Jeonghan membersihkan meja bekas pelanggannya.
“Welcome, darl+ing.” Teriak Jeonghan ketika ia mendengar suara pintu cafe terbuka. Ketika ia berbalik senyumnya hilang seketika, nampan yang ia bawa bahkan jatuh.
“Jeonghan?”
Jeonghan buru-buru akan berlari, tapi ia kalah cepat dengan Seungcheol.
“Jeonghan, tunggu dulu.”
Jeonghan memberontak ketika Seungcheol mencekal lengannya.
“Lepasin.”
“Engga, aku ga akan lepasin kamu lagi.”
Jeonghan berusaha keras melawan, tapi tenaganya tidak cukup kuat melawan Seungcheol. Semua pelanggan hanya menatap mereka berdua, bahkan rekan kerja Jeonghan juga. Jeonghan menangis ketika lengannya terasa sakit, Seungcheol yang melihat itu dengan cepat langsung membawa Jeonghan pergi keluar, ia membawa Jeonghan ke mobilnya.
Jeonghan masih menangis sambil memegang lengannya yang terasa sakit.
“Jeonghan, maaf. Aku ga bermaksud bikin lengan kamu sakit.” Ucap Seungcheol sambil terus berusaha menyentuh Jeonghan yang terus-terusan menghindarinya.
“Jeonghan.....” Seungcheol merasa putus asa sekarang. Jeonghan sudah sedekat itu saja ia masih tidak bisa memeluknya.
“Mau ngapain lagi kak? Mau minta maaf karena kelakuan kamu dulu? Aku udah maafin. Tapi please, jangan ganggu aku lagi.”
Seungcheol memejamkan matanya ketika Jeonghan berbicara seperti itu. Sakit rasanya ditolak oleh orang yang selama ini ia cari.
“Aku udah bahagia sekarang, tolong kamu jangan muncul lagi jangan bikin semuanya tambah susah untuk aku.” Ucap Jeonghan
“Kamu pikir selama ini gampang untuk aku? Aku juga susah, Jeonghan. Setelah malam itu aku nyari kamu bahkan sampe 3 tahun lebih, tapi apa yang aku dapet? Aku ga dapet apa-apa, kamu kayak ilang ditelan bumi. Aku tau ini salah aku, aku khilaf. Aku mau tanggung jawab sama kamu, aku bakal lakuin apa aja untuk terus sama kamu, bahkan kalau aku kehilangan segalanya aku ga perduli. Tapi kamu pergi gitu aja, kalo kamu mau egois-egoisan kamu pemenangnya.” Seungcheol menyembunyikan wajahnya di setir mobil, bahkan sesekali ia membentur-benturkan kepalanya. Jeonghan jelas tidak tega, tapi ia tidak bisa menyentuh Seungcheol begitu saja.
“Sampai aku nikah sama orang lain, cuma kamu yang ada dipikiran aku. Selama 2 tahun aku menikah, isi kepala ku cuma kamu, kamu, kamu. Sampai sekarang aku proses perceraian, masih kamu orangnya Jeonghan.” Lanjut Seungcheol.
“Kamu mau cerai kak?”
“Istri ku yang minta, mungkin dia udah muak sama aku karena selama ini aku bener-bener ga anggap dia ada.” Jawab Seungcheol lirih.
“Kamu kenapa begitu kak? Kamu tau kan kalo itu bisa bikin dia trauma sama pernikahan?”
“Aku tau. Tapi kalo ga cepet diakhiri mungkin dia akan lebih sakit.”
Lalu keduanya sama-sama saling terdiam. Seungcheol belum memindahkan wajahnya, sedangkan Jeonghan masih terdiam memikirkan apalagi yang harus ia lakukan.
“Terima kasih, Jeonghan.” Ucap Seungcheol tiba-tiba.
“Terima kasih untuk apa?”
“Terima kasih sudah membesarkan dia. Dia cantik, sama kayak kamu.”
Untung saja Seungcheol tidak melihat wajah Jeonghan yang bersemu.
“Kamu tau kak?”
Seungcheol mengangguk. “Hati aku rasanya hangat banget waktu dia panggil aku Daddy. Walaupun dia ga tau kalo aku ini bener Daddy nya.”
Jeonghan jadi merasa bersalah karena mengarang cerita tentang Seungcheol saat Hana menanyakan dimana Daddy nya berada.
“Maaf, kak.”
“Gapapa, pasti berat rasanya ditanya sesuatu yang bahkan kita ga tau musti jawab apa.” Ucap Seungcheol, ia sudah mengangkat kepalanya.
“Jeonghan, boleh aku ketemu dia sekali ini aja? Habis itu, aku ga akan pernah lagi muncul dihadapan kalian. Aku cuma mau dia tau kalau Daddy nya masih ada, aku cuma mau dia tau kalau mungkin ini pertama kali dan terakhir kalinya kita ketemu. Boleh, Jeonghan?”
. . . . . . . . . . . . .
“Masuk, kak. Maaf ya rumahnya kecil dan berantakan.” Ucap Jeonghan
“Gapapa, masih nyaman untuk ditempati.” Jawab Seungcheol
“Bentar ya kak, aku panggil Hana dulu dia di rumah Soonyoung.” Seungcheol mengangguk. Selepas Jeonghan pergi, Seungcheol memperhatikan foto-foto yang berada di rumah itu. Foto dulu saat Jeonghan hamil, saat Hana lahir, saat Hana makan pertama kalinya, saat Hana belajar berjalan, dan sampai Hana bisa sebesar ini. Jeonghan benar-benar membesarkan buah hati mereka dengan baik.
Seungcheol tidak melewatkan kesempatan untuk memfoto semuanya. Untuk kenang-kenangan, pikirnya.
“Hana ayo.” Seungcheol menoleh ke sumber suara. Ia tersenyum ketika melihat anaknya berada di sana.
“Daddy?” Air mata Seungcheol rasanya ingin jatuh lagi sekarang.
“Kak, di rumah Soonyoung ada kak Mingyu.” Ucap Jeonghan
“Oh iya, tadi kita mencar. Aku pikir dia udah pulang.”
“Hana, kemarin Hana bilang ingin ketemu Daddy kan? Sekarang Daddy Hana ada disini.” Ucap Jeonghan
“Daddy sudah tidak di surga ya, pa?”
Seungcheol tertawa kecil, sedangkan Jeonghan tersenyum malu.
“Hana tidak mau peluk Daddy? Hana bilang, ingin dipeluk Daddy?” Tanya Jeonghan, mengalihkan pembicaraan.
Hana bergerak ragu, ia berjalan menuju Seungcheol yang berlutut di sana. Dengan ragu ia memeluk Seungcheol. Saat itu juga tangis Seungcheol pecah. Jadi, seperti ini rasanya memeluk buah hatinya sendiri?
“Daddy, Hana suka dipeluk Daddy.”
. . . . . . . . . . . . .
“Jadi rumah Daddy besar?” Tanya Hana
“Mmm, ga terlalu besar sih cuma lebih besar dari rumah ini.” Jawab Seungcheol. Jeonghan hanya mendengarkan ocehan keduanya, sambil menyiapkan makan malam mereka.
“Kak, kak Mingyu ajakin kesini dulu aja suruh makan.” Ucap Jeonghan
“Mingyu udah pulang, Han. Dia makan di hotel katanya.” Jawab Seungcheol.
“Di rumah Daddy ada boneka banyak?”
“Banyak banget.”
“Ah, pasti bagus. Aku ingin lihat.” Ucap Hana sedih.
“Hana sama papa bisa ke rumah Daddy kapan-kapan ya?”
Hana menata Seungcheol dengan mata berbinar. “Hana boleh bawa satu boneka?”
“Hana bawa semua juga boleh.”
Hana mengerucutkan bibirnya. “Tidak muat, Daddy. Papa suka marah kalau rumah banyak mainan Hana, jadi Hana bawa satu saja ya?”
“Gimana papa ga marah, Hana abis mainan ga diberesin lagi.”
Seungcheol mengelus kepala Hana. “Kalau habis dimainkan diberesin lagi ya? Hana pintar tidak?”
“Kata uncle Jihoon, Hana pintar. Hana sudah bisa hitung 1-20.”
“Nah kalau Hana pintar, Hana harus bantu papa bereskan mainan Hana, kan kasian papa sudah kerja tapi harus bereskan mainan Hana juga. Kalau papa sakit bagaimana?”
Hana menatap Jeonghan sedih. “Papa jangan sakit. Nanti Hana yang bereskan mainan Hana, ya pa.”
Seungcheol sangat-sangat gemas dengan anaknya. Hana benar-benar tumbuh menjadi gadis yang pintar.
“Udah ayo makan dulu, kasian Daddy laper.”
“Yeay, selamat makan papa Daddy.”
. . . . . . . . . . . . .
Seungcheol menutup pintu kamar Hana, dan memeriksa jam tangannya. Pukul 23.00, ia harus cepat-cepat pulang.
“Kamu ga nginep aja kak?” Tanya Jeonghan yang melihat Seungcheol memakai jaketnya.
“Gak usah Han, gapapa aku pulang aja. Lagian ga enak sama tetangga yang lain.”
“Ini bukan Indonesia kali kak.” Jawab Jeonghan sambil terkekeh.
“Gak usah gapapa.” Seungcheol juga memakai sepatunya.
“Han, aku boleh minta nomor rekening kamu?” Tanya Seungcheol saat dirinya sudah siap untuk pulang.
“Untuk apa kak?”
“Han, tadi kan aku udah bilang mungkin ini terakhir kalinya kita ketemu lagi. Tapi aku ga mau lepas tanggung jawab gitu aja, Hana anak aku, aku mau biayain hidupnya dia, hidup kamu juga. Anggap aja reward buat kamu karena kamu udah jadi papa yang baik buat Hana.” Jawab Seungcheol.
“Kak, gak usah. Aku masih sanggup kok.”
“Han, aku mohon. Kali ini aku maksa.”
“Aku ga hapal nomor rekening aku, boleh aku kirim lewat chat aja?”
Seungcheol mengangguk lalu ia memberikan kartu namanya. “Nomor aku, kalo kamu butuh sesuatu atau ada hal urgent tentang kamu atau Hana.”
“Makasih ya mas.”
“Han, boleh mas peluk? Salam perpisahan kita.”
Jeonghan mengangguk. Lalu Seungcheol langsung memeluknya erat, bahkan ia meminta izin untuk mengecup kening Jeonghan. Hampir 30 menit keduanya berpelukan, saat ini waktunya untuk berpisah.
“Jaga diri baik-baik ya, Han. Sehat-sehat juga kamu sama Hana. Aku pergi dulu.” Ucap Seungcheol sambil berjalan keluar dari rumah Jeonghan. Membiarkan Jeonghan menatap kepergiannya.
Di dalam mobil, Seungcheol lagi-lagi menangis. Sakit rasanya harus benar-benar merelakan seseorang yang teramat ia cintai. Tapi, ia tidak mau egois juga. Ia tidak boleh memaksakan sesuatu lagi.
“Jeonghan, di kehidupan selanjutnya aku akan cari kamu lagi.”
End.