thatausaha

Jeonghan menunggu Seungcheol di lobby kantor milik suaminya itu.

“Kok gak langsung masuk?” Seungcheol mengecup kening Jeonghan terlebih dahulu sebelum ia menggenggam erat tangan suaminya—mengajaknya ke ruangan miliknya.

“Mau dijemput aja.” Jawab Jeonghan sambil menyengir.

“Dasar, manja banget sih.” Seungcheol menjawil hidung mancung suaminya itu.

“Eh mas, di seberang kantor ada yang jual sop buah loh. Enak ga sih?”

“Engga tau ya, coba nanti tanya Hao dia kayaknya pernah beli disitu.”

“Tadi keliatan seger banget, Han jadi pengen deh.”

“Iya nanti minta tolong ob aja ya?” Jeonghan mengangguk. Kemudian keduanya sampai di depan ruangan Seungcheol.

“Ko, udah makan belum?”

“Belum nih, gue bingung mau makan apa.”

“Yaudah yuk makan bareng aja, gue bawa banyak nih.”

“Asik, makan gratis.”

“Ko, pernah beli sop buah di sebrang gak?”

“Pernah sekali sih, pak. Kenapa?”

“Enak? Maksudnya gak terlalu manis kan?”

“Dalam batas normal sih, bapak mau? Atau Jeonghan?”

“Jeonghan. Lo minta tolong ke ob beli deh, gue satu aja lo kalo mau pesen aja. Sisanya kasih ke ob nya aja.” Seungcheol memberikan uang 100ribu pada Minghao. Lalu ia mengajak Jeonghan masuk.

“Masak apa sih? Kayaknya enak banget.” Tanya Seungcheol pada Jeonghan yang sedang menata makanan di atas meja.

“Han masak sambel goreng kentang pake udang, capcay, sama kering tempe.”

“Wah enak banget, mas jadi tambah laper deh.”

“Tunggu Koko dulu ya mas? Biar barengan.”

Seungcheol mengangguk. “Iya sayang.”

Beberapa menit kemudian Minghao datang dengan seplastik besar berisi es.

“Jadinya lo yang jalan?”

“Engga pak nyuruh ob, tapi tadi saya tungguin di pantry biar bisa pake baskom.”

“Biar gampang ya ko.” Ucap Jeonghan

“Iya, gue satuin aja Han 2 bungkus. Gede soalnya tadi.”

Lalu setelahnya Jeonghan memberikan piring yang sebelumnya sempat ia pinjam ke pantry kepada Minghao.

“Wah enak nih kayaknya.”

“Lo kan belom pernah nyobain masakan gue kan? Nah sekarang puas-puasin deh.”

“Oke, selamat makan.”

. . . . . . . . . . .

“Ko, gimana kemaren?” Tanya Seungcheol saat mereka sudah selesai makan.

“Kacau banget mas, parah sih.”

“Terus akhirnya gimana?” Jeonghan jadi ikut penasaran.

“Ya mas Mingyu milih gue. Dia di usir dari keluarganya.”

“Wah gila sih, parah banget.” Jeonghan menggelengkan kepalanya tidak percaya.

“Mas, gue boleh tanya ga sih?”

“Tanya apa?”

“Keluarga mas Mingyu tuh gimana sih ke elo?”

“Ya baik sih, emangnya kenapa?”

“Papanya kayak benci banget sama keluarga kita terlebih ke mas.”

Seungcheol mengernyitkan keningnya. “Masa sih? Terakhir ketemu masih baik-baik aja.”

“Kayaknya keluarganya emang ga bisa nerima deh mas sama pernikahan sesama jenis.”

“Bokapnya bilang apa ko?”

“Tapi mas janji jangan marah ke mas Mingyu, dia juga kaget papanya begitu.”

“Gue ga pernah marah sama Mingyu. Bilang sama gue bokapnya ngomong apa?”

“Papanya mas Mingyu bilang kalo dia jijik sama mas, karena mas menikah dengan laki-laki.” Ucapan Minghao membuat Seungcheol dan Jeonghan terkejut. Seungcheol terlebih, karena setau dia papanya Mingyu adalah orang yang ramah padanya. Seungcheol memijat pelan keningnya yang berdenyut.

“Dia ngomong gitu di depan lo?”

Minghao mengangguk. “Di depan mas Mingyu, Clara juga.”

“Kok ada Clara di sana?”

“Mas belum tau ya, kalo keluarganya mas Mingyu mau jodohin mas Mingyu sama Clara?”

“Hah? Udah gila.”

“Makannya mas Mingyu marah banget. Gue juga udah tau cerita masa lalu kalian mas.”

“Mingyu belom cerita ke gue sih masalah dia di jodohin sama Clara. Cuma gila banget, Clara tuh orang yang udah mempermalukan mereka di depan kolega-kolega mereka dulu tapi bisa-bisanya kepikiran mau jodohin Mingyu haha ya pantes anaknya marah.”

Baru akan berbicara lagi, ponsel Minghao berdering. Mas Mingyu.

“Mas, gue keluar dulu. Mas Mingyu telpon, Han thank you ya makanannya.” Jeonghan hanya mengangguk.

Selepas Minghao pergi, Jeonghan hanya diam.

“Han, kenapa?”

Jeonghan menggeleng.

“Han, kenapa?” Tanya Seungcheol lagi.

“Mas Seungcheol, kita tuh menjijikkan ya?”

Ingin rasanya Seungcheol mengutuk siapapun yang bisa membuat Jeonghan-nya bersedih.

Seungcheol berpindah duduk ke sebelah Jeonghan, lalu ia memeluk suaminya itu.

“Jangan didengerin ya, omongan jelek itu gak boleh dimasukin ke hati.”

“Gak tau kenapa Han sedih dengernya.” Jeonghan membenamkan wajahnya di ceruk leher Seungcheol.

“Jeonghan, semua di dunia ini hidupnya berdampingan termasuk suka atau tidak suka. Jadi kita gak bisa bikin semua orang suka sama hubungan kita. Udah ya jangan dipikirin, kasian dedeknya.”

Jeonghan mengangguk. “Mas Seungcheol wangi ih, Han suka deh.”

“Hahaha jangan disini ah, ntar pada denger.”

Jeonghan memukul lengan Seungcheol. “Han cuma suka mas wangi, bukan ngajakin yang aneh-aneh. Mesum dasar.”

“Ya kirain, abisnya cium-cium leher mas.”

“Ih mesum.”

“Hahaha belum boleh ya Han?”

Jeonghan menggeleng. “Sampe 4 bulan, sekarang baru jalan 2.” Jeonghan mengelus pipi suaminya.

“Lama juga ya.”

“Soalnya masih lemah mas, belum boleh ke guncang-guncang.”

“Berarti mas harus...?”

“Apa?” Jeonghan menatap Seungcheol galak.

“Harus sabar, sayang hahaha.” Ucap Seungcheol sambil tertawa dan langsung memeluk Jeonghan.

“Awas ya kalo berani jajan jajan di luar.”

“Mana berani mas tuh.”

“Yaudah, sekarang Han mau minta sesuatu.”

“Apa?”

“Cium. Han belum dicium tadi pagi.”

Dan siapa Seungcheol bisa menolak? Lalu bibir keduanya sudah saling menyatu.

Tanpa mereka sadari kalau ada seseorang yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka.

ternyata selama ini....

Jeonghan terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sehabis kejadian kemarin ia harus di rawat inap selama beberapa hari. Kata dokter ia sempat mengkonsumsi obat penggugur kandungan, padahal ia sama sekali tidak mengkonsumsi itu. Karena buat apa juga? Toh dia dan suaminya sudah menerima semuanya.

“Udah bangun, Han?” Jeonghan mengangguk

“Sakit ga perutnya?”

“Udah enakkan sih mas.”

“Mau minum?” Jeonghan mengangguk lagi. Seungcheol langsung membantunya untuk minum.

“Mas, Han laper.”

“Makannya sekarang kamu makan ya? Kasian dedeknya ga makan dari kemarin.”

Jeonghan menatap perutnya sudah agak membuncit lalu mengelus-elusnya. “Tapi Han gak pernah konsumsi obat itu mas.”

“Iya mas percaya sama Han, Han kan sayang banget sama dedek kan? Mas percaya bukan Han.”

“Tapi siapa ya mas? Kok jahat banget sama Han.”

“Mas juga belum tau, Mingyu lagi cari tau. Sekarang Han jangan banyak mikir dulu ya? Nanti dedeknya kepikiran juga. Mas suapi ya sayang?” Jeonghan mengangguk. Walaupun cuma sekitar 7 suap yang masuk ke dalam tubuh Jeonghan setidaknya ada nutrisi untuk anak mereka.

“Oh ya mas, kemarin ada nomor tidak dikenal lagi yang kirim foto ke Han. Itu bukan mas kan?” Jeonghan takut kalau ternyata itu benar suaminya.

“Mas seharian di kantor, kamu bisa tanya Minghao. Mas gak bohong, jadi terserah Han mau percaya apa engga sama mas.”

“Han percaya sama mas.”

. . . . . . . . . . .

“Lepasin gue.”

“Gak, sebelum lo ngaku ke Jeonghan. Jahat banget sih lo jadi cewek.”

“Bukan gue pelakunya.” Mingyu berusaha keras menahan tubuh orang yang di depannya ini.

“Iya bukan lo tapi lo dalangnya.”

Mingyu sampai di depan kamar rawat Jeonghan, di sana ada Jisoo dan Seokmin yang sedang menunggu.

“Mas Mingyu, ini kenapa? Won lo kenapa?”

Sowon. Terduga yang menjadi dalang dari masalah Jeonghan.

“Jisoo mending masuk dulu, mas jelasin di dalem biar barengan sama Seungcheol Jeonghan.” Mingyu masuk sambil membawa Sowon dan diikuti oleh Jisoo dan Seokmin.

Dengan kasar Mingyu mendorong tubuh Sowon sampai wanita itu hampir jatuh.

“Mas Mingyu, kok Sowon dikasarin gitu?” Tanya Jeonghan

“Tau Ming, kok lo kasar sama cewek.”

“Orang kayak dia emang harus dikasarin.”

“Sebentar sebentar ini ada apa sih?”

“Jeonghan, asal lo tau ya temen lo ini adalah dalang dari kejadian lo bisa sampe masuk rumah sakit.”

“Hah? Maksudnya?”

“Dia bayar waiters di sana untuk masukin sesuatu ke dalam makanan lo.”

Semua orang yang ada di sana tidak percaya.

“Won, elo.....” Bahkan Jeonghan tidak tau harus bagaimana sekarang.

“Dia bohong, Han. Gue ga mungkin kayak gitu.”

“Lo mau ngaku atau gue pecahin pala lo sekarang juga?”

Sowon hanya diam.

“Won, lo ga bener ngelakuin hal itu kan won?” Pertanyaan Jisoo pun tidak dijawab oleh Sowon.

“Won, jawab.” Jisoo bahkan sudah mulai kesal. Ia sampai menggoyangkan lengan Sowon meminta kejelasan. Tapi Sowon masih tidak mau menjawab.

“Sowon, bener kamu yang ngelakuin itu?” Tanya Seungcheol, lalu Sowon menggeleng.

“Masih gak mau ngaku juga ya lo?” Mingyu seperti sudah siap menghantam kepala Sowon dengan nampan kosong di atas nakas samping ranjang Jeonghan. Kalau tidak di cegah Seokmin mungkin Sowon sudah terkena nampan itu.

“Mas Mingyu sabar dulu mas. Sowon mending lo ngaku deh, sebelum gue ga bisa nahan mas Mingyu lagi.”

“Ngapain gue ngaku sesuatu hal yang gak gue lakuin?”

“Iya elo ga ngelakuin tapi ini ide lo. Ngaku gak lo?” Mingyu geram dengan Sowon yang keras kepala tidak mau mengaku.

“Sowon mending kamu ngaku aja atau mas panggil polisi sekarang juga?” Seungcheol sudah tiba bisa main-main lagi. Karena ini menyangkut nyawa suami dan calon anaknya.

“Sowon.”

“Oke-oke, gue ngaku iya bener gue yang ngelakuin. Gue yang nyuruh waiters itu ngasih obat ke makan Jeonghan.”

Jawaban Sowon membuat mereka semua di sana semakin terkejut.

“Won, gila ya lo?” Jisoo bener-bener tidak habis pikir dengan Sowon.

“Nahkan, busuk.” Mingyu menatap remeh Sowon.

“Sowon, saya gak tau apa yang membuat kamu melakukan hal itu ke Jeonghan. Tapi yang kamu lakuin itu udah tindak kriminal, kamu bisa bunuh anak saya bahkan kamu bisa bikin Jeonghan gak bisa punya anak lagi.”

“Salah apa gue sama lo, won?”

“Salah karena lo nikah sama mas Seungcheol.”

“Lo kalo naksir Jeonghan ya tau batasnya dong, won.” Ucap Jisoo kesal.

“Lo pikir gue kayak gini karena gue suka sama Jeonghan?”

“Ya terus? Gak mungkin kan lo suka sama mas Seungcheol?”

“Hahahaha emangnya kenapa kalo gue suka sama mas Seungcheol?”

“Sowon lo gila? Dia suami temen lo.”

“Gue yang duluan suka sama mas Seungcheol. Gue. Gue yang pertama kali ketemu sama dia. Terus lo Han dengan gampangnya lewat nyokap lo lo bisa dapetin dia? Sedangkan gue? Gue harus usaha dulu biar dia ngeliat gue. Tapi apa? Lagi-lagi gue cuma di liat sebagai temen lo. Gue muak banget.”

“Seungcheol, lo tau dia siapa?” Tanya Mingyu

Seungcheol menggeleng. “Sowon kan?”

“Dia Sojung.” Seungcheol terkejut mendengar ucapan Mingyu. Seungcheol kemudian memperhatikan Sowon dari atas sampai bawah.

“Helo, mas Seungcheol. Inget kan sama gue? Sekarang apa lo inget janji lo yang mau nikahin gue pas kita dewasa nanti?”

Seungcheol ingat. Tapi dia tidak pernah berjanji. Dia hanya mengiyakan, tapi itu dulu sewaktu dia dan Sowon masih sekolah dan sebelum Sowon pergi ke Paris. Jadi ia pikir kalau Sowon hanya bercanda dulu, apalagi sepertinya Sowon tau kalau dulu ia suka dengan Clara.

“Sowon, itu kejadian udah lama banget. Dulu kita masih kecil, belum mikir panjang dan aku pikir kamu cuma bercanda.”

“Gue ga pernah bercanda, mas. Sekarang gue nagih ke lo, makannya gue kasih obat penggugur kandungan ke makanan Jeonghan biar anak lo berdua mati dan Jeonghan ga bisa punya anak lagi akhirnya lo marah dan ceraiin dia.”

“Gila sih, sakit ya lo?” Tanya Mingyu.

“Gue cuma mau ambil apa yang harusnya punya gue, mas Mingyu.” Ucap Sowon nyolot.

“Ya tapi dia udah punya orang lain. Mikir dong lo, kalo akhirnya lo ga bisa dapetin Seungcheol artinya dia bukan jodoh lo.” Mingyu makin kesal.

“Gak, mas Seungcheol punya gue. Dia harusnya sama gue, bukan sama Jeonghan. Jeonghan lo brengsek banget.” Sowon berteriak membabi buta. Sedangkan Jeonghan sudah tidak tau apa yang terjadi, semuanya terjadi secara bersamaan.

“Akhhhh—.”

“Han, kenapa sayang? Sakit perutnya?”

“Mas, sakit banget. Han gak kuat.”

Seungcheol langsung memencet bel untuk memanggil dokter. Beberapa menit kemudian dokter dan suster yang menangani Jeonghan datang.

“Tolong jangan membuat ke gaduhan ya mas mbak ini rumah sakit.”

Mingyu langsung menggiring Sowon untuk pergi.

“Jeonghan lo harus mati. Lo ga pantes sama mas Seungcheol. Cuma gue, gue yang pantes buat bersanding sama mas Seungcheol.”

Dokter memeriksa kondisi perut Jeonghan.

“Dok gimana?” Tanya Seungcheol

“Tidak apa-apa pak, hanya kram. Tapi kram terjadi karena pak Jeonghan terlalu banyak pikiran. Tolong jangan terlalu banyak bikin pikiran untuk pak Jeonghan ya, pak.”

“Baik dok, terima kasih.”

Dokter pun mengangguk dan langsung pergi.

“Han...”

“Mas, boleh gak tinggalin gue sendiri dulu?”

“Jeonghan, tapi—.”

“Please gue butuh waktu sendiri dulu. Gue perlu mencerna semuanya dengan baik.”

“Oke, mas di luar ya? Kalo butuh apa-apa telpon aja.” Seungcheol menaruh ponsel Jeonghan dekat dengan Jeonghan agar ia bisa gampang mengambilnya. Lalu ia keluar, di luar pun ia langsung ditodong oleh Sowon.

“Mas Seungcheol, Jeonghan cuma nyusahin mas aja. Mending lo tinggalin aja.” Sowon bahkan dengan beraninya memegang lengan Seungcheol.

Dengan cepat Seungcheol menghempaskan tangan Sowon dan mendorongnya dengan kencang sampai perempuan itu terjatuh.

“Semua ini gara-gara lo. Lo yang bikin suami gue masuk rumah sakit, sampe dia kayak gini. Kalo sampe ada apa-apa sama dia dan calon anak gue, Lo yang bakal ancur di tangan gue. Mending lo pergi deh, abis ngelakuin hal jahat kayak gitu masih punya muka lo minta gue untuk nikahin lo? Sakit jiwa ya lo?” Seungcheol sudah benar-benar muak. Lalu ia mengambil ponsel dan mencari nama Minghao.

“Ko, lo tau perusahaan orang tuanya Sowon? Iya Kim furniture. Tarik semua saham gue di sana, bahkan saham keluarga Choi juga. Jangan sampe ada yang nyisa. Udah lo ikutin aja omongan gue.” Seungcheol langsung memutus sambungan teleponnya.

“Mas, lo gila ya? Perusahaan papa gue bisa bangkrut.”

“Lo pikir gue perduli? Lo harusnya bersyukur gak gue masukin ke penjara. Pergi deh, eneg banget gue liat muka lo.”

“Mas, gue mohon jangan lakuin itu. Gue minta maaf sama lo.”

“Permintaan maaf lo ga bakal bikin Jeonghan sehat tiba-tiba.”

“Mas Seungcheol gue mohon.”

“Usir Ming, gue kesel liatnya.”

“Udah ayo, gue sekalian balik Cheol. Ntar malem gue kesini lagi.”

Seungcheol mengangguk. “Thanks, Ming.”

Jisoo dan Seokmin juga ikut pamit saat itu juga.

“Sampe Jeonghan kenapa-kenapa gue ga segan-segan ngancurin lo sampe ke akar-akarnya, Sowon.” Ucap Seungcheol dalam hatinya.

GyuHao

Minghao meremat erat tangan Mingyu. Saat ini keduanya sudah sampai di depan rumah keluarga Mingyu.

“Sayang, rileks ya.”

“Gimana bisa rileks sih mas huhuhu perut aku mules banget.”

“Kamu kalo gugup gini ya? Bagi-bagi ke aku.”

“Ini tuh lebih serem daripada nyasar di Hawaii.”

“Kamu pernah nyasar di Hawaii?”

Minghao memukul pelan lengan Mingyu. “Bukan waktunya bercanda.”

“Hahaha santai sayang santai.” Mingyu membuka pintu rumahnya itu, dan di sambut oleh mama Kim dan seorang wanita.

“Cla kamu ngapain disini?”

“Gyu, kemarin Tante Dara undang aku kesini.”

“Ma, kenapa sih harus selalu melibatkan orang lain?”

“Clara ini kan bukan orang lain, Gyu. Dia sahabat kamu dan sebentar lagi akan jadi istri kamu.”

Minghao makin meremat tangan Mingyu, agar Mingyu merasakan sakit hatinya ketika mendengar ucapan mama Kim.

Mingyu menoleh ke arah Minghao, lalu ia melepaskan genggaman tangannya merubahnya menjadi merangkul pundak Minghao. Kemudian di depan mamanya dan Clara, Mingyu mengecup pipi Minghao.

“Aku mau ketemu papa.” Sehabis mengucapkan itu Mingyu langsung menggiring Minghao masuk ke dalam, dimana ada sang papa sedang membaca artikel dari tab nya.

“Pa?”

Papa Kim menoleh ke arah Mingyu, lalu kemudian menatap Minghao dari atas sampai bawah.

“Bawa siapa kamu?”

“Kenalin pa, ini Minghao pacar aku. Calon suami aku lebih tepatnya.” Mingyu mengenalkan Minghao dengan bangganya.

Tuk

Papa Kim menaruh stylus pen miliknya dengan kencang. Lalu papa Kim menatap Mingyu dan Minghao dengan tatapan datar.

“Apa kamu bilang? Calon suami kamu?”

“Iya pa, namanya Minghao. Dia ini adik sepupunya Seungcheol.”

Lalu dengan mata kepalanya sendiri Minghao melihat papa dari pacarnya ini tersenyum meremehkan.

“Sudah papa bilang, berhenti main dengan Seungcheol. Dia itu bawa pengaruh buruk buat kamu.”

Mungkin, kalau saat ini dirinya yang dihina Minghao tidak akan sekesal ini. Tapi kali ini, mas nya. Mas Seungcheol nya. Orang yang amat sangat ia kagumi dari kecil, dihina di depan matanya.

“Papa, Seungcheol itu baik pa. Dan dia gak pernah bawa pengaruh buruk ke aku.”

“Ini buktinya. Kamu memilih seorang laki-laki untuk kamu jadikan pasangan hidup. Ini pengaruh buruk dari dia. Dia dan keluarganya itu sama-sama menjijikkan, kamu tau? Kaum-kaum mereka yang menikahkan anaknya dengan sesama jenis itu menjijikkan.”

“Cukup om.”

Tidak. Ini sudah bukan menyangkut dirinya saja. Tapi juga keluarganya. Minghao muak. Dia lebih baik tidak menikah dengan Mingyu daripada harus mendengar keluarganya dihina seperti ini.

“Om boleh hina saya. Tapi om gak ada hak untuk hina keluarga saya, hina mas Seungcheol.”

“Oh sekarang kamu sadar kalo kamu hina? Bagus. Kamu sadar diri juga ternyata.”

“Papa.” Mingyu benar-benar dibuat malu sekarang.

“Iya om, saya sadar. Sadar banget. Tapi, orang yang merendahkan martabat orang lain juga ga kalah hina om. Om kan berpendidikan ya, emang gini ya om orang berpendidikan tinggi kalo memperlakukan orang?”

Minghao melihat papanya Mingyu mengepalkan tangannya.

“Kenapa om kesel ya dihina orang hina kayak saya?”

“Yang kayak gini mau kamu jadikan pasangan hidup, Mingyu? Orang hina yang tidak punya sopan santun.”

Minghao melepaskan diri dari Mingyu. Menatap wajah papa dari kekasihnya itu.

“Om, tanpa mengurangi rasa hormat saya ke om saya minta maaf kalau saya yang hina ini gak ada sopan santunnya. Saya izin pamit, daripada saya makin ga sopan disini.” Ketika Minghao akan pergi, tangannya di tahan oleh Mingyu.

“Kamu pergi, aku juga pergi.”

“Mingyu kamu langkahkan kaki kamu keluar dari rumah ini, papa tidak segan-segan akan menghapus nama kamu dari ahli waris keluarga Kim.”

“Aku gak perduli, pa. Aku ga perduli lagi tentang warisan itu. Bagi aku, Minghao lebih dari sekedar warisan.”

“Mingyu kamu jangan ngomong gitu. Kamu bakal nyesel nantinya.” Ucap mama Kim yang daritadi mendengar pembicaraan mereka.

“Aku bakal lebih nyesel kalo kehilangan Minghao, ma. Cukup dua kali aku kehilangan orang yang aku sayang, kali ini aku gak akan pernah mau menukar Minghao sama apapun.”

Kalau saat ini situasi nya sedang yang baik-baik, mungkin Minghao akan lari ke dalam pelukan Mingyu dan mencium bibir Mingyu dengan lahap. Tapi saat ini situasinya sedang berbeda.

“Mas, kamu ga usah sampe segininya.”

“Ho, kalau menyangkut kamu aku bakal ngelakuin apapun.”

“Papa akan kasih kamu kesempatan untuk berpikir ulang, Mingyu. Pilih menikah dengan Clara dan kamu akan mendapatkan semuanya atau pilih dia dan kamu akan kehilangan semuanya. Termasuk papa usir kamu dari rumah ini.”

“Aku akan pilih Minghao, pa.” Tanpa berpikir panjang Mingyu menyampaikan pilihannya.

“Pergi kamu dari sini. Bawa semua barang-barang kamu. Mulai saat ini kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini.”

“Oke pa. Makasih untuk semuanya, maaf Mingyu gak bisa seperti yang papa dan mama harapkan. Mingyu mau ambil baju-baju dulu. Oh ya pa ma, Mingyu akan menikah dalam waktu dekat. Kalau minta restu Mingyu tau apa jawaban mama dan papa, Mingyu cuma mau kasih tau aja. Keluarga Seungcheol baik, mereka ga seperti apa yang papa ucapin. Sekali lagi Mingyu minta maaf.” Mingyu menarik tangan Minghao menuju kamarnya.

“Mas, kamu yakin?” Tanya Minghao ketika mereka sudah di dalam kamar Mingyu.

Mingyu mengangguk lalu menarik Minghao ke pelukannya. “Gapapa kan kalo nikahnya sederhana? Maaf ya, tapi ini pilihan mas. Dan mas percaya sama pilihan mas.”

“Gapapa, mas. Yang penting sama mas. Jangan tinggalin aku ya mas.” Minghao mengeratkan pelukannya.

“Iya sayang, mas bakal buktiin sama kamu kalau kita akan bahagia terus. Mas akan usahain bahagiain kamu sebisa mas.”

Setelah selesai membereskan semua pakaiannya, Mingyu dan Minghao keluar dari kamar dan mendapati papa, mama dan Clara masih ada di sana.

“Mingyu, mama mohon jangan gini ya sayang.”

“Maaf ma, ini pilihan Mingyu. Mungkin, mama harus ngerasain apa yang Mingyu rasain dulu. Ketika Mingyu di tinggalkan paksa oleh orang yang Mingyu sayang.”

Mingyu memeluk sebentar mamanya, lalu ia kembali menggenggam tangan Minghao untuk ia ajak pergi.

“Mingyu jangan pergi ya. Mingyu disini aja sama aku. Mingyu aku mohon turutin aja keinginan papa mama kamu ya, nikah aja sama aku Mingyu. Aku janji bakal jadi istri yang baik untuk kamu, aku bisa kasih kamu keturunan Mingyu. Sama aku aja ya Mingyu.” Clara memohon-mohon pada Mingyu di depan Minghao. Minghao hanya menatap tidak suka pada wanita itu. Benar-benar benalu.

“Cla, udah pernah aku bilang sama kamu. Kalau aku ga bisa sama kamu. Dan please stop ganggu aku ataupun Seungcheol. Jangan jadi benalu di hubungan kita lagi. Cla, kamu cantik suatu saat nanti kamu bakal ketemu sama orang yang akan terima kamu apa adanya. Tapi orang itu bukan aku atau Seungcheol.” Mingyu melepaskan tangan Clara yang memegang lengannya. Lalu ia kembali menarik tangan Minghao untuk pergi dari sana.

Sebelum meninggalkan rumah itu, Mingyu sempat melihat sekali rumah masa kecilnya itu. Dan mungkin ini akan menjadi yang terakhir kalinya ia menginjakkan kakinya di rumah itu.

“Pa, ma, Mingyu minta maaf. Mingyu pergi ya. Mama papa sehat-sehat.” Hanya itu yang ia ucapkan dalam hatinya dan kemudian melangkah masuk ke mobilnya dan pergi meninggalkan rumah itu. Kini, semuanya hanya tinggal kenangan dalam benak Mingyu. Yang akan ia selalu simpan rapih dalam ingatannya. Mingyu pamit.

Seungcheol membuka matanya ketika ia sedikit terganggu oleh suara dari arah kamar mandi. Ketika ia melihat ke sebelahnya, Jeonghan tidak ada di sana. Dengan terburu-buru ia bangun dan menuju kamar mandi. Ia melihat ada Jeonghan yang sedang membungkuk di depan wastafel.

“Hey, mual banget ya?” Seungcheol mengelap keringat yang membasahi kening suaminya itu. Jeonghan membasuh mulutnya dan mengangguk. Lalu ia menatap Seungcheol dengan sendu.

“Capek, mas.” Jeonghan merentangkan kedua tangannya meminta untuk di peluk. Seungcheol langsung dengan sigap memeluk Jeonghan dan mengelusi punggung Jeonghan.

“Mas beliin sarapan dulu ya? Abis itu baru kamu minum vitamin biar gak mual terus.”

Jeonghan menggeleng. “Mulut Han ga enak.”

“Terus kalo gak minum vitamin gimana dong? Lagian juga kasian dedeknya gak dapet nutrisi dari makanan. Sedikit juga gapapa kok Han, yang penting ke isi, ya?”

Jeonghan masih diam, ia masih ingin dipeluk oleh Seungcheol.

“Han gak kasian emang sama dedeknya? Nanti dedeknya ga sehat gimana?”

Jeonghan melepaskan pelukannya, lalu menatap Seungcheol. “Mau nasi Padang.”

“Nasi Padang dimana yang buka pagi-pagi gini, Han?”

“Maunya nasi Padang.” Ucap Jeonghan langsung pergi, memanyunkan bibirnya ketika Seungcheol bertanya seperti itu. Artinya, Seungcheol tidak mau mencarinya.

“Okay, mas cariin ya. Han makan buah dulu biar gak kosong perutnya.” Seungcheol mengambil kunci mobilnya, mengecup kening Jeonghan dan langsung pergi.

. . . . . . . . . . .

Hampir 1 jam Seungcheol mencari nasi Padang di pagi hari. Sesampainya di apartemen, ia mendapati Jeonghan sedang tertidur di depan televisi.

“Yah dia tidur.”

Lalu Seungcheol memutuskan untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi dan untungnya ia sudah memberitahu Minghao kalau ia datang terlambat.

Butuh waktu beberapa menit kemudian ia sudah rapih dengan pakaian kantornya.

“Mas nyiapin baju sendiri?” Seungcheol melihat Jeonghan di ambang pintu kamar mereka.

“Iya, kok Han udah bangun?”

“Ke bangun.” Jeonghan membantu Seungcheol memasang dasinya.

“Nasi Padang nya mas taro di meja makan, makan dulu sana.”

“Mas belum makan juga kan? Maaf ya mas, Han jadi gak ngurusin mas sama rumah.”

“Hey, kok ngomongnya gitu? Han kan bukan pembantu yang harus beberes setiap hari, apalagi Han lagi hamil mas malah ga saranin Han untuk beberes karena Han kan ga boleh capek dulu. Terus ngambil baju mas juga bisa, Han. Han itu malah ngurusin mas banget, nyuciin baju mas kan bentuk dari Han ngurusin mas.”

“Yaudah, kalo gitu nanti Han bawain makan siang ya mas?”

“Han mau ke kantor? Nanti capek loh.”

“Han bete kalo di rumah doang, biar sekalian jalan-jalan juga. Ya mas?”

“Yaudah iya, sekarang makan ayo mas temenin dulu.” Seungcheol menarik tangan Jeonghan menuju meja makan.

“Mas kenapa gak beli juga?” Tanya Jeonghan ketika ia melihat hanya ada satu porsi nasi Padang di meja.

“Tadinya mas mau beli, mas pengen rendang nya tapi belum mateng yaudah gak jadi.”

“Masih pagi sih ya.”

“Tadinya gak dikasih, karena emang belum mateng semua pas mas bilang buat orang hamil langsung di kasih.”.

Jeonghan tertawa. “Makasih ya mas, sekarang mas duduk Han suapin.”

“Udah buat Han aja, mas makan roti aja.”

“No no no, aaaaa?” Mau tidak mau Seungcheol akhirnya memasukkan nasi itu ke mulutnya. Daripada suaminya ngambek.

GyuHao

Saat ini Mingyu yang ditemani Seungcheol dan Jeonghan sudah berada di rumah keluarga Minghao.

“Jadi apa yang mau diomongin? Tanya kakek Choi

“Jadi maksud kedatangan saya kesini mau melamar Minghao, kek.” Mingyu yang menjawabnya. Mingyu melihat kakek Choi mengangguk.

“Orang tua u tau kalo u mau ngelamar anak i, Mingyu?” Kali ini baba yang bertanya.

Mingyu diam lalu menggeleng. “Belum tau, om.”

“Gimana u mau ngelamar anak i kalo orang tua u aja gak tau.”

“Ba....” Hao memperingati baba nya agar tidak menyeplos seperti itu. Mingyu bisa takut nantinya.

“Gini ya Mingyu i tau u mau banget sama anak i dan kayaknya anak i juga mau banget sama u. Tapi yang harus u berdua tau, restu itu penting. I gak masalah pekerjaan u apa, yang penting u berdua tau kalo keluarga disini mengutamakan restu.”

Mingyu mengangguk. “Saya mengerti, om. Ini memang kendala dari saya, kedua orang tua saya tidak setuju kalau saya menikah dengan seseorang yang bukan pilihan mereka. Tapi saya dengan segenap hati saya, mau memperjuangkan Minghao.”

“Memangnya kamu gapapa kalo tiba-tiba nama kamu dihapus dari hak waris keluarga karena harus menikahi cucu saya?”

Mingyu mengangguk. “Saya gapapa, kek. Saya juga bilang sama Minghao kalau kali ini saya akan memilih dia dibanding kekayaan, karena uang bisa saya cari dimana saja tapi saya belum tentu bisa cari orang yang mencintai saya seperti Minghao.”

Minghao mereka pipinya memanas sekarang. Malu rasanya diperjuangkan terang-terangan seperti ini.

“Hah susah kalo udah bucin.” Ucap baba, kakek pun tertawa mendengar ucapan mantunya itu.

“Kayak kamu dulu, Hoon. Bahkan dulu kamu lebih keras kepala dari pada Mingyu.” Ucap kakek Choi sambil menyeruput teh hangatnya.

“Baba dulu juga gitu kek?” Tanya Minghao

“Baba mu dulu itu jauh-jauh dari China kesini cuma mau menikahi mama mu, ko. Dulu baba mu itu belum bilang ke orang tuanya, ya modelannya kayak Mingyu gini cuma bedanya orang tua nya baba mu masih kasih restu. Cuma ya gitu, harus dimarahin Siwon dulu baru dia pulang.”

“Udah pa, kenapa jadi bahas i. Pokonya ya Mingyu, seenggaknya u bilang dulu ke orang tua u. Seenggaknya mereka tau u mau nikah. I gak mau kalo anak i yang jadi korban. I tau keluarga u.”

“Tapi kalo orang tuanya Mingyu masih ga kasih restu gimana, om?” Tanya Seungcheol.

“Kawin lari aja u berdua.”

“Jangan di dengerin. Mingyu mending bilang dulu ke orang tua kamu, kalo dari kakek pribadi kakek menerima lamar Mingyu, tapi disini yang utama adalah dari baba sama mama nya Koko.”

“Kalo mama sih ikut baba aja.” Ucap mama Hao.

“Om gimana? Terima aja om, kasian mas Mingyu ga jadi nikah-nikah.” Tanya Jeonghan. Mingyu tersenyum pahit. Jeonghan benar, kalau kali ini ia tidak berhasil juga dengan Minghao ia memastikan kalau dirinya tidak akan menikah.

“Kenapa? Gak di restuin juga sama orang tua u?”

Mingyu mengangguk.

“Ada yang salah sama otak orang tua u kayaknya Mingyu. Masa anaknya udah gede masih di atur-atur kebahagiaannya.”

“Selain gak setuju sama pilihan saya, sebenernya orang tua saya juga tidak mengizinkan saya dengan laki-laki, om.”

“Kenapa? Mereka malu atau gimana?”

“Menurut mereka katanya kalau menikah dengan laki-laki gak akan punya keturunan.”

“Terus u gimana? Bisa aja nanti u nikah sama Hao emang bener ga bisa punya keturunan. U okay ga sama itu?”

Mingyu mengangguk. “Saya menikahi Minghao bukan karena keturunan saja om, saya menikahi Minghao karena saya yakin kalau Minghao memang orang yang tepat untuk menemani masa tua saya.”

“Emangnya u ga iri sama si mas yang nantinya dia punya anak kandung? Emangnya u gak mau punya anak yang bakal mirip sama u? Pikirin lagi deh Mingyu, sebelum i setujuin. Sebelum u menyesal karena menikahi anak i. Sekali lagi i ingetin ya, i gak mau kalo anak i yang kena.”

“Om, saya sudah pikirkan ini matang-matang. Saya gak perduli kalau nantinya saya ga bisa punya keturunan dari Minghao. Saya ga perduli saya harus kehilangan semua warisan. Bagi saya, hidup dengan Minghao sudah lebih dari cukup.”

Minghao melihat mamanya sedang menyeka air matanya dengan diam-diam. Ia juga melihat kakeknya yang nampak tersenyum lebar mendengar ucapan Mingyu. Tapi ia melihat baba nya tidak memberi reaksi apapun.

“Ya ya, terserah u mau ngomong gimana. Yang penting u ngomong dulu sama orang tua u. Ntar kita omongin lagi gimana nya. I ada kerjaan mendadak, sorry kalo ga bisa anter u pulang.” Ucap baba Hao yang langsung pergi begitu saja.

. . . . . . . . . . .

Setelah mengantar Mingyu, Seungcheol dan Jeonghan ke depan rumah, Minghao masuk dan mendapati baba nya sedang duduk.

“Ba?”

“U udah gede ternyata ya ko hahaha udah ada yang dateng ke rumah mau minta u ke i. Kayaknya dulu u masih ngintilin mas u, sekarang u udah mau nikah.” Minghao bisa tau kalau suara baba nya sudah berubah.

“Ba, kalo baba gak ngeizinin Koko gak bakal nikah sama mas Mingyu.”

“Gimana bisa i ngancurin kebahagiaan u, ko?”

“Ba...” Minghao tidak tau kenapa ia ingin menangis saat ini.

“I cuma mau liat u bahagia, ko. I liat bahagia u ya ada di Mingyu. I belum bisa percaya sama dia 100%, tapi kalo mas bilang baik i percaya.”

“Baba lebih percaya sama mas dari pada aku.”

“Mas u tuh udah kenal Mingyu lebih lama dari u, jelas i lebih percaya mas.”

“Tapi baba oke kan kalo misalkan mas Mingyu gak dapet warisan?”

“Emangnya i bakal minta? I juga punya uang banyak kalo u lupa. I ga perduli dia kerja apa ko, yang penting dia bisa ngasih nafkah ke u.”

“Huhuhu baba i sayang banget sama u.” Hao berhambur ke pelukan baba nya.

“Bahagia terus ya ko. Semoga kali ini pilihan u tepat, karena i ga mau liat u sedih karena cinta. I besarin u pake cinta, tapi i ga mau u nangis karena cinta orang lain. Dan sampe kapanpun u tetep anak kecil i, u boleh ngadu semuanya sama i.”

“Makasih ya, ba.” Yesung mengelap air matanya secepat kilat lalu mengangguk.

Buy-Pay

Jeonghan menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya. Sekarang ia menyesal, menyesal karena tidak memberi kesempatan pada Seokmin.

“Huhuhu pay gak mau jadi pacar gue lagi.”

Hanya itu yang berkali-kali ia ucapkan. Sambil menangis tentu saja.

Tok tok tok tok

Pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Jeonghan mendongak. Hanya dia dan Seokmin yang tau password apartemennya. Dengan cepat Jeonghan berlari membuka pintu itu.

“Pay?” Jeonghan terkejut ketika melihat Seokmin di sana. Sedetik kemudian ia sudah memeluk tubuh—mantan—kekasihnya itu. Ia menangis di pundak Seokmin, mengucapkan kata maaf karena tidak mau memberikan kesempatan pada Seokmin.

“Buy, gak capek emangnya berdiri terus? Duduk dulu yuk?” Jeonghan menggeleng, ia bahkan mengeratkan pelukannya. Seperti tidak mau melepaskan Seokmin lagi.

Karena Jeonghan tidak kunjung melepaskan pelukan mereka, akhirnya mau tidak mau Seokmin menggendong Jeonghan menuju sofa. Dan mendudukkannya di atas kedua pahanya.

“Buy?”

Jeonghan tidak menjawab.

“Buy sayang?”

Jeonghan mendongak. Menatap mata Seokmin dengan matanya yang berair.

“Buy nangis dari kapan, sayang? Matanya sampe bengkak gini.” Seokmin bergerak mengecup kedua mata Jeonghan.

“Pay, maaf.”

“Hm, maaf kenapa sayang?”

“Maaf karena gak mau denger penjelasan kamu dulu. Aku nyesel pay, nyesel banget. Aku ikhlas kalo kamu gak mau jadi pacar aku lagi.” Ucap Jeonghan sambil terisak-isak.

Seokmin membawanya lagi masuk ke dalam pelukannya. Mengelus-elus punggung si cinta.

“Buy, aku yang minta maaf karena udah bohong sama kamu. Harusnya waktu itu aku gak bohong, biar akhirnya kita gak begini, kamu gak nangis begini, iya kan buy?”

Jeonghan mengangguk. “Kita berdua salah, pay.”

“Iya sayang, maaf ya. Matanya si cantik jadi bengkak begini gara-gara pay jelek.”

“Maafin aku juga ya, pay.”

Seokmin mengangguk. “Iya buy sayang.”

“Tapi kalo pay gak mau jadi pacar buy lagi gapapa. Mungkin ini konsekuensinya karena buy ngomong kata itu dengan gampangnya.” Ucap Jeonghan sambil menunduk.

“Buy mau jadi pacar pay lagi emangnya?”

Jeonghan mengangguk. “Mau banget, pay.”

“Tapi pay gak mau, sayang.”

“Aku paham kok, gapapa pay.”

Seokmin merapihkan anak rambut Jeonghan. “Buy tau gak kenapa alasan aku nyuruh kamu sewa apartemen ini?”

“Karena kalo beli kemahalan ya, pay?”

“Bukan sayang, bukan karena itu.”

“Terus apa dong?” Jeonghan berkedip lucu dengan menatap Seokmin. Kalau saat ini sedang waktunya intim, mungkin Jeonghan sudah akan berada dibawah kungkungan Seokmin sekarang.

“Karena aku mau beli rumah.”

“Oh maksudnya kamu ga bisa bantu patungan ya? Ya gapapa dong pay, ini kan bukan kewajiban kamu buat bayarin apartemen aku.”

“Bukan sayang, bukan itu.” Jeonghan menatap Seokmin dengan bingung. Lagi-lagi Seokmin harus menahan dirinya agar tidak menyerang Jeonghan saat ini juga.

“Karena aku mau ajak buy tinggal di rumah aku itu. Kalo buy di sana, kan alhasil disini gak ada yang nempatin kan? Jadi mending kamu sewa aja, biar bisa ditinggal tiba-tiba.”

Jeonghan mengangguk mengerti. “Terus kamu udah jadi beli rumahnya?”

“Rumahnya udah ada sayang. Aku juga mau ajak kamu pindah ke sana.”

“Tapi pay, lingkungannya gimana? Nanti kita di sangka kumpul kebo. Apalagi kita udah gak pacaran.”

“Nah itu dia, biar kita gak dikira kumpul kebo mending sayang jadi suami aku aja, gimana?”

Jeonghan terkejut. “Jadi suami kamu?” Seokmin mengangguk.

“Pay, aku masih gak ngerti...”

“Gini sayang, aku gak mau pacaran sama kamu karena aku maunya nikah. Aku beli rumah buat kita, nanti kita bangun rumah tangga kita sendiri. Buy, aku udah siapin semuanya mateng-mateng. Aku yakin mau menua sama kamu.”

Jeonghan menatap Seokmin tidak percaya, matanya sudah berkaca-kaca lagi.

“Pay, kamu serius?”

Seokmin mengangguk. “Buy rumah yang aku beli atas nama kamu gimana mungkin aku gak serius?”

Jeonghan kembali memeluk Seokmin, lagi-lagi ia menangis tapi kali ini menangis bahagia.

“Buy sayang, mau gak kalo sebelum atau sesudah tidur liatnya aku, keluar kamar di dapur liat aku, pas kamu lagi mandi tiba-tiba aku masuk cuma karena mau cuci muka alhasil liat aku lagi. Kesel sama siapa marahnya ke aku, sedih karena apa nangisnya ke aku, pengen apapun mintanya ke aku. Buy, jujur dari awal kita pacaran aku mau lakuin semuanya sama kamu, aku bahkan gak pernah kepikiran untuk selingkuh atau ninggalin kamu gitu aja. Buy, dari dulu aku ngayal tiap pulang kerja di sambut sama senyum kamu, ngadu sama kamu karena kerjaan ku banyak.” Seokmin menghentikan ucapannya, ia mengelap air matanya yang jatuh tiba-tiba.

“Buy, aku tau aku banyak kurangnya makannya aku mau minta kamu sempurnain aku dengan kelebihan kamu. Buy—.” Ucapan Seokmin terhenti karena tangisannya menjadi lebih kencang. Seokmin mengeratkan pelukannya dan Jeonghan yang kali ini menenangkan Seokmin.

“Pay sayangku, pay cintaku, pay segalanya untuk aku. Pay, aku sayang banget sama kamu. Aku mau sayang, mau ngelakuin segala macam hal sama kamu. Mau sama kamu terus, pay. Aku mau.”

Keduanya sama-sama menangis sekarang.

“Makasih buy sayang makasih.”

“Pay, i love you.”

“I love you too, buy.”

“Hai, sorry lama ya.”

Jeonghan menggeleng. “Gue juga baru dateng kok.”

“Lo udah pesen?”

Jeonghan mengangguk. “Udah kok, tinggal lo gue ga tau lo sukanya apa jadi gue ga pesenin.”

“Okay.” Jisoo memanggil pelayan untuk meminta buku menu.

Beberapa menit kemudian makanan yang mereka pesan datang.

“Lo mau ngobrolin apa?”

“Makan dulu aja kali ya, soalnya gue juga agak buru-buru. Gue mau fitting baju pengantin.”

Ucapan Jisoo membuat Jeonghan meremat erat sendok yang sedang ia pegang.

Baju pengantin?

Ternyata hubungan mereka sudah seserius itu ya?

Beberapa menit kemudian mereka sudah selesai makan.

“Jeonghan, gue sebenernya kesini mau kasih lo undangan pernikahan gue.”

Jeonghan ingin menangis saja rasanya. Ia di undang ke acara pernikahan mantannya yang bahkan masih sangat ia sayang? Sehat kah mereka?

Jeonghan menerima undangan itu. Ia melihat tampilan depannya. Seketika wajahnya pucat ketika membaca nama yang tertera.

Choi Seungcheol & Hong Jisoo

“Ini mas Seungcheol...”

Jisoo mengangguk. “Kakak sepupunya Seokmin.”

“Lo bukannya....”

“Gue sama Seokmin udah kelar dari beberapa tahun yang lalu. Gue juga udah ga ada rasa sama dia.”

Jeonghan terdiam, ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.

“Jeonghan, Seokmin itu cinta banget sama lo. Dia bahkan selalu ceritain elo ke gue, bahkan kemarin waktu dia ke rumah gue di depan nyokap gue yang suka banget sama dia, dia nyebut-nyebut nama lo. Oh ya, Seokmin kemarin ke rumah karena nganterin gue sama nyokap nyari seserahan karena mas Seungcheol lagi ga bisa nganter.”

Jeonghan ingin menangis. Dan memeluk Seokmin saat ini juga. “Pay, maafin aku.”

“Dia bahkan bohong sama lo kan? Karena segitu ga pengennya elo kepikiran eh malah kepikiran karena postingan gue, iya kan?” Jisoo bahkan bisa menebak apa yang ada dipikirannya waktu itu.

“Jisoo, gue minta maaf banget. Maaf kalo sempet berprasangka buruk ke elo.”

Jisoo tertawa. “It's okay, Jeonghan. Seokmin emang pantes kok di bucinin.”

Wajah Jeonghan bersemu. Benar, ia bucin sama semua yang berhubungan dengan Seokmin.

“Duh, gue udah telat kayaknya. Gue duluan ya? Sekali lagi sorry sama yang kemarin. Sekarang tinggal lo nya yang gimana, tapi gue ingetin sama lo ya Jeonghan—.”

Jeonghan menunggu Jisoo melanjutkan ucapannya.

“—kalo Seokmin yang mau banyak. Gue duluan ya, bill on me. See u next time.” Ucap Jisoo yang kemudian pergi meninggalkan Jeonghan yang tampak berpikir.

Sedetik kemudian Jeonghan langsung mencari nama orang yang selalu menjadi pilihannya.

Anak Kecil🙄❤️

cheolsoo

Seungcheol mengecupi leher Jisoo yang sedang ia peluk. Menghirup aroma tubuh kekasihnya adalah hal yang menyenangkan untuknya.

Yup, Jisoo dan Seungcheol adalah sepasang kekasih yang sedang merancang pernikahan impian mereka. Seungcheol tau Jisoo adalah mantan dari adik sepupunya. Tapi tidak ada yang bisa dihentikan apalagi kalau masalah hati. Karena sering melihat Jisoo yang sering di ajak ke acara keluarga besar mereka membuatnya menjadi menginginkan laki-laki itu.

Tapi Seungcheol tidak merebut Jisoo dari Seokmin. Ia menjadi secret admirer Jisoo selama laki-laki itu masih dengan Seokmin. Sampai suatu ketika ia mengetahui tentang Jisoo dan Seokmin yang sudah tidak bersama. Pantas saja ia sudah tidak pernah lagi melihat Jisoo di acara keluarga besarnya.

Setelah selang beberapa bulan, ia membicarakan semuanya dengan Seokmin termasuk meminta restu untuk mendekati Jisoo. Ia pikir Seokmin akan marah, tapi ternyata Seokmin malah mendukungnya habis-habisan sampai saat ini.

“Mikirin apa sih?” Suara lembut Jisoo membuyarkan lamunannya. Seungcheol mengeratkan pelukannya.

“Gak lagi mikirin apa-apa, dek. Kamu sudah ngantuk ya?”

“Iya nih, yuk bobok? Besok kamu kerja juga kan mas?”

Seungcheol mengangguk, lalu ia merebahkan tubuhnya sebelum menarik Jisoo masuk ke dalam pelukannya. Ia mengelus-elus punggung Jisoo sambil sesekali mengecupi kening kekasihnya itu.

“Mas?”

“Ya dek?”

“Makasih ya mas.”

“Terima kasih untuk apa?”

“Makasih karena udah milih aku, udah sayang sama aku sama keluarga aku.”

“Sama-sama sayang. Terima kasih juga ya karena sudah memperbolehkan mas melakukan semuanya untuk kamu.”

Jisoo mengangguk. “Aku beruntung banget dapet kamu mas.”

“Mas yang lebih beruntung, dek. Terima kasih juga karena sudah mau terima laki-laki tua ini.” Ucap Seungcheol sambil tertawa.

“Kalo kata Seokmin, tua umurnya aja tenaganya masih muda.” Seungcheol tertawa.

“Eh mas, tapi gimana ya Seokmin sama pacarnya? Aku jadi gak enak deh.”

“Ya terus mau bagaimana, kan Seokmin bilang ini urusannya dia.”

“Ya tapi karena aku kan mas, gara-gara pacarnya cemburu sama aku.”

“Ya terus adek maunya gimana?”

“Apa aku bantu ngomong aja ya mas?”

“Ngomong apa?”

“Ngomong kalo aku sama Seokmin gak ada apa-apa lagi.”

“Tanya dulu Seokmin nya, kalo dia setuju baru deh kamu bantu.”

Jisoo mengangguk. “Tapi btw, mas cemburu juga ga sih? Apalagi kemarin kan aku sering berduaan sama Seokmin.”

“Cemburu tentu saja, tapi mas meyakinkan hati mas lagi kalau sampai kapanpun kamu akan tetap jadi sama mas.”

“Kok pede banget sih? Kalo aku beneran ada apa-apa sama Seokmin gimana?”

Seungcheol mengeratkan pelukannya. “Kan kamu bilang sendiri Seokmin bucin banget sama pacarnya. Kamu juga tau kan kalo Seokmin udah bucin, gak bakal ke goda sama apapun.”

Jisoo tertawa. “Iya sih, yaudahlah lagian aku juga bucin banget sama mas.”

“Mas 2x lipat lebih bucin.” Jisoo tertawa lagi. Kemudian ia mengecup bibir Seungcheol sekilas.

“Love you, mas.”

“Love you too, adek.”

GyuHao

Mingyu datang tepat waktu untuk menjemput Minghao. Saat ini keduanya sudah dalam perjalanan pulang.

“Ho, baba jadinya pulang kapan?”

Minghao yang tadi sedang memainkan ponselnya, langsung menatap Mingyu.

“Kenapa mas?”

“Gapapa, kayaknya emang musti dicepetin.”

“Kenapa sih?”

“Ho, mama udah berulah lagi. Kali ini dia mau deketin aku sama Clara. Aku udah sampe ga tau harus gimana lagi.”

Minghao terdiam.

“Mas, kamu yakin mau nikah sama aku? Maksud aku, kamu beneran kan sayang sama aku?”

“Ho, mungkin kemarin kamu mikir yang enggak-enggak tentang aku dan Seungkwan. Tapi kemarin kami bener-bener menyelesaikan semuanya. Aku sama sekali gak ada niatan mau jadiin kamu pelarian aja, ho. Aku serius sama kamu. Kalo aku main-main aku berani di gantung sama Seungcheol.”

Minghao pikir Seungcheol benar. Dirinya memang sedang cemburu.

“Aku percaya kok. Nanti aku tanyain baba lagi ya? Harusnya lusa baba udah pulang.”

Mingyu mengangguk. “Kalo bisa sama kakek ya sayang.”

“Iya mas.”

Lalu keduanya sama-sama terdiam lagi.

“Terus masalah mama kamu gimana mas?”

“Gak gimana-gimana, aku bakal tetep sama pendirian aku. Aku bakal perjuangin kamu, ho. Aku gak mau kehilangan untuk kesekian kalinya.”

“Maaf ya mas, ternyata aku masih belum bisa jadi kayak yang mama kamu mau.”

“Kalo ngikutin maunya mama tuh gak ada habisnya yang, bisa-bisa aku nikah umur 50 kali. Kamu gak usah minta maaf, ini bukan salah kamu.”

Keduanya sudah sampai di depan rumah Minghao.

“Mau masuk dulu gak mas? Makan dulu yuk?”

“Aku ikut masuk, tapi aku udah makan tadi.”

“Makan apa? Kok tumben sih, kan belum jam makan malem?” Keduanya berjalan masuk ke dalam rumah Minghao—dengan tangan saling menggenggam.

“Tadi tuh ada meeting di cafe gitu yang, jadi sekalian makan aja deh. Tapi nanti paling aku minta dikit aja mau ngerecokin kamu makan.”

“Huuu kebiasaan.”

sebelum puasa.

Jeonghan mendorong tubuh Seungcheol agar jatuh ke atas ranjang dengan sekuat tenaganya. Setelahnya, ia menaiki Seungcheol yang sedang menatapnya.

“Mas dapet hadiah juga kah?”

Jeonghan mengangguk. “Tapi...”

“Tapi?” Seungcheol tersenyum ketika melihat Jeonghan tersenyum juga.

“Tapi ga boleh kenceng-kenceng dan ga boleh lebih dari 3 ronde.”

“Kenapa? Mas kan laper banget ini. Hampir sebulan gak makan Han.” Jeonghan melihat Seungcheol yang membasahi bibirnya yang kering. Lalu dengan gerak cepat, Jeonghan memakan bibir suaminya lagi dengan sedikit mengemutnya.

“Han kasih tau kalo udah selesai.”

“Oke.”

“Han on top?”

Seungcheol tertawa. “Okay, Han on top.”

Jeonghan langsung buru-buru membuka baju Seungcheol dan membuangnya ke sembarang arah. Jeonghan menatap lapar tubuh kekar suaminya itu.

“Kenapa? Kangen juga ya?”

Jeonghan mengangguk ribut. Lalu ia langsung menyerang bibir suaminya dengan rakus. Menggigit, menjilat, menghisap. Ia lakukan berulangkali. Sampai membuat mereka berdua melenguh panjang.

Setelah puas, ia menyerang leher Seungcheol. Seungcheol sendiri mendongakkan kepalanya agar Jeonghan lebih leluasa mengerjai lehernya. Dan benar saja, Jeonghan memberikan beberapa tanda kemerahan di leher Seungcheol.

Jeonghan menghentikan kegiatannya, ia menatap Seungcheol yang dibawahnya dengan senyum lebarnya. Ia bisa melihat tanda-tanda kemerahan itu dari atas.

“Puas?”

Jeonghan menggeleng. “Dadanya belum.”

“Dada mau nunjukin ke siapa? Emangnya mas buka-buka baju kalo diluar?”

“Gapapa, sekalian sih maksud Han. Soalnya bibir Han masih mau.”

Seungcheol tertawa lagi. “Lakuin, sayang. Lakuin.”

Jeonghan memekik senang. Ia langsung membubuhkan bibirnya di atas dada Seungcheol—bahkan sampai turun ke perut suaminya itu.

Setelah puas, Jeonghan membuka bajunya dan membuangnya ke sembarang arah juga.

“Mas mau buat tanda juga?”

“Han udahan belum? Kalo belum bikin dulu aja.”

“Udah, tapi Han juga mau mas. Mau digigit-gigit.”

“Oke, nanti mas gigit-gigit. Sekarang buka celana Han dulu, terus masukin punya mas ke lubang Han.”

“Mau langsung?”

“Kan tadi pas mandi udah mas siapin, sayang.” Wajah Jeonghan bersemu lagi. Memang benar, saat mereka mandi tadi secara tidak langsung Jeonghan memang menggoda Seungcheol sampai Seungcheol akhirnya memasukkan dua jarinya ke dalam lubang sempit itu.

Jeonghan bangun dan langsung membuka celananya, lalu ia juga membuka celana Seungcheol sampai keduanya saat ini bertelanjang bulat.

Jeonghan kembali naik ke atas Seungcheol. Jeonghan sudah melumuri kejantanan Seungcheol dengan lubricant dan kemudian ia menggenggam kejantanan Seungcheol lalu ia arahkan ke lubangnya.

Anghhh Jeonghan melenguh ketika kepala kejantanan Seungcheol sudah berhasil masuk ke dalam lubangnya.

“Pelan-pelan aja, sayang.”

Jeonghan mendongak dan memejamkan matanya ketika ia terus mendorong tubuhnya agar memakan semua kejantanan suaminya.

Ouhhh.

“Mas, penuh banget.” Kejantanan Seungcheol berhasil masuk sepenuhnya ke dalam lubang Jeonghan.

“Kalo sakit diemin dulu, sayang.”

Jeonghan menggeleng. Ia malah langsung menggerakkan pinggulnya dengan gerakan naik turun. Memompa kejantanan Seungcheol dengan cepat.

Seungcheol bisa melihat wajah cantik Jeonghan dari bawah. Jeonghan cantik setiap saat, apalagi saat sedang mendesahkan namanya seperti ini.

“Mmhhm... ahhh! Ah! Ah! Haa... Mas....”

Seungcheol menggenggam kedua tangan Jeonghan agar menjadi tumpuan tubuh Jeonghan juga. Jeonghan masih terus bergerak dan meracau di atas sana.

“Mas, Han mau keluar.... Mmhhm...”

“Keluarin aja, sayang. Mas juga sebentar lagi.”

“Yaudah Han nungguin mas aja.” Gerakannya makin cepat ketika Jeonghan juga merasakan Seungcheol yang akan meledak.

“Ouhhh—mas.”

“Jeonghan—nghhh.”

Jeonghan ambruk di atas tubuh Seungcheol. Nafasnya tersengal-sengal akibat pelepasannya. Seungcheol juga merasakan hal yang sama. Ia mengelus-elus punggung telanjang Jeonghan. Sesekali ia mengecup—menggigit telinga suaminya.

“Good job, Hannie.”

Ketika sudah selesai dengan pelepasannya, Jeonghan menatap Seungcheol meminta untuk dicium kembali. Dengan senang hati Seungcheol menurutinya.

Kali ini Seungcheol membalikkan posisi mereka. Seungcheol mengecupi seluruh wajah Jeonghan lalu turun ke leher—memberikan tanda kemerahan—lalu turun lagi tepat di kedua gundukan kecil Jeonghan.

Seungcheol memasukkan salah satu puting Jeonghan ke dalam mulutnya dan memilin yang lainnya. Jeonghan tidak bohong kalau mulut Seungcheol adalah yang terbaik. Seungcheol selalu melakukannya dengan lembut—mampu membuatnya terbang ke langit dalam seketika—mulut Seungcheol memabukkan untuknya.

Jeonghan menekan kepala Seungcheol yang masih ada di dadanya. Seungcheol paham. Seungcheol peka. Seungcheol tau apa yang Jeonghan mau.

Setelah puas dengan salah satu putingnya, Seungcheol kembali memasukkan puting yang satunya. Namun kali ini tangannya bergerak turun ke arah kejantanan Jeonghan. Seungcheol menggenggamnya sebentar sebelum akhirnya jarinya masuk ke dalam lubang Jeonghan—kembali membuka jalur untuk kejantanannya masuk.

“Mas Seungcheol—.” Jeonghan mendongakkan kepalanya ketika kedua jari Seungcheol berhasil mengobrak-abrik lubangnya. Kepalanya pusing seketika karena kenikmatan yang Seungcheol berikan.

“Jeonghan, mas ga tahan. Mas masuk lagi ya, sayang.”

Jeonghan mengangguk. “Masuk mas. Masukin Han. Lubang Han gatel huhuhu.”

Seungcheol menarik kedua tangan Jeonghan—membantunya bangun—lalu membalikkan tubuh Jeonghan agar membelakanginya.

Jeonghan menegang ketika Seungcheol menggelitik lubangnya dengan kepala kejantanannya.

“Jeonghan, mas masuk ya sayang.” Jeonghan mengangguk ribut.

Seungcheol mendorong pinggulnya agar kejantanannya masuk sepenuhnya ke dalam lubang Jeonghan.

Jeonghan menggigit bibirnya ketika setengah kejantanan Seungcheol masuk. Sampai akhirnya masuk sepenuhnya.

Seungcheol menggeram ketika kejantanannya diremat oleh lubang Jeonghan. Ia memegang pinggul suaminya agar bisa bergerak leluasa.

“Mmhhm...” Jeonghan mendesah ketika Seungcheol menggerakkan pinggulnya dengan gerakan lembut.

“Mas, Han mau yang cepet.”

“Katanya mas gak boleh kenceng-kenceng?”

“Tapi ini kepelanan, mas. Han gatel banget huhuhu.”

Sesuai keinginan Jeonghan, Seungcheol menggerakkan pinggulnya lebih cepat membuat Jeonghan terlonjak-lonjak.

“ahhh! Ah! Ah! Nghh.. mas..”

“Jeonghan, kamu kenapa enak banget si sayang? Mas jadi pengen makan Han terus.. ah! Ah!...”

Jeonghan tidak bisa menjawab karena Seungcheol bahkan seperti tidak mengizinkannya berbicara kecuali mendesah.

“Ah..! Ah! Ah! Haa... ahhh! Ah!..”

Kedua tangan Seungcheol memelintir puting Jeonghan. Seungcheol membungkukkan tubuhnya untuk mengecup—membuat tanda kemerahan—di punggung Jeonghan.

“Mas, Han keluar... Ah!... Ah!.. ahhh!...

Cairan Jeonghan mengotori sprei hotel itu. Mungkin mereka akan membayar lebih untuk room servis hotel.

“Arghhhhhhhh.. ahhh! Haa...” Seungcheol keluar di dalam Jeonghan sekali lagi.

Seungcheol memeluk Jeonghan yang ambruk di atas ranjang, ia mengecupi punggung telanjang Jeonghan.

“I love you, Jeonghan.”

Setengah kesadaran Jeonghan menghilang seketika. Ia baru saja mendengar suaminya mengucapkan kata-kata sakral. Haruskah ia membalasnya?

Jeonghan meringis ketika Seungcheol mengeluarkan miliknya dari dalam Jeonghan. Seungcheol berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dan mengambil handuk serta air hangat untuk membersihkan Jeonghan.

“Makasih mas.” Ucap Jeonghan parau ketika Seungcheol selesai memakaikan kembali bajunya.

“Sama-sama, sayang.” Seungcheol mengembalikan handuk dan baskom itu ke kamar mandi.

“Mau langsung tidur? Atau kamu laper lagi?”

Jeonghan mengecek ponselnya melihat jam di sana. 02.00 dini hari.

“Mau tidur, tapi mau kasih tau mas sesuatu dulu.”

“Apa?”

Jeonghan dengan menahan nyeri di bagian bawahnya, ia berjalan pelan menuju kopernya. Mengambil sesuatu di sana.

Sebuah amplop. Lalu ia memberikannya pada Seungcheol. Sedangkan Seungcheol menerimanya dengan bingung. Ini apa?

“Buka aja mas.”

Seungcheol langsung membuka amplop tersebut dan melihat isinya. Seketika dirinya membeku. Sedangkan Jeonghan takut, takut kalau Seungcheol tidak senang dengan itu.

Seungcheol menatap Jeonghan.

“Han, ini....”

Jeonghan mengangguk. “Han hamil, mas Seungcheol.”