Saat ini mereka bertiga sedang menuju cafe tempat Seungcheol dan Taeyong akan makan malam.

Jeonghan sesekali melirik dari kaca di depannya bagaimana si anak kecil bersikap manja pada bosnya. Di balik maskernya ia sedikit mancibir.

“Adekkkkk, cinta tidak selamanya indah dekk.” Ucapnya dalam hati.

Sementara Seungcheol tampak tidak terganggu dengan sikap Taeyong yang manja padanya. Taeyong bahkan tidak malu beberapa kali mengecup pipinya.

“Kakak ganteng banget sih.”

Seungcheol hanya tersenyum mendengarnya. Kemudian ia elus lengan Taeyeong yang melingkar di lengannya.

“Kak Jeonghan, kalo di kantor ada gak yang godain kak Cheol?” Tanya Taeyeong pada Jeonghan yang sibuk menyetir.

“Banyak sih, mas. Kadang ada yang bikinin bekel buat bapak. Tapi ya gitu selalu di tolak, karena mungkin bapak jaga perasaan mas Taeyong juga.” Jeonghan bisa melihat kalo Taeyong bahkan berani menarik dagu Seungcheol untuk bisa ia cium bibirnya.

“Kamu sweet banget sih kak.”

“Aku kan cuma ngelakuin apa yang harusnya aku lakuin aja.”

“Uh, jadi gak sabar aku nikah sama kamu.”

“Makannya selesaiin kuliah yang cepet.”

“Tapi kamu janji loh nungguin aku.” Seungcheol hanya mengangguk. Seungcheol sempat melirik ke arah kaca, dimana ia bisa melihat Jeonghan yang melihat ke arah dirinya dan Taeyong sebelum akhirnya Jeonghan membuang pandangannya.


“Jeonghan, kalo kamu mau makan makan aja. Nanti bill nya ke saya.”

Jeonghan menggeleng. “Tadi di rumah bapak saya sudah makan lumayan banyak pak. Saya tunggu di mobil ya pak, kalo ada apa-apa chat atau telpon saya.”

Seungcheol mengangguk. Kemudian ia dan Taeyong masuk ke dalam cafe itu.

“Bye kak Jeonghan.” Taeyong melambaikan tangannya.

“Have fun, mas.”

Kemudian Jeonghan kembali ke mobil, memundurkan seatnya dan merebahkan dirinya. Pikirannya menerawang jauh.

“Kalo di pikir-pikir nih ya, si Taeyong itu termasuk manusia paling beruntung di muka bumi. Orang tuanya kaya, terus nanti nikahnya sama orang kaya juga. Kayak hidupnya emang gak jauh-jauh dikelilingi oleh duit. Beda sama gue, hidup dikelilingi oleh utang. Gue jadi iri sama dia.”

Lalu beberapa detik kemudian, ia menggelengkan kepalanya menepis semua yang tadi ia bicarakan.

“Kata ibu, gak baik membandingkan hidup kita sama orang lain. Semua udah ada porsinya. Lagian yang kita liat baik belum tentu baik. Jadi elo harus bersyukur, Jeonghan. Seenggaknya lo bisa memilih orang yang tepat untuk elo ajak hidup menua bersama. Coba elo liat pak Seungcheol, dia tidak bisa memilih, karena semuanya udah di atur. Kasian sih, hidup sebagai boneka nya keluarga.”


Dan sekarang mereka sudah menuju perjalanan pulang. Selama di perjalanan pulang, Seungcheol dan Taeyong tidak berhenti saling bertukar saliva. Mungkin efek wine yang mereka minum. Jeonghan bahkan beberapa kali mendengar lenguhan halus dari Taeyong.

Akhirnya mereka sampai di depan rumah Taeyong. Taeyeong menyuruh Seungcheol untuk ikut turun, tapi Seungcheol menolaknya dengan halus karena sudah larut malam dan tidak enak dengan orang tua Taeyong. Setelah diberi lumatan lagi oleh Seungcheol di bibirnya, akhirnya Taeyong mengalah. Dan turun lalu masuk ke rumahnya.

Jeonghan pun menjalankan mobilnya, dengan Seungcheol yang masih duduk di kursi belakang.

“Maaf saya bikin kamu gak nyaman.”

Jeonghan mengangguk. “Gak masalah pak.”

“Saya juga gak tau kalo Taeyong seagresif itu.”

“Tapi bapak suka kan?”

Jeonghan bisa melihat Seungcheol dari kaca di depannya. Bosnya itu tersenyum kecil menatap ke luar.

“Sedikit. Gimanapun juga saya lebih suka dengan pria dewasa. Seperti kamu misalnya.