thatausaha

“Udah sih gak usah digalauin. Ntar juga dia balik lagi.” Ucap Jeonghan.

“Tapi gue cemburu Han.”

“Lah emangnya lo siapa? Apa hak lo cemburu sama dia?”

“Kurang ajar emang lo Han.”

Jeonghan tertawa, lalu ia kembali meminum bir nya.

“Kapan lo bisa liat gue lebih, Cheol?”

Seungcheol masih setia menunggu suami-suaminya keluar dari kamar mandi. Ia sudah menyiapkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan kedua suaminya.

Cklekkkk

Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Jeonghan dan Jisoo yang sudah selesai mandi dan sudah berganti pakaian.

“Yang?”

Tapi lagi-lagi keduanya tidak menggubris Seungcheol, mereka berdua malah langsung merebahkan tubuh mereka di ranjang tanpa mengajak Seungcheol. Tapi Seungcheol tidak bisa tinggal diam, ia tidak mau berantem lebih lama dengan suami-suaminya.

Seungcheol ikut merebahkan tubuhnya, tanpa persetujuan kedua suaminya ia memeluk keduanya. Tapi keduanya sama sekali tidak menolak.

“Yang, aku minta maaf ya. Minta maaf karena lupa kasih tau kalian tentang sekretaris baru aku. Dan minta maaf karena ga pernah cerita tentang mantan aku.”

Jisoo dan Jeonghan masih bungkam.

“Tapi aku sama sekali gak interaksi sama dia kecuali tentang kerjaan. Iya, dia emang banyak ajak aku ngobrol tapi aku gak tanggapi. Dan aku janji gak bakal banyak interaksi sama dia diluar kerjaan.”

Seungcheol hanya menatap sendu kedua suaminya.

“Yang, aku udah jujur sejujur-jujurnya orang paling jujur.”

Seungcheol menyerah

Seungcheol melepaskan pelukannya lalu bangkit dari tidurnya dan menuju kamar mandi.

Jisoo menatap pintu kamar mandi dengan sedih. Sebenarnya ia tidak tega tapi jujur ada rasa was-was dalam dirinya.

“Soo?”

“Han, kita keterlaluan gak sih sama Cheol?”

Jeonghan menatapnya sedih. “Kayaknya iya Soo. Dia sampe lemes banget ngomongnya.”

“Kamu mau maafin dia?”

“Kamu gimana?”

“Yuk, gak baik berantem lama-lama. Lagian kita harus percaya sama Cheol kan?”

Jeonghan mengangguk. “Iya Soo, aku siapin bajunya Cheol dulu.”

Jisoo melepaskan pelukannya pada Jeonghan, lalu Jeonghan menuju lemari pakaian mereka untuk menyiapkan baju untuk Seungcheol.

Beberapa menit kemudian Seungcheol keluar dari kamar mandi, ia melihat kedua suaminya sedang menunggunya. Jisoo duduk di ranjang dan Jeonghan duduk di kursi meja riasnya.

“Yang?”

Jeonghan yang lebih dulu memeluk Seungcheol.

“Maafin aku, Cheol.”

Seungcheol mengeratkan pelukannya. “Aku yang minta maaf yang, aku bisa-bisanya lupa ngasih tau kalian. Maaf banget.”

Seungcheol menarik Jeonghan untuk ikut dengannya memeluk Jisoo juga.

“Maaf ya Cheol.”

“Maafin aku juga ya, yang.” Seungcheol mengecup kedua kening suaminya.

Lalu mereka bertiga masih dalam posisi berpelukan, berbagi kehangatan.

“Hansol berapa lama di Bandung?” Tanya Jisoo

“3 bulan yang, ada masalah di cabang sana. Kalo aku yang turun tangan ya pasti kita LDR 3 bulan.”

“Gak mau.” Ucap Jeonghan

“Aku juga mana mau, walaupun aku bisa pulang tapi kan tetep aja ga enak. Bobonya sendirian.”

“Berarti sekretaris kamu juga cuma 3 bulan kan?”

Seungcheol mengangguk. “Kalo kalian gak suka aku bisa pecat dia.”

“Jangan, gak profesional nanti.” Ucap Jisoo

“Jadi gapapa?”

“Asal kamu ga nakal.” Jawab Jeonghan dan Jisoo bersamaan.

“Siap bos.”

Saat ini mereka sedang berada di perjalanan pulang dari rumah ayah Seungcheol. Tapi di perjalanan hanya keheningan yang menyelimuti mereka.

“Ini kenapa kok pada diem aja?” Tanya Seungcheol, tapi Jisoo dan Jeonghan masih bungkam. Bahkan Jeonghan tidak menatap Seungcheol, ia memilih untuk menatap jalan di luar.

Seungcheol makin bingung, tapi ia tidak mau berdebat dengan suami-suaminya itu apalagi anak-anak mereka sedang tertidur.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah mereka. Jisoo menggendong salah satu anak mereka sedangkan Jeonghan juga.

Seungcheol hanya diam memandangi tubuh kedua suaminya yang sedang menggendong anak-anaknya. Lalu ia mengikuti Jisoo dan Jeonghan dari belakang.

. . . . . . . .

Setelah menidurkan anak-anaknya, Jisoo dan Jeonghan menuju kamar mereka. Di dalam Seungcheol sedang duduk menunggu mereka.

“Yang?”

Jisoo langsung masuk ke kamar mandi, sedangkan Jeonghan ia mengambil baju gantinya dan Jisoo lalu ikut masuk ke dalam kamar mandi.

Seungcheol mengusakkan wajahnya bingung.

“Gue salah apa sih?”

Jisoo sampai di rumah ayah mertuanya. Setelah mengucapkan terima kasih pada supir kantor Seungcheol, ia masuk ke dalam rumah dan di sambut suaminya.

“Anak-anak rewel gak?”

Jeonghan menggeleng. “Kan ada Jihoon, mereka kalo udah ngerecokin Jihoon seneng banget.”

“Jangan dibiasain Han, takutnya Jihoon lagi sibuk.”

Jeonghan mengangguk. “Tapi hari ini engga kok.”

Seungcheol, Jeonghan, Jisoo memutuskan untuk mengadopsi anak setelah satu tahun menikah. Mereka mengadopsi 2 anak sekaligus—biar ga rebutan menurut Seungcheol.

. . . . . . . . .

“Ntar Seungcheol jemput Soo?” Tanya sang bunda

Jisoo mengangguk. “Iya bund, biar sekalian.”

“Bunda, tau gak kalo sekretarisnya Cheol baru?”

Mereka melihat wajah bundanya bingung.

“Engga sih, Cheol ga cerita.”

Jisoo dan Jeonghan lega, karena Seungcheol ternyata memang lupa.

“Cewek atau cowok kak?” Tanya Jihoon

“Cewek ji, cantik lagi.”

“Serius Soo?”

Jisoo mengangguk. “Terus pas aku kasih tau kalo aku suaminya Seungcheol mukanya langsung ga enak gitu. Gak tau deh kenapa.”

“Dia pasti mikir kalo punya wajah cantik bosnya bakal tertarik. Kebanyakan nonton drama.” Jawab Jeonghan kesal.

“Namanya siapa Soo?”

Jisoo sedikit berpikir, karena ia tidak terlalu ingat.

“Nay—Naya atau Maya aku lupa bund.”

“Nayeon?” Tebak Jihoon

“Oh iya Nayeon. Kamu kenal ji?”

Jihoon menggaruk tengkuknya, ia merasa akan ada perang besar nantinya.

“Kamu kenal ji?” Tanya Jeonghan lagi

“Itu kak—emm—itu mantannya mas pas SMA.”

Hah?

“Sayang?”

Jisoo menoleh dan mendapati Seungcheol di sana. Seungcheol memberikan pelukan hangat dan mengecup kening suaminya itu.

“Nayeon, ini suami saya. Kalo dia kesini suruh tunggu di dalem aja.” Tanpa menunggu jawaban Nayeon, Seungcheol langsung mengajak Jisoo masuk ke dalam ruangannya.

“Maaf ya aku lama.”

Jisoo mengangguk. “Gapapa yang.”

“Kamu masak apa?”

“Aku bikin opor ayam, aku bawa banyak jadi kamu harus makan banyak.”

“Gendut dong nanti aku.”

“Biarin, biar gak ada yang naksir.”

Seungcheol tertawa. Jisoo dan Jeonghan makin cemburuan semenjak mereka menikah.

tengokin, yuk?

Seokmin pulang lebih awal dari perkiraannya. Ia khawatir dengan suaminya itu. Ada apa sebenarnya?

Seokmin menemukan Jisoo sedang bergelung dengan selimutnya.

“Halo?”

Jisoo menoleh, ia tersenyum dan mencoba bangkit dari tidurnya. Merentangkan tangannya meminta untuk di peluk. Tapi Seokmin tidak menurutinya.

“Aku dari luar, mandi dulu baru peluk kamu. Oke?”

Jisoo mengerucutkan bibirnya tapi tetap mengangguk.

Beberapa menit kemudian Seokmin selesai mandi, ia ikut bergelung dibawah selimut bersama Jisoo.

“Hari ini gimana?”

“Biasa-biasa saja.” Jisoo mengusakkan wajahnya ke dada Seokmin.

“Ada yang bikin kamu sedih gak?”

Jisoo menghentikan kegiatannya itu. Lalu menatap Seokmin sedih.

“Seok, aku aneh ya?”

“Aneh gimana?”

“Iya, masa laki-laki hamil. Aneh kan?”

“Loh, engga dong berarti kamu istimewa. Engga banyak loh laki-laki yang bisa hamil. Siapa yang ngomong gitu?”

Jisoo menggeleng. “Gak tau, gak kenal.”

“Tau namanya tidak?”

“Yuju?” Jisoo lupa-lupa ingat.

“Kamu ketemu dia?”

Jisoo mengangguk. “Itu siapa? Dia kenal kamu juga terus tadi sempet peluk Chan.”

Seokmin menghela nafasnya. “Yuju itu yang kemarin aku ceritain ke kamu.”

“Mantan kamu itu?” Seokmin mengangguk.

“Pantes dia natap aku gak suka.”

“Udah biarin aja, yang penting aku kan suka.”

“Seok, capek gak?”

“Kenapa sayang? Mau apa baby nya?”

“Tengokin yuk.”

Seokmin menatap Jisoo. “Beneran?”

Jisoo mengangguk. “Kamu tambah ganteng kalo abis mandi.”

“Kamu sekarang jadi suka muji aku deh.”

Jisoo tersenyum malu. Lalu ia membuka kancing piyama Seokmin. Sedangkan Seokmin mengelus-elus perut buncit Jisoo.

“Ayah ijin nengokin ya, sayang.”

. . . . . . . . .

Jisoo melenguh kecil ketika Seokmin menjilati telinganya. Ia sendiri mengelus-elus perut sixpack Seokmin dengan sensual—memberikan rangsangan.

Lalu jilatan Seokmin turun ke kedua puting Jisoo—dengan gerakan memutar dan sedikit mengecup cukup membuat Jisoo terbang ke langit.

“Enak, sayang?”

Jisoo mengangguk lemas. “Lagi, Seok.”

Seokmin menuruti kemauan suaminya itu. Jisoo tidak terlalu aktif kalau dalam berhubungan badan, ia hanya ikut saja permainan Seokmin.

“Anghhhh—.” Jisoo membusungkan dadanya ketika Seokmin menyusu seperti bayi pada dadanya.

Lalu, Seokmin kembali menjilati tubuh Jisoo—kali ini pada perut buncit suaminya itu. Seokmin merasakan ada sedikit tendangan pelan dari perut buncit itu.

“Sakit?”

Jisoo menggeleng. “Dia sekarang kalo denger suara kamu suka nendang-nendang, kalo disentuh kayak gitu juga dia suka. Mungkin dia ga sabar ketemu ayahnya.”

Mendengar ucapan Jisoo, Seokmin makin bersemangat untuk menyetubuhi suaminya itu. Ia turun dari ranjang dan mengambil pelumas sekaligus pengaman.

Seokmin melumuri jarinya dengan pelumas itu, lalu ia memasukkannya ke dalam lubang Jisoo. Jisoo mendongakkan kepalanya ketika Seokmin berusaha keras untuk memasukkan jarinya.

“Sakit bilang ya?”

Jisoo mengangguk. Ia menarik tengkuk leher Seokmin untuk ia cium bibirnya. Memberi tahu Seokmin kalau ia suka dengan apa yang Seokmin lakukan pada lubangnya.

1 jari

2 jari

Seokmin berhasil memasukkan kedua jarinya ke dalam lubang sempit Jisoo. Lubang Jisoo selalu sempit. Ia bahkan bisa merasakan jarinya di sedot oleh lubang itu.

“Aku masuk ya sayang?”

Jisoo mengangguk. Ia menahan nafasnya. Selama Jisoo hamil tua memang beberapa kali mereka melakukan hubungan intim, untuk mencari jalan keluar untuk bayi mereka dan kepuasan setelah beberapa bulan berpuasa tidak menyentuh satu sama lain.

“Arghhhh—” Jisoo merasakan perih di lubangnya. Ia menancapkan kukunya pada punggung Seokmin sebagai penanda kalau ia merasakan sakit dan nikmat secara bersamaan.

“Gerak, Seok.”

Setelah mendapatkan lampu hijau dari Jisoo, Seokmin menggerakkan pinggulnya pelan sambil menetralisir sakit yang Jisoo rasakan.

Sakitnya berubah menjadi nikmat. Itu yang Jisoo rasakan.

“Lebih cepat, Seok.” Ini yang Jisoo suka ketika mereka berhubungan badan. Seokmin selalu gentle ketika melakukannya. Ia tidak akan menaikkan ritme permainannya jika Jisoo tidak meminta.

“Ah ah ah ah ah—.” Desahan keduanya saling bersautan di dalam kamar mereka.

Suara tabrakan antar tubuh mereka terdengar jelas ketika keduanya mencoba bergerak secara berlawanan. Seokmin memegangi pinggul Jisoo, sedangkan Jisoo sedikit memegangi perutnya yang terlonjak-lonjak akibat tumbukan Seokmin yang sedikit kencang kali ini.

“Seok—.”

“Keluarin aja yang.”

Beberapa menit kemudian Jisoo keluar, cairannya mengenai tubuh mereka berdua.

“Maaf Seok.”

“Gapapa, aku kencengin dulu ya? Aku juga mau keluar.”

Jisoo mengangguk, ia siap terlonjak-lonjak kencang.

Lalu, beberapa menit kemudian mereka mencapai pelepasan mereka—Jisoo keluar untuk kedua kalinya.

Seokmin menjatuhkan kepalanya di dada Jisoo yang naik turun akibat pelepasan. Lalu mengecup bibir Jisoo.

“Lagi, boleh?”

Tapi ini yang Jisoo sedikit tidak suka, Seokmin tidak akan cukup hanya sekali keluar.

Seokmin membantu Jisoo bangkit dari tidurnya, lalu mengajak Jisoo berdiri di depan meja rias milik Jisoo.

“Seok?”

“Soo, kamu harus liat wajah kamu cantik banget. Apalagi kalo lagi keenakan.”

Seokmin sudah memakai pengaman yang baru, lalu ia langsung masuk ke dalam lubang Jisoo. Ia harus cepat karena lubang Jisoo juga cepat sempit kembali.

Jisoo berpegangan pada meja riasnya dengan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain untuk memegang perutnya agar tidak terpentok meja.

“Anghhhh—Seok.”

Jisoo bersemu malu ketika melihat wajahnya di cermin—ia tidak tau kalau ia sebinal itu ketika dengan Seokmin.

“Cantik kan?”

Jisoo menundukkan kepalanya dengan mulut yang terus-terusan mengeluarkan desahan-desahan. Ia merasakan Seokmin mengecupi pundaknya dan memberikan beberapa tanda kemerahan di sana.

“Sayang, jangan nunduk. Ayo liat lagi.” Jisoo menatap dirinya sendiri di cermin, lalu ia juga melihat Seokmin yang menatapnya. Ia juga melihat salah satu tangan Seokmin yang sedang memilin-milin putingnya—sedangkan tangan satunya Seokmin gunakan untuk memeluk Jisoo.

“Seok—anghhhhhh.” Jisoo merasa dia akan keluar.

“Tahan dulu sayang, aku juga keluar.” Seokmin menutup ujung kepala kejantanan Jisoo. Jisoo menggelengkan kepalanya tidak kuat menahannya.

“Ayo, yang.”

2x tumbukan keras dari Seokmin, mereka berdua sama-sama mengeluarkan cairan mereka. Cairan Jisoo mengenai meja rias dan cerminnya.

Lalu keduanya terengah-engah sambil menatap satu sama lain dari cermin.

“Cantik, kan?”

Jisoo menekan kepala Seokmin agar lebih dekat dengan pipinya. Lalu menggesekkan kedua pipi mereka.

“Love you, Seok.”

“Love you too, pak Jisoo.”

berawal dari nete, berakhir dengan ngewe. JIAKHH

“Eunghhhh.”

Jeonghan mendongakkan kepalanya sambil menekan kepala Seungcheol yang mulutnya sedang mengerjai salah satu putingnya.

Keduanya sudah sering melakukan hal itu, awalnya hanya coba-coba dengan Jeonghan yang mengaku gatal pada bagian putingnya dan Seungcheol yang menjawab sekenanya minta di-isep.

Tapi yang mereka lakukan hanya sekedar itu—kalau urusan bawah adalah urusan masing-masing keduanya. Lagipula, Seungcheol sudah memiliki kekasih—seorang wanita.

“Cheol, pelan-pelan.” Ucap Jeonghan dengan sedikit mendesah karena Seungcheol dengan sengaja menggigit putingnya.

Tling notifikasi ponsel Jeonghan terdengar telinga keduanya. Tapi Seungcheol masih belum mau berhenti, dengan sisa-sisa kesadarannya Jeonghan mengambil ponselnya dan membuka aplikasi chatnya.

Gue liat lo lagi berdiri didepan si Cheol, ngobrolin apaan? Serius banget keknya. -Jun-

Setelah membalasnya, Jeonghan kembali fokus pada Seungcheol yang masih meraup putingnya.

“Cheol, Jun liat kita.”

Seungcheol menghentikan kegiatannya. “Lo jawab apa?”

“Lo lagi nete.” Seungcheol kembali ke kegiatannya.

“Ayo udahan, nanti ketauan yang lain.”

“Emang kenapa?”

“Ya engga enak, apalagi mereka taunya elo ada pacar.”

Lalu Seungcheol bangkit dari duduknya, ia menarik Jeonghan ke dalam kamarnya.

“Ngapain?” Tanya Jeonghan kebingungan ketika ia ditarik masuk ke dalam kamar Seungcheol.

“Tidur sini aja. Gue masih pengen nete.”

Jeonghan mendengus kesal. “Lecet banget nanti, sakit tau kalo pake baju ke gesek-gesek.”

“Ya engga usah pake baju.” Jawab Seungcheol enteng.

“Masa gue keluar kamar gak pake baju, mana pentil gue merah-merah.”

“Lagian emang lu yakin kalo mulutnya Jun bakal diem aja? Besok juga udah pada tau, jadi mendingan sekalian aja.”

Seungcheol kembali menyibakkan baju Jeonghan, dan kembali menyusu seperti bayi.

“Pelan-pelan, gak bakal ada yang minta.” Ucap Jeonghan sambil mengelus-elus rambut Seungcheol. Mata keduanya saling bertatapan—tapi mulut Seungcheol tetap tidak berhenti.

“Kira-kira kalo cewek lo tau gimana ya Cheol?”

“Ngamuk sih pasti.” Jawab Seungcheol sebentar lalu kembali lagi pada kegiatannya.

“Kalo diputusin gimana?”

“Yaudah mau gimana lagi.”

“Pacaran sama gue aja.”

Ucapan Jeonghan membuat Seungcheol terkejut.

“Lo serius?”

Jeonghan mengangguk. “Kan entar kalo mau nete jadi gak harus ngumpet-ngumpet lagi.”

“Ya kalo pacaran lebih dari nete lah.”

“Gue aja mau bajunya dibukain terus sama lo, ya pasti gue sukarela buat ngangkang lah.” Lalu keduanya tertawa.

“Tapi elo sama cewek lo pernah ngewe?”

Seungcheol menumpukan kepalanya pada tangannya dan menggeleng. “Gue grepe dia aja ga pernah.”

“Kenapa?”

Seungcheol mengangkat bahunya. “Gak ngangkat titit gue kalo liat dia. Tau deh.”

“Kalo sama gue ngangkat?”

Seungcheol tidak menjawab, ia mengambil tangan Jeonghan dan mengarahkannya pada selangkangannya. Jeonghan bisa merasakan kejantanan Seungcheol yang membesar.

“Udah jangan diremes terus.” Seungcheol bangkit dari tidurnya dan menuju kamar mandinya untuk menyelesaikan urusannya—meninggalkan Jeonghan sendiri.

“Padahal gue juga ngangkat, Cheol.”

. . . . . . . . .

Keesokan paginya, Seungcheol merasakan ada yang sedang melakukan sesuatu dengan bagian bawahnya.

“Han, ngapain?”

Jeonghan mendongak menatap Seungcheol.

“Nyepong, titit lu gerak-gerak mulu di pantat gue.”

Jeonghan kembali memasukkan kejantanan Seungcheol ke dalam mulutnya. Menaik-turunkan kepalanya dan sedikit memberikan jilatan yang cukup membuat Seungcheol terbang ke langit.

Seungcheol menekan kepala Jeonghan agar lebih memasukkan kejantanannya lebih dalam. Beberapa menit kemudian kejantanan Seungcheol membesar.

“Shhhh—”

Uhuk Jeonghan tersedak cairan putih kental milik Seungcheol.

Seungcheol mengelap sisa-sisa cairannya yang berada di bibir Jeonghan.

“Ngewe yuk, Cheol.”

. . . . . . . . . .

Siangnya, kekasih Seungcheol datang ke kostan mereka. Hari itu, kostan sepi hanya ada Seungcheol Jeonghan dan kekasih Seungcheol. Lalu mereka bertiga memutuskan untuk menonton film. Karena ruangannya tidak terlalu besar dan lampu dimatikan, suasananya seperti didalam bioskop.

Seungcheol duduk ditengah-tengah Jeonghan dan kekasihnya. Tangan Seungcheol mengelus-elus kepala kekasihnya—tapi sebelahnya lagi ia masukkan ke dalam celana Jeonghan.

Jeonghan tiduran dengan menggunakan pinggiran sofa sebagai bantalannya—dengan kaki mengangkang disebelah Seungcheol. Ia sengaja membawa selimut untuk menutupi kakinya yang tidak akan memakai celana.

Mata Seungcheol fokus pada film yang sedang mereka putar tetapi kedua tangannya bekerja untuk orang yang berbeda.

Seungcheol sesekali melirik Jeonghan yang mati-matian menahan desahannya. Jeonghan juga sesekali memukul lengan Seungcheol ketika Seungcheol iseng pada lubangnya.

“Sayang?”

Jari Seungcheol diam sejenak di lubang Jeonghan. Ia menoleh pada kekasihnya.

“Bobok di kamar kamu yuk?”

“Film nya belum kelar yang.”

“Aku ngantuk.”

“Yaudah kamu tidur sana, ntar kalo udah selesai aku ke kamar.”

“Yaudah, aku ke kamar ya. Jeonghan gue tidur dulu ya.”

“Oh iya, met tidur.”

Lalu setelah memastikan bahwa kekasih Seungcheol sudah masuk ke dalam kamar, keduanya bergerak cepat. Seungcheol membuang selimut yang tadi menutupi kaki Jeonghan.

“Anjing, mulus banget.”

“Lo pikir dada gue doang yang mulus.”

Seungcheol menarik Jeonghan agar memakan kejantanannya. Dengan iseng Seungcheol menutupi tubuh Jeonghan dengan selimut tadi.

“Engap.”

“Udah nikmatin aja titit gue.”

Jeonghan mencubit paha dalam Seungcheol. Seungcheol hanya tertawa.

Jeonghan melahap kejantanan Seungcheol dengan rakus. Menaik-turunkan kepalanya, menjilat kedua bola milik Seungcheol. Membuat sang empu mendesah nikmat.

“Yang?”

Seungcheol terkejut ketika mendapati sang kekasihnya.

“Kenapa yang? Kok bangun lagi.” Seungcheol berusaha tidak gugup. Sementara Jeonghan di bawah sana terus menghisap.

“Aku aus, mau ambil minum terus tidur lagi. Jeonghan kemana?”

Seungcheol tersenyum gugup, tidak mungkin kan ia jawab kalau Jeonghan sedang menghisap kejantanannya.

“Lagi ke toilet.”

“Kamu ngapain pake selimut?”

“AC nya dingin banget yang. Udah sana kamu minum terus tidur lagi. Mata kamu ngantuk banget itu.”

Sang kekasih pun mengangguk, lalu ia ke dapur dan kembali ke kamar Seungcheol.

Setelah mendengar pintu tertutup, Jeonghan membuka selimutnya.

“Ada untungnya kan lo gue tutupin.” Ucap Seungcheol

“Tapi gue hampir mati.”

Seungcheol membuka seluruh selimutnya—menampilkan tubuh telanjang Jeonghan.

“Cheol, lubang gue udah kedutan.”

“Han, tapi kita gak ada pelumas.”

Jeonghan bangun, dan berjalan menuju laci bawah tv. Ia mengambil sebotol pelumas di sana.

“Punya siapa?”

“Jisoo.”

“Punya ginian dia.”

“Lo ga tau ya Jisoo suka main pake dildo?”

“Serius?”

“Gue pernah mergokin dia. Tapi dia gak tau sih.”

“Binal juga dia.”

Seungcheol merubah posisi mereka, kali ini Jeonghan yang berbaring dengan Seungcheol di atasnya. Seungcheol melumuri lubang Jeonghan dengan pelumas—dengan gerakan memutar serta menggunting ketika ia mencoba memasukkan jarinya ke sana.

Jeonghan melenguh panjang ketika Seungcheol berhasil masuk tanpa kendala. Seungcheol berhasil menemukan titik nikmat di dalam Jeonghan.

Seungcheol membuka seluruh pakaiannya. Memposisikan kejantanannya pada lubang Jeonghan. Dengan sekali hentak, seluruhnya masuk ke dalam lubang itu.

Seungcheol memejamkan matanya ketika merasakan kejantanannya diremas oleh lubang Jeonghan. Begitupun dengan Jeonghan, ia juga merasakan tubuhnya penuh akan kejantanan Seungcheol.

Seungcheol mulai menggerakkan pinggulnya dengan ritme sedang. Mencoba memberikan kenikmatan untuk Jeonghan—juga untuk meredakan sakit sementara yang Jeonghan rasakan.

“Disitu, Cheol—.” Seungcheol kembali menemukan titik manis milik Jeonghan.

“Lo enak banget, sumpah Han.” Racau Seungcheol ketika ia benar-benar dimabuk kepayang karena kenikmatan lubang Jeonghan.

Keduanya saling bergerak berlawanan sampai keduanya sama-sama mengeluarkan cairan untuk dibagi satu sama lain.

Seungcheol membuka matanya ketika ia sudah keluar di dalam lubang Jeonghan. Lalu Jeonghan menarik tengkuk leher Seungcheol agar mencium dirinya.

“Udah ngewe, tapi ga ciuman.”

. . . . . . . . .

Keesokan harinya, semua orang berada di kostan. Hari ini adalah giliran Jeonghan memasak makan malam. Seharusnya sudah selesai daritadi, kalau saja saat ini kejantanan Seungcheol tidak masuk ke dalam lubangnya.

“Cheol, gue masak dulu.”

“Masak aja sih, gue gak ganggu.”

“Engga ganggu gimana, titit lu masuk ini.”

“Yang kerjakan tangannya bukan lubangnya. Jadi ga salah dong kalo titit gue masuk?”

Jeonghan sudah kehabisan kata-kata untuk Seungcheol jadi ia membiarkan laki-laki melakukan apapun pada tubuhnya. Termasuk menyetubuhinya.

“Awas aja kalo masakan gue rasa peju.”

. . . . . . . . .

“Han, ikut gue yok.”

“Kemana?”

“Balik ke rumah.”

“Dih, ada angin apa lo tiba-tiba balik.”

“Udah ayo ikut aja, gak usah bawa baju baju gue banyak.”

Seungcheol menarik paksa Jeonghan agar ikut dengannya.

Selamat di perjalanan keduanya hanya diam, Jeonghan yang daritadi hanya melihat-lihat jalanan sekitar dibuat terkejut oleh Seungcheol yang sudah menurunkan celananya hingga ke paha.

“Lo ngapain anjrit?”

“Nyobain ngewe di mobil yuk Han?”

“Ogah ah, ngeri banget.”

“Ayo dong, lu ga liat apa titit gue mengacung tegak gini.”

Jeonghan menggigit bibir bawahnya, sebenarnya ia juga ingin tapi belum pernah kalau di mobil.

“Gimana caranya?”

Seungcheol sedikit memundurkan kursinya.

“Buka celananya.”

Dengan ragu-ragu Jeonghan membuka celananya. “Ini gak bakal keliatan kan?”

“Engga, ini jalanan sepi banget. Lagian kita sambil jalan kalo diem malah goyang-goyang mobilnya.”

Seungcheol menarik tangan Jeonghan, tapi sebelumnya ia menepikan mobilnya dulu. Untuk memasukkan kejantanannya ke dalam lubang Jeonghan.

“Lu yang pegang kemudi ya. Kalo nyampe juga ngegas atau ngerem. Injek aja kaki gue.”

Lalu mereka berdua kembali menjalankan mobilnya. Jeonghan menahan desahannya ketika Seungcheol sedikit menghentakkan pinggulnya.

“Keluarin aja suaranya.”

Dengan menjalankan mobilnya pelan, Jeonghan mengeluarkan suara-suara desahan yang tadi ia tahan. Sesekali ia meremas rambut Seungcheol dengan pandangan yang coba ia fokuskan di jalanan di depan mereka.

Tangan Seungcheol juga tidak tinggal diam, yang satu ia gunakan untuk memilin-milin puting Jeonghan yang satunya mengocok kejantanan Jeonghan.

“Ah ah ah ah ah.”

Bunyi suara tabrakan antar tubuh mereka terdengar sangat jelas. Seungcheol benar-benar membuat Jeonghan tidak berdaya.

“Cheol, mau keluar.”

“Barengan.”

“CHEOL/HAN ARGHHHH—.”

Keduanya saling meneriakkan nama mereka masing-masing. Setelah keluar, mereka tepat sekali sampai di depan rumah Seungcheol.

Seungcheol menurunkan Jeonghan dari tubuhnya, ia membantu Jeonghan yang lemas akibat pelepasan mereka. Seungcheol mengelap keringat dan cairan Jeonghan yang mengenai tubuh Jeonghan. Setelah selesai ia membantu Jeonghan merapihkan pakaiannya. Lalu ia melakukan hal yang sama terhadap tubuhnya.

“Lo udah ngitungin ini ya, kok bisa pas banget kita keluar pas nyampe rumah lo.”

Seungcheol hanya terkekeh. “Kuat jalan gak?”

“Ya lo pikir aja.”

Seungcheol memapah Jeonghan masuk ke dalam rumahnya. Ketika ditanya sang bunda kenapa temannya lemas. Jawaban Seungcheol adalah dia mabok perjalanan, bund dan Jeonghan terima-terima saja di tuduh seperti itu.

Saat ini mereka sedang menikmati makan siang yang sudah disiapkan bunda nya Seungcheol.

“Jadi ini Cheol?”

Seungcheol hanya mengangguk dan kembali memakan makanannya. Jeonghan menatap Seungcheol dan bundanya bingung. Meminta penjelasan pada Seungcheol.

“Jadi, bunda nyuruh gue balik kalo gue udah ada calon yang bakal dinikahin. Lu mau kan nikah sama gue? Maulah masa engga, iya gak?”

Jeonghan hanya menganga lebar hah?

Jeonghan celingak-celinguk mencari tempat dimana Daddy nya duduk. Jeonghan dan Seungcheol sudah menjalin hubungan kurang lebih hampir 2 tahun. Tapi ia tidak bercerita dengan siapapun termasuk teman-temannya.

“Han?”

Jeonghan menoleh dan mendapati Jisoo di sana.

“Lo disini juga?”

Jeonghan mengangguk. “Katanya elo sama bokap lo? Mana?”

“Lagi antri, ayo gue kenalin ke bokap gue. Kita temenan udah lama tapi lo belom kenal, lo doang lagi.”

Jeonghan tertawa, lalu ia mengikuti Jisoo dari belakang.

“Ayah, ada temen kakak.”

Sang ayah pun menoleh. Lalu ia terkejut.

“Jeonghan/Daddy?”

Hah

“Dadd—HAN SUGAR DADDY LO BOKAP GUE?”

Jisoo duduk di sofa ruang tengah sambil memainkan ponselnya. Beberapa menit kemudian orang yg ia tunggu datang.

Jisoo bangkit untuk menyambut laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya beberapa bulan belakangan ini. Seokmin dengan senyumnya yang secerah matahari mendekati Jisoo lalu mengecup kening dan juga perut Jisoo.

“Tidak dipeluk?” Padahal Jisoo sudah merentangkan kedua tangannya.

“Aku dari luar, kotor. Mau mandi dulu ya?”

Jisoo mengangguk. Lalu Seokmin memberikan pesanan Jisoo.

“Minta tolong bibi buat siapin ini. Aku mandi dulu.”

“Perlu aku bantu siapkan baju?”

Seokmin menggeleng. “Kamu tunggu di ruang tengah aja.”

Lalu Jisoo mengangguk, keduanya berjalan terpisah. Seokmin ke kamar, Jisoo ke dapur.

. . . . . . . .

Seokmin keluar dari kamarnya menuju ruang tengah dimana Jisoo berada.

“Kok gak dimakan?”

Jisoo menoleh. “Nunggu kamu.”

“Makan aja, aku gak minta kalo kamu kurang.”

Jisoo menggeleng. “Nunggu kamu.”

“Aku harus ngapain? Nyuapin?”

Jisoo menggeleng lagi. Lalu menepuk tempat kosong di sebelahnya. Seokmin mengikuti arahan Jisoo.

“Kamu capek tidak?”

Seokmin tampak berpikir. “Sedikit. Kenapa?”

“Kalau aku senderin, kuat?”

Seokmin tertawa kecil. “Biasanya kamu tinggal nyender.”

“Tapi kamu baru pulang, aku takut kamu capek.”

Seokmin menyamakan posisinya lalu merentangkan tangannya meminta agar Jisoo masuk ke dalam pelukannya. Jisoo menampilkan senyum manisnya. Lalu ia menaruh cakwenya disebelahnya dan memegang saus cakwenya sambil menyandarkan tubuhnya di Seokmin.

“Tidak dielus-elus?” Tanya Jisoo

“Bilang dong kalo pengen dielus-elus.” Seokmin mengelus-elus perut buncit Jisoo.

“Dari dalem boleh gak?”

“Apanya?”

“Elus-elusnya.”

Seokmin langsung membuka kancing piyama bawah Jisoo. Menampilkan perut Jisoo yang sangat buncit. Lalu ia mengelus-elus perut itu dengan pelan. Dan Jisoo memakan makanannya dengan nyaman.

“Tadi ngapain aja selama aku belum pulang?”

“Tidak ngapa-ngapain, cuma nonton film.”

“Baby nya tidak nendang kenceng lagi kan?”

Jisoo menggeleng. “Mungkin dia senang, soalnya tadi aku makan salad buah yang kamu buat.”

Seokmin mengangguk, lalu keduanya fokus lagi pada film yang mereka tonton.

“Tadi ketemu teman-teman yang mana?”

“Teman SMA.”

“Berapa orang?”

“10 orang.”

“Banyak juga. Jatuhnya reuni ya?”

“Bisa dibilang begitu.”

“Ada ceweknya?”

“Ada, 5 cewek.”

“Cantik-cantik pasti mereka.”

Seokmin tersenyum. “Cantik, tapi yang ini lebih cantik.” Seokmin mengecup pipi Jisoo

“Aku kan cowok.”

“Memangnya cowok tidak boleh cantik? Cewek aja ada yang ganteng kok.”

Seokmin melihat wajah Jisoo yang merona. Padahal sudah sering dipuji, Jisoo tetap tidak bisa menyembunyikan salah tingkahnya.

“Mau secantik apapun orang diluar sana, bagi aku yang paling cantik ya kamu.”

“Seok ih, malu.”

Seokmin terkekeh. Lalu ia mengecup lagi pipi Jisoo.

“Ada yang ganjen ga sama kamu?”

Seokmin tampak berpikir. “Engga ada kayaknya, atau aku yang ga sadar.”

“Sok ganteng.”

“Loh suamimu ini emang ganteng tau.”

Jisoo mengerucutkan bibirnya. Ia menaruh saus cakwenya di meja. Lalu memegang tangan Seokmin yang sedang memeluknya dan yang sedang mengelus-elus perut buncitnya.

“Yang, mau denger cerita gak?”

“Cerita apa?”

“Tapi janji gak bete ya?”

“Ya apa dulu.”

“Ya janji dulu.”

“Iya-iya.”

“Sebenernya, tadi di salah satu temenku itu ada mantanku.”

“Kamu masih temenan sama dia?”

“Masih, kan emang awalnya temenan.”

“Gak canggung?”

“Canggung, apalagi kadang anak-anak pada godain mulu.”

“Kamu putus karena apa?”

“Dulu papa mama nya gak setuju kalo dia sama aku, papa mamanya nyangka kalo anaknya gak bakal bahagia sama aku. Padahal aku rela banting tulang buat dia.”

Jisoo masih menyimak cerita Seokmin, ia juga memandangi wajah Seokmin dari bawah.

“Selain itu, dulu dia milih buat ngelanjutin study nya di Paris. Dia bilang dia gak bakal bisa kalau long distance relationship. Padahal aku bisa aja cari cara biar bisa nengokin dia di sana. Tapi dia sama aja kayak papa mamanya gak mau liat usaha aku dulu.”

“Kasian banget dia gak tau rasanya diperjuangin sama Seokmin.” Ucapan Jisoo membuat Seokmin tertawa, pasalnya dulu ia dan Jisoo juga ditentang habis-habisan oleh keluarga besar Jisoo, tapi berkat usahanya akhirnya Jisoo bisa jatuh kepelukannya.

“Terus tadi kita sempet ngobrol panjang lebar. Intinya adalah dia pengen balik sama aku.”

Jisoo keluar dari pelukan Seokmin, lalu menatap wajah Seokmin.

“Terus?”

“Ya aku unjukin jariku lah.” Seokmin menunjukkan jari tangannya yang tersemat cincin nikahnya dengan Jisoo.

“Tanggapan dia apa?”

“Awalnya dia bilang bisa aja kalo aku pura-pura. Soalnya dari semuanya cuma dia yang gak tau kalo aku nikah. Gak penting juga sih dia tau.”

Jisoo masih setia menatap Seokmin.

“Aku bilang sama dia, kalo aku bakal jadi ayah beberapa bulan lagi. Baru dia percaya.”

“Ntar kapan-kapan aku ajak ketemu mereka lagi deh.”

“Biar apa?”

“Biar mantan tau kisah cintaku kini jauh lebih bahagia.” Jisoo memukul lengan Seokmin pelan.

Jisoo kembali lagi memeluk Seokmin. Ia mengecup leher suaminya itu. Dan Seokmin tau kalau Jisoo sudah seperti itu artinya Jisoo sedang berpikir berlebihan.

“Kamu percaya kan sama aku?” Jisoo mengangguk.

“Aku gak bakal macem-macem, Soo. Kecuali sama kamu.”

“Harus sama aku.” Ucap Jisoo lirih.

“Iya dong, mana berani aku macem-macem dibelakang kamu. Sia-sia dong nanti usahaku.”

“Ya pokonya kalo kamu berani begitu, aku gak bakal bolehin kamu ketemu baby.”

“Siap pak boss. Sekarang boleh gak?”

“Apa?”

“Ketemu baby.”

Jisoo mendengus. “Besok ada meeting gak?”

“Engga ada, kenapa?”

“Ya kamu pikir aja, emang kamu bakal biarin aku tidur cepet gitu?”

Seokmin tertawa, Jisoo paling tau dirinya.

“Boleh yang?” Jisoo mengangguk. Seokmin memekik girang. Lalu Seokmin menuntun Jisoo menuju kamar mereka.

“Kayaknya kita pindah kebawah aja ga sih, Soo?” Tanya Seokmin

“Iya, kaki aku udah gak kuat naik tangga Seok. Bengkak tuh.” Ucap Jisoo sambil memperlihatkan kakinya.

“Oh iya, sakit gak?”

“Dikit, capeknya itu yang banyak.”

“Yaudah nanti aku suruh bibi buat beresin kamar bawah.”

Jisoo mengangguk. Lalu keduanya sampai di kamar mereka.

“Pantesan perut aku dingin banget, taunya belum dikancingin lagi.”

“Ya gapapa yang, biar mempermudah aku.”

Jisoo menatap ngeri Seokmin di depannya.

“Kamu ngaca deh, Seok.”

“Kenapa? Aku ganteng ya?”

Jisoo menggeleng. “Kamu kayak om-om mesum. Padahal tuaan aku.”

“Adek, ayo sini sama om.” Ucap Seokmin sambil menaik-turunkan alisnya.

“Tambah serem.”

Lalu sedetik kemudian keduanya sudah bergelung dibawah selimut mereka.

Seokmin bersenandung kecil ketika memasuki rumahnya. Ketika membuka pintu, ia disambut oleh Jisoo yang duduk di sofa ruang tengah rumah mereka. Seokmin juga melihat ada 3 koper ukuran besar di sebelah Jisoo.

“Koper siapa sayang?”

“Koper aku mas.”

Seokmin mengernyitkan keningnya. “Kamu mau kemana? Mau liburan sama temen-temen kamu? Kok bawa sebanyak ini?”

“Aku mau pulang.”

“Pulang kemana? Ini kan rumah kamu.”

“Pulang ke rumah papa.”

“Soo, kamu kenapa? Ada yang salah ya? Kasih tau mas apa yang salah jangan kayak gini. Kita bicarakan ini baik-baik ya.”

Jisoo tersenyum. “Kamu mau antar aku kan mas?”

“Soo, aku ada salah ya?”

Jisoo menggeleng. “Kamu gak salah mas, aku yang salah. Salah karena aku pikir kamu bisa cinta sama aku. Ternyata engga.”

“Soo, aku cinta sama kam—.”

“—engga, kamu gak cinta sama aku mas. Kamu cuma lagi pura-pura.”

“Soo, please.”

“Aku minta maaf kalo aku udah bikin kamu sama Adella pisah. Setelah ini aku gak bakal ganggu kamu lagi. Aku juga akan bilang sama orang tua kita mas. Kamu tenang aja. Tapi aku mohon untuk sekarang—.” Jisoo merasakan sesak di dadanya.

“—Tolong antar aku pulang ke mama papa, mas. Dulu kamu minta aku ke mereka dengan baik-baik, sekarang kamu harus kembalikan aku ke mereka dengan baik-baik juga.”