersenyum dan mengangguk. “Lakuin yang kamu mau mas, aku seneng kalo mas mas seneng.”

Seungcheol menarik Jeonghan untuk duduk di pangkuannya.

“Sebenernya mas lebih suka liat Han gak pake apa-apa. Cuma kalo Han pake itu, cantiknya Han nambah 3x lipat. Jangan pernah mikir mas ga suka sama badan Han ya.”

“Iya mas, maaf ya kalo kata-kata Han bikin mas sedih. Han cuma takut mas udah ga tertarik sama Han lagi.”

“Mana ada, liat Han dari jauh pake baju rapih aja masih suka bangun.”

“Ya iya, otak kamu kan ke sana terus.”

Seungcheol tertawa. “Papa, hari ini ayah boleh minta jatah ga ya?”

Kali ini Jeonghan yang tertawa. “Boleh, ayah.”

“Love you, pa.”

“Love you too, ayah.”

End.

(Untuk narasi kotornya dipikirin sendiri aja ya wkwkwkwk jangan minta karena udah ga ada yang perlu dilanjut. Makasih.)

Seungcheol mendongakkan kepalanya ketika Giselle mengulum kejantanannya. Ia menaruh tangannya di atas kepala Giselle untuk membantu wanita itu memasukkan lebih dalam kejantanannya.

“Nghhhh—.”

Giselle tersenyum ketika ia merasakan kalau Seungcheol menikmati kulumannya. Seungcheol bahkan memasukkan jarinya ke bagian belakang Giselle—membuat Giselle hilang kewarasan saat itu juga.

“Nghhhhh—jeonghan—anghh.” Desah Seungcheol pelan, saking pelannya sampai Giselle bahkan tidak mendengarnya.

Jeonghan bermain game di ponselnya, beberapa menit yang lalu Seungcheol pamit untuk pergi ke kantor sebentar dan Seungcheol bilang kalau nanti Wonwoo akan datang. Saat ini Juno sedang tertidur pulas karena di timang-timang Seungcheol tadi.

Tok tok tok tok

“Masuk.”

Seorang suster masuk, Jeonghan bingung karena ia tidak memanggil suster.

“Permisi pak Jeonghan, saya mau minta sampel darah nya ya?” Jeonghan yang tidak paham untuk apa hanya mengangguk. Saat suster itu menyuntiknya, ia masih terfokus pada ponselnya.

“Sudah pak, terima kasih. Saya pergi dulu, kalau butuh apa-apa tinggal panggil saja.”

“Terima kasih sus.”

Setelah suster itu pergi, tiba-tiba saja Jeonghan ingin buang air kecil. Karena tidak ada yang bisa membantunya, ia memutuskan untuk bergerak sendiri. Tapi ketika ia berhasil bangun, kepalanya pusing tiba-tiba. Dan semuanya gelap seketika untuk Jeonghan.

Pintu terbuka, dua orang laki-laki masuk dan langsung membawa Jeonghan pergi.

Sementara itu, Wonwoo sudah sampai di rumah sakit saat ini ia sudah menuju ruangan Jeonghan. Ketika sampai di depannya ia mengetuk pintu tapi tidak ada sautan, pikirnya Jeonghan tidur ketika ia masuk tidak ada siapa-siapa hanya ada Juno yang masih tertidur. Wonwoo masih berpikir positif, mungkin Jeonghan di kamar mandi. Tapi hampir 30 menit tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang di kamar mandi. Dengan cepat Wonwoo langsung membuka pintu kamar mandi dan tidak ada siapapun.

Wonwoo panik, ia berlari keluar—tempat resepsionis tapi tidak ada orang sama sekali. Wonwoo sempat kembali ke kamar itu, ia mengambil Juno. Di gendongnya Juno, lalu ia pergi menuju dimana ada suster atau pekerja di rumah sakit itu. Tapi nihil, tidak ada satupun petugas di sana. Padahal itu siang hari.

Saat kalut, Wonwoo bertemu Mingyu yang menatapnya bingung.

“Won, kenapa?”

“Mingyu, Jeonghan gak ada. Dia ga ada di ruangannya.”

“Hah? Yang bener lo?” Mingyu langsung berlari menuju ruangan Jeonghan dan benar, tidak ada siapapun di sana.

“Gimana bisa won?”

“Gue juga ga tau, gue sampe sana gak ada siapapun cuma ada Juno. Gue pikir Jeonghan di kamar mandi tapi gue tungguin ga ada tanda-tanda ada orang di sana pas gue cek emang ga ada orang.”

Mingyu mengusakkan rambutnya frustasi.

“Ini suster nya pada kemana semua?” Lalu Mingyu melihat salah seorang OB. “Pak, ini penjaganya pada kemana? Susternya juga?”

“Loh Dok, semua penjaga termasuk suster pada dikumpulin di aula. Katanya mau ada arahan.”

“Arahan apanya, saya dokter disini tapi gak tau bakal ada arahan.” Mingyu kalut, lalu ia berlari ke arah aula dan benar mereka semua di sana kecuali yang di UGD.

“Siapa yang suruh kalian kesini?”

“Tadi ada yang bilang Dok, makannya kita semua kesini.” Jawab salah satu suster.

“Dan semuanya kesini? Ga ada yang jaga satu pun? Kalo tiba-tiba ada yang butuh kalian sekarang tapi kalian ga ada gimana? Gimana mereka bisa dapet bantuan?” Mingyu murka. Semuanya hanya diam, mereka takut. Mingyu termasuk dokter yang ramah, tidak pernah marah. Tapi saat ini mereka melihat sisi lain Mingyu.

“Siapa yang suruh kalian?” Tapi tidak ada yang menjawab.

“SAYA TANYA SEKALI LAGI SIAPA YANG SURUH KALIAN?” Mingyu berteriak di depan semua orang.

“Pasien saya, Jeonghan hilang. Dia tidak ada ditempatnya, bahkan anaknya ditinggal sendiri. Dan waktu saya liat tidak ada petugas yang berjaga. Kepada siapa saya harus bertanya? Anaknya yang masih bayi umur 3 hari?”

“Mungkin kabur, Dok.”

Mingyu maju, menatap tajam seorang petugas yang tadi berbicara.

“Orang bodoh mana yang kabur sehabis operasi caesar?”

Mingyu menatap semua orang di sana.

“Saya ingatkan pada kalian, kalau ternyata ini karena kecerobohan kalian semua. Saya pastikan kalian dapat surat peringatan atau bahkan surat mutasi. Ingat itu.” Mingyu pergi dengan marah. Bisa-bisanya mereka melupakan kewajiban mereka untuk menjaga pasien karena sebuah kabar yang tidak tau dari mana asalnya.

Mingyu kembali ke Wonwoo yang masih berada di depan ruangan Jeonghan dengan Juno di gendongannya.

“Gyu, gimana?”

“Mereka bahkan gak tau won siapa yah nyuruh.”

“Gimana bisa, Gyu?”

“Gue ga tau, lo udah hubungin Seungcheol?”

“Gue hubungin Juna, karena kata Juna pak Seungcheol lagi ada meeting. Tapi gue bilang sama Juna untuk pelan-pelan ngasih taunya.”

“Gue kasih tau Jisoo dulu.”

Wonwoo mengangguk.

Skip time

Setelah mendengar berita itu, Seungcheol mengamuk di rumah sakit.

“Kalo kayak gini siapa yang tanggung jawab, gong?”

Mingyu tidak menjawab. Karena ia tidak tau apa jawabannya.

Seungcheol terduduk lemas, menangis. Sepertinya susah sekali untuk bahagia, batin Seungcheol.

“Seungcheol?”

“Mami, Jeonghan gak ada mi. Jeonghan kemana mi?” Seungcheol menangis di pelukan maminya.

“Mas tenang ya, papi udah suruh semua anak buahnya untuk cari Jeonghan.”

Tiba-tiba ponsel Seungcheol berdering, tapi Seungcheol tidak menggubrisnya.

“Mas Seungcheol maaf, tapi apa gak di angkat dulu? Takutnya penting, atau bahkan dari kak Jeonghan.” Ucap Jihoon. Jihoon diberitahukan oleh Soonyoung, Soonyoung juga meminta Jihoon agar menemani Seungcheol di sana—untuk menggantikannya sementara.

Akhirnya Seungcheol mengangkat telpon itu.

“Halo?”

“Sayang, halo.”

Deg!

“Rachel?”

. . . . . . . . . . .

Jeonghan terbangun karena rasa sakit yang teramat sangat di bagian perutnya. Tapi ia tidak bisa memegang perutnya karena tangannya di ikat kebelakang.

“Tol—ong arghh.” Bahkan ia tidak kuat untuk berteriak.

Lalu tiba-tiba pintu terbuka, Jeonghan melihat seorang wanita yang masuk ke dalam ruangan itu.

“Siapa kamu?”

“Halo, Jeonghan.”

Jeonghan ingat suara itu. Rachel.

“Mba Rachel?”

“Oh kamu masih inget aku. Apa kabar?”

“Mba, ini apa? Kenapa Mba culik saya? Salah saya apa? Tolong lepasin mba, perut saya sakit banget.”

Rachel mendekati Jeonghan, lalu mencengkram kuat rahang Jeonghan.

“Salah lo banyak. Lo rebut suami gue, dan gara-gara lo gue kehilangan janin gue. Semua kesialan gue gara-gara lo, Jeonghan brengsek.” Sebelah tangan Rachel menekan perut Jeonghan. Membuat Jeonghan meringis keras ketika ia merasakan sakit yang luar biasa.

“Mba—akhhhhh.”

“Lo harus mati, Jeonghan.” Rachel semakin menekan perut Jeonghan. Jeonghan menangis merasakan perutnya sakit sekali. Dalam hatinya meminta tolong pada Tuhan agar di kuatkan, dan terus memanggil-manggil nama Seungcheol.

Saat sedang menyiksa Jeonghan, tiba-tiba saja pintu terbuka dengan kencang.

Brakkkkkk

Rachel dan Jeonghan terkejut. Dalam sisa kesabarannya Jeonghan melihat Seungcheol di sana.

“Sayang, kamu udah dateng?” Rachel menyambut Seungcheol dengan riang. Ia bahkan tidak perduli dengan Jeonghan yang kesakitan.

Rachel meminta Seungcheol datang, tapi seorang diri. Rachel mengancam akan menyakiti Jeonghan kalau Seungcheol membawa orang lain.

“Lepasin Jeonghan.”

“Oke, aku bakal lepasin Jeonghan. Asal kamu juga ngelakuin hal yang sama.”

“Maksud kamu?”

“Lepasin Jeonghan. Juga.”

“Gila kamu, chel.”

Tiba-tiba saja Rachel tertawa.

“Udah berkali-kali aku bilang, kalau aku gak bisa dapetin kamu maka ga ada satupun orang yang bisa dapetin kamu juga termasuk jalang ini.”

“JEONGHAN BUKAN JALANG.”

“Oh jelas dia jalang, dia goda kamu Cheol. Dia bikin kamu berpaling dari aku.”

“Harusnya kamu sadar chel, kalo kamu juga ikut serta dalam perpisahan kita. Kalo aja kamu gak keras kepala untuk gak hamil, mungkin kita ga ada kayak gini. Sekarang giliran ada orang lain yang bisa gantiin posisi kamu, kamu marah. Kamu egois chel.”

“Aku akan tetap egois kalo berhubungan sama kamu, Cheol.”

Rachel mendekati Jeonghan, ia mengambil sebuah silet dari kantong celananya.

“Chel, jangan gila kamu.” Saat Seungcheol akan mendekat, tiba-tiba ada dua orang laki-laki yang menahan tubuhnya.

“Jangan mendekat. Atau aku akan tambahin sakit untuk dia.”

Rachel kembali menekan perut Jeonghan, ia tertawa ketika Jeonghan kesakitan.

“Mas, tolong—.” Jeonghan benar-benar tidak kuat lagi.

“Rachel, kamu bisa bunuh Jeonghan.”

“Emang itu tujuan aku. Biar gak ada yang ganggu kamu.”

“Chel, aku mohon. Tolong jangan sakitin Jeonghan, dia abis operasi.”

“Aku gak perduli, Cheol. Dia harus ngerasain sakitnya aku.”

Ntah setan apa yang merasuki Rachel, dengan pelan ia arahan silet yang tadi ia bawa. Kemudian ia torehkan di kulit mulus Jeonghan.

“RACHEL.”

Tapi Rachel hanya tertawa. Ia kembali menyilet Jeonghan. Seungcheol memberontak. Ia tidak sanggup melihat Jeonghan seperti itu.

“Rachel aku mohon tolong jangan sakitin Jeonghan lagi. Aku bakal lakuin apapun asal kamu lepasin Jeonghan.”

“Walaupun harus ngelepasin dia?”

Seungcheol memejamkan matanya. “Walaupun aku harus ngelepasin Jeonghan.”

“Liat kan Jeonghan, lo itu ga diinginkan sama dia. Buktinya dia milih lepasin lo. Lo itu sampah, Jeonghan.”

“AKHHHHHHH—.” Jeonghan berteriak ketika Rachel kembali menekan perutnya.

BUKKKKKKKKKK

dua orang laki-laki yang memegang Seungcheol terjatuh begitu saja. Seungcheol, Jeonghan, Rachel melihat siapa yang datang.

“Masih ingat saya, Bu Rachel?” Orang itu tersenyum manis.

“Wonwoo?”

“AKU BILANG JANGAN BAWA ORANG, SEUNGCHEOL.” Rachel berteriak di depan Seungcheol.

Saat lengah, seseorang lagi masuk ke sana.

“LEPASIN GUE.” Rachel memberontak ketika Soonyoung menahan kedua tangannya dibelakang.

“Won, let's go.” Ucap Soonyoung. Seungcheol tidak tau apa yang mereka rencanakan.

“Jadi gini pak, saya ga sengaja nemuin cairan ini di deket ranjang Jeonghan. Saya gak tau ini carian apa, tapi bisa kita tau kalo dicoba. Ke Bu Rachel mungkin.” Ucap Wonwoo

Rachel makin memberontak. “JANGAN MACEM-MACEM, WONWOO.”

“Saya cuma penasaran Bu. Maaf ya.” Secepat kilat Wonwoo langsung menancapkan jarum suntik pada Rachel. Tapi Rachel masih memberontak, jadi jarum itu sedikit terdorong dan membuat kulit Rachel terluka.

Setelah itu, hampir 5 menit cairan itu baru bereaksi. Rachel merasakan kepalanya pusing.

Rachel pingsan tiba-tiba.

“Dan ternyata, obat tidur.” Ucap Soonyoung. Dibantu anak buah papi Seungcheol, Rachel mereka bawa. Seungcheol langsung membuka ikatan Jeonghan dan menggendongnya.

“Han, kuat ya sayang. Maaf mas gak bisa bantu apa-apa tadi.”

Jeonghan menatap Seungcheol lemah. Ia mengelus pipi Seungcheol dengan tangannya yang lemah. Darahnya keluar dengan banyak, perutnya sakit. Benar-benar seperti ingin mati.

“Cheol, ajak Jeonghan ngobrol terus. Jangan biarin dia tidur. Kalo dia nutup matanya—” Mingyu tidak melanjutkan ucapannya, tapi Seungcheol tau maksudnya.

“Sayang, tadi Juno nangis kayaknya dia tau papa nya di sakitin. Tapi pasti sekarang dia udah tenang, karena papanya kuat. Ya kan sayang?”

Jeonghan tersenyum lemah, ia masih belum berbicara.

“Han, nanti kita nikah dengan mewah mau ya? Mas mau kasih tau ke orang-orang mas punya Han. Orang-orang pasti iri karena gak punya Han di hidup mereka.” Ucap Seungcheol yang tetap tegar du depan Jeonghan tapi air matanya tetap jatuh.

Jeonghan menghapus air mata Seungcheol. “Jang—an nang—is, m—as.”

“Han, kamu harus kuat. Juno sama mas butuh Han, jangan mau kalah sayang, ada mas. Mas mohon.”

“Mas Seungcheol ma—af.”

Seungcheol menggeleng ribut. “Gak sayang, kamu ga salah. Bukan kamu yang salah.”

“Ma—af bu—at m—as se—dih. Ma—af bu—at m—as ce—rai sa—ma m—ba ra—chel.”

“Bukan, bukan salah Han.” Seungcheol menangis sejadi-jadinya. Mingyu dan Juna yang berada di kursi depan juga tidak bisa menahan kesedihan mereka, Juna bahkan beberapa kali menghapus air matanya.

“M—as seung—cheol.”

“Ya sayang? Han mau apa?”

“A—ku ngan—tuk. A—ku ti—dur ya—.”

“Han, kali ini mas ga izinin Han tidur. Kamu harus bangun sayang, mas mohon. Han, tolong.”

Jeonghan selalu menuruti apapun kemauan Seungcheol. Tapi untuk kali ini, Jeonghan tidak menuruti kemauan Seungcheol.

Jeonghan menutup matanya.

MinShua

Jisoo melangkahkan kakinya menuju ruang kerja kekasihnya. Setelah sampai di depannya, ia mengetuk pintu terlebih dahulu. Setelah diizinkan masuk, Jisoo masuk. Ia melihat kekasihnya masih berkutat di depan sebuah laptop.

“Masih sibuk, Dok?”

Mingyu menoleh karena ia tau suara siapa itu.

“Hey, dikit lagi kok. Bentar ya.”

Jisoo mengangguk, lalu ia duduk di sofa ruangan Mingyu.

“Seungcheol udah dateng ya?”

“Udah, gu.”

“Kamu udah makan yang?”

“Baru nyemil sih.”

“Burger tuh nyemil ya?”

Jisoo menatap Mingyu sinis. “Kata Jihoon iya.”

Mingyu tertawa, lalu ia menutup laptopnya. Kemudian ia masuk ke kamar mandi yang ada di sana, sekedar untuk membasuh wajahnya.

“Gu, kamu capek gak?” Tanya Jisoo ketika Mingyu sudah keluar dari kamar mandi.

“Engga terlalu sih, kenapa?”

“Masak dong, tiba-tiba pengen makaroni schotel buatan kamu.”

Mingyu menatap Jisoo penuh selidik. “Kamu ga tiba-tiba isi kayak Jeonghan kan yang?”

“Ngaco.” Mingyu tertawa lagi, lalu ia mengambil tangan Jisoo dan ia gandeng kemudian mereka pergi menuju apartemen Mingyu.

Skip time

Jisoo mengusakkan rambutnya yang basah, kemudian ia menuju dapur melihat apa kekasih sudah selesai memasak.

“Udah gu?”

“Udah dong yang.”

“Yaudah sekarang kamu mandi, nanti ini aku yang beresin.”

Mingyu mengecup kening Jisoo. “Tolong ya sayang.”

Setelahnya Mingyu masuk ke kamar mandi, Jisoo membereskan semua peralatan yang tadi Mingyu gunakan.

Beberapa menit kemudian Mingyu selesai, lalu mereka langsung memakan makanan mereka, sesekali bersenda gurau.

Skip time

Keduanya berbaring di atas ranjang dengan saling memeluk. Jisoo mengusap punggung Mingyu, dan Mingyu sesekali mengecup dada Jisoo yang berbalut baju.

“Gu, kamu besok ada jadwal operasi atau jadwal apa gitu?”

“Engga sih Soo, cuma besok tetep ke rumah sakit tapi paling siangan. Kenapa? Kamu mau di anter kemana?”

Jisoo tidak menjawab, ia menggigit bibir bawahnya. Mingyu yang tidak mendapat jawaban langsung menatap Jisoo.

“Soo, kenapa?”

“Gu, kemarin kan aku bilang aku mau kasih kamu hadiah karena udah bantu Jeonghan dengan selamat.”

“Oh ya baru inget, kamu bawa hadiahnya?”

Lagi-lagi Jisoo tidak menjawab, tapi Jisoo menatap Mingyu dengan tatapan yang menurut Mingyu agak intim.

“Soo?”

“Gu, kalo aku bilang hadiahnya aku. Kamu mau gak?”

Kok masih nanya?

. . . . . . . . . . .

“Nghhhh gugu.” Dada Jisoo membusung ketika lidah Mingyu menari di atas kedua putingnya.

Mingyu tidak menjawab, ia dengan lihai lidahnya masih bermain-main di puting Jisoo, ia bahkan dengan sekali gerak sudah bisa melepaskan celana pendek yang Jisoo gunakan.

Setelah puas bermain dengan gundukan kecil Jisoo, Mingyu membuat gerakan menurun dengan menjilati perut Jisoo sampai di twins ball milik kekasihnya itu. Mingyu mengemut keduanya secara bergantian membuat Jisoo bergerak tak nyaman di atas sana.

Dengan sekali gerak lagi kejantanan Jisoo sudah masuk sepenuhnya ke dalam mulut Mingyu.

“Nghhhh—.” Jisoo menekan kepala Mingyu agar memakan semua kejantanannya. Jisoo merasakan panasnya mulut Mingyu—yang membuat kewarasannya menghilang.

“Gu—nghhhh—kelu—arghhh.”

Jisoo mengeluarkan cairannya di dalam mulut Mingyu. Setelah Mingyu rasa Jisoo sudah selesai, ia menatap Jisoo dan menciumnya dengan nafsu yang sudah menguasainya.

Jisoo mendorong Mingyu agar menghentikan ciuman mereka.

“Maaf, gu. Aku ga sengaja ngeluarin di mulut kamu.”

“Soo, aku gapapa. Aku seneng bisa ngerasain kamu lebih. Kamu selalu ga ngebolehin aku, dan bikin aku penasaran tapi sekarang aku ga penasaran lagi karena, kamu manis sampe ke cairan kamu.” Ucapan Mingyu membuat Jisoo wajah bersemu merah. Mingyu langsung membuka seluruh pakaiannya. Dan sekarang mereka sudah telanjang sepenuhnya. Saat Mingyu akan mencium Jisoo lagi, Jisoo menahannya.

“Gu, ga mau aku blow job juga?”

Mingyu tersenyum. “Sayang, boleh gak kalo hari ini aku yang nyenengin kamu?”

“Tapi kan harusnya aku yang nyenengin kamu, gu?”

“Hey, dengan kamu punya inisiatif kayak gini aja udah bikin aku seneng.”

Jisoo dan Mingyu bertatapan.

“Boleh aku lanjut?”

Jisoo mengangguk.

“Aku izin langsung ke intinya ya sayang? Gak kuat nih.”

Lagi-lagi Jisoo mengangguk. Mingyu mengambil pelumas di laci dekat ranjangnya. Ia melumuri jarinya terlebih dahulu, lalu mengarahkannya ke lubang Jisoo.

“Soo, aku masuk ya?”

Jisoo menahan nafasnya ketika merasakan jari panjang Mingyu menerobos masuk ke dalam dirinya.

“Rileks sayang, kalo sakit bilang ya.”

Jisoo mendongak sambil memejamkan matanya ketika satu jari Mingyu berhasil menerobos masuk. Nafasnya memburu, tangannya mencengkram erat di lengan Mingyu. Ini bukan pertama kalinya, tapi kenapa masih tetap sakit ketika jari atau milik Mingyu masuk ke sana?

“Soo, hey.” Mingyu mencoba menyadarkan Jisoo.

“Gerak aja, gu.” Setelah mendapat lampu hijau dari Jisoo, Mingyu menggerakkan jarinya itu. Membuat Jisoo melenguh kencang—karena dengan tiba-tiba Mingyu menambahkan jarinya.

“Ahhhh—.” Jisoo merasakan jari Mingyu mengenai sweet spot-nya.

Mengetahui itu, Mingyu langsung mempercepat gerakan jarinya.

“ARGHHHHH—.” Jisoo keluar untuk kedua kalinya. Nafasnya terengah-engah dengan mata terpejam. Setelah selesai Jisoo menatap Mingyu yang tersenyum menatapnya.

“Sayang, kamu tuh kalo lagi kayak gini cantik banget. Lebih cantik daripada pas kamu marah-marah.”

“Jadinya, aku cantik terus gitu?” Tanya Jisoo ditengah-tengah nafasnya yang tersengal.

“Iya dong, punya Mingyu selalu cantik.”

“Terima kasih, tapi tolong ini bukan waktunya menggombal. Aku malu digombalin pas lagi telanjang.”

Mingyu tertawa. “Aku langsung masuk ya?”

Mingyu melumuri kejantanannya dengan pelumas, lalu ia mengarahkannya ke lubang Jisoo.

“Jangan tegang ya, nanti tambah sakit.” Jisoo mengangguk.

Jisoo menggigit bibir bawahnya ketika merasakan sakit yang teramat sangat. Mingyu masih berusaha untuk masuk.

“Jangan digigit, sayang. Teriak aja.”

“Gugu—huhuhuhu—.” Jisoo merengek ketika sakitnya menjalar menjadi nikmat. Jadi ia merasakan sakit dan nikmat secara bersamaan.

“AHHHHHHH—.” Mingyu berhasil masuk sepenuhnya. Ia mendiamkan diri terlebih dahulu, membiarkan Jisoo menetralisir sakitnya.

“Gerak, gu.”

Awalnya Mingyu menggerakkan pinggulnya dengan pelan, tapi ketika ia melihat wajah Jisoo yang bersemu merah malah membuat nafsunya makin tinggi. Akhirnya Mingyu menggerakkan pinggulnya dengan cepat, bahkan Jisoo bisa merasakan kalau Mingyu agak kasar.

Mingyu mendongakkan kepalanya ketika ia merasakan kejantanannya dijepit oleh Jisoo. Dengan berpegang pada pinggul ramping Jisoo, Mingyu makin bergerak cepat. Ia juga menekan kaki Jisoo agar tetap melingkar di pinggulnya—agar miliknya makin tertanam di sana.

Jisoo meremat sprei ketika dirinya terlonjak-lonjak karena Mingyu yang makin menggila.

“Soo—maaf kalo—ngh aku kasar. Maaf sayang.”

Tanpa menunggu jawaban Jisoo, secara tiba-tiba Mingyu langsung melepaskan dirinya dan membalikkan badan Jisoo secara cepat dan memasukinya lagi dengan tiba-tiba juga.

Plakkkkkkkk

“Nghhhhhh—.” Jisoo terlonjak ketika secara tiba-tiba juga Mingyu memukul pipi bokongnya.

“Jisoo sayang, kamu enak banget sayang. Maaf kalo aku kasar. Maaf sayang.”

Lagi-lagi Jisoo tidak bisa menjawab, yang keluar dari mulutnya hanya desahan dan nama Mingyu. Jisoo benar-benar tidak diberi kesempatan berbicara oleh Mingyu.

Mingyu masih bergerak dengan liar, ia juga membubuhkan beberapa kissmark di punggung kekasihnya itu.

“Gugu—.” Jisoo meremat tangan Mingyu yang di perutnya.

Mingyu tau Jisoo akan keluar lagi, ia menutup kepala kejantanan Jisoo dengan ibu jarinya. Jisoo menggeleng mengingat meminta agar Mingyu tidak melakukan itu. Itu sakit.

“Sayang dikit lagi. Tahan sebentar.”

Jisoo ingin menangis sekarang, ia tidak bisa lagi menahannya.

“Soo—.”

“ARGHHHH—.” Mingyu keluar di dalam Jisoo dengan sangat banyak, begitu juga Jisoo cairannya mengotori sprei. Keduanya masih terengah-engah dengan Mingyu yang masih berada dibelakang Jisoo.

“Nghhh—.” Jisoo melenguh ketika Mingyu mengeluarkan miliknya.

Mingyu menjatuhkan dirinya disebelah Jisoo yang tengkurap. Ia mengecup pipi Jisoo.

“Sayang, makasih ya. Maaf kalo aku kasar.”

“Mingyu, jangan minta maaf terus. Aku gapapa.”

Mingyu mengangguk lalu bangkit, mengambil pakaiannya, dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Lalu ia keluar dengan membawa handuk kecil dan baskom isi air hangat untuk membersihkan kekasihnya. Dengan telaten ia membasuh seluruh badan Jisoo, ia bahkan meringis ketika melihat bagian belakang kekasihnya yang terdapat warna merah karena tamparannya tadi.

“Sakit ya Soo?”

“Perih dikit.”

“Maaf ya.”

“Gu, stop minta maaf.”

Mingyu kembali membasuh tubuh kekasihnya. Tapi secara tiba-tiba Jisoo terduduk membuat Mingyu terkejut.

“Soo, kenapa sih? Kaget aku.”

“Mingyu?”

Mingyu menatap ngeri kekasihnya. Ada apa sih ini?

Lalu tiba-tiba Jisoo memukulinya.

“Aww Soo, kenapa sih?”

“Mingyuuuuuuuu.” Jisoo merengek.

“Apa? Kenapa? Sakit?”

“Bukan bodoh.”

“Terus?”

“Elo lupa pake pengaman, brengsek.”