thatausaha

terima kasih, mas Seungcheol.

Seungcheol dan Jeonghan sampai di hotel yang akan mereka inapi selama 2 hari.

1004 Jeonghan merasakan degup jantungnya berdegup kencang. Seungcheol bahkan memilih kamar sesuai tanggal lahirnya.

Seungcheol membukakan pintu dan mendorong koper yang ia bawa tadi. Keadaan di dalamnya sungguh membuat Jeonghan ingin menangis.

Bagaimana bisa laki-laki ini begitu romantis?

“Maaf ya, mas gak tau kamu suka apa engga. Tapi ini hasil akhir usaha mas. Maaf kalo kamu kurang suka.”

Jeonghan tidak menjawab. Ia malah berjalan mengitari kamar itu. Banyak balon-balon dan bunga-bunga. Jeonghan tersenyum melihat tulisan di atas ranjang.

Happy birthday.

“Jeonghan?”

Jeonghan menoleh ke arah Seungcheol yang sudah berada di belakangnya. Ia juga melihat Seungcheol yang sudah mendekat dan mengelus pipinya.

Mas-nya ini selalu hangat.

“Kamu mau tau kan alasan mas lembur terus waktu itu?”

Jeonghan mengernyitkan keningnya dan mengangguk.

“Alasannya adalah ini, mas nyiapin ini semua buat ulang tahun kamu.” Jeonghan terkejut. Jadi, Seungcheol bukan melakukan hal yang aneh?

“Mas gak pernah selingkuh. Mas lembur karena ini. Karena mas mau buat ulang tahun kamu berkesan.”

Jeonghan merasakan air matanya akan jatuh saat ini juga. Bisa-bisanya dia menuduh suaminya yang tidak-tidak.

“Mas, maaf.”

“Ini bukan salah kamu, Jeonghan. Ini salah mas yang ga pernah jujur sama kamu. Kamu berhak marah karena yang kemarin, mas pantes dapet itu semua.”

“Mas, harusnya gue juga ga nuduh lo yang enggak-enggak. Harusnya gue denger penjelasan lo dulu. Harusnya waktu itu gue ga emosi yang berlebihan. Maaf, mas maafin gue. Gue ga becus jadi suami lo.” Jeonghan menangis terisak-isak dipelukan Seungcheol.

“Kamu jangan ngomong gitu. Jeonghan yang paling tepat jadi suami mas, mas bersyukur bisa dapetin Jeonghan. Pokonya Jeonghan yang terbaik buat mas. Jangan pernah mikir kalau satu kesalahan Jeonghan bikin Jeonghan gak pantes jadi suami mas.”

Jeonghan mengeratkan pelukannya. Baju Seungcheol juga sudah basah karena air matanya.

“Sekarang kita mandi, terus mas mau ajak Han ke suatu tempat lagi.”

“Kemana?”

“Surprise. Ayo, mandi sana.”

Jeonghan menghentikan tangan Seungcheol yang mendorongnya pelan masuk ke kamar mandi. “Mas?”

“Ya?”

Seungcheol melihat rona merah di wajah Jeonghan.

“Mau mandi bareng aja gak?”

. . . . . . . . . . . .

Lagi-lagi Jeonghan dibuat takjub oleh Seungcheol.

“Mas, ini.....”

“Suka gak?”

Jeonghan mengangguk ribut. “Suka banget.”

“Yaudah yuk?”

Keduanya duduk di kursi yang sudah disediakan. Jeonghan tersenyum lebar dengan tangan masih menggenggam tangan Seungcheol.

“Hey, suka banget ya?”

Jeonghan mengangguk. “Kok lo romantis banget sih mas? Duh gue jadi mau nangis lagi.”

“Mas seneng kamu seneng, mas kira kamu gak bakal suka.”

“Suka banget, mas Seungcheol. Han suka banget.”

Seungcheol gemas sendiri dengan tingkah laku Jeonghan. Ia mengambil tangan Jeonghan yang ia genggam untuk ia kecup berkali-kali.

“Makasih ya mas.”

“Makasih juga ya Jeonghan udah kasih mas satu kesempatan lagi.”

Jeonghan mengangguk. “Kita mulai dari awal ya mas?”

“Iya sayang. Iya.”

Jeonghan tersenyum mendengar ucapan suaminya. Dadanya terasa hangat mendengar ucapan sayang dari mulut Seungcheol. Jeonghan bangun dari duduknya dan duduk di atas pangkuan Seungcheol. Lalu ia mencium Seungcheol dengan rakus. Tapi tidak membuat Seungcheol kewalahan, Seungcheol masih bisa mengimbangi gerakan bibir Jeonghan.

Dengan nafas tersengal, Jeonghan kembali mengecup bibir suaminya.

“Terima kasih, mas Seungcheol.”

“Mas pulang.”

Jeonghan dengan langkah buru-buru mendekati Seungcheol yang masih membuka sepatunya. Ia mengambil tas kerja Seungcheol dan plastik yang pastinya berisi pesanannya.

“Dapet dimana ini asinan mas?”

“Dari kantor mas ke sana lagi, biasanya ada yang deket-deket kantor tapi tadi gak ada.”

“Muter dong pulangnya?”

Seungcheol mengangguk. “Sedikit doang kok.”

“Sorry, tapi makasih.” Jeonghan tersenyum lebar. Seungcheol mengacak-acak rambut Jeonghan dan mengangguk.

“Mas mau mandi dulu, Han.”

“Okay.” Jeonghan menaruh plastik asinannya dan masuk ke kamar mereka.

Semenjak Jeonghan memutuskan untuk kembali ke apartemen mereka lagi, keduanya memutuskan untuk tidur satu kamar. Toh, mereka adalah pasangan yang sah di mata agama dan hukum.

“Kamu bener gak mau ke rumah sakit?”

“Gue gapapa mas, sumpah deh. Tadi tuh mualnya karna liat darah juga.”

“Mas khawatir tau.”

“Gue gapapa. Ntar kalo kayak gitu lagi gue pasti bilang.” Jeonghan yang masih sibuk mengambil baju bersih untuk suaminya itu terkejut ketika sepasang lengan memeluk perutnya. Jeonghan juga merasakan Seungcheol yang mengecupi lehernya.

“Wangi banget sih.”

“Kan udah mandi. Ntar lo juga kalo dah mandi wangi.” Seungcheol melepaskan pelukannya, ia menerima baju yang Jeonghan berikan.

“Gue tunggu di luar ya.” Seungcheol mengangguk dan masuk ke dalam kamar mandi.

“Dia kangen kali ya, sama sih cuma kan ga boleh dulu.” Ucap Jeonghan bermonolog sendiri.

. . . . . . . . . . .

Jeonghan mengambilkan makanan untuk Seungcheol.

“Jadinya gak jadi beli ayam?”

“Engga, bosen juga sih. Makan yang ada aja lah.”

Setelah mengambilkan untuk Seungcheol, Jeonghan mengambil untuk dirinya sendiri.

“Dikit banget makannya?”

“Kan mau makan asinan.”

“Yakin abis itu semuanya?”

“Semoga aja.”

Lalu keduanya sama-sama menikmati makanan mereka.

“Han, besok mas cuti.”

“Tumben, kenapa?”

“Mau ngajak kamu jalan-jalan aja sih. Lagian kita kan ga pernah honeymoon, mas mau ngajak Han nginep di hotel.”

“Kenapa deh? Gue juga ga maksa loh mas.”

“Gapapa, mau nyenengin kamu aja.”

“Gue udah seneng padahal.”

“Biar lebih seneng.”

Jeonghan tertawa. “Iya deh, ngikut aja.”

. . . . . . . . . . .

Seungcheol masuk ke kamarnya dan mendapati Jeonghan sedang mengelus-elus perutnya. Mungkin begah.

“Kekenyangan?”

Jeonghan mengangguk. “Padahal tadi makannya ga banyak-banyak deh.”

“Ga banyak tapi 2x.” Seungcheol ikut merebahkan tubuhnya di samping Jeonghan. Ia menggantikan tangan Jeonghan untuk mengelus perut Jeonghan. Jeonghan hanya menikmati hangat telapak tangan Seungcheol di perutnya.

“Nginepnya berapa lama mas?”

“2 sih, kamu mau nambah?”

Jeonghan menggeleng. “Gue tiba-tiba pengen tidur di rumah lo deh mas.”

“Tiba-tiba banget?”

“Iya nih, sebenernya pengen dimasakin rawon sama mama Soo sih.”

“Yaudah besok abis di hotel kita ke rumah mas ya.”

Jeonghan menguap dan mengangguk. “Bikin ngantuk.”

“Yaudah tidur aja.”

“Besok berangkatnya pagi?”

“Siang aja ya? Gak buru-buru banget kok.”

Jeonghan mengangguk, lalu ia menutup matanya dan terlelap.

“Selamat tidur, Jeonghan.” Seungcheol mengecup kening Jeonghan dan ikut terlelap.

Setelah selesai urusan dengan bank, Jisoo dan Seungcheol datang ke kantor milik Seungcheol. Seungcheol bilang kalau ada lagi yang harus ia bicarakan dengan Jisoo.

“Selamat siang bapak Seungcheol.”

“Siang.”

“Baru dateng pak? Gak bagus buat citra perusahaan kalo bos nya aja dateng siang terus.”

“Won?”

“Ya pak?”

“Cubit tititnya. Ini perintah.”

“Siap pak.”

“Eh eh eh jangan dong. Ntar ga bisa bangun.”

“Lagian lu pada ngapain sih disini?”

“Kita disini mau kenalan dong pak sama calon bapak negara.” Wajah Jisoo bersemu merah seketika.

“Jangan mau ya sayang, ntar kamu gatel-gatel.”

“Jiakhh sayang sayang bisa aje ni anak tua.” Mingyu sudah siap akan berlari ketika Wonwoo sudah mengambil ancang-ancang akan mencubitnya.

“Won, si Deri udah lo hubungin kan?”

Wonwoo mengangguk. “Lagi diperjalanan pak.”

“Yaudah gue sama Jisoo masuk dulu, jangan ada yang ikut. Oh ya Soo, ini temen-temen aku yang kacamataan namanya Wonwoo, yang bule namanya Vernon, yang mukanya kayak pk namanya Mingyu.”

“Kayak pk? Pk itu apa, Cheol?”

“Penjahat kelamin, pak Jisoo.” Vernon lebih dulu menjawab.

“Sialan.” Wonwoo dan Vernon tertawa, sedangkan Seungcheol langsung menarik tangan Jisoo masuk ke dalam ruangannya.

. . . . . . . . . .

“Selamat siang, pak Seungcheol.”

“Eh der, masuk-masuk. Udah makan belum lo? Pesen sana, gue makan dulu.”

“Udah pak, aman kok. Lanjutin dulu aja pak. Atau mau langsung?”

“Boleh deh, sekalian aja.” Jisoo malah sibuk memperhatikan keduanya.

“Oke, pak Jisoo perkenalkan nama saya Deri saya pengacara pak Seungcheol.”

“Iya mas Deri, panggil Jisoo aja.” Deri melihat ke arah Seungcheol dan Seungcheol mengangguk—mengizinkan.

“Oke Jisoo, saya cuma mau minta tanda tangan kamu disini.” Deri menyerahkan berkas pada Jisoo tapi Jisoo tidak tau apa isinya.

“Ini adalah berkas yang isinya adalah bahwa pak Seungcheol memberikan 50% kekayaannya pada Jisoo, jadi setengah dari saham di seluruh aset Seungcheol adalah milik Jisoo.”

Jisoo melongo mendengarnya. Lalu menatap Seungcheol meminta kejelasan tentang hal ini.

“Sayang, dari dulu sampai sekarang cuma kamu yang ada dipikiran aku. Kamu yang selalu aku jadikan penyemangat pas aku mau nyerah. Jadi semua yang aku punya adalah milik kamu.”

“Tapi kamu ga usah segininya, Cheol. Kamu udah mau bayarin semua utang aku aja aku bersyukur banget.”

“Gapapa sayang, ini emang seharusnya jadi hak kamu.”

“Tapi aku ngerasa ga pantes untuk dapet ini semua, Cheol.”

“Kamu selalu pantes, Soo.”

Jisoo bergerak menuju Seungcheol, ia langsung memeluk Seungcheol dengan erat. Mengucapkan terima kasih dan kata-kata sayang untuk Seungcheol. Lagi-lagi ia merasa dicintai kedua kalinya oleh Seungcheol.

“Welcome to Tasty Delights. enjoy!”

Sambutan yang Seungcheol dengar ketika ia masuk ke dalam restoran tersebut. Ia memilih tempat duduk di sudut ruangan agar lebih leluasa berbincang-bincang dengan Jisoo nantinya.

Saat ini Seungcheol bisa melihat Jisoo yang sedang sibuk membereskan salah satu meja, sesekali ia mengelap keringatnya.

Dalam pandangan Seungcheol, Jisoo tidak berubah. Ia masih sama seperti Jisoo yang dulu, hanya saja saat ini ia bisa melihat kantung mata Jisoo yang sedikit besar dan kulitnya yang tidak secerah dulu—tapi tetap cantik di mata Seungcheol.

Seungcheol mengikuti arah gerak Jisoo yang berjalan ke arah dapur, beberapa menit tidak keluar dari sana dan saat ini Jisoo malah keluar dengan salah seorang wanita yang agak judes. Seungcheol melihat wanita itu seperti memarahi Jisoo—karena laki-laki itu sedikit menunduk—Seungcheol mengepalkan tangannya ketika kali ini ia melihat wanita itu mendorong kepala Jisoo pelan.

Tidak ada yang bisa menyakiti Jisoo-nya.

“Permisi.” Kedua orang itu mengikuti darimana suara itu berasa. Wanita itu buru-buru tersenyum ramah pada Seungcheol sedangkan Jisoo terkejut karena melihat Seungcheol ada di sana.

“Saya boleh minta daftar menunya, mas?”

Tapi yang bergerak malah wanita itu, sedangkan Jisoo masih memproses semuanya.

“Silahkan, pak.” Seungcheol melirik name tag yang bertengger di atas dada wanita itu. Adelia. Lalu Seungcheol menatap Adelia dengan malas.

“Saya kan panggilnya mas bukan mbak. Situ mas atau mbak?”

Seungcheol bisa merasakan ketegangan di wajah Adelia.

“Maaf pak, tapi bukannya sama saja?”

“Gak mau, saya mau sama mas yang itu.” Ucap Seungcheol sambil menunjuk Jisoo. Tanpa protes Adelia menurutinya, ia langsung pergi dari hadapan Jisoo. Dengan mata kepalanya sendiri Seungcheol bisa melihat wanita itu mengancam Jisoo. Tapi lagi-lagi Jisoo menunduk, sambil berjalan ke arahnya.

“Seungcheol?”

“Halo.” Seungcheol tersenyum lebar.

“Kok ga ngasih tau kalo udah dateng? Aku belum selesai kerja.”

“Iya kebetulan aku ada meeting dekat sini, jadi sekalian aja. Kamu masih lama pulangnya?”

“Sekitar 15 menit lagi sih, cuma aku ga bisa pulang tepat waktu, ga enak sama yang lain.”

“Gapapa, nanti kalo jam kamu udah kelar kamu kesini ya? Temenin aku makan.”

“Hah? Tapi gak boleh Cheol, nanti aku di marahin bos aku.”

“Kan kalo udah selesai, Soo. Artinya kamu udah pulang kan? Udah bukan jam kerja lagi.”

Jisoo terdiam, tapi kemudian ia mengangguk.

“Sekarang kamu mau pesan apa dulu?”

“Aku pesan watermelon lemonade sama sausage and potato.” Jisoo mencatat pesanan Seungcheol.

“Tunggu sebentar ya, Cheol.”

“Okay, Soo.”

. . . . . . . . . . .

Jisoo duduk dengan gelisah di depan Seungcheol yang sedang memanggang daging pesanannya.

“Kenapa sih Soo?”

“Cheol, makannya dipercepat bisa gak? Aku kurang nyaman makan disini.”

“Kenapa?”

Jisoo melirik sekelilingnya. Banyak mata-mata yang melihatnya.

“Aku ga bisa jelasin disini.”

Seungcheol langsung menaruh sumpitnya. “Yaudah ayo kita cari tempat lain.”

“Hah? Jangan Cheol, kamu abisin dulu aja gapapa. Kamu udah bayar mahal malah dibuang.”

“Aku gak mau kamu gak nyaman, Soo. Ayo cari tempat lain aja.”

“Seungcheol, maaf ya.”

“Gapapa, ayo.”

. . . . . . . . . . .

Saat ini keduanya duduk di sebuah taman dekat dengan rumah kontrakan Jisoo.

“Jadi kamu ngontrak di sana, Soo?”

“Iya, Cheol. Sehabis papa gak ada, semua aset ku di ambil semua sama bank.”

“Dan kamu gak tau kenapa penyebabnya?”

Jisoo menghela nafasnya. “Om ku Cheol yang minjem duit ke bank tapi pake nama papa. Dan papa gak tau itu semuanya, akhirnya penyakit jantung papa kambuh.”

“Terus udah ke bayar berapa?”

Jisoo tertawa. “Masih banyak banget, kayaknya nih ya seumur hidup aku selalu dibayang-bayangi sama utang itu.”

“Kamu gak tau kemana om kamu?”

“Om kabur, gak tau kemana aku mau cari juga gak tau harus cari kemana.”

Seungcheol memperhatikan Jisoo yang masih memakan es krim nya.

“Oh ya, kamu sekarang sama siapa Cheol? Apa udah nikah?”

Seungcheol menggeleng. “Aku masih sendiri, Soo. Kamu?”

“Aku gak ada waktu untuk mikirin cari jodoh, Cheol. Kepala ku rasanya udah mau pecah mikirin gimana caranya dapet duit banyak.”

Lalu keduanya sama-sama terdiam.

“Soo, kalo aku pesen catering di mama kamu, emangnya bisa dalam jumlah banyak? Soalnya karyawan ku kan lumayan banyak bukan cuma satu divisi aja tapi satu perusahaan.”

“Paling aku minta tolong tetangga sekitar sih, Cheol.”

“Kalo kayak gitu hasil bagi dua dong?”

“Mau gak mau.”

“Kalo kayak gitu gimana bayar utangnya?”

“Kan dicicil, Cheol.”

“Makin lama dong.”

“Ya kan tadi aku bilang, seumur hidup aku.”

Seungcheol terdiam.

“Soo, aku mau bantu kamu.”

“Cheol, aku cerita ke kamu bukan mau dikasihani.”

“Aku gak kasian sama kamu. Aku cuma mau bantu aja. Lagipula ini gak gratis kok.”

“Jadinya aku malah utang sama kamu ya, Cheol?”

“Anggep aja begitu. Lagian mending sama aku kan, kamu bisa bayar kapanpun kamu bisa aku juga gak bakal minta bunga sama kamu.”

Jisoo tampak berpikir terlebih dahulu sebelum akhirnya mengangguk. “Oke Cheol.”

“Oke, aku bakal bayarin semua utang kamu. Lunas sampai ke bunganya.”

“Terus aku bayarnya?”

“Gampang, kamu tinggal siapin semua keperluan aku, masak buat aku, nungguin aku pulang kerja.”

“Jadi pembantu gitu ya? Gapapa deh, Cheol.”

Seungcheol menggeleng. Jisoo mengernyitkan keningnya. “Terus?”

“Jadi suami aku.”

GyuHao

Minghao POV

Minggu pagi yang ceria, untuk jiwa-jiwa bahagia seperti gue. Ngiri kan lo semua? Kasian deh buat lo semua yang ga bisa dapet Kim Mingyu di hidupnya.

Oh ya, ini minggu pagi pertama gue sebagai calon suaminya pak Mingyu. Uhuy!

Pagi ini gue dapet kabar kalo doi—Calon suami gue—mau ke rumah katanya sih mau main aja karena dia tau kalo baba lagi gak di Indonesia. Okeh, pertama-tama yang harus gue lakuin adalah bilang sama bibi kalo beliau harus masak yang enak!

Bilang sama bibi, done ✅

Yang kedua mandi, Hao. Astaga. Lo harus cakep, jangan sampe pak Mingyu berubah pikiran karena ngeliat lo kayak gembel.

Mandi, done ✅

Yang ketiga, kasih tau kakek.

Oh ya ampun lupa, kakek juga lagi ga ada. JADI CUMA GUE YANG ADA DI RUMAH INI???? takut.......

Oke, lupakan itu Hao. Pak Mingyu gak bakal macem-macem. Paling elo yang macem-macem duluan. Tapi Lo harus santai, ga boleh gegabah. Jangan keliatan gatel. Oke.

Yang keempat, tinggal nunggu si sayang. Jiakhh si sayang. Akhirnya gue bisa manggil doi sayang. Cihuy, pada iri nih ye. Sukurin. Makannya jadi Minghao.

Tin tin tin tin suara mobil doi. Aww.

“Hey, kepagian ga sih saya kesininya?”

“Gak kok, ini udah jam 11 btw.”

“Oh iya juga.” Gue melihat si dia grogi. Cuy, lo tau ga sih dia grogi aja cakeppp. Ya Tuhan. Kalo di ajak nikah besok gue oke aja ini mah.

“Yuk masuk?” Gue mempersilahkan si dia masuk.

“Oh ya pak, saya lupa bilang kalo kakek juga lagi ga ada di rumah. Jadi saya sendirian.”

“Kamu gapapa kalo saya kesini pas ga ada orang? Kalo engga, kita makan di luar aja.”

“Oke kok pak, ada bibi juga di dalem. Jadi kita ga berdua-dua amat.”

“Oke, oh ya jangan panggil pak lagi dong.”

“Terus?”

“Apa aja selain pak? Emangnya saya bapak kamu?”

“Oke, tapi gak saya-kamu ya?”

“Terus?”

“Aku-kamu.”

Gue melihat si dia tersenyum. Jiakhh senyumnya kayak ngajak berumah tangga cuy.

“Oke, jadinya kamu mau manggil aku apa?”

Hadah, niatnya gue yang mau ngerjain dia malah gue yang merinding.....

“Aku gak tau??”

Gue melihat dia berpikir... Dia tuh emang seganteng ini ya? Duh jadi ga sabar kalo bangun tidur ngeliat muka belernya dia. Eh tapi dia beler ga ya? Gue sih iya.

“Kalo mas, oke gak?”

Ini sih harusnya dia yang malu ya, tapi gueeeeeee yang menggigil.....

“Oke, mas Mingyu?”

Gue mendapati dia menganga guys. Gila, tapi masih cakep.

“Mau makan dulu gak, mas?” Gue sedikit menekan kata “mas” di akhir. Dan cukup membuat dia salah tingkah.

“Boleh, Hao.”

Lalu kami berdua makan bersama. Di rumah. Anjir, kayak pasangan yang sudah menikah aja nih kita. Kiwkiw. Cepet nikahin aku dong, mas.

Skip time

Saat ini gue dan si dia lagi berbincang-bincang. Banyak. Sampe gue ga bisa ceritain disini. Maaf ya. Hanya untuk orang-orang yang akan menikah. Bye all.

Hampir 1 jam gue dan dia berbincang-bincang, sampai akhirnya obrolan kami terhenti ketika bel berbunyi.

“Bentar ya mas.” Dia cuma mengangguk. Gue pun berjalan menuju pintu. Siapa tau aja penting. Kayak abang kurir—penting itu cuy.

Gue membuka pintu..... Dan menampilkan....

Vernon.

Dengan senyum lebarnya.

Gue balas dengan tak kalah lebar.

Sampai akhirnya gue melihat ke sebelahnya.

Senyum gue luntur.

Seungkwan.

Gue bahkan lupa kalo Vernon adalah kekasih Seungkwan—setelah dia pergi meninggalkan Mingyu.

“Hai, Hao. Apa kabar?” Dengan beraninya dia nyapa gue, dengan beraninya dia nanyain kabar gue. Berani bangetttttttt.

“Ko, diem aja dah lu? Suruh masuk kek kita.” Vernon jangan sampe mulut lu gue jegrek pake stapler tembak.

“Hao, ada siapa?” Itu suara si dia.

Gue nyerah! Tolong dong kameranya dimana? Gue mau melambaikan tangan.

“Seungkwan....”

Gue ga sanggup. Ga sanggup denger ketika dia menyebutkan nama lain dari mulutnya..... Nama yang dulu selalu dia dambakan.

Gue melihat si dia yang sedang menatap dalam seseorang di depan kami. Gue bagian nangis aja kali ya?

Mata tidak pernah bohong. Benar!

Haha. Cuma orang buta yang gak paham tatapan itu. Gue menghela nafas gue dengan panjang—tapi tidak membuat dia berpaling dari sosok di depan itu.

Bener kata rintiksedu. Bersaing dengan masa lalu seseorang adalah persaingan paling ga adil. Soalnya kita bersaing sama orang yang udah pernah menang duluan. Sialan.

Hari ini, hari pertama gue menjadi calon suaminya dan hari pertama juga gue paham kalau masih ada cinta yang tersisa untuk masa lalunya.

GyuHao

Minghao POV

Halo, gue Minghao. Kali ini gue yang akan memimpin cerita ini, karena ini cerita gue jadi cuma gue yang boleh mimpin.

Malam ini pak Mingyu—mas crush gue—ngajakin gue makan malam berdua dia bilang ada yang mau dia omongin ke gue. Ntah apa, tapi yang jelas gue masih sakit hati gara-gara postingan cincin yang dia post kemaren.

Gue pikir, selama ini kedekatan kita sudah cukup jelas buat dia kalau gue amat sangat suka sama dia, tapi ternyata gue salah. Dia malah kayaknya akan melamar seseorang huft gini amat kisah cinta gue.

Oke, balik lagi ke rencana makan malam kita. Kali ini pak Mingyu ngajak gue makan di salah satu restoran bintang 5 yang menurut gue ini cukup mahal. Btw, tumben banget ga sih? Eh engga, gue boleh ngomong tumben kalo mas yang ngajakin tapi kalo pak Mingyu kayaknya emang selalu makan ditempat-tempat kayak gini.

“Jadinya kamu mau pesan apa, Hao?” Duh buset suaranya aja bisa bikin gue klepek-klepek. Lo ga bisa ya nikah sama gue aja?

“Samain kayak bapak aja deh. Sebenernya saya ga biasa makan ditempat-tempat kayak gini. Makan disini kalo sama kolega-kolega kakek atau mas aja.”

Dia tertawa. Gila ketawanya aja renyah banget.

Sambil nungguin makanan datang, kita emang sempet berbincang-bincang dikit. Pas makanan dateng kita langsung makan—karena gue udah laper banget

“Pak Mingyu emang mau ngomong apa? Kayaknya penting banget sampe ngajak makan malem mewah gini.”

“Habisin dulu aja makanan kamu, Hao. Nanti saya ngomong nya sambil kita makan dessert.”

Gue hanya mengangguk. Dan setelah beberapa menit kemudian makanan kita berdua abis, lalu datang dessert yang dia bilang tadi. Choco lava with ice cream dia tau yang gue suka.

“Jadi?”

“Kamu tuh gak sabaran banget ternyata ya orangnya.”

Bukan ga sabar, gue kepo anjir...

“Minghao, kayaknya akhir-akhir ini kita dekat sekali ya?”

Gue mengangguk. Ya kan emang deket?

“Saya juga udah cerita banyak tentang saya ke kamu. Bahkan kamu tau masa lalu saya sampai keinginan keluarga saya.”

Gue hanya menyimak. Apa dia sudah menemukan seseorang lain yang bisa membuat dia menjadi musuh keluarganya lagi?

Lalu tiba-tiba.. Pak Mingyu memegang kedua tangan gue.. membuat gue membatu seketika..

“Minghao, saya sudah minta izin sama Seungcheol. Kalau saya mau mendekati kamu.”

Hah?

Gue menganga lebar. Tapi kok izinnya sama mas? Emang mas bokap gue?

“Kamu mungkin bingung, kenapa saya malah izin ke Seungcheol bukan ke papa kamu, karena mungkin nanti kalau kamu mau saya bisa ajak Seungcheol ketemu papa kamu.”

“Bapak mau pake jalur orang dalam?”

Pak Mingyu ketawa lagi. “Kali aja kalo sama Seungcheol saya langsung boleh nikahin kamu.”

Anjrit. Gila. Gila banget lo Kim Mingyu.

“Pak, kalo bercanda jangan kayak gini lah.”

“Loh ini saya dianggap bercanda?”

“Jadi ini bapak serius?”

“Saya kurang serius ya, Hao?”

Oke, gue ngerasa gue akan pingsan kali ini.

“Saya pikir bapak udah ketemu orang lain.”

“Kenapa saya harus sama orang lain, kalau ternyata ada yang udah nunggu saya dari lama disini?”

“Bapak tau saya suka sama bapak?”

“Seungcheol cerita.”

“Dasar ember, awas aja tuh orang tua satu.”

“Kalo Seungcheol tua berarti saya juga.”

“Kalo bapak kan makin tua makin menawan.”

Pak Mingyu ketawa lagi. Nih kayaknya emang gue lebih cocok jadi pelawak daripada sekretaris

“Tapi Hao, saya gak cuma mau ngedeketin kamu aja. Saya mau ajak kamu ke jenjang yang lebih serius. Umur saya ini bukan umurnya buat main-main lagi, kalo kamu mau besok saya ke rumah kamu ketemu orang tua kamu.”

“Pak, tapi kalo orang tua bapak ga setuju sama saya gimana?”

“Ini udah saya pikirkan, Hao. Kamu gapapa gak kalo nanti kita nikah dengan sederhana aja? Terus mungkin kita tinggal di apartemen saya dulu, sambil saya nabung untuk beli rumah buat kamu.”

“Orang tua bapak gak bakal setuju ya sama saya?”

“Kayaknya sama semua pilihan saya mereka gak akan pernah setuju. Saya selalu dianggap anak kecil di sana.”

“Tapi gimana kalo pak Mingyu malah di usir dari keluarga bapak?”

“Nah makannya itu saya mau ajak kamu menikah, biar saya punya keluarga baru.”

“Bapak mau nikah sama saya karena emang mau masuk ke keluarga saya aja ternyata.”

Pak Mingyu ketawa kenceng. “Ya saya mau menikah sama kamu karena memang saya mau, Hao. Itu juga kalau kamu tidak keberatan sih hidup sederhana sama saya.”

“Pak, mau bapak jualan bakso juga saya ayo.”

“Ya ga sampe jualan bakso juga. Soalnya Seungcheol katanya udah nyiapin posisi di perusahaannya buat saya.”

“Aduh, nanti lembur terus dong.”

“Saya udah request, kerjaan yang ga banyak lemburnya. Karena saya lebih takut kamu pergi daripada dipecat.” Mungkin sekarang pak Mingyu udah liat muka merah gue. Kalo ngomong ga dipikir efek buat orang lain nih manusia.

“Jadinya kamu mau, Hao?”

“Maulah pak, masa saya tolak. Kata kakek saya dosa nolak rejeki. Apalagi rejekinya berupa pak Mingyu.”

“Hahaha ini kayaknya saya yang harus kuat kalo digombalin sama kamu.”

“Tapi saya ga gombal.”

“Yaudah iya saya percaya.”

Disitu gue bisa liat senyum lebarnya. Gue ngerasa kayak abis nyelametin negara bisa dapetin dia. lalu gue liat lagi ketika dia ngeluarin kotak beludru dari kantongnya. Dan memperlihatkan cincin yang kemarin gue liat di sosial medianya.

“Ini yang kemarin bapak post di Twitter kan?”

“Iya yang buat kamu bikin status lagu itu.”

“Yeee emang itu buat bapak?”

“Terus kalo bukan buat saya buat siapa?”

”...ya emang buat bapak sih. Abis saya kira bapak udah punya pacar, terus mau ngelamar pacar bapak.”

“Kalo saya punya pacar saya gak bakal ngajak kamu nyobain yacht baru saya. Saya ajak aja pacar saya.”

“Iya juga sih...”

“Lagian saya cuma mau bantu kamu gapai cita-cita kamu kok.”

“Hah? Cita-cita saya? Yang mana pak?”

“Yang mau bersandar di dada saya tiap malam.”

Hah?

“Bapak tau akun Twitter saya?”

“Kamu beberapa kali komen di Twitter Seungcheol gimana saya gak tau.”

“Duh pak, saya malu banget.”

“Gapapa lah, kan sekarang udah resmi saya punya kamu. Kamu udah boleh mamerin saya.”

“Duh sebenarnya itu cita-cita saya yang lainnya.”

Itulah sepenggal cerita kita. Dan yang jelas ini bukan akhir dari segalanya. Karena ini adalah awal dari semuanya. Semua rasa senang dan sakit yang gue rasakan.

heart to heart

“Saya lupa belum bilang mama, jadinya mama Yoona yang kasih tau.” Ucap Seungcheol yang merebahkan tubuhnya di samping Jeonghan. Tangannya dia sampirkan di perut Jeonghan dan wajahnya ia sembunyikan di tengkuk leher Jeonghan.

“Terus udah dikasih tau kalo gue disini? Mama mau kesini?”

“Udah, iya mama tadinya mau kesini tapi saya bilang ga usah.”

“Loh kenapa?”

“Kan ada kamu, lagian juga udah mendingan.”

Jeonghan membalikkan tubuhnya menghadap Seungcheol. Lalu ia mengelus-elus wajah Seungcheol yang masih ada luka lebamnya.

“Sakit ya?”

Seungcheol mengangguk. “Tapi gak sesakit hati kamu kan? Lagian saya pantes dapet ini dari sahabat kamu. Saya juga akan ngelakuin hal yang sama kalo sahabat saya disakitin.”

Jeonghan masih sibuk mengelus-elus wajah itu. Sementara Seungcheol juga masih sibuk memandangi wajah Jeonghan yang menurutnya menjadi lebih cantik setelah 2 Minggu tidak bertemu.

“Selama di rumah papa kamu perawatan ya?”

Jeonghan menggeleng. “Kenapa?”

“Ntah perasaan saya aja atau engga, kamu tambah cantik.”

Wajah Jeonghan bersemu merah seketika. Seungcheol tersenyum ketika melihatnya.

“Jeonghan?”

“Ya?”

“Maaf ya.”

Jeonghan mengangguk. “Udah di maafin.”

“Tinggal disini lagi ya? Kita mulai semuanya dari nol. Mau tidak?”

“Belum tau, mas.” Jawab Jeonghan kecil.

“Mungkin kamu bosan sama janji saya, tapi saya pastikan kejadian kemarin tidak akan pernah terulang lagi. Saya juga bersumpah tidak pernah melakukan apa yang ada dipikiran kamu.”

Jeonghan terdiam.

“Mau dengar penjelasan saya tidak?”

“Penjelasan yang mana?”

“Penjelasan yang kamu liat dari foto itu.”

“Yang lo lembur terus?”

“Kalau yang itu saya belum bisa cerita, tapi nanti saya cerita.”

“Yaudah jelasin.”

Seungcheol menyusupkan tangannya untuk menjadi bantalan Jeonghan. Wajah Jeonghan tepat berada di depan dada Seungcheol.

“Saya emang belum jelasin siapa itu Clara. Dan kamu sudah lebih dulu tau, dan kamu benar. Clara sahabat saya dan cinta pertama saya. Saya dan Clara tidak bisa bersama karena dulu Clara sempat menolak saya. Walaupun saya sudah berusaha bikin dia menjadi milik saya, tetap tidak bisa. Sampai dia akhirnya pergi ke Paris meninggalkan saya. Tapi sejak saat itu, saya berusaha menghilangkan semua perasaan saya ke dia. Hampir 5 tahun dia pergi Jeonghan, dan selama itu juga saya tidak pernah merasakan apa-apa pada siapapun. Bukan saya tidak bisa move on, tapi saya memang tidak mau bertemu orang yang salah lagi.”

Jeonghan mendengarkan cerita Seungcheol, sambil tangannya ia letakkan di atas dada Seungcheol—ia bisa merasakan detak jantung Seungcheol yang berdetak kencang.

“Pada saat kita pertama kali melakukan hubungan intim, Clara menghubungi saya, dia bilang dia rindu dengan saya tapi tidak pernah saya balas Jeonghan, saya bersumpah. Sampai akhirnya dia dapat nomor saya dari mama, karena mama juga tidak tau cerita saya dengan Clara seperti apa, yang mama tau kami hanya bersahabat. Dan pada saat itu juga, Clara mengajak saya bertemu awalnya di apartemen dia, tapi saya gak mau karena saya sudah menikah, tidak baik juga bertemu di tempat tertutup seperti itu. Saya mengajak bertemu di cafe dekat apartemennya dan dia mengiyakan. Tapi yang harus tau Jeonghan, di sana saya meminta agar dia tidak mendekati saya lagi karena saya sudah menikah, tapi dia tidak mau tapi saya tidak perduli. Setelah itu saya tinggal dia di sana.”

“Gak Lo anter balik?”

“Tidak, saya ada keperluan mendesak waktu itu. Lagipula itu sudah bukan kewajiban saya. Dia yang memilih untuk tidak berteman lagi dengan saya diwaktu dia menolak saya. Artinya, kami orang asing.”

“Terus kenapa foto itu ada?”

“Saya juga gak tau siapa yang mengirimnya. Tapi itu diambil tanpa sepengetahuan saya. Saya bertemu teman-teman saya waktu itu, kami bermain basket bersama tapi tiba-tiba saja Clara datang.”

“Lo sering ajak dia ke sana kali, makannya dia tau lo di sana.”

Seungcheol menggeleng. “Yang lucunya, lapangan basket yang saya dan teman-teman saya pakai waktu itu tidak ada yang tau kecuali mama, papa, Mingyu dan Minghao. Saya memang tidak memberitahu siapapun, tapi saya berniat mengajak kamu lain waktu.”

“Terus dia tau darimana?”

“Saya tidak tau.”

“Mas Seungcheol, gue ga suka...”

“Gak suka apa?”

”...Gak suka tau lo dari orang lain. Makannya kemarin gue marah banget, apalagi kalo di inget-inget semuanya terlalu kebetulan, kebetulan lo suka lembur, kebetulan juga ada yang kirim foto itu. Gue kalut. Gue mikir kalo semua orang gak suka gue bahagia. Dulu gue suka dipukul sama mantan gue, semua yang gue lakukan salah di mata dia, bahkan ketika beberapa kali dia selingkuh tetep gue yang salah. Terus gue nikah sama lo, gue ga tau apa yang lo lakuin di luar sana gue berusaha tidak berpikir negatif, tapi semua yang lo lakuin bikin gue keinget dengan apa yang dulu mantan gue lakuin, lo yang tiba-tiba ilang, tiba-tiba gak ada kabar lalu tiba-tiba dengan wanita lain. Gue—gue...” Ucapan Jeonghan terputus ketika mendadak ia menangis. Dengan sigap Seungcheol memeluknya, menenangkannya dengan sebuah kecupan di pucuk kepalanya.

“Jeonghan, maaf.”

Dengan terisak-isak Jeonghan memeluk erat Seungcheol. Berkali-kali ia ucapakan dalam hatinya. Tolong, jangan tinggalin gue.

Keduanya masih sama-sama diam, bahkan Jeonghan masih belum bisa menghentikan tangisannya.

“Jeonghan, Jeonghan, Jeonghan sayang—.” Yang Seungcheol rapalkan untuk menenangkan suaminya itu. Tapi untuk Seungcheol, itu bukan hanya untuk menenangkan suaminya tapi itu adalah suara hatinya yang beberapa Minggu ini hanya bisa ia ucapakan di dalam hatinya.

“Mas Seungcheol, jangan tinggalin gue. Gue—gue gak bisa kalo gak sama lo. Lo boleh ga cinta sama gue, tapi gue mohon jangan tinggalin gue. Jangan pergi sama siapa-siapa.”

Seungcheol makin mengeratkan pelukannya. Beberapa kali ia mengecup pucuk kepala Jeonghan. Berjanji pada dirinya sendiri ia tidak akan pernah melepaskan Jeonghan. Tidak akan pernah membiarkan Jeonghan-nya pergi.

Jeonghan-nya.

Jeonghan akan selalu menjadi miliknya. Dan itu mutlak.

Jeonghan memasukkan password apartemen, lalu kemudian masuk dan disambut oleh ruangan gelap seperti tak berpenghuni. Ia berjalan menyalakan lampu dan menaruh barang-barang yang tadi ia bawa.

Sebelumnya, ia sudah menghubungi Minghao terlebih dahulu sebelum ke apartemen. Dan Minghao menitipkan beberapa obat—yang katanya milik Seungcheol. Setelah itu, Jeonghan berkutat di dapur membuatkan makan malam untuk Seungcheol, karena Minghao bilang Seungcheol tidak mau memakan apapun.

Hampir 30 menit semuanya sudah siap. Jeonghan mengambil nampan dan menaruh semua masakannya di atas sana lalu membawanya ke kamar Seungcheol.

Ketika masuk, Jeonghan mendapati Seungcheol yang sedang tertidur pulas—dengan wajah lebam—Jeonghan meringis melihatnya.

“Pasti sakit ya mas?” Jeonghan mengelusi bekas luka itu. Membuat Seungcheol meringis. Seungcheol membuka matanya, melihat ada Jeonghan di sana. Kemudian ia mengucek-ngucek matanya.

“Hahaha gak mungkin Jeonghan disini. Dia kan benci banget sama gue.” Ucap Seungcheol, lalu ia menyampingkan tubuhnya membelakangi Jeonghan.

“Mas Seungcheol, bangun dulu.” Jeonghan menepuk-nepuk pundak Seungcheol membuat Seungcheol membalikkan lagi tubuhnya.

“Jeonghan?” Seungcheol terduduk karena terkejut.

“Iya ini gue, kenapa sih lo kayak liat hantu aja.”

“Jeonghan, ini beneran kamu?”

“Ck, banyak tanya. Makan nih, abis itu minum obat baru boleh tidur lagi.” Jeonghan menyerah nampan isi makanan pada Seungcheol.

“Kamu kesini malem-malem gini? Di anter siapa?”

“Papa.”

“Terus kamu nginep kan? Atau papa nungguin?”

“Papa udah balik. Nanti kalo lo udah minum obat gue baru pulang. Cepetan di makan.”

Seungcheol menatap lapar makanan itu, dengan cepat ia memakannya. Jujur saja, ia sangat lapar tapi kepalanya pusing sehingga dia tidak bisa keluar hanya untuk memasak atau memesan makanan—menatap layar hp nya pun dia tidak kuat.

Jeonghan memberikan gelas berisi air putih pada Seungcheol. Seungcheol menerimanya dan menghabiskan hampir setengah dari gelasnya. Beberapa menit kemudian ia sudah menyelesaikan makannya. Jeonghan juga langsung memberikan obat yang tadi Minghao kasih padanya untuk Seungcheol minum.

Setelah selesai semua, Jeonghan menyuruh Seungcheol untuk tidur lagi, sementara ia harus mencuci piring bekas makan Seungcheol.

Sekitar 15 menit kemudian, Seungcheol merasakan tubuh panas seketika. Ia merasa aneh karena tiba-tiba saja ia ingin melakukan hubungan intim.

Nghhh—.

“Masa tiba-tiba banget sih? Apa karena ada Jeonghan jadi pengen, apalagi gue udah malah ga ngeluarin.” Seungcheol merasakan bagian bawah mengeras begitu saja.

“Gue kira lo udah tidur.” Seungcheol terkejut mendengar suara Jeonghan yang tiba-tiba masuk ke kamarnya.

“Jeonghan, tadi kamu ada campurkan sesuatu gak ke makanan atau minuman saya?”

Jeonghan bingung, seingatnya ia tidak memasukkan apapun ke dalam makanan ataupun minuman.

“Mas, lo kenapa? Kok keringetan gitu? Lo keracunan ya?”

“Jeonghan, tolong—nghhh— jawab.”

“Gue ga masukin sesuatu yang bahaya kok. Cuma obat, itu juga dikasih sama Hao, katanya bisa nuruin demam.”

“Obat? Masih ada obatnya? Boleh saya liat?”

Jeonghan mengangguk lalu berlari menuju dapur, mengambil obat yang ia maksud.

“Nih mas.” Jeonghan memberikannya pada Seungcheol. Lalu Seungcheol membaca nama obat itu.

“Ini dari Hao?” Jeonghan mengangguk.

Blue wizard.

“Shit.” Umpat Seungcheol. Dan ini baru pertama kalinya Jeonghan mendengar Seungcheol mengumpat.

“Mas, kenapa? Lo beneran keracunan ya? Kita ke dokter sekarang ayo.”

Seungcheol menggeleng. Ia menggigit bibir bawahnya menahan desahannya.

“Sekarang, kamu keluar dari kamar kunci pintunya dari luar.”

“Hah? Kenapa? Gue ga mau lo mati di kamar karena keracunan, mas. Ayo ke rumah sakit aja.”

“Jeonghan, tolong nurut sekali aja. Ini bahaya buat kamu.”

“Mas Seungcheol lo kenapa? Jangan bikin gue takut.”

“Jeonghan, keluar ya?” Seungcheol melembutkan suaranya.

Jeonghan menggeleng. “Gue ga mau keluar, lo harus kasih tau gue Lo kenapa? Seenggaknya biar gue tau gue harus apa.”

“Jeonghan, kamu gak harus apa-apa. Cukup keluar aja dulu ya? Kalo nanti udah, baru boleh masuk lagi.”

“Gak, ini salah gue. Gue yang nyampurin obat itu. Lo kenapa?”

“ARGHHHHH SAYA HORNY.”

Jeonghan terkejut. Baru kali ini juga Seungcheol berteriak—kecuali saat akan 'keluar'—di depannya.

“Lo horny? Kok bisa?”

Seungcheol mengambil obat yang tadi, lalu ia menunjukkannya pada Jeonghan.

“Kamu tau obat ini obat apa?”

“Obat demam kan?”

Seungcheol menggeleng. “Bukan.”

“Terus apa?” Jeonghan ikut panik. Karena takut ia malah benar-benar meracuni Seungcheol.

“Ini obat perangsang, Jeonghan.”

Jeonghan terkejut bukan main, ia benar-benar tidak tau menahu tentang obat itu.

“Mas, gue—gue gak tau.”

Seungcheol mengangguk, lalu ia bangkit dari tempat tidur sedikit mendorong Jeonghan dengan pelan untuk keluar dari kamarnya.

“Mas—.”

“Jeonghan, saya mohon ya kamu nurut dulu sama saya. Kalau kamu mau pulang boleh, hati-hati ya. Kalo bisa minta jemput papa lagi, maaf saya lagi ga bisa nganter kamu.”

“Mas tunggu dulu—.”

“Jeonghan, saya udah beneran ga kuat—.”

“—kalo ga kuat ya ayo makannya lakuin. Mumpung ada gue.”

“Jeonghan—.”

“Lagian gue masih suami lo.”

“Jeonghan, jangan ya. Saya gak mau nyakitin kamu lagi.”

“Kalo lo tolak gue, malah gue sakit hati. Mau gue nangis lagi?” Seungcheol menggeleng.

Lalu Jeonghan berbalik mendorong Seungcheol masuk lagi ke kamarnya. Mendorong hingga Seungcheol terjatuh di ranjang.

“Kepala lo masih pusing kan?”

Seungcheol mengangguk.

“Yaudah biar gue aja yang di atas, lo tinggal bantu gue dari bawah.”

Seungcheol datang ke lokasi yang sudah Jisoo tentukan. Ia harus rela kalau wajahnya lagi-lagi kena pukulan. Seungcheol sudah menemui Jisoo yang sedang duduk bersama seorang laki-laki.

“Jisoo?”

Jisoo melihat wajah Seungcheol. “Oh ini si brengsek.” Jisoo sudah akan bergerak memukul Seungcheol tapi tangannya ditahan. “Tadi kan kamu bilang mau dengan kepala dingin omonginnya.”

Jisoo menurunkan tangannya. Kemudian ia duduk sambil melipat kedua tangannya di dada.

“Duduk mas, oh ya sebelumnya gue Seokmin temennya Jisoo.”

“Saya Seungcheol.” Lalu mereka bertiga duduk saling berhadapan.

“Gini mas Seungcheol, saya baru tau masalahnya dari Jisoo. Maaf kalo lancang, mas beneran ada main dibelakang Jeonghan kah?”

Seungcheol benar-benar lelah dituduh seperti ini terus. Kenapa semua orang berpikiran yang sama?

“Kalau saya bilang saya tidak seperti yang kalian tuduhkan bagaimana?”

“Ya iyalah gak mau ngaku, mana ada maling mau ngaku.” Ucap Jisoo sewot.

Seungcheol menghela nafasnya. “Maaf ya Jisoo, kalau saya buat Jeonghan sedih. Tapi saya berani sumpah kalau saya tidak pernah melakukan hal yang ada dipikiran kalian. Terserah kamu mau percaya atau tidak.”

“Terus lo kemana aja? Kenapa lembur terus? Lo tau gak sih Jeonghan tuh ngeluhin itu semua di grup chat kita. Lo tuh sebenernya gimana sih sama sahabat gue? Kalo lo emang ga bisa terima dia, lo bilang baik-baik jangan malah kayak gini.”

“Iya makannya saya minta maaf. Saya juga sudah minta maaf pada mama papa mertua saya. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya.”

“Jadi intinya elo ga ngelakuin ya mas? Terus selama lo lembur lo kemana?” Tanya Seokmin.

“Tapi maaf saya belum bisa cerita.”

“Tuh kan emang elo nya aja yang brengsek.”

“Jisoo, kamu gak boleh kayak gitu. Siapa tau emang ada alasan lain dibelakang mas Seungcheol ngelakuin ini.”

“Jisoo, tolong kasih saya satu kesempatan lagi.”

Jisoo bangun dari duduknya. “Bangun lo.” Seungcheol masih bergeming. “Cepetan.” Akhirnya Seungcheol bangun.

Jisoo menarik kerah baju Seungcheol. “Gue udah izin ke Jeonghan buat nonjok lo.”

BUKKKKKKKKKK

“Itu buat elo yang udah bikin Jeonghan nangis.”

BUKKKKKKKKKK

“Itu buat elo yang udah bohong ke Jeonghan.”

BUKKKKKKKKKK

“Dan ini buat elo yang gak mau kasih tau apa yang sebenernya terjadi.”

Seungcheol terjatuh karena pukulan terakhir dari Jisoo yang cukup keras. Seokmin membantunya untuk bangun.

“Udah ayo Seok.”

“Soo, tapi ini mas Seungcheol harus dianterin dulu.”

“Udah—uhuk—gapapa Seokmin biar saya—uhuk—telpon sekretaris saya.”

“Nah udah denger kan kamu? Ini orang bisa tanpa kita.” Jisoo langsung menarik tangan Seokmin untuk pergi dari tempat itu.

Dengan menahan sakit disekitar wajahnya, Seungcheol berusaha menghubungi Minghao.

“Ho, jemput gue.”

Sudah hampir dua minggu Jeonghan tidak pulang ke apartemennya dan Seungcheol. Dan sudah hampir dua minggu juga Seungcheol tidak absen mengunjungi rumah keluarga Lee—siapa tau Jeonghan sudah mau pulang dengannya.

Tapi, hari ini Seungcheol tidak datang.

“Mas, lo masih gak mau ketemu mas Seungcheol?” Tanya Jeongyeon

Jeonghan menggeleng.

“Udah hampir dua minggu loh mas.”

“Kenapa sih? Lo ga suka gue disini?”

“Bukan, cuma emangnya elo ga kangen sama mas Seungcheol?”

Jeonghan tidak menjawab. Jujur saja, ia merasakan ada kerinduan untuk Seungcheol. Apalagi setelah melakukan hal 'itu' keduanya makin dekat—hanya saja memang beberapa minggu yang lalu keduanya hampir jarang bercengkrama.

“Kalo kangen bilang aja, kalo lo ga berani bilang biar gue yang bilang.”

“Berisik.”

“Lo marah sama dia karena katanya dia selingkuh, tapi kenapa lo ga gugat cerai aja dia?”

Lagi-lagi Jeonghan tidak menjawab.

“Gue tau mas, udah ada cinta di antara kalian.”

“Jangan sok tau, Yeon.”

“Kalo ga, ngapain lo nangisin dia berhari-hari karena dia selingkuh? Kalo ga, ngapain dia kemari terus cuma nanya elo udah mau pulang sama dia apa belum.”

“Dia cuma ngerasa bersalah aja karena ga nepatin janjinya ke papa mama.”

“Stop denial, mas.”

“Gue ga denial.”

“Oke, lo emang keras kepala. Tapi yang harus gue ingetin, dia bisa aja capek. Dia bisa aja jenuh nunggu lo yang ga kasih kepastian ke dia. Dan kalo suatu saat itu bener kejadian, jangan nangis ya lo. Jangan nangis kalo dia bener-bener pergi dari hidup lo. Bumi gak mengelilingi elo, mas. Dan gak cuma elo yang punya perasaan disini.”

Jeonghan masih diam, ia merasakan ketakutan sekarang. Ntah apa yang membuatnya takut. Apa karena kata-kata Jeongyeon ada benarnya?

“Gue kebawah dulu. Jangan sampe pas elo sadar, ternyata udah ada orang lain yang jadi rumahnya.”