thatausaha


Jeonghan terkejut ketika melihat apa yang Seungcheol bawa. Benar-benar strawberry semua.

“Ini bapak beli semuanya buat Cherry?”

“Iya, habisnya saya tidak tau dia suka yang mana.”

“Ya tapi gak gini juga dong, kebiasaan banget buang-buang duitnya.”

Walaupun ngedumel Jeonghan tetap mengambil apa yang Seungcheol bawa dan ia masukkan ke dalam kulkas.

“Cherry dimana, Han?”

Jeonghan tidak menjawab, ia berjalan menuju sebuah kamar yang Seungcheol yakini adalah kamar anaknya. Anak hatinya sangat menghangat ketika mengetahui kalau Cherry adalah anaknya. Berarti Jeonghan tidak menggugurkan kandungannya waktu itu.

“Cherry?”

“Ya pa?”

“Ada yang mau ketemu sama Cherry.”

“Siapa pa? Uncle gu?”

Jeonghan menggeleng. “Sini dong keluar.”

Akhirnya Cherry keluar, dan matanya berbinar-binar ketika melihat siapa yang datang.

“Uncle Cheol.” Pekiknya girang. Ia berlari ke arah Seungcheol dan memeluknya. Seungcheol dengan sigap membalas pelukan hangat anaknya itu.

“Uncle Cheol temennya papa? Kok papa bolehin uncle ke sini?”

Jeonghan dan Seungcheol saling berpandangan.

“Cherry, uncle Cheol bawain kamu macam-macam strawberry nih. Mau gak?” Tapi dengan cepat Jeonghan mengalihkan pembicaraan.

Cherry mengikuti Jeonghan yang berjalan menuju dapur, dan membuka kulkas lagi-lagi ada binar dimata Cherry.

“Strawberry.”

Seungcheol tersenyum, ia tidak tau kalau anaknya itu benar-benar menyukai strawberry.

“Ini untuk Cherry semua, uncle?”

Seungcheol mengangguk. “Tapi tidak boleh dimakan semuanya secara langsung. Dan juga harus bagi ke papa Han.”

Papa Han. Jeonghan mengalihkan pandangannya, ia merasakan ada kupu-kupu berterbangan di perutnya ketika mendengar ucapan Seungcheol. Tapi buru-buru ia menepisnya. Ia tidak boleh begitu. Ia sudah punya Mingyu.

“Cherry bilang apa ke uncle Cheol?”

“Terima kasih, uncle.”

“Sama-sama Cherry.”


Saat ini mereka bertiga sedang menonton kartun favorit Cherry dengan Seungcheol yang dengan lihai menyuapi Cherry strawberry cake yang tadi ia bawa. Cherry dan Seungcheol duduk di atas karpet sedangkan Jeonghan duduk di atas sofa. Dari sofa Jeonghan memperhatikan Seungcheol yang tanggap mengurusi Cherry, bahkan ia mengelap sisa-sisa krim di sekitar mulut Cherry.

“Bapak gak kerja?”

“Saya izin hari ini, Han.”

Jeonghan mengangguk.

“Jeonghan, bisa tidak kamu tidak panggil saya bapak lagi? Saya kan sudah bukan bos kamu.”

“Terus panggil apa?”

“Nama saja tidak apa-apa.”

Jeonghan tampak berpikir, lalu wajahnya memerah.

“Kalau mas aja gimana?”

“Gimana?”

“Kalau mas Seungcheol aja gimana?”

Seungcheol tersenyum. “Lebih baik.”

Jeonghan gugup ketika melihat senyum Seungcheol yang ia rindukan. Ternyata senyumnya masih sama

“Uncle, Cherry kenyang.”

“Ya sudah, buat nanti lagi ya?”

“Oke uncle.”

“Biar Han aja yang taruh mas.”

Seungcheol dan Jeonghan salah tingkah. Tapi buru-buru Seungcheol memberikannya pada Jeonghan dan Jeonghan juga buru-buru membawa sisa kue itu untuk ia masukkan lagi ke kulkas.


Cherry tertidur di gendongan Seungcheol. Mungkin ia lelah setelah hampir seharian bermain-main dengan Seungcheol.

“Di luar hujan, mas.”

“Kayaknya aku pulangnya setelah reda, Han. Gapapa kan ya?”

Aku? Mungkin Seungcheol tidak sadar dengan apa yang tadi ia ucapkan.

“Gapapa kok mas.”

“Mingyu gak kesini kan?”

Oh, Jeonghan lupa mengabari Mingyu.

“Engga mas, tadi katanya lagi sibuk.”

Seungcheol mengangguk.

“Cherry taro di kasurnya aja mas, nanti kamu capek.”

Seungcheol langsung membawa Cherry ke kamarnya dan menidurkan anaknya itu. Setelah itu, Seungcheol keluar dan mendapati Jeonghan yang duduk di sofa dengan 2 cangkir teh di atas meja.

“Teh, mas.”

“Terima kasih, Han.”

Seungcheol menyesap teh yang Jeonghan sajikan.

“Terus kamu udah gak pernah kabarin orang tua kamu mas?”

Seungcheol menggeleng. “Terakhir hanya dengan bunda, sekitar 2 bulan yang lalu. Bunda dilarang telpon mas, Han.”

“Kamu harusnya gak usah sampai segitunya, mas.”

“Kalau untuk kamu, harus segitunya Han.”

Jeonghan berdehem canggung.

Skip time

Sampai jam 8 malam hujan tidak kunjung reda. Mungkin kalau Seungcheol bawa mobil ia bisa langsung pulang, masalahnya sekarang kemana-mana ia harus pakai motor.

Saat ini Seungcheol sedang merebahkan tubuhnya di samping Cherry. Ia mengagumi sosok mungil di sebelahnya. Benar-benar duplikat Jeonghan

“Mas?”

Seungcheol menoleh.

“Nginep disini aja ya? Hujan nya makin deras. Belum sampai rumah kamu udah basah kuyup.”

Seungcheol sempat ingin menolak, tapi setelah ia sadar apa yang Jeonghan bicarakan ada benarnya juga.

“Gapapa mas nginep?”

“Daripada kamu ujan-ujanan.”

Seungcheol mengangguk. “Jangan lupa kasih tau Mingyu.”

Jeonghan mengangguk. “Mau mandi dulu?”

“Boleh.”

“Kamar mandi luar lagi di renov. Di kamar ku aja, mas.”


Jeonghan mengetuk pintu kamarnya, tapi tidak ada jawaban. Ia sebenarnya ingin memberikan baju ganti untuk Seungcheol.

“Masuk aja gapapa kali ya?”

Setelah perdebatan batin, akhirnya ia memutuskan untuk masuk. Dan ternyata Seungcheol belum keluar. Akhirnya Jeonghan meletakkan baju serta celana ganti untuk Seungcheol.

“Jeonghan?”

Jeonghan menoleh, dan mendapati Seungcheol keluar hanya menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya.

Jeonghan mengigit bibir bawahnya ketika melihat tubuh Seungcheol yang masih basah. Ingin rasanya membantu mengeringkan tubuh bugar itu. Sejujurnya, ketika melihat Mingyu seperti itu tidak terlalu berpengaruh pada tubuhnya tapi kenapa pada saat melihat Seungcheol, badannya terasa sangat panas.

“Han?”

“A-aku bawain kamu baju mas. Tapi kayaknya agak ngetat karena ukurannya Joshua.”

“Oh iya, gapapa. Makasih ya Han.”

Jeonghan mengangguk. Tapi tidak pergi. Ia masih memandangi Seungcheol.

“Kamu mau nungguin aku pakai baju?”

Jeonghan tersadar, wajahnya memerah.

“Maaf mas, aku keluar dulu.” Seungcheol mengangguk

Selangkah

Dua langkah

Tiga langkah

Jeonghan kembali menoleh ke arah Seungcheol.

“Mas?”

Seungcheol kembali menoleh ke arah Jeonghan. Keduanya saling bertatapan. Seungcheol sempat terkejut melihat tatapan Jeonghan, tapi ia tetap harus waras.

“Ya Han?”

Jeonghan kembali menutup pintunya dan melangkah ke arah Seungcheol.

“Mas?” Panggil Jeonghan, ketika ia dan Seungcheol sudah saling berhadapan.

“Iya, Jeonghan?”

“can i—kiss you?”


Jun dan Seungcheol berjalan beriringan dengan tangan Jun yang merangkul lengan Seungcheol. Sebenarnya Seungcheol tidak begitu suka seperti itu, tapi ia tidak enak kalau harus menolak. Apalagi Jun sudah baik sekali padanya.

“Kamu mau beli apa emangnya, Jun?”

“Aku tuh mau cari kado buat temen aku mas, cuma bingung beliin apa ya?”

“Seumuran kamu?”

Jun mengangguk.

“Kenapa gak kamu beliin sepatu atau jaket?”

“Aku sih juga mikirnya sepatu mas. Kalo kayak gitu, bantuin pilih ya?” Seungcheol mengangguk.

Akhirnya keduanya masuk ke salah satu store sepatu dengan brand ternama.

“Uncle Cheol?” Seungcheol dan Jun menoleh.

“Cherry halo, sama siapa kesini? Uncle gu?”

Anak itu menggeleng. “Aku sama uncle Josh.”

Tiba-tiba dua orang laki-laki dengan satu anak perempuan menghampiri mereka.

“Cherry, kenapa lari begitu sih? Uncle jadi panik.”

“Maaf uncle, aku tadi ngeliat uncle Cheol jadi aku lari karena mau sapa.”

Lalu Seungcheol dan Joshua saling bertatap.

“Jisoo?”

Joshua menggeleng. “Saya Joshua, Jisoo itu kembaran saya.”

Jisoo kembar?

Seungcheol bingung.

Seungcheol melihat Joshua merentangkan tangannya untuk berkenalan dengannya.

“Joshua. Kembaran nya Jisoo.”

Seungcheol membalas jabatan tangan Joshua.

“Saya Seungcheol.”


Disini lah Jeonghan sekarang, di cafe dekat apartemennya. Ia datang seorang diri, Cherry ia titipkan ke Joshua. Karena kalau Jisoo ia akan dapat beberapa pertanyaan. Lagipula ia belum sanggup memberitahu Seungcheol tentang Cherry.

Dengan gelisah ia menunggu kedatangan seseorang yang berharga untuknya beberapa tahun silam.

“Jeonghan?”

Jeonghan menoleh dan mendapati seseorang yang ia kenali. Tapi kali ini dengan pakaian sederhana, tidak ada jas mahal melekat di tubuhnya.

“Duduk, pak.”

Seungcheol duduk di depan Jeonghan, ia menahan dirinya untuk tidak memeluk laki-laki yang ia rindukan itu.

“Jeonghan, saya—”

“—maaf pak, tapi bisa to the point aja?”

Seungcheol tersenyum kecil, lalu ia menyamakan posisi duduknya.

“Jeonghan, sebelumnya saya mau minta maaf sama kamu untuk beberapa tahun yang lalu.”

Jeonghan hanya mengangguk.

“Saya keluar dari rumah, Jeonghan. Dan benar, yang kamu liat jadi pelayan itu saya.”

Jelas saja Jeonghan terkejut. Walaupun Seungcheol tidak tinggal dengan kedua orang tuanya, pasti dia masih bisa hidup dengan sejahtera karena Jeonghan sendiri yang tau kalau Seungcheol punya tabungan untuk beberapa tahun yang akan datang.

“Sekarang saya tinggal di kontrakan kamu yang dulu. Saya berharap tiba-tiba kamu datang dan kembali pada saya—”

Seungcheol tersenyum sedih.

“—Tapi ternyata, saya salah. Kamu tidak pernah kembali.”

“Jeonghan, selama 6 tahun saya coba cari kamu. Tapi nihil, saya tidak dapat hasil apa-apa. Bahkan Jisoo juga menghilang begitu saja. Saya tidak tau keluarga kamu yang di Solo. Jadi saya, hanya bisa menunggu disini.”

Jeonghan melihat air mata Seungcheol yang terjatuh, tapi dengan cepat di hapus oleh mantan bosnya itu. Jeonghan melihat tidak ada kebohongan di mata Seungcheol.

“Lalu perjodohan bapak?”

“Gagal. Saya menggagalkannya, Jeonghan. Tapi sehabis itu saya di usir oleh ayah saya. Lalu saya ke kontrakan kamu, dan Jihoon bilang kamu sudah tidak tinggal disitu—”

“—dari saat itu, dunia saya hancur. Saya kehilangan kamu. Kamu pergi begitu saja tanpa ada beritanya. Bahkan kamu tidak memberitahu saya tentang kehamilan kamu.”

“Untuk apa saya kasih tau ke bapak? Toh, bapak juga tidak kasih tau saya kalau bapak jadi bertunangan pada saat itu.”

“Saya juga tidak tau, Jeonghan. Tidak ada yang bilang pada saya tentang pertunangan itu. Saya seperti dijebak oleh keluarga saya sendiri—”

“—saya berniat menggagalkan semuanya. Tapi Taeyeong mengancam akan bunuh diri kalau saya tidak mau menikah dengan dia. Lalu saya muak dengan semuanya, dan saya batalkan di depan keluarga besar saya, saya bilang saya sudah punya orang yang akan saya nikahi. Mereka marah pada saya Jeonghan, bahkan saya di coret dari warisan keluarga Choi. Tapi saya pikir tidak apa-apa karena selama ada kamu. Dan rejeki bisa di cari, tapi lagi-lagi saya salah.”

Jeonghan merasakan dadanya sakit. Kalau saja ia tidak lari, kalau saja ia mau menunggu sebentar lagi dan kalau saja ia tidak mengikuti egonya mungkin sekarang ia, Seungcheol dan Cherry sudah menjadi keluarga bahagia. Bahkan mungkin ia sedang hamil anak keduanya.

“Ternyata saya bukan hanya kehilangan harta saya, tapi juga dunia saya.”


Jeonghan dan Seungcheol sudah berada di ballroom hotel tempat sepupu Seungcheol melangsungkan pernikahannya. Dan saat ini mereka sedang gladi resik untuk acara besok.

“Baru tau saya nikah pake gladi resik, pak.” Ucap Jeonghan. Mereka duduk di kursi paling pojok dan paling belakang.

“Pernikahan di keluarga saya seperti ini semua.”

Jeonghan mengangguk mengerti. “Pernikahan orang kaya ya, pak.”

Seungcheol tertawa. Lalu semua yang ada di sana di suruh berdiri untuk mengikuti arahan dalam pernikahan itu.

Karena paling belakang, tangan Seungcheol meraba bagian belakang Jeonghan—dan sesekali ia meremas dua bongkahan kenyal dan membuat Jeonghan berjengkit kaget.

“Pak.”

“Longgarin belt kamu, Jeonghan.” Jeonghan tidak tau apa yang akan Seungcheol lakukan, tapi ia tetap melakukannya.

Setelah Jeonghan melonggarkan beltnya, tangan Seungcheol merayap masuk ke dalam celana itu, meremas dua bongkahan kenyal itu tanpa halangan apapun.

“Pak Seungcheol nanti ketauan.” Jeonghan takut ada yang melihat mereka.

“Kalo kamu gak bersuara, kita gak akan ketauan.”

Akhirnya Jeonghan diam, merasakan tangan besar Seungcheol menangkup pantatnya.

“Agak naikin badan kamu, Jeonghan.”

Jeonghan mengikuti arahan Seungcheol. Ia agak berjinjit agar jari Seungcheol masuk ke dalam lubangnya.

Jeonghan mendongakkan kepalanya menahan desahannya ketika satu jari Seungcheol berhasil menerobos lubangnya.

“Ketat banget.” Seungcheol berkali-kali berbicara lirih—walaupun di sana ramai sekali. Posisi mereka pun di tempat yang lumayan gelap.

Seungcheol memaju-mundurkan jarinya. Mengobrak-abrik lubang ketat milik Jeonghan. Membuat sang empu mendesah dalam diam. Seungcheol sesekali melirik ke arah Jeonghan yang memejamkan matanya ketika ia menggerakkan jarinya.

Beberapa orang yang Jeonghan yakini adalah keluarga besar Seungcheol menyapa Seungcheol dan Seungcheol dengan santainya membalas sapaan mereka dengan jari di lubang Jeonghan. Jeonghan sebisa mungkin ikut menyapa.

“Pak, saya ma-mau keluar.”

“Keluar aja.”

“Kotor nanti.”

“Gapapa, nanti kamu ke kamar aja.”

“Bapak disini?”

“Nanti saya nyusul. Saya juga mau keluarin. Di kamu.”

Jeonghan merona. Seungcheol kembali mempercepat gerakan jarinya.

“Ahhhhh—.” Jeonghan mendesah pelan, dengan meremat tangan Seungcheol yang satu lagi.

Seungcheol mengeluarkan jarinya, kemudian ia mengelap keringat di wajah Jeonghan dengan tangannya yang bersih.

“Tungguin saya di kamar.”


Seungcheol membuka aplikasi chatnya ketika ia melihat ada sebuah pesan masuk. Taeyong. Seungcheol mendengus ketika membaca pesan itu.

Seungcheol mengelus rambut Jeonghan—yang dimana sekretarisnya itu sedang mengulum kejantanannya.

“Jeonghan?”

Jeonghan mendongak tanpa melepaskan kulumannya.

“Ada Taeyong.”

Jeonghan melepaskan kulumannya. “Terus gimana pak? Bapak lagi hard banget ini.”

“Gapapa, nanti saya kelarin sendiri di toilet. Kamu makan dulu sana.”

“Bapak gak makan?”

“Taeyong pasti kesini bawa makanan.”

Jeonghan mengangguk. Lalu ia bangkit. Tapi saat akan pergi, Seungcheol menariknya hingga jatuh ke pangkuannya.

“Pak.”

Seungcheol membawanya ke dalam ciumannya. Mengecup. Menggigit. Menghisap. Dan menggelitik langit-langit mulut Jeonghan. Sampai Jeonghan melenguh pelan.

“Nanti pulangnya ke apartemen saya aja ya.” Ucap Seungcheol sambil mengelap sisa saliva ciuman mereka.

“Ngapain?”

“Kelarin yang belum kelar dong.”

Jeonghan tersenyum. “Oke, jangan cium Taeyong.”

“Oke.” Seungcheol mengecup bibir Jeonghan sekali lagi.


“Kak, kangen.” Taeyong memeluk Seungcheol.

“Kamu kok ngabarin mau kesininya dadakan?”

“Emangnya kenapa?”

“Ya engga, takutnya aku lagi gak di kantor.”

“Abis kakak, gak pernah chat aku duluan sih jadinya aku gak tau kalo kakak lagi gak di kantor.”

Seungcheol memutar bola matanya jengah. Sampai kapan ia harus terjebak dengan anak kecil seperti Taeyong?

“Kamu bawa makanan?”

Taeyeong melepaskan pelukannya dan mengangguk.

“Belum makan siang kan?” Seungcheol menggeleng.

“Aku bawain pizza, lumayan banyak. Aku mikirnya bisa bagi kak Jeonghan juga, tapi tadi aku gak liat dia di mejanya.”

“Oh iya, Jeonghan makan di kantin sama temen-temennya. Yaudah ayo makan, keburu jam kerja lagi.”

“Inikan kantor kamu kak, harusnya gapapa dong kalo lebih dikit.”

“Ya kalo pimpinannya aja ngaret gimana bisa jadi contoh buat bawahnya?”

Taeyong mengerucutkan bibirnya. “Oke deh. Tapi cium aku dulu.”

Jangan cium Taeyong. Itu yang Jeonghan katanya.

“Nanti aja deh, makan dulu. Aku laper.”

“Oke deh.”

Lalu keduanya sama-sama menikmati makanan yang Taeyong bawa tadi.

“Em, kak?”

Seungcheol menoleh. “Kenapa?”

“Kamu lagi—hard ya?” Seungcheol menghentikan kunyahannya. Dan sempat melirik ke arah selangkangannya yang sedikit menggembung.

“Gara-gara aku ya kak?”

Seungcheol mengernyitkan keningnya dan menggeleng.

“Kamu gak usah gak enak gitu kak, kalo karena aku bilang aja.”

“Tapi ini—.”

“—aku bantuin ya, kak.”

Seungcheol terkejut dan menggeleng. “Gak usah, nanti aku kelarin sendiri aja.”

“Aku mau tanggung jawab kak, itung-itung belajar kalau nanti kita udah nikah.”

Itung-itung kalo nanti nikah? Memangnya jadi?

Dengan cepat Taeyong merosot di depan Seungcheol. Menumpukan badannya dengan kedua lututnya. Membuka resleting celana Seungcheol. Mengeluarkan kejantanan Seungcheol melalui resleting itu.

“Taeyong, jangan gak usah—.”

“Stt, aku cuma mau tanggung jawab.”

Sehabis itu, Taeyong melahap kejantanan Seungcheol secara keseluruhan—ia bahkan tersedak karena itu ukuran yang besar untuk mulutnya.

Seungcheol tidak bisa lagi mengelak. Lama-kelamaan ia menjadi terbawa suasana. Ia menekan kepala Taeyong untuk lebih memakan kejantanannya.

“Ahhh—.”

“Uhuk—.” Taeyong tersedak ketika Seungcheol mengeluarkan cairannya di mulutnya tanpa memberitahunya.

Seungcheol menaruh kepalanya di kepala sofa. Mengatur nafasnya yang tersengal-sengal karena pelepasannya. Sedangkan Taeyong tersenyum karena bisa membuat Seungcheol klimaks. Seungcheol kembali memasukkan kejantanannya ke dalam celana.

Kemudian ia menarik tengkuk leher Taeyong dan menciumnya. Dan akhirnya keduanya larut dalam ciuman panas mereka.


“Eunghhhh.” Seungcheol merenggangkan ototnya. Ia melirik ke arah Jeonghan yang ada di sampingnya.

“Bangun daritadi?”

Jeonghan menaruh ponselnya dan menoleh ke arah Seungcheol yang masih memejamkan matanya.

“Iya bangun dari tadi, ini bapak udah bangun belum sih?”

Seungcheol yang masih memejamkan matanya tersenyum. “Udah, tapi mata saya lengket.”

“Tapi kita harus kerja kan pak.”

“Gak ada jadwal penting kan hari ini?”

“Seinget saya sih gak ada pak.”

Seungcheol kembali memeluk Jeonghan. “Tidur lagi ayo, kita ke kantor siangan aja.”

“Ih gak mau ah, saya mau mandi. Lengket banget nih.”

“Nanti aja, bareng saya.”

“Gak mau, nanti bapak ngajakin saya yang iya-iya lagi. Kamar mandi saya kecil pak.”

Seungcheol tertawa. “Yang iya-iya itu apa?”

“Gak tau.” Jeonghan menyembunyikan wajahnya di dada Seungcheol. Wajahnya memerah.

“Yang semalem, terima kasih ya Jeonghan.”

Jeonghan makin malu. Ia makin mengubur dirinya di pelukan Seungcheol.

“Saya senang, bisa ngerasain kamu dalam keadaan sadar.”

“Pakkk.”

“Kenapa?”

“Jangan dibahas ah.”

“Loh kenapa?”

“Saya malu tau.”

Seungcheol kembali tertawa. Lalu ia mengecup kening Jeonghan.

“Pak?”

“Hm?”

“Ini kita gakpapa ya pak?”

“Gapapa gimana?”

“Ya kayak gini.”

“Gini gimana?”

“Ih bapak mah.”

“Loh saya gak ngerti kamu bicara apa.”

“Maksud saya, kita gapapa ya selingkuh kayak gini?”

“Selingkuh? Kita gak selingkuh Jeonghan, saya sama Taeyong memang di jodohkan tapi kita gak ada hubungan apapun. Jadi kita gak selingkuh, dan kamu bukan selingkuhan saya.”

“Tapi kalo mas Taeyong mikirnya yang lain gimana pak?”

“Biarin aja, dia itu masih kecil jadi dia berpikir kalau saya baik ke dia berarti dia pacar saya.”

“Tapi bapak cium dia.”

“Dia duluan.”

“Saya boleh gak larang bapak ciuman sama dia?”

“Kamu mau larang saya?”

“Saya kan nanya pak.”

Seungcheol tertawa. “Boleh, Jeonghan. Kamu boleh larang saya.”

“Walaupun kita gak ada hubungan?”

“Walaupun kita gak ada hubungan.”

Jeonghan mengeratkan pelukan mereka. Mengecupi dada bidang Seungcheol.

“Jeonghan?”

“Hm?”

“Lagi, yuk.”

Hah


Di mobil keduanya hanya saling diam. Jeonghan benar-benar tidak suka situasi ini. Ia benar-benar tidak ada niatan merebut siapapun dari siapapun.

“Kamu masih ngontrak di tempat yang dulu kan?” Pertanyaan Seungcheol membuat lamunan Jeonghan buyar.

Jeonghan mengangguk. “Masih pak.”

Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka sampai di depan kontrakan Jeonghan.

“Bapak mau mampir dulu?”

“Boleh?”

Jeonghan mengangguk. “Tapi di rumah saya gak ada apa-apa pak. Cuma ada kopi sama cemilan aja.”

“Ya tidak apa-apa. Saya juga mau numpang ke toilet.”

Akhirnya mereka berdua turun dari mobil, Jeonghan mencari kunci kontrakannya di tas—sesudahnya ia membuka pintu itu. Seungcheol melihat keadaan sekitar rumah itu. Rapih.

“Duduk di lantai gapapa ya pak? Maaf gak ada sofa nya.”

“It's okay, Jeonghan.” Seungcheol duduk di lantai yang beralaskan tikar.

“Kopi atau teh manis pak? Atau lemon tea?”

“Punya es batu?” Jeonghan mengangguk.

“Saya mau es lemon tea.”

Sambil menunggu Jeonghan yang sedang membuat minuman untuknya, Seungcheol sempat melihat-lihat koleksi foto yang Jeonghan pajang di dinding ruangan itu.

“Minumnya pak.” Jeonghan datang dengan segelas es lemon tea.

“Terima kasih.”

“Pak Seungcheol mau makan juga gak? Tapi saya belum belanja sih, kalau mau kita bisa nunggu tukang nasi goreng lewat. Mau pak?”

“Boleh. Saya belum pernah makan nasi goreng yang di gerobak gitu.”

“Yah pak, kemana aja? Padahal rasanya gak jauh beda sama yang di restoran-restoran yang sering bapak datengin.”

“Masa sih?”

Jeonghan mengangguk. “Percaya sama saya pak.”

Lalu keduanya larut dalam obrolan mereka. Sampai beberapa menit kemudian tukang nasi goreng yang mereka tunggu datang.

“Bang, 2 ya. Tapi yang satu jangan pedes-pedes sama jangan pake acar. Kerupuk nya double.” Ucap Jeonghan sambil menyerahkan 2 piring kosong.

“Siap, mas Jeonghan.”

Seungcheol tertawa melihat keakraban Jeonghan dengan tukang nasi goreng itu.

“Akrab ya.”

“Langganan saya pak. Eh langganan kita-kita yang tinggal disini sih.”

Beberapa menit kemudian nasi goreng mereka jadi. Setelah membayar, Jeonghan masuk dan memberikannya pada Seungcheol.

“Selamat makan, pak Seungcheol.”

“Selamat makan, Jeonghan.”


Saat ini keduanya sudah selesai makan.

“Enakkan pak?”

Seungcheol mengangguk. “Tau gitu saya pesen 2.”

Jeonghan tertawa, kemudian dia membereskan piring bekas makan mereka. Setelah mencucinya Jeonghan kembali ke tempat dimana Seungcheol berada.

“Tapi ngomong-ngomong tempat kamu nyaman juga ya.”

“Iya pak, makannya saya betah. Terus ibu kontrakannya baik banget lagi.”

“Oh iya?”

“Iya pak, asal saya pulang malem kadang si ibu suka buatin saya teh anget, terus dikasih makan juga. Mungkin beliau tau, kalau saya pasti gak sempet makan.”

“Baik juga ya. Terus orang tua kamu masih di Solo?”

“Masih pak.”

“Kenapa gak kamu ajak tinggal disini?”

“Yah bapak kan tau, saya aja ngontrak masa ngajak orang tua saya. Nanti aja lah kalo saya punya rumah sendiri.”

“Tapi kamu nabung?”

“Nabung dikit-dikit pak, sisanya buat saya hidup disini sama buat kirim ke Solo.”

Seungcheol mengangguk mengerti. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di kasur Jeonghan.

“Gak empuk kayak di rumah ya pak?”

Seungcheol mengangguk. “Tapi sama-sama nyaman.”

Jeonghan memperhatikan wajah bos nya yang sedang memejamkan matanya. Kalau dia lihat-lihat Seungcheol benar-benar sangat menawan, hanya orang bodoh yang menolak bosnya itu.

“Jeonghan?”

“Iya pak?”

“Kamu gak capek?”

“Capek pak. Kenapa?”

“Sini, tiduran samping saya.”

Jeonghan membelalakkan matanya. Maksudnya dia harus tidur berdua dengan bosnya itu?

“Saya ke situ pak?”

Seungcheol mengangguk. “Sini.” Seungcheol bahkan merentangkan tangannya—agar Jeonghan bisa menggunakan tangannya menjadi bantal.

Jeonghan ragu, tapi tetap ia lakukan. Sekarang ia sudah berbaring di sebelah Seungcheol dengan sebelah tangan Seungcheol yang menjadi bantalnya. Ia bisa mendengar bunyi degup jantung bosnya itu. Sangat-sangat berdebar-debar

Lalu sejurus kemudian, sebelah tangan Seungcheol yang satunya mendarat dengan mulus di pinggang Jeonghan. Jadi posisinya Seungcheol memeluk Jeonghan, bahkan ia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Jeonghan.

“Pak.” Bermaksud untuk melepaskan dirinya.

“Sebentar aja, Jeonghan.”

Jeonghan kemudian diam, ia bahkan tidak tau apa yang menggerakkannya sehingga sekarang ia mengelus-elus rambut Seungcheol.

“Capek ya pak?”

Seungcheol mengangguk.

“Jangan capek sendiri pak, kan ada saya.”


Bibir keduanya saling bertaut, Jeonghan bahkan menahan kepala Seungcheol agar tidak menjauh dari bibirnya. Sedangkan tangan Seungcheol sudah bergerilya di sekitar tubuh Jeonghan.

“Nghhhhh—.”

Seungcheol yang lebih dulu melepaskan ciuman mereka, menatap Jeonghan yang terengah-engah karenanya. Seungcheol mengecup tangan Jeonghan yang mengelus pipinya.

“Jeonghan, saya lanjut boleh?”


Bibir keduanya saling terpaut, mungkin karena efek wine yang mereka minum jadi rasanya ciuman mereka terasa sangat manis.

Dengan langkah sempoyongan keduanya berusaha untuk masuk ke salah satu kamar mereka, dan pilihannya adalah kamar Seungcheol. Seungcheol dengan cepat menempelkan kartu akses untuk membuka pintu kamarnya sedangkan Jeonghan dengan setengah kewarasannya ia meraba seluruh tubuh Seungcheol.

Setelah pintu terbuka, Seungcheol mendorong Jeonghan agar masuk—bahkan ia mendorong Jeonghan sampai laki-laki tidur telentang di atas ranjang. Menatap Seungcheol yang sedang membuka satu persatu kancing kemejanya. Dengan tatapan menantang Jeonghan ikut membuka kancing kemejanya.

Belum sempat Jeonghan membuka kemejanya, Seungcheol sudah mendorong pelan agar Jeonghan merebahkan tubuhnya. Dengan cepat, Seungcheol memburu leher mulus milik Jeonghan—ia bahkan meninggalkan beberapa tanda kemerahan di sana.

Setelah puas dengan leher, ia menyusuri tubuh Jeonghan dengan lidahnya. Dan berhenti di kedua gundukan kecil kemerahan yang sudah mengeras. Bak seperti bayi, Seungcheol menghisap puting Jeonghan. Kedua puting itu di hisap bergantian. Sementara tangan Seungcheol sudah mencoba untuk membuka kancing celana yang Jeonghan kenakan.

Jeonghan sendiri tidak bisa menahan desahannya. Sampai ruangan itu hanya terdengar suara desahan dan kecapan dari keduanya.

Seungcheol mengeluarkan kejantanan Jeonghan, dan mengurutnya dengan lembut.

“Anghhhh—.” Jeonghan mendongakkan kepalanya ketika Seungcheol melahap kejantanannya serta memasukkan satu jari ke dalam lubangnya. Jeonghan sedikit mengangkat tubuhnya dan menahan kepala Seungcheol agar memasukkan kejantanannya lebih dalam. Hangat mulut Seungcheol membuatnya terbang ke langit.

“AHHHHH—.”

Cairan Jeonghan memenuhi mulut Seungcheol. Seungcheol juga menelan habis cairan Jeonghan.

“Manis.” Ucapnya

Dengan cepat, Jeonghan membalikkan tubuh keduanya. Melakukan yang Seungcheol lakukan.

“69 aja.” Ucap Seungcheol. Akhirnya Jeonghan menaiki tubuh Seungcheol—membelakangi Seungcheol lalu ia menunduk untuk memasukkan kejantanan Seungcheol ke mulutnya dan agar Seungcheol bisa mengerjai lubangnya.

Jeonghan menggeliat ketika Seungcheol memasukkan lidahnya ke lubang Jeonghan.

“Ouhhhh—.” Jeonghan menggesekkan lubangnya dengan lidah Seungcheol, tapi ia juga tidak mau berhenti menghisap kejantanan Seungcheol.

Keduanya sama-sama saling berlomba memberikan kenikmatan.

“Ahhhhh—.” Mereka keluar secara bersamaan.

Jeonghan membalikkan tubuhnya menghadap Seungcheol. Lalu bibir keduanya saling bertaut dengan kasar. Mereka suka ciuman itu. Keduanya merasa kalau tubuh mereka sangat panas—karena alkohol dan juga nafsu.

Seungcheol mengangkat pinggul Jeonghan dan memasukkan kejantanannya secara perlahan tanpa memutus ciuman mereka. Jeonghan melenguh ketika ia merasakan sesuatu yang besar menerobos masuk ke dalam lubangnya. Terasa perih dan nikmat secara bersamaan.

Setelah keseluruhan kejantanan Seungcheol masuk sepenuhnya ke dalam lubang Jeonghan. Seungcheol menggerakkan pinggulnya dengan pinggul Jeonghan secara berlawanan.

Jeonghan memutus ciuman mereka karena tidak kuat untuk menahan desahannya. Dengan berpegang pada bahu Seungcheol, ia ikut bergerak di atas sana. Tubuhnya terlonjak-lonjak karena tumbukan dari Seungcheol yang lumayan kencang. Ia menarik Seungcheol agar melakukannya dengan posisi duduk. Karena Jeonghan juga ingin putingnya di gigit.

Setelah Seungcheol duduk, Jeonghan menggiring kepala Seungcheol untuk memakan kedua putingnya secara bergantian. Seungcheol dengan senang hati melakukannya, dan tentu saja tidak menghentikan hentakannya pada lubang Jeonghan.

Beberapa menit kemudian, Seungcheol membalikkan tubuh mereka, Jeonghan berada di bawahnya. Gerakannya pun makin kencang, karena ia merasa akan keluar. Seungcheol juga mengocok kejantanan Jeonghan serta tangan satunya ia gunakan untuk memilin-milin puting Jeonghan. Jeonghan merasakan kejantanan Seungcheol membesar di dalamnya.

“AHHHHH—.”

Tiga kali hentakan Seungcheol mengeluarkan seluruh cairannya di dalam lubang Jeonghan. Keduanya terengah-engah akibat pelepasan mereka. Setelahnya mereka kembali berciuman dan melakukan beberapa ronde sampai matahari terbit.

Jeonghan memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit—mungkin efek minum semalam.

“Oh udah di kamar.” Ketika ia melihat sekitarnya.

Lalu ia mencoba bangkit dari tidurnya. Ia mengernyitkan keningnya menahan sakit di bagian bawahnya. Kemudian ia meraba bagian bawahnya—basah. Ia terkejut melihat cairan putih kental yang mengalir dari dalam lubangnya. Itu cairan sperma.

Lalu dengan takut Jeonghan menoleh, untuk melihat siapa orang yang tidur disebelahnya. Jeonghan terkejut bukan main, setelah mengetahui siapa yang menghabiskan malam dengannya.

“Pak Seungcheol?”


Seungcheol bangun dengan kepala yang sangat pusing. Ia membuka matanya sempurna ketika melihat Jeonghan duduk di sofa kamar dengan hanya memakai bathrobe.

“Jeonghan?”

Jeonghan terkejut, tapi ia tetap berjalan mendekat ke Seungcheol.

“Pusing ya pak?”

Seungcheol mengangguk.

“Saya udah pesenin sup, biar pusingnya bapak cepet ilang.”

Seungcheol mengangguk lagi.

“Pak, kita harus ngobrol.”

“Ngobrol apa?”

“Tentang semalam.”

Seungcheol langsung buru-buru melihat keadaannya. Ia telanjang bulat. Kemudian ia menatap Jeonghan.

“Jeonghan ini—.”

Ucapan Seungcheol menggantung tapi Jeonghan sudah mengangguk. Melihat jawaban Jeonghan, Seungcheol mengacak-acak rambutnya. Ia tidak habis pikir dengan apa yang terjadi.

“Pak, maaf. Saya juga ga sadar semalem. Saya tanya Jisoo juga, katanya kita sama-sama saling sentuh.” Bahkan Jeonghan tidak bisa meneruskan lagi omongannya.

“Maaf juga sebelumnya, kita gak pake pengaman. Dan saya—.” Jeonghan menundukkan kepalanya.

“—saya bisa hamil pak.”

Seungcheol meremat rambutnya. Masalah baru kemudian ia memakai kembali celananya.

Seungcheol berjongkok di depan Jeonghan, ia menggenggam tangan Jeonghan.

“Jeonghan, saya tidak akan lari dari tanggung jawab. Kamu bisa pegang omongan saya. Saya akan bertanggung jawab.”

Saat ini mereka bertiga sedang menuju cafe tempat Seungcheol dan Taeyong akan makan malam.

Jeonghan sesekali melirik dari kaca di depannya bagaimana si anak kecil bersikap manja pada bosnya. Di balik maskernya ia sedikit mancibir.

“Adekkkkk, cinta tidak selamanya indah dekk.” Ucapnya dalam hati.

Sementara Seungcheol tampak tidak terganggu dengan sikap Taeyong yang manja padanya. Taeyong bahkan tidak malu beberapa kali mengecup pipinya.

“Kakak ganteng banget sih.”

Seungcheol hanya tersenyum mendengarnya. Kemudian ia elus lengan Taeyeong yang melingkar di lengannya.

“Kak Jeonghan, kalo di kantor ada gak yang godain kak Cheol?” Tanya Taeyeong pada Jeonghan yang sibuk menyetir.

“Banyak sih, mas. Kadang ada yang bikinin bekel buat bapak. Tapi ya gitu selalu di tolak, karena mungkin bapak jaga perasaan mas Taeyong juga.” Jeonghan bisa melihat kalo Taeyong bahkan berani menarik dagu Seungcheol untuk bisa ia cium bibirnya.

“Kamu sweet banget sih kak.”

“Aku kan cuma ngelakuin apa yang harusnya aku lakuin aja.”

“Uh, jadi gak sabar aku nikah sama kamu.”

“Makannya selesaiin kuliah yang cepet.”

“Tapi kamu janji loh nungguin aku.” Seungcheol hanya mengangguk. Seungcheol sempat melirik ke arah kaca, dimana ia bisa melihat Jeonghan yang melihat ke arah dirinya dan Taeyong sebelum akhirnya Jeonghan membuang pandangannya.


“Jeonghan, kalo kamu mau makan makan aja. Nanti bill nya ke saya.”

Jeonghan menggeleng. “Tadi di rumah bapak saya sudah makan lumayan banyak pak. Saya tunggu di mobil ya pak, kalo ada apa-apa chat atau telpon saya.”

Seungcheol mengangguk. Kemudian ia dan Taeyong masuk ke dalam cafe itu.

“Bye kak Jeonghan.” Taeyong melambaikan tangannya.

“Have fun, mas.”

Kemudian Jeonghan kembali ke mobil, memundurkan seatnya dan merebahkan dirinya. Pikirannya menerawang jauh.

“Kalo di pikir-pikir nih ya, si Taeyong itu termasuk manusia paling beruntung di muka bumi. Orang tuanya kaya, terus nanti nikahnya sama orang kaya juga. Kayak hidupnya emang gak jauh-jauh dikelilingi oleh duit. Beda sama gue, hidup dikelilingi oleh utang. Gue jadi iri sama dia.”

Lalu beberapa detik kemudian, ia menggelengkan kepalanya menepis semua yang tadi ia bicarakan.

“Kata ibu, gak baik membandingkan hidup kita sama orang lain. Semua udah ada porsinya. Lagian yang kita liat baik belum tentu baik. Jadi elo harus bersyukur, Jeonghan. Seenggaknya lo bisa memilih orang yang tepat untuk elo ajak hidup menua bersama. Coba elo liat pak Seungcheol, dia tidak bisa memilih, karena semuanya udah di atur. Kasian sih, hidup sebagai boneka nya keluarga.”


Dan sekarang mereka sudah menuju perjalanan pulang. Selama di perjalanan pulang, Seungcheol dan Taeyong tidak berhenti saling bertukar saliva. Mungkin efek wine yang mereka minum. Jeonghan bahkan beberapa kali mendengar lenguhan halus dari Taeyong.

Akhirnya mereka sampai di depan rumah Taeyong. Taeyeong menyuruh Seungcheol untuk ikut turun, tapi Seungcheol menolaknya dengan halus karena sudah larut malam dan tidak enak dengan orang tua Taeyong. Setelah diberi lumatan lagi oleh Seungcheol di bibirnya, akhirnya Taeyong mengalah. Dan turun lalu masuk ke rumahnya.

Jeonghan pun menjalankan mobilnya, dengan Seungcheol yang masih duduk di kursi belakang.

“Maaf saya bikin kamu gak nyaman.”

Jeonghan mengangguk. “Gak masalah pak.”

“Saya juga gak tau kalo Taeyong seagresif itu.”

“Tapi bapak suka kan?”

Jeonghan bisa melihat Seungcheol dari kaca di depannya. Bosnya itu tersenyum kecil menatap ke luar.

“Sedikit. Gimanapun juga saya lebih suka dengan pria dewasa. Seperti kamu misalnya.