Jihoon terkejut ketika melihat tempat yang dimaksud Seungcheol. Ia pikir seperti tempat makan nasi Padang yang biasa ia datangi, ternyata lebih makanan pedagang kaki lima pinggir jalan. Setelah memarkirkan mobilnya, Jihoon berjalan menuju Seungcheol berada, Seungcheol bilang ia ada di meja nomor 7.
Jihoon melihat seseorang duduk di meja nomor 7, sesuai dengan foto profilnya ternyata Seungcheol benar-benar segagah itu. Tiba-tiba saja jantung Jihoon berdebar kencang, ia mengatur nafasnya sebelum menyapa laki-laki itu.
“Mas Seungcheol?” Jihoon menjadi tambah gugup ketika laki-laki itu menatapnya.
“Jihoon?” Jihoon mengangguk.
“Duduk ji.” Jihoon duduk di depan Seungcheol, ia meletakkan kunci mobilnya di atas meja, sempat ia lihat juga Seungcheol menatap kuncinya.
“Bawa mobil?” Tanya Seungcheol
“Iya mas.”
“Okeh, lo mau pesen apa?” Seungcheol memberikan daftar menu makanan pada Jihoon.
“Mas, ini sehat kan ya?” Tanya Jihoon pelan.
Seungcheol tertawa. “Lo belom pernah makan di pinggir jalan kah?”
“Belum, kata papi kurang sehat tapi sebenernya aku penasaran.”
“Aman, gue udah hampir 3 tahun makan ditempat beginian dan gue ga mati.” Jawab Seungcheol
Jihoon mengangguk, kemudian ia kembali melihat daftar menu itu.
“Aku udang asam manis aja mas.” Ucap Jihoon
“Minumnya?”
“Air mineral ada gak?”
“Ada, pake es batu atau yang dingin aja?”
“Jangan yang dingin mas.”
Seungcheol mengangguk, ia langsung pergi untuk memesannya. Beberapa menit kemudian Seungcheol kembali ke tempat duduknya.
“Jadi?” Tanya Seungcheol to the point.
“Jadi sebenarnya aku ini mau dijodohin sama orang mas, tapi aku ga mau karena orang ini red flag banget.”
“Red flag gimana?”
“Dia kasar, manipulatif, aku tau karena kita satu kampus dulu.”
“Kenapa lo gak jelasin aja me ortu Lo?” Tanya Seungcheol sambil menyeruput es teh manis nya.
“Papi ga percaya, karena dia depan papi mami lembut banget, kayak beda deh sama dibelakang papi mami.”
Seungcheol mengangguk mengerti. rumit juga kisah cinta orang kaya.
“Sambil makan aja ya ji.” Ucap Seungcheol ketika makanan mereka datang. Dan Jihoon mengangguk.
“Jadi gini Jihoon, gue mau aja kalo harus ngaku sebagai pacar lo di depan ortu lo, cuma gue ga mau bohong yang berlanjut. Kayak gue harus pura-pura kaya, atau gue harus pura-pura punya perusahaan yang sebenernya gue ga punya, atau gue musti ngaku jadi lulusan kampus luar negeri, gue ga bisa. Dengan gue pura-pura jadi pacar lo aja, itu udah dosa makannya gue ga mau bohong lebih. Kalo lo oke, gue mau bantuin lo.”
Jihoon hanya diam memandangi Seungcheol, sebenarnya ia dijodohkan juga karena bisnis. Bagaimana ya kalau papi nya tau pacarnya tidak sepadan dengan mereka?
“Gimana?” Tanya Seungcheol pada Jihoon yang masih diam.
“Kita coba dulu aja, mas.” Jawab Jihoon akhirnya.
. . . . . . . . . . . . .
“Mas Seungcheol kesini naik apa?” Tanya Jihoon ketika mereka sudah sampai di depan mobil Jihoon.
“Jalan kaki, kostan gue dibelakang.” Jawab Seungcheol sambil menunjuk gang dekat wb.
“Mau aku anter aja gak?” Tawar Jihoon
“Gak usah, deket kok. Lagian muternya susah kalo mobil tuh. Santai aja, gak bakal ada yang mau nyulik gue.”
Jihoon tersenyum. “Yaudah kalo gitu aku pulang ya mas.”
“Hati-hati, kabarin kalo udah sampe.”
Jihoon mengangguk dan kemudian ia masuk ke dalam mobilnya, sebelum pergi ia sempatkan untuk menyapa Seungcheol sekali lagi untuk malam itu.
“Mas Seungcheol.”
“Oit?”
“Makasih ya udah diajak makan disini.”
Seungcheol tertawa. “Sama-sama, makasih juga udah dibayarin. Hati-hati bawa mobilnya.” Setelah itu Jihoon melajukan mobilnya meninggalkan Seungcheol yang masih menatap mobil yang sudah menjauh.
“Kalo liat Jihoon, gue jadi inget dia.”