Jeonghan menatap Seungcheol yang sedang makan dengan lahap.
“Mas, pelan-pelan aja. Nanti keselek. Gak ada yang minta juga.”
Seungcheol menenggak air putih yang sudah Jeonghan sediakan untuknya. Untuk pertama kalinya, ia merasa kalau diurusi oleh seseorang. Pasalnya, sang istri tidak bisa memasak apalagi harus menyiapkan keperluannya.
“Ini enak banget Han.” Seungcheol jadi ikut-ikutan memanggil Jeonghan dengan nama panggilannya di rumah.
“Iya, tapi mas kayak gak makan seminggu.” Jeonghan terkekeh ketika melihat Seungcheol merajuk.
“Kamu udah lama bisa masak?”
Jeonghan mengangguk. “Kalo bukan Han, siapa lagi?”
“Ibumu?”
“Semenjak bapak sakit, ibu udah gak perduli lagi sama kita mas. Mungkin ibu kesel kali ya, karena dari yang punya apa-apa jadi gak punya apa-apa.”
“Kalo boleh saya tau, awalnya kenapa bisa jadi kayak gini?”
Seungcheol melihat perubahan wajah Jeonghan yang terlihat sedih.
“Kalo kamu gak mau cerita gapapa, saya ga paksa kamu.”
“Dulu ibu pernah ikut arisan mas, tapi ternyata arisan itu arisan bodong. Semua uang yang ibu pake dibawa kabur semua. Akhirnya bapak sakit dan sampe sekarang.”
“Terus sekarang ibu kamu kemana?”
“Ibu pergi, engga tau kemana. Bahkan ibu bawa semua tabungan saya yang untuk tambahan operasi bapak.”
“Jahat banget ibu kamu.”
“Ya begitulah mas.”
“Tapi jujur ya Han, selama saya menikah dengan Rachel saya ga pernah yang namanya dimasakin kayak gini, disambut pas pulang. Rachel itu terlalu sibuk sama dunianya sendiri, sampai dia kadang lupa kalo punya suami.”
Jeonghan masih setia mendengarkan cerita Seungcheol.
“Saya sama Rachel kalo ketemu ya pas malem aja, kita bahkan bisa bareng pun ya karena kebutuhan biologis aja. Kalo udah kelar, yaudah masing-masing.”
“Mas Seungcheol gak pernah protes?”
Seungcheol menggeleng. “Dia bahkan kayaknya gak takut sama gertakan saya.”
“Maaf ya mas kalo saya boleh tanya. Mas kenapa bisa nikah sama mba Rachel?”
“Saya sama Rachel ketemu itu pas kita kuliah. Gak tau kenapa tiba-tiba saya tertarik sama dia, kita pacaran lalu menikah. Awalnya juga mami saya gak setuju kalo saya nikah sama Rachel, karena bagi mami Rachel kayaknya cuma suka sama harta saya aja.” Seungcheol tertawa kecil ketika mengingat kejadian sewaktu dia meminta restu kepada maminya.
“Tapi saya tetep gigih untuk memperjuangkan Rachel. Sampai akhirnya mami setuju, kita menikah dengan mewah waktu itu. Saya pikir setelah menikah hubungan mami sama Rachel akan baik-baik saja. Tapi ternyata engga, apalagi waktu Rachel bilang kalau dia gak mau punya anak. Jujur saya kaget, gimana bisa dia gak mau punya anak, sedangkan keluarga saya adalah keluarga yang suka keramaian. Mereka menaruh harapan banget waktu saya menikah. Tapi ternyata, Rachel gak berpikiran seperti itu.”
“Tapi mami nya mas tau kalo mas pake surrogate?”
“Saya belum bilang, Han. Saya belum tau harus bilangnya gimana.”
Jeonghan secara tidak sadar, ia mengelus-elus lengan Seungcheol. “Semoga ga ketauan ya mas.”
“Semoga. Oh ya Han, kayaknya beberapa hari ini saya bakal nginep disini. Gapapa?”
Jujur saja Jeonghan terkejut. Tapi ia tidak bisa bilang tidak pada Seungcheol. Toh, apartemen ini kan sebenarnya milik Seungcheol.
“Mba Rachel gak nyariin emang?”
“Rachel lagi ke Paris sama temen-temennya.”
“Oh ya udah, mas gak bawa baju tapi kan?”
“Sebenernya apartemen ini udah lama saya beli, kalo lagi pengen sendirian suka kesini. Jadinya punya baju disini.”
Jeonghan bergumam, lalu ia membereskan piring bekas makan mereka.
. . . . . . . . .
Seungcheol sedang mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda. Sedangkan Jeonghan, dengan inisiatifnya ia membuatkan cokelat hangat untuk Seungcheol.
“Mas, ini Han buatin cokelat hangat.”
“Makasih ya Han. Kamu tidur duluan aja.”
Jeonghan terdiam sejenak, dadanya berdebar ketika memikirkan akan tidur satu ranjang dengan Seungcheol.
“Kalo kamu gak nyaman, nanti saya tidur di sofa.”
“Gapapa mas, disini aja bareng-bareng.” Seungcheol mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya. Jeonghan merebahkan tubuhnya di samping Seungcheol. Ia menatap Seungcheol yang sedang fokus pada laptopnya.
Menurutnya, Seungcheol benar-benar berkharisma. Apalagi saat sedang fokus seperti itu.
“Kenapa?” Seungcheol yang merasa diperhatikan, menoleh menatap Jeonghan.
“Gapapa mas, masih banyak ya kerjaannya?”
“Dikit lagi sih.”
“Kalo kerja jamberapa mas?”
“Jam 8 jalan dari rumah biasanya.”
“Besok mau sarapan apa?”
“Terserah kamu aja, saya bakal makan kok.”
“Mau dibawain bekel sekalian?”
“Engga usah, saya mau makan siang sama geng col—i.”
“Hah?”
“Maksudnya sama Soonyoung, Mingyu, Jun.”
“Oh, tapi nama gengnya aneh.”
“Orangnya juga pada aneh-aneh.”
“Mas juga dong?”
“Menurut kamu, mas aneh?”
“Engga sih, kayaknya mas yang paling lempeng di antara mereka.”
Seungcheol tertawa mendengarnya. “Kamu sendiri gimana? Punya temen yang bisa di ajak susah gak?”
Jisoo
Jeonghan menepuk keningnya. Ia lupa memberitahu Jisoo.
“Saya lupa kasih kabar ke sahabat saya mas.”
“Yaudah kasih kabar dulu. Kasian dia pasti nungguin kamu.”
Jeonghan langsung mengambil handphonenya dan menghubungi Jisoo.