Seungcheol membuka aplikasi chatnya ketika ia melihat ada sebuah pesan masuk. Taeyong. Seungcheol mendengus ketika membaca pesan itu.
Seungcheol mengelus rambut Jeonghan—yang dimana sekretarisnya itu sedang mengulum kejantanannya.
“Jeonghan?”
Jeonghan mendongak tanpa melepaskan kulumannya.
“Ada Taeyong.”
Jeonghan melepaskan kulumannya. “Terus gimana pak? Bapak lagi hard banget ini.”
“Gapapa, nanti saya kelarin sendiri di toilet. Kamu makan dulu sana.”
“Bapak gak makan?”
“Taeyong pasti kesini bawa makanan.”
Jeonghan mengangguk. Lalu ia bangkit. Tapi saat akan pergi, Seungcheol menariknya hingga jatuh ke pangkuannya.
“Pak.”
Seungcheol membawanya ke dalam ciumannya. Mengecup. Menggigit. Menghisap. Dan menggelitik langit-langit mulut Jeonghan. Sampai Jeonghan melenguh pelan.
“Nanti pulangnya ke apartemen saya aja ya.” Ucap Seungcheol sambil mengelap sisa saliva ciuman mereka.
“Ngapain?”
“Kelarin yang belum kelar dong.”
Jeonghan tersenyum. “Oke, jangan cium Taeyong.”
“Oke.” Seungcheol mengecup bibir Jeonghan sekali lagi.
“Kak, kangen.” Taeyong memeluk Seungcheol.
“Kamu kok ngabarin mau kesininya dadakan?”
“Emangnya kenapa?”
“Ya engga, takutnya aku lagi gak di kantor.”
“Abis kakak, gak pernah chat aku duluan sih jadinya aku gak tau kalo kakak lagi gak di kantor.”
Seungcheol memutar bola matanya jengah. Sampai kapan ia harus terjebak dengan anak kecil seperti Taeyong?
“Kamu bawa makanan?”
Taeyeong melepaskan pelukannya dan mengangguk.
“Belum makan siang kan?” Seungcheol menggeleng.
“Aku bawain pizza, lumayan banyak. Aku mikirnya bisa bagi kak Jeonghan juga, tapi tadi aku gak liat dia di mejanya.”
“Oh iya, Jeonghan makan di kantin sama temen-temennya. Yaudah ayo makan, keburu jam kerja lagi.”
“Inikan kantor kamu kak, harusnya gapapa dong kalo lebih dikit.”
“Ya kalo pimpinannya aja ngaret gimana bisa jadi contoh buat bawahnya?”
Taeyong mengerucutkan bibirnya. “Oke deh. Tapi cium aku dulu.”
Jangan cium Taeyong. Itu yang Jeonghan katanya.
“Nanti aja deh, makan dulu. Aku laper.”
“Oke deh.”
Lalu keduanya sama-sama menikmati makanan yang Taeyong bawa tadi.
“Em, kak?”
Seungcheol menoleh. “Kenapa?”
“Kamu lagi—hard ya?” Seungcheol menghentikan kunyahannya. Dan sempat melirik ke arah selangkangannya yang sedikit menggembung.
“Gara-gara aku ya kak?”
Seungcheol mengernyitkan keningnya dan menggeleng.
“Kamu gak usah gak enak gitu kak, kalo karena aku bilang aja.”
“Tapi ini—.”
“—aku bantuin ya, kak.”
Seungcheol terkejut dan menggeleng. “Gak usah, nanti aku kelarin sendiri aja.”
“Aku mau tanggung jawab kak, itung-itung belajar kalau nanti kita udah nikah.”
Itung-itung kalo nanti nikah? Memangnya jadi?
Dengan cepat Taeyong merosot di depan Seungcheol. Menumpukan badannya dengan kedua lututnya. Membuka resleting celana Seungcheol. Mengeluarkan kejantanan Seungcheol melalui resleting itu.
“Taeyong, jangan gak usah—.”
“Stt, aku cuma mau tanggung jawab.”
Sehabis itu, Taeyong melahap kejantanan Seungcheol secara keseluruhan—ia bahkan tersedak karena itu ukuran yang besar untuk mulutnya.
Seungcheol tidak bisa lagi mengelak. Lama-kelamaan ia menjadi terbawa suasana. Ia menekan kepala Taeyong untuk lebih memakan kejantanannya.
“Ahhh—.”
“Uhuk—.” Taeyong tersedak ketika Seungcheol mengeluarkan cairannya di mulutnya tanpa memberitahunya.
Seungcheol menaruh kepalanya di kepala sofa. Mengatur nafasnya yang tersengal-sengal karena pelepasannya. Sedangkan Taeyong tersenyum karena bisa membuat Seungcheol klimaks. Seungcheol kembali memasukkan kejantanannya ke dalam celana.
Kemudian ia menarik tengkuk leher Taeyong dan menciumnya. Dan akhirnya keduanya larut dalam ciuman panas mereka.