thatausaha

Jeonghan menutup aplikasi Twitter nya. Dan lagi-lagi dirinya yang menjadi topik pembicaraan di base sekolah.

“Shhhh” desisnya ketika dengan sengaja ia menyentuh bibirnya yang terluka.

“Lo bisa ga sih, sekali aja gak bikin gue pusing?” Sebenernya saat ini ia sedang berada di kantin, dan seseorang yang berbicara itu adalah Seungcheol—ketua OSIS di sekolahnya. Seluruh mata tertuju pada keduanya karena teriakan sang ketos.

“Jeonghan, gue ingetin sama lo ya. Kerjaan gue ga cuma ngurusin hal-hal sampah kayak kelakuan lo.” Sesudahnya sang ketua OSIS itu pergi, meninggalkan Jeonghan yang menatapnya.

Jeonghan berdecak kesal. “Bacot.”

Tanpa mengetuk pintu, Seokmin langsung masuk ke dalam ruangan bosnya. Dan menampilkan Jisoo yang sedang merebahkan tubuhnya di sofa sambil mengelus-elus perut buncitnya.

“Kenapa?”

Jisoo menoleh, ia mendudukkan dirinya tapi dengan cepat Seokmin membantunya.

“Gak tau, anaknya lagi aktif banget. Perut aku di tendang-tendang terus.” Adu Jisoo pada Seokmin.

Seokmin mengelus-elus perut buncit Jisoo.

“Anak ayah kenapa? Mau apa sayang? Kalo nendang jangan kenceng-kenceng ya, kasian Daddy nya.” Sehabis berbicara seperti itu, Jisoo merasakan tendangan di perutnya tidak terasa lagi. Mungkin anaknya sudah tenang

“Udah ga sakit, Seok.”

Seokmin masih setia mengelus-elus perut buncit Jisoo. “Dia kangen ayahnya berarti.”

Jisoo memutar bola matanya jengah.

Jeonghan, Seungcheol dan Cherry akhirnya memutuskan untuk pergi ke kontrakan Seungcheol.

“Jadi Daddy tinggal disini?”

“Iya sayang, dulu papa yang tinggal disini tapi papa pindah jadi Daddy yang disini.”

Cherry mengangguk. Lalu tiba-tiba ada seorang laki-laki yang keluar dari sebelah kamar Seungcheol.

“Weh mas bro.”

“Cherry, ayo kenalan itu namanya uncle Soonyoung.”

“Halo uncle, aku Cherry.”

“Halo Cherry. Buset dah bibit unggul ini sih bro.”

Seungcheol tertawa. “Bisa aja lo, soon. Si umi gak ada ya?”

“Lagi ke supermarket tadi sama si kurcil. Tapi Abi kayaknya ada.”

“Kenapa ga lo anterin?”

“Lu tau sendiri dah tuh anak kayaknya alergi deket-deket gue.”

“Kurang ampuh berarti pelet lo.”

“Jiakhh emangnya doi lele. Bro, ini yang bikin lu kagak move on hampir 7 tahun?” Tanya Soonyoung sambil menatap Jeonghan yang daritadi tidak melepaskan tautan tangannya dengan Seungcheol.

“Iya nih, Han kenalin ini Soonyoung tetangga aku.”

“Jeonghan/Soonyoung.” Keduanya berjabat tangan.

“Lu kesini mau ketemu umi Abi?”

“Iya nih, sekalian nengokin kontrakan. Udah lama banget engga di buat tidur.”

“Iyalah, udah anget di sana.”

Seungcheol tertawa. “Gue masuk ke kamar dulu, nyong.”

Mereka bertiga masuk ke kontrakan Seungcheol. Jeonghan membantu Cherry membuka jaket yang ia kenakan. Seungcheol mengeluarkan minuman dingin untuk Jeonghan dan Cherry.

“Cherry tadi diajak Daddy kemana?”

“Ketemu temen Daddy, pa. Tapi temen Daddy marah pada Daddy.”

“Iya mas?”

“Iya, tadi mas jelasin semuanya dan dia marah sama mas. Tapi yaudah, itu hak dia. Yang penting mas udah jujur.”

Jeonghan mengangguk. “Cherry mau tidur? Tidur sini di kasur Daddy.”

Cherry akhirnya merebahkan tubuhnya, Jeonghan mengelus-elus rambut anaknya itu agar cepat tidur.

“Tadi kamu ketemu siapa?”

“Minghao, sahabatnya Mingyu.”

“Ada apa?”

“Dia minta aku buat balik sama Mingyu.”

“Terus kamu mau?”

“Ya enggaklah, gila ya kamu.”

Seungcheol tertawa. “Aku nanya, sayang.”

“Dia bilang kalo sebenernya Mingyu nahan diri buat nyentuh aku, daripada Mingyu jajan jadi dia rela nyerahin dirinya buat jadi pelampiasan nafsunya Mingyu.”

“Sebegitunya?”

“Iya mas, yang lebih parahnya lagi Hao rela sakit hati demi liat Mingyu bahagia. Bahagianya sama orang lain lagi.”

“Wah, kasian sekali dia. Harusnya dia memperjuangkan kebahagiaannya dulu baru orang lain.”

“Aku kasian tapi gimana caranya mereka salah, mas. Aku udah maafin tapi aku gak bisa kalo harus balik ke Mingyu.”

“Ya sudah, yang penting kamu ikhlas maafin mereka.”

“Ikhlas mas, yang penting mereka ga muncul lagi di kehidupan aku.”

“Ya sudah, kamu ikut tidur sana. Capek kan?”

“Mas ga tidur?”

“Nanti mas tidur di lantai.”

“Sini aja sih, muat kok. Aku gak gede-gede banget.”

“Kasian Cherry nanti kejepit.”

“Engga, sini.”

Akhirnya Jeonghan dan Seungcheol ikut merebahkan tubuh mereka di ranjang Seungcheol—Jeonghan berada di tengah keduanya.

“Han?”

“Hm?”

“Kapan mau ajak mas ketemu ibu sama bapak?”


Disini lah Jeonghan sekarang, ia duduk dengan Minghao di depannya.

“Jeonghan, sebelumnya mau gue minta maaf.”

“To the point aja, anak gue nungguin.”

Minghao menghela nafasnya.

“Jeonghan, lo tau kan kalo gue sama Mingyu sahabatan dari kecil?”

Jeonghan mengangguk.

“Gue disini mau ngaku, kalau gue ngelakuin itu sama Mingyu udah 3 tahun.”

3 tahun? Berarti pada saat ia masih di Amerika?

“Mingyu bilang dia gak bisa nahan diri setiap sama lo, tapi dia gak mau nyentuh lo karena dia emang ga mau ngerusak lo. Daripada dia jajan jadi gue menawarkan diri untuk jadi pelampiasan nafsunya dia.”

“Jeonghan, setiap kali kita ngelakuin, setiap kali Mingyu keluar selalu nama lo yang dia sebut. Gue sakit hati tapi gue ga bisa apa-apa.”

“Kenapa lo ga berhenti? Mingyu bisa semena-mena sama lo.”

Minghao menggeleng. “Gue ga bisa kehilangan Mingyu, Jeonghan.”

“Hao, lo segitu cintanya sama dia tapi kenapa lo rela dia sama gue?”

“Karena dia cinta sama lo.”

Minghao menghapus air matanya yang jatuh.

“Hao, lo cuma nyakitin diri lo sendiri.”

“Gue rela sakit demi Mingyu. Gue mau di bahagia, meski bukan gue penyebabnya.”

Jeonghan tak habis pikir dengan jalan pikiran Minghao. Semua orang ingin bahagia dengan orang yang mereka suka, tapi Minghao? Dia rela sakit untuk orang lain.

“Jeonghan, gue mohon banget lo balik ya sama Mingyu? Kasian dia Han.”

“Terus lo gak kasian sama gue? Sama diri lo sendiri?”

“Jeonghan.....”

“Hao, gue udah maafin dia tapi buat balik gue ga bisa. Gue ga bisa balik sama orang yang udah ngekhianatin gue.”

“Jeonghan, gue mohon.” Bahkan Minghao berani berlutut di depan Jeonghan.

“Gue ga bisa, Hao.” Jeonghan berdiri, ia bermaksud untuk pergi tapi Minghao memegangi kakinya.

“Jeonghan, gue mohon sama lo. Kasian Mingyu, Han. Dia bahkan gak nafsu makan karena putus dari lo.”

Jeonghan melepaskan tangan Minghao dari kakinya.

“Sekali gue ga bisa tetep ga bisa. Hao, Lo gak bisa kayak gini, Lo ga bisa mohon-mohon sama orang untuk orang lain. Lo ga bisa nyakitin diri lo sendiri terus.”

Jeonghan melangkahkan kakinya meninggalkan Minghao yang menangis tersedu-sedu di lantai. Sebelum pergi ia menoleh.

“Lo berhak dapet seluruh isi buku. Bukan beberapa bab apalagi kalimat.”


Jun sudah menunggu di teras rumah nya sekitar 30 menit. Ia memamerkan senyum indahnya.

Beberapa menit kemudian Seungcheol datang, dan senyum Jun tiba-tiba saja luntur. Seungcheol tidak sendiri, melainkan dengan seorang anak perempuan yang ia lihat di postingan terakhir Seungcheol.

“Mas?”

“Hey Jun. Maaf ya lama.”

Jun menatap anak kecil yang menatapnya. Cantik

“Ini siapa mas?”

Seungcheol tersenyum. “Mas jelasin di dalem boleh? Sekalian sama Tante.”

Jun mengangguk, lalu mereka masuk dimana sudah anak mama Jun yang menunggu mereka.

“Ini siapa Cheol?”

Seungcheol menyalami mama Jun, lalu ia menyuruh Cherry juga melakukan yang ia lakukan. Lalu setelah itu mereka duduk di depan Jun dan mamanya.

“Tante, sebelumnya Cheol mau kenalin dulu. Ini namanya Cherry. Dia anak Cheol.”

Seungcheol bisa melihat Jun dan mamanya terkejut.

“Mas, kamu bercanda kan?” Tanya Jun

“Mas gak bercanda Jun.”

“Tapi kamu bilang kamu belum nikah mas.”

“Mas memang belum menikah. Cherry ini anak mas dengan sekretaris mas yang dulu, Jun. Dulu mas melakukan kesalahan sampai sekretaris mas itu pergi meninggalkan mas. Kita baru ketemu lagi beberapa bulan terakhir ini.”

Jun menatap Seungcheol tidak percaya, ia merasakan sesak di dadanya.

“Mas kesini juga mau bilang sama Jun dan Tante kalo mas mungkin gak bisa bales perasaan Jun, mas ga bisa sama Jun.”

“Mas....”

“Maafin mas ya, Jun. Mas gak ada maksud mau mainin perasaan kamu. Tapi dari awal kita kenal mas anggep Jun sebagai adiknya mas. Mas udah coba tapi mas ga bisa. Hati mas mas untuk orang yang lama.”

Jun menangis. “Jangan gini mas, mas tau aku sayang banget sama kamu. Aku bisa kok jadi ayah tiri anak kamu. Aku janji gak bakal ayah yang baik buat anak kamu, ya?”

Seungcheol menggeleng. “Maaf Jun, tapi mas sudah sepakat dengan papanya Cherry untuk mulai semuanya dari awal.”

“Kamu jahat banget sama aku mas. Aku yang nemenin kamu dari dulu. Aku yang tau terpuruknya kamu kayak apa. Tapi sekarang kamu malah ninggalin aku gitu aja. Setelah semua waktu yang aku kasih ke kamu.”

“Jun....”

“Aku benci banget sama kamu mas.” Sehabis itu Jun pergi masuk ke kamarnya.

“Tante, maaf.”

“Tidak apa-apa, Seungcheol. Mungkin kamu dan Jun memang tidak jodoh. Selamat untuk kamu ya. Semoga bahagia selalu.”

Setelah itu, Seungcheol berpamitan.

“Daddy, uncle tadi kenapa menangis seperti itu?”

“Karena Daddy jahat sama uncle Jun jadinya uncle Jun menangis.”

“Tapi Daddy tidak jahat. Papa juga bilang seperti itu.”

“Untuk papa mungkin Daddy tidak jahat Cherry. Tapi bagi orang lain? Tidak ada yang tau.”

Cherry hanya diam, ia memandangi wajah Seungcheol.

“Tapi Cherry tidak boleh seperti itu ya? Tidak boleh benci sama orang lain kalau semuanya tidak sesuai keinginan Cherry. Karena di dunia ini, tidak semua yang Cherry ingin harus Cherry dapat kalau Tuhan tidak merestui.”

Cherry mengangguk. “Iya Daddy.”

Seungcheol tersenyum, ia mengusak-usak rambut anaknya gemas.

“Cherry mau jajan?”

“Tapi kata papa, Daddy tidak bekerja. Papa bilang tidak boleh minta pada Daddy.”

“Daddy masih punya uang kalau untuk Cherry dan papa. Jadi Cherry boleh minta apapun sama Daddy ya?”

“Serius Daddy?”

“Iya dong.”

“Aku mau es krim boleh?”

“Boleh sayang, tapi tidak boleh banyak-banyak. Oke?”

“Oke Daddy.”

Lalu keduanya pergi dari rumah Jun.


Saat ini Seungcheol sedang menemani Cherry menonton film kartun favoritnya. Tapi yang Jeonghan liat adalah Seungcheol lebih sibuk memainkan ponselnya daripada mendengarkan celotehan anaknya.

“Sibuk banget sih, chatan sama siapa?” Tanya Jeonghan. Seungcheol menyimpan ponselnya ketika Jeonghan duduk disebelahnya.

“Jihoon, tadi chat mas katanya umi makasih banyak.”

“Yakin Jihoon aja?”

Seungcheol mengangguk. “Memangnya siapa lagi?”

“Ya gak tau, aku kan gak pernah tau kamu deket sama siapa.”

“Mas lagi hak deket sama siapa-siapa kok Han.”

Lagi-lagi Seungcheol berbohong pikir Jeonghan

“Oh yaudah.”

Seungcheol bingung dengan perubahan sifat Jeonghan, tapi nanti saja ia tanya ketika Cherry sudah tidur.

“Daddy, Cherry ngantuk.”

“Mau tidur sama Daddy?” Tanya Seungcheol

Jeonghan menatap Seungcheol tidak suka. Masa tidur sama anaknya?

Setelah Cherry mengiyakan, mereka pergi ke kamar Cherry. Meninggalkan Jeonghan yang menghentakkan kakinya kesal.


22.30

Jeonghan masih tidak bisa tidur. Ia benar-benar kesal dengan Seungcheol yang tidak peka.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.

“Han?”

Jeonghan melongok melihat Seungcheol di ambang pintu.

“Kenapa?”

“Mas tidur dimana? Sofa, kamar Cherry atau kamar kamu?”

“Terserah.” Ucap Jeonghan, ia memasukkan tubuhnya ke dalam selimut.

Seungcheol tertawa kecil, ia tau Jeonghan sedang merajuk.

“Ya sudah, mas tidur di sofa aja. Selamat malam, Jeonghan.”

Sebelum Seungcheol menutup pintu itu rapat, Jeonghan membuka selimutnya.

“Masuk.” Ucap Jeonghan penuh penekanan.

“Kemana?”

“Choi Seungcheol.”

“Mas tidak mengerti, mas harus masuk kemana? Ke kamar Cherry atau ke kamar kamu?”

“Kamar aku ih.” Jawab Jeonghan sambil merengek-rengek.

Seungcheol tertawa, lalu ia masuk ke dalam dan mengunci pintu kamar Jeonghan.

“Makannya kalau ngomong yang jelas dong. Gak semua orang paham maksud mu.”

Jeonghan tidak menjawab, ia menggeser tubuhnya agar Seungcheol bisa tiduran.

“Han, mas tuh ada salah ya sama kamu?”

Jeonghan diam. Ia masih membelakangi Seungcheol.

“Kasih tau dong, mas trauma nih terakhir mas ada salah kamu ilang gitu aja.”

Jeonghan menoleh, melihat Seungcheol yang masih setia melihat dirinya.

“Mas inget kan kalo aku gak suka dibohongin?”

Seungcheol mengangguk.

“Terus kenapa mas bohong?”

Seungcheol mengernyitkan keningnya. “Bohong apa ya?”

“Tuhkan mas masih bohong.”

Seungcheol menatap langit-langit kamar Jeonghan, ia berpikir apa yang ia sembunyikan dari papa anaknya ini.

“Ah tau deh.” Jeonghan kembali membelakangi Seungcheol.

“Kasih clue dong Han, mas beneran gak tau.”

Jeonghan jengah sekali dengan Seungcheol yang kaku.

“Kemarin habis mas berantem sama Mingyu, mas kemana?”

“Ke kontrakan.”

“Ada siapa di sana?”

“Hah? Ya ada umi, abi, Jihoon juga lagi ada, ada Soonyoung dan beberapa orang yang ngontrak di sana, sama ada—.”

Ucapan Seungcheol terhenti ketika ia ingat seseorang yang bersamanya di kontrakan kemarin.

“Kamu liat, Han?”

Jeonghan kembali diam.

“Han?”

Seungcheol melihat bahu Jeonghan yang bergetar. Seungcheol dengan cepat membalikkan tubuh Jeonghan.

“Han?”

“Mas Seungcheol maaf, tapi aku gak suka liatnya.”

Seungcheol langsung membawa Jeonghan kedalam pelukannya. Ia mengecupi pucuk kepala Jeonghan.

“Aku—aku gak suka ada yang nyentuh bibir kamu. Maaf aku egois tapi rasanya sakit banget mas.”

“Ssttt, udah ya gak usah dilanjutin lagi. Mas jelasin boleh?”

Jeonghan mengangguk dalam pelukan Seungcheol. Ia bahkan mengeratkan pelukannya.

“Jeonghan, yang kemarin kamu liat itu namanya Jun. Dia dulu salah satu pelanggan di resto. Kita jadi dekat karena memang dia sesering itu ke resto. Mas juga gak tau dari kapan, tapi memang waktu itu dia bilang dia sayang sama mas. Dan jujur saja, mas juga kaget dengan dia yang tiba-tiba mencium bibir mas. Jeonghan, mas berani sumpah mas tidak pernah seperti itu selain dengan kamu bahkan ketika Jun cium mas, mas gak membalasnya. Mas langsung tinggalin dia gitu aja. Mungkin kamu gak liat sampai akhirnya.” Jelas Seungcheol panjang lebar

“Ngapain aku ngeliatin orang ciuman.”

“Mas dicium bukan ciuman.”

“Maaf mas.”

“Tidak usah minta maaf.”

“Tapi aku egois. Aku ngelakuin itu sama Mingyu sedangkan kamu gak pernah. Maaf mas.”

“Tidak apa-apa, Jeonghan. Tapi mas boleh tanya?”

“Apa?”

“Kamu dan Mingyu pernah berhubungan badan?”

Jeonghan menggeleng. “Mingyu gak pernah mau setiap aku ajak, mas. Alasannya karena dia gak mau ngerusak aku. Tapi malah dia ngerusak kepercayaan aku ke dia.”

“Kamu hobi sekali ajak orang berhubungan badan.”

Jeonghan mencubit perut Seungcheol. “Cuma kamu sama Mingyu, tapi kan Mingyu nya gak mau.”

“Terus kamu sedih pas dia gak mau?”

“Aku malah takut kalau dia iyain ajakan aku. Mas, aku ngerasa ngekhianatin kamu kalau lagi sama Mingyu.”

“Ya sudah, tenang hati mas.”

“Kenapa?”

“Jadi nanti kalau kamu hamil lagi, kita gak usah test dna. Udah pasti itu anak mas.”

Jeonghan bersemu di pelukan Seungcheol.

“Jeonghan, sepertinya adik mu juga suka sama mas.”

“Siapa?”

“Jihoon.”

“Serius?”

“Beberapa kali sering mas perhatikan kalau dia memang mendekati mas. Tapi karena mas tidak mau memberikan dia harapan, tadi mas kirim foto Cherry ke dia, mas bilang itu anak mas. Dan mungkin dari situ dia akan mundur.”

“Mas, kenapa saingan aku banyak?”

“Saingan apanya, toh bakal kamu yang jadi pemenangnya.”

“Mas?”

“Iya?”

“Kasih tau Jun kalau kamu udah punya anak.”

“Punya anak tapi gak punya pasangan kan gapapa? Kali aja Jun mau jadi ayah tirinya Cherry.”

“Gak boleh, kan aku masih ada.” Ucap Jeonghan sambil mengerucutkan bibirnya.

“Ya terus?”

“Kasian Cherry kalo punya ayah tiri.”

“Terus mas hanya boleh sama kamu?”

Jeonghan mengangguk.

“Tapi kan kita tidak ada hubungan apa-apa?”

“Tapi kita punya Cherry.”

“Banyak kok di luar sana anak yang orang tuanya—.”

“—stop. Mas punyaku pokonya. Gak boleh ada yang ambil.” Seungcheol tertawa, ia merasakan pelukan Jeonghan makin mengerat.

“Iya-iya, mas punyanya Jeonghan. Jangan kenceng-kenceng dong, sesek nih mas.”

Jeonghan melonggarkan pelukannya. “Punyaku.”

“Punyaku punyaku. Statusnya apa?”

“Kayak anak mudah harus pake status.”

“Ya kan biar kalau ditanya sama orang enak jawabnya.”

“Mas maunya apa?”

“Kamu maunya apa?”

“Kebiasaan deh, ditanya malah nanya balik.”

“Mas cuma ikutin maunya bapak negara aja.”

Jeonghan tersenyum lebar. “Pacaran dulu mau gak mas?”

“Kayak anak muda.”

“Salah terus sih aku.”

Seungcheol tertawa. “Iya-iya kita pacaran. Halo, pacar.”

“Halo juga mas pacar.”

Lalu mereka berdua sama-sama tertawa.

“Mas?”

“Hm?”

“Jangan kasih ini lagi ke orang lain ya?” Ucap Jeonghan sambil mengelus bibir Seungcheol.

“Kenapa?”

“Punyaku.”

Seungcheol tersenyum. “Punyamu.”

“Mas?”

“Iya sayangku?”

Jeonghan merasakan ada kupu-kupu berterbangan di perutnya.

“Mas?”

“Apa sayangku?”

“Cium.”

“Cium aja?”

Jeonghan mengangguk. “Belum beli kondom.”

“Biasanya ga pake.”

“Nanti hamil lagi.”

“Kan ada yang tanggung jawab.”

“Oh iya, yuk mas?”

Lalu kita biarkan mereka main pedang-pedangan.


“Kok pintu kamar papa di kunci ya? Terus Daddy kemana?”


“Kok bisa gini sih mas?”

Seungcheol meringis ketika luka-lukanya di tekan.

“Pelan-pelan, Jun.”

Jun lagi

“Ya abis kamu, berantem sama siapa coba?”

“Ini cuma salah paham kok.”

“Salah paham apa yang sampe bonyok begini?” Tanya Jun sambil menekan-nekan luka Seungcheol.

“Aww, Jun.”

Jun memperhatikan wajah Seungcheol.

“Udah bonyok kok masih cakep sih mas?”

Seungcheol tersenyum. “Bisa aja kamu, Jun. Kamu kok bisa kesini lagi? Kan tadi sudah pulang.”

“Feeling aku mengatakan ada yang terjadi sama kamu. Dan bener kan.”

“Kuat ya feeling kamu.”

“Iya dong.”

Lalu keduanya sama-sama terdiam. Tapi Jun masih memperhatikan wajah Seungcheol. Lalu tangannya mengelusi rahang Seungcheol.

“Mas?”

“Hm?” Seungcheol tidak terbiasa dengan sentuhan itu. Jujur saja, ia tidak merasakan ada sesuatu yang membuncah di hatinya.

“Aku sayang sama kamu.”

Ini yang Seungcheol takutkan.

“Kamu sayang aku gak, mas?”

Seungcheol tidak menjawab. Karena memang tidak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan Jun itu.

“Mas?”

Seungcheol masih diam, tapi ia menatap Jun.

“Tutup mata kamu deh.”

“Ada apa?”

“Tutup aja.”

Seungcheol menurut. Ketika matanya terpejam, ia merasakan tangan Jun mengelus-elus rahangnya lagi. Dan selanjutnya sesuatu yang kenyal menyentuh bibirnya. Seungcheol buru-buru membuka matanya, terkejut dengan apa yang Jun lakukan.

Jun tersenyum. “Aku sayang kamu, mas.” Lalu bibirnya kembali ia darat kan di bibir Seungcheol. Tapi dengan cepat Seungcheol menjauhkan dirinya dari Jun.

Seungcheol tau kalau Jun menyukainya. Tapi ia tidak tau kalau Jun akan senekat itu.

Dan, hal lain yang tidak Seungcheol ketahui adalah ada dua hati yang terluka melihat mereka.


Seungcheol sampai di apartemen Jeonghan, dengan cepat ia menuju unit milik Jeonghan dan benar saja ada Mingyu di sana.

“Mingyu?”

“Bang Cheol? Lo ngapain bang?”

“Mingyu, ada yang harus kita bicarakan.”

“Tentang resto bang? Ntar aja ya bang, gue mau ngurusin ini dulu pacar gue ngambek. Nanti kalo ini udah kelar gue baru ke resto.”

“Mingyu.”

“Bang please, ngertiin gue dulu. Ini masalah hidup dan mati gue.”

“Please Gyu, ini ada hubungannya sama Jeonghan.”

“Lo kenal Jeonghan dimana? Gue baru kenalin lo ke Cherry. Lo jangan nikung gue dong bang.” Ucap Mingyu dengan emosi.

Seungcheol sendiri sudah mencoba untuk menahan emosinya. Karena ia harus menyelesaikan ini dengan kepala dingin.

“Iya gue kenal Jeonghan.”

“Bang.”

“Jeonghan papanya anak gue, Gyu.”

Mingyu terkejut. Lalu ia menggeleng tidak percaya.

“Jangan bercanda lo bang.”

Seungcheol menggeleng. “Gue ga bercanda, Cherry anak gue.”

Lalu tiba-tiba Mingyu mencengkram erat baju Seungcheol.

“Jadi elo si brengsek yang bikin Jeonghan menderita? Hahhhhhhhh.”

Seungcheol tidak bisa melawan karena cengkraman tangan Mingyu di bajunya cukup kuat. Seungcheol bahkan sampai terbatuk-batuk karena sangat tercekik.

“Elo yang bikin dia ngerasain sakit sendirian. Berjuang buat ngelahirin Cherry. Elo bang orangnya.”

Bukkkkkkkk

Satu pukulan mengenai rahang Seungcheol. Karena cukup keras Seungcheol sampai tersungkur.

“Gyu—”

Mingyu kembali mencengkeram baju Seungcheol.

“Gara-gara lo harus pergi jauh ke Amerika. Gara-gara lo dia harus jauh dari keluarganya.”

Bukkkkkkkk

Lagi-lagi Seungcheol tersungkur. Bukan tidak bisa membalas, Seungcheol hanya tidak ingin semuanya jadi runyam.

Mingyu akan memukul Seungcheol yang sudah tepar.

“Mingyu.”

Mingyu menoleh dan mendapati Wonwoo di sana.

“Anak orang bisa mati.”

“Biarin aja dia mati. Dia pantes dapetin ini semua bang.”

“Lo ga berhak menghakimi dia. Lo bukan Tuhan, Gyu.”

Mingyu membuang pandangannya, ia meredakan emosinya.

“Mingyu, elo bener-bener keterlaluan ya.” Ucap Joshua yang tiba-tiba datang dengan Gia—anaknya.

“Lo berdua kenapa sih masih belain si brengsek ini? Kalo tau elo orang yang nyakitin Jeonghan gak bakal lo gue terima di resto gue. Sampah. Lo gue pecat.” Mingyu benar-benar diselimuti oleh emosinya. Tapi Seungcheol sama sekali tidak membalasnya.

“Mingyu, kamu gak malu ngatain saya brengsek? Kamu gak ada kaca di rumah? Mau saya belikan?”

Mingyu menatap Seungcheol marah.

“Apa maksud lo?”

“Kamu sama brengseknya seperti saya. Jangan mengelak.”

“Mas Seungcheol, maksudnya apa?” Tanya joshua.

“Kamu tanya sama Jeonghan saja, Joshua. Saya tidak ada hak memberitahu orang-orang sebrengsek apa dia.” Ucap Seungcheol sambil menatap Mingyu.

“Joshua, karena kamu sudah disini saya pulang dulu. Saya titip Jeonghan, dia dan Cherry pasti ketakutan. Saya permisi.”

Seungcheol pergi dengan perlahan, sambil memegangi pipinya yang memar. Di lobby ia bertemu Jisoo dan Seokmin.

“Pak Seungcheol, ya ampun pak kok sampe begini? Di obatin dulu pak.”

“Jisoo, tidak apa-apa. Nanti saya yang obati sendiri. Saya titip Jeonghan dan Cherry ya. Seokmin saya duluan.”

Seungcheol melanjutkan langkahnya menuju parkiran motor. Dan melaju pulang ke kontrakannya.


Seungcheol sampai di apartemen milik Jeonghan. Ia di sambut oleh Jeonghan dengan mata sembabnya.

“Masuk, mas.”

“Kamu kenapa? Cherry kenapa?”

“Cherry okay mas. Masuk aja dia di kamar.”

“Kamu sakit?”

Jeonghan menggeleng. “Maaf ya aku ngerepotin mas.”

“Gak repot Han, Cherry kan anak mas juga.”

“Mas abis darimana? Ngedate ya?”

“Cuma makan doang Han, bukan siapa-siapa.”

“Siapa-siapa juga gapapa mas.”

Seungcheol tertawa. “Mas masih belum mikirin ke sana, masih mau fokus sama Cherry. Mas ke kamar Cherry ya.”

“Mas?”

“Ya?”

“Kasih tau Cherry ya.”

Seungcheol mengangguk dan tersenyum. “mas izin bilang hari ini ya, Han.”


Seungcheol masuk ke kamar anaknya, ia melihat Cherry sedang bergelung dengan selimutnya.

“Cherry?”

“Uncle Cheol.” Cherry melepaskan diri dari selimutnya dan memeluk Seungcheol.

“Kata papa Cherry lagi bete. Kenapa?”

“Papa daritadi nangis uncle, tapi tidak bilang Cherry kenapa, Cherry tanya papa bilang bukan urusan Cherry. Cherry sedih, padahal Cherry cuma punya papa, setiap Cherry sedih Cherry selalu kasih tau papa dan papa hibur Cherry. Cherry cuma mau lakuin apa yang papa lakuin, uncle.”

“Jeonghan, kamu berhasil didik Cherry dengan baik. Terima kasih.”

“Cherry, masalah orang dewasa itu lebih berat dari anak kecil. Mungkin papa tidak mau kalau Cherry sampai sedih seperti papa tapi cara papa bilang ke Cherry salah. Cherry biarin papa sendiri dulu ya? Nanti uncle bantu ngobrol sama papa, oke?”

Cherry mengangguk. “Oke uncle.”

“Cherry, uncle boleh bertanya sama Cherry?”

“Tanya apa uncle?”

“Kapan terakhir kali Cherry ketemu uncle gu?”

“Sudah lama banget, uncle. Uncle gu juga udah jarang main kesini, paling telpon papa. Tapi akhir-akhir ini juga papa jarang telpon uncle gu.”

Seungcheol mengangguk. Saat ini keduanya berbaring di atas ranjang Cherry. Karena terlalu kecil akhirnya keduanya saling berpelukan.

“Cherry tau gak siapa Daddy nya Cherry?”

Cherry menggeleng. “Tapi papa bilang Daddy nya Cherry orang baik, uncle. Tapi Cherry tidak tau kenapa Daddy tidak pernah muncul.”

“Kalau Daddy nya Cherry mau ketemu Cherry, Cherry mau gak?”

Cherry mengangguk antusias. “Mau uncle Cherry mau banget.”

“Tapi kalau Daddy nya Cherry sama papa tidak bisa bareng-bareng tidak apa-apa? Soalnya kan ada uncle gu sekarang.”

“Tidak apa-apa, uncle. Teman Cherry ada yang papa-mama nya tidak bareng-bareng. Lalu papa-mama nya punya pacar kayak papa, dan akhirnya teman Cherry itu punya 4 orang tua. Asik banget uncle, dia dapat banyak uang jadinya.”

Seungcheol tertawa. “Jadi Cherry mau seperti itu?”

“Sebenernya Cherry inginnya papa dengan Daddy saja. Tapi kasian nanti uncle gu sedih.”

“Cherry sayang ya sama uncle gu?”

“Sayang, tapi sekarang lebih sayang dengan uncle Cheol.”

“Kenapa?”

“Soalnya uncle gu tidak pernah kesini lagi, jadi mungkin itu yang bikin papa menangis daritadi.”

Seungcheol diam sejenak. Sambil mengelus-elus punggung anaknya ia mencoba merangkai kata-kata untuk ia ungkapkan pada Cherry.

“Cherry?”

“Iya uncle?”

“Kalau uncle bilang, uncle adalah Daddy nya Cherry. Cherry percaya?”

Cherry tidak menjawab, ia mendongakkan kepalanya menatap Seungcheol. Seungcheol takut kalau Cherry membencinya.

“Uncle Cheol Daddy nya Cherry?”

Seungcheol mengangguk takut.

“Uncle serius?”

Seungcheol mengangguk lagi.

Cherry melepaskan pelukannya dan ia berlari keluar kamarnya, Seungcheol mengejarnya. Ia takut anaknya itu tidak mau menerimanya.

Dan ternyata Cherry masuk ke kamar Jeonghan.

“Papa?”

Jeonghan yang masih menangis, mengelap air matanya dan menatap Cherry.

“Papa, Daddy disini.”

Seungcheol yang berada di belakang Cherry terkejut. Begitu juga Jeonghan. Ia menatap Seungcheol meminta jawaban.

“Uncle Cheol Daddy nya Cherry, papa.”

“Cherry...”

“Papa, Daddy disini. Papa gak boleh sedih lagi. Ada Daddy disini. Kita gak bakal berdua lagi papa.”

Jeonghan makin menangis, ia merentangkan tangannya meminta agar Cherry memeluknya. Begitu juga Seungcheol yang ikut menangis.

“Cherry tidak marah dengan uncle Cheol?”

“Daddy, papa.”

“Iya, Cherry tidak marah dengan Daddy?”

Cherry menggeleng. “Papa bilang Daddy orang baik. Jadinya Cherry tidak marah.”

“Mas?”

Seungcheol mendekat ke Jeonghan dan Cherry. Lalu ikut memeluk keduanya.

“Welcome home, Daddy.”


Seungcheol menutup pintu kamar anaknya dengan perlahan, takut anaknya itu terbangun. Sekarang sekitar pukul 12 malam. Ia memutuskan untuk menginap lagi.

Ia akan tidur di sofa malam ini, kan tidak mungkin dia tidur lagi di kamar Jeonghan. Tapi saat menuju sofa, ia melihat Jeonghan di sana.

“Kok belum tidur?”

Jeonghan menoleh. “Nungguin, mas.”

“Ada apa?”

Jeonghan menepuk-nepuk tempat kosong di sisinya. Lalu Seungcheol duduk di sebelah Jeonghan. Ia melihat mata Jeonghan yang bengkak karena habis menangis.

“Mas Seungcheol, aku mau peluk kamu boleh?”

“Boleh, Jeonghan.”

“Tapi aku mau di pangku.”

Seungcheol diam sejenak, tapi kemudian ia mengangguk. Lalu Jeonghan duduk di atas pahanya. Jeonghan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Seungcheol, tangannya memeluk erat tubuh Seungcheol.

“Mingyu selingkuh, mas.”

Seungcheol terkejut. “Kamu tau darimana, Han?”

“Aku ke apartemennya tadi pagi, yang bukain pintu bukan dia tapi orang lain. Itu sahabatnya dia cuma pake bathrobe mas rambutnya juga masih basah pasti baru kelar mandi, tapi pas Mingyu keluar dia juga gitu. Mereka pasti mandi bareng. Mereka pasti—” Jeonghan tidak sanggup melanjutkan ucapannya.

“Ssttt udah-udah jangan di lanjutin. Kamu mau mas ngobrol sama dia?”

Jeonghan menggeleng. “Aku udah gak mau ada hubungan apapun sama dia mas.”

“Yaudah, udah sekarang jangan nangis lagi ah. Kasian matanya. Tidur ya?”

“Kamu juga ya mas?”

“Iya mas tidur disini.”

“Di kamar aja sama aku, mas.”

“Han?”

“Please, aku mau tidur sambil di peluk.”

“Yaudah iya, ayo.”

“Gendong.”

“Manja.”

Jeonghan makin mengeratkan pelukannya. “Biarin aja.”

Akhirnya mereka berdua menuju kamar Jeonghan dengan Seungcheol menggendong Jeonghan seperti koala.

Seungcheol merebahkan tubuh keduanya di atas ranjang empuk Jeonghan.

“Mas?”

“Iya?”

“Cherry seneng banget ketemu kamu.”

“Aku juga seneng banget Han, aku kira Cherry gak mau terima aku tapi ternyata dia mau terima aku. Aku makasih banget sama kamu karena kamu udah didik dia dengan baik, Han. Maaf aku gak bantu kamu dulu.”

“Aku yang harusnya minta maaf mas, aku pergi tanpa dengerin penjelasan kamu dulu bahkan gak kasih tau tentang aku yang hamil saat itu. Aku kalut waktu itu mas.”

“Gapapa, mas paham kok. Udah ya gak usah dibahas lagi, mending kita tidur.”

“Mas?”

“Hm?”

“Cium boleh?”

Seungcheol mengangguk. Jeonghan naik ke atas tubuh Seungcheol.

“Harus naik?”

“Aku pengen begini.”

Seungcheol tertawa. Lalu ia menekan kepala Jeonghan agar bibir keduanya menempel. Lalu, Seungcheol mulai menggerakkan bibirnya. Menggigit. Menghisap. Memasukkan lidahnya ke dalam mulut Jeonghan. Membelai langit-langit mulut Jeonghan dengan lidahnya.

“Han, jangan gerak-gerak. Punya mas bangun nanti.”

Jeonghan menegakkan tubuhnya—dengan sengaja ia duduk tepat di atas kejantanan Seungcheol. Ia membelai dada Seungcheol yang masih berbalut baju, sedikit menggesekkan pantatnya dengan kejantanan Seungcheol—sampai membuat laki-laki dibawahnya mendesis.

“Han.”

“Mas, masukin Han mau gak?”

“Han, jangan gini.”

“Mas tega liat Han hard gini?”

Seungcheol seperti tidak punya pilihan. Tapi miliknya juga harus ia selesaikan.

“Kamu ada kondom sama pelumas?”

Jeonghan menggeleng.

“Kita ga bisa main kalau gak ada itu, Han.”

“Pake ludah aja mas, terus gak usah pake kondom.”

“Ya ga bisa dong, Han.”

“Bisa mas. Ayo, lubang Han gatel banget.”

“Yaudah, mas keluarin di luar.”

“Di dalem juga gapapa.”

“Ngaco.”

Lalu sehabis itu yang terdengar hanya suara desahan-desahan keduanya.


Jeonghan memutuskan untuk mengunjungi apartemen Mingyu. Karena semalam laki-laki itu sempat ngambek pada Jeonghan. Jeonghan juga membawakan beberapa makanan untuk Mingyu.

Ting tong ting tong

Pintu terbuka.

Bukan Mingyu.

Seorang laki-laki yang asing untuknya.

Jeonghan dan orang itu sama-sama bingung.

“Cari siapa ya?”

Jeonghan melihat laki-laki itu dari atas sampai bawah.

Rambutnya basah

Hanya mengenakan bathrobe

“Mas, cari siapa?” Tanya laki-laki itu lagi, karena Jeonghan tidak menjawab.

“Oh, Mingyu. Ada kan?”

Belum sempat menjawab, Mingyu muncul.

“Siapa ha—o. Han?”

Jeonghan melihat, penampilan Mingyu yang sama dengan laki-laki asing itu. Jeonghan yakin keduanya baru selesai mandi.

“Hai?” Ucap Jeonghan dengan nada bergetar. Ia belum sanggup mengetahui kebenarannya.

“Han, kenapa gak kasih tau aku kalau mau kesini?”

Satu air mata Jeonghan menetes

“Jadi sekarang kalau aku mau kesini, harus kasih tau kamu dulu ya gu?”

Mingyu menggeleng. “Gak gitu Han.”

Mingyu sempat ingin menggenggam tangan Jeonghan tapi Jeonghan menepisnya dengan cepat.

“Siapa?”

“Han, aku jelasin di dalem ya.”

Jeonghan menggeleng.

“Han—”

“—siapa gu?”

Mingyu memejamkan matanya.

“Hao.”

Jeonghan membuang pandangannya, air matanya kali ini mengalir dengan keras.

“Kamu sama dia—” Jeonghan bahkan tidak bisa melanjutkan ucapannya.

“Han, aku bisa jelasin.”

“Aku kurang apa ya gu?”

Mingyu menggeleng. “No, kamu gak kurang apapun Han.”

“Kalo aku gak kurang kamu gak akan main gila sama sahabat kamu sendiri gu.”

Baru kali ini Jeonghan berani membentak Mingyu.

“Aku mau putus.”

“Aku gak mau Han. Jangan. Aku mohon sama kamu.”

Jeonghan menggeleng. “Buat apa kamu sama aku? Buang-buang waktu kamu aja gu.”

“Jeonghan, aku sayang banget sama kamu. Aku cinta sama kamu. Jangan tinggalin aku Han.”

Jeonghan melepaskan genggaman tangan Mingyu.

“Maaf gu. Aku gak bisa.”

Jeonghan melangkahkan kakinya meninggalkan Mingyu yang menangis meraung-raung di depan pintu apartemennya. Tidak peduli para tetangganya mendengar. Mingyu ingin Jeonghan berbalik, tapi nyatanya Jeonghan semakin jauh. Dan mungkin, akan makin menjauh darinya.