Di mobil keduanya hanya saling diam. Jeonghan benar-benar tidak suka situasi ini. Ia benar-benar tidak ada niatan merebut siapapun dari siapapun.
“Kamu masih ngontrak di tempat yang dulu kan?” Pertanyaan Seungcheol membuat lamunan Jeonghan buyar.
Jeonghan mengangguk. “Masih pak.”
Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka sampai di depan kontrakan Jeonghan.
“Bapak mau mampir dulu?”
“Boleh?”
Jeonghan mengangguk. “Tapi di rumah saya gak ada apa-apa pak. Cuma ada kopi sama cemilan aja.”
“Ya tidak apa-apa. Saya juga mau numpang ke toilet.”
Akhirnya mereka berdua turun dari mobil, Jeonghan mencari kunci kontrakannya di tas—sesudahnya ia membuka pintu itu. Seungcheol melihat keadaan sekitar rumah itu. Rapih.
“Duduk di lantai gapapa ya pak? Maaf gak ada sofa nya.”
“It's okay, Jeonghan.” Seungcheol duduk di lantai yang beralaskan tikar.
“Kopi atau teh manis pak? Atau lemon tea?”
“Punya es batu?” Jeonghan mengangguk.
“Saya mau es lemon tea.”
Sambil menunggu Jeonghan yang sedang membuat minuman untuknya, Seungcheol sempat melihat-lihat koleksi foto yang Jeonghan pajang di dinding ruangan itu.
“Minumnya pak.” Jeonghan datang dengan segelas es lemon tea.
“Terima kasih.”
“Pak Seungcheol mau makan juga gak? Tapi saya belum belanja sih, kalau mau kita bisa nunggu tukang nasi goreng lewat. Mau pak?”
“Boleh. Saya belum pernah makan nasi goreng yang di gerobak gitu.”
“Yah pak, kemana aja? Padahal rasanya gak jauh beda sama yang di restoran-restoran yang sering bapak datengin.”
“Masa sih?”
Jeonghan mengangguk. “Percaya sama saya pak.”
Lalu keduanya larut dalam obrolan mereka. Sampai beberapa menit kemudian tukang nasi goreng yang mereka tunggu datang.
“Bang, 2 ya. Tapi yang satu jangan pedes-pedes sama jangan pake acar. Kerupuk nya double.” Ucap Jeonghan sambil menyerahkan 2 piring kosong.
“Siap, mas Jeonghan.”
Seungcheol tertawa melihat keakraban Jeonghan dengan tukang nasi goreng itu.
“Akrab ya.”
“Langganan saya pak. Eh langganan kita-kita yang tinggal disini sih.”
Beberapa menit kemudian nasi goreng mereka jadi. Setelah membayar, Jeonghan masuk dan memberikannya pada Seungcheol.
“Selamat makan, pak Seungcheol.”
“Selamat makan, Jeonghan.”
Saat ini keduanya sudah selesai makan.
“Enakkan pak?”
Seungcheol mengangguk. “Tau gitu saya pesen 2.”
Jeonghan tertawa, kemudian dia membereskan piring bekas makan mereka. Setelah mencucinya Jeonghan kembali ke tempat dimana Seungcheol berada.
“Tapi ngomong-ngomong tempat kamu nyaman juga ya.”
“Iya pak, makannya saya betah. Terus ibu kontrakannya baik banget lagi.”
“Oh iya?”
“Iya pak, asal saya pulang malem kadang si ibu suka buatin saya teh anget, terus dikasih makan juga. Mungkin beliau tau, kalau saya pasti gak sempet makan.”
“Baik juga ya. Terus orang tua kamu masih di Solo?”
“Masih pak.”
“Kenapa gak kamu ajak tinggal disini?”
“Yah bapak kan tau, saya aja ngontrak masa ngajak orang tua saya. Nanti aja lah kalo saya punya rumah sendiri.”
“Tapi kamu nabung?”
“Nabung dikit-dikit pak, sisanya buat saya hidup disini sama buat kirim ke Solo.”
Seungcheol mengangguk mengerti. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di kasur Jeonghan.
“Gak empuk kayak di rumah ya pak?”
Seungcheol mengangguk. “Tapi sama-sama nyaman.”
Jeonghan memperhatikan wajah bos nya yang sedang memejamkan matanya. Kalau dia lihat-lihat Seungcheol benar-benar sangat menawan, hanya orang bodoh yang menolak bosnya itu.
“Jeonghan?”
“Iya pak?”
“Kamu gak capek?”
“Capek pak. Kenapa?”
“Sini, tiduran samping saya.”
Jeonghan membelalakkan matanya. Maksudnya dia harus tidur berdua dengan bosnya itu?
“Saya ke situ pak?”
Seungcheol mengangguk. “Sini.” Seungcheol bahkan merentangkan tangannya—agar Jeonghan bisa menggunakan tangannya menjadi bantal.
Jeonghan ragu, tapi tetap ia lakukan. Sekarang ia sudah berbaring di sebelah Seungcheol dengan sebelah tangan Seungcheol yang menjadi bantalnya. Ia bisa mendengar bunyi degup jantung bosnya itu. Sangat-sangat berdebar-debar
Lalu sejurus kemudian, sebelah tangan Seungcheol yang satunya mendarat dengan mulus di pinggang Jeonghan. Jadi posisinya Seungcheol memeluk Jeonghan, bahkan ia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Jeonghan.
“Pak.” Bermaksud untuk melepaskan dirinya.
“Sebentar aja, Jeonghan.”
Jeonghan kemudian diam, ia bahkan tidak tau apa yang menggerakkannya sehingga sekarang ia mengelus-elus rambut Seungcheol.
“Capek ya pak?”
Seungcheol mengangguk.
“Jangan capek sendiri pak, kan ada saya.”
Bibir keduanya saling bertaut, Jeonghan bahkan menahan kepala Seungcheol agar tidak menjauh dari bibirnya. Sedangkan tangan Seungcheol sudah bergerilya di sekitar tubuh Jeonghan.
“Nghhhhh—.”
Seungcheol yang lebih dulu melepaskan ciuman mereka, menatap Jeonghan yang terengah-engah karenanya. Seungcheol mengecup tangan Jeonghan yang mengelus pipinya.
“Jeonghan, saya lanjut boleh?”