thatausaha

Setelah saat itu, ternyata Minhyuk tidak menjauh sama sekali, ia bahkan makin gencar untuk mendekati Jeonghan. Ia merasa kalau Jeonghan masih bisa ia dapatkan.

Minhyuk adalah salah satu kakak tingkat Jeonghan, Seungcheol, dan Jisoo semasa mereka kuliah dulu. Minhyuk mendekati Jeonghan hanya karena ingin menjadikan Jeonghan bahan taruhan ia dan teman-temannya. Minhyuk juga salah satu anggota geng yang cukup meresahkan di kampus waktu itu.

Hari ini Minhyuk pergi ke rumah Jeonghan, setelah mendapat kabar kalau Seungcheol sedang berpergi ke kantor, ia langsung bergegas menuju rumah Jeonghan.

Ting tong

Ia memencet bel rumah Jeonghan beberapa kali.

“Siap.....a, kak Minhyuk?” Jeonghan terkejut karena melihat Minhyuk di depannya.

“Hai Jeonghan.” Sapa Minhyuk sambil tersenyum manis.

“Kakak ngapain disini?”

“Boleh masuk?”

“Maaf ya kak, tapi Cheol lagi gak ada di rumah. Jadi Han gak bisa biarin kak Minhyuk masuk.” Jawab Jeonghan sesopan mungkin.

“Masa aku udah jauh-jauh gak bolehin masuk? Seenggaknya buatin minum dulu boleh gak? Aus nih.”

Jeonghan sempat berpikir sejenak, lalu ia menganggukkan kepalanya. Minhyuk masuk ke dalam rumah itu, ia duduk di sofa ruang tengah.

“Wih, suami lagi kerja berani-beraninya bawa cowok lain.” Ucap Nara tiba-tiba.

“Dia temen gue, Seungcheol juga kenal.”

“Tapi kan gak baik kalo bawa laki-laki ke rumah, apalagi pas suami lagi kerja.”

Jeonghan tidak menjawab, ia menuju dapur untuk membuatkan Minhyuk minuman.

disisi lain.

“Gyu, lo ke rumah gue gih. Ambil berkas di ruang kerja gue, minta tolong Jeonghan aja. Gue mau nyuruh dia kesini takut, lagi hamil tua.”

“Oke bos.”

. . . . . . . .

“Kak Minhyuk, jangan begini tolong. Han udah punya suami.” Jeonghan meronta-ronta ketika Minhyuk mencoba memeluknya, dan bahkan sesekali mengecup bahu Jeonghan. Jeonghan tidak bisa bergerak leluasa karena perutnya yang sudah sangat membesar.

“Tol..onggg.” Jeonghan sudah menangis karena ia merasa perutnya sakit karena terhimpit meja dapur, karena posisinya Minhyuk memeluknya dari belakang.

Jeonghan berteriak sekeras mungkin, tapi tidak ada yang menolongnya. Padahal di rumah ada Nara, tidak mungkin Nara tidak mendengar. Mereka memang hanya berdua karena pembantu di sana sedang berbelanja kebutuhan rumah.

“Nar....a tolong gue.” Jeonghan melihat Nara melintas didepannya. Ia mencoba melepaskan pelukan Minhyuk, karena kali ini tangan Minhyuk sudah mulai meraba bagian bawahnya. Jeonghan menangis, karena untuk kedua kalinya ia dilecehkan oleh Minhyuk.

Nara tidak menggubrisnya, ia berjalan meninggalkan Jeonghan yang memohon pertolongan.

. . . . . . . .

Mingyu melihat ada mobil asing di depan rumah bos nya. Ia berjalan cepat, karena tiba-tiba perasaannya tidak enak.

Mingyu memencet bel rumah bosnya tapi tidak ada yang membukakan.

“Pak Mingyu?”

Mingyu menoleh dan mendapati satpam rumah Seungcheol di sana.

“Pak tau gak itu mobil siapa?”

“Aduh saya juga baru liat pak, baru mau cek juga. Saya tadi abis dari kamar mandi.”

Mingyu kalang kabut, ia mencoba mencari cara agar bisa masuk ke dalam rumah itu.

“Pak, pintu belakang dibuka gak ya?”

“Kayaknya engga pak, soalnya lagi pada pergi.”

Mingyu tidak bisa menemukan cara apapun selain mendobrak pintu itu.

“Pak, bantuin saya dobrak pintu ya.”

“Iya pak Mingyu.”

Saat akan mendobrak pintu, para maid di sana pulang dari supermarket.

“Pak Mingyu ada apa?” Tanya mereka dengan cemas.

“Bi, bisa tolong kabarin pak Seungcheol? Saya ngerasa pak Jeonghan dalam bahaya.”

“Bisa pak Mingyu.” Lalu salah satu maid itu menghubungi Seungcheol.

Akhirnya Mingyu, pak satpam dan pak sopir mendobrak pintu itu. Pintunya di kunci dari dalam. Hingga 5 menit mereka baru bisa membuka pintu itu.

Mingyu berlari mencari dimana keberadaan Jeonghan. Ia menyuruh semua orang berpencar untuk mencari Jeonghan. Salah satu maid menemukan salah satu kamar pintunya terkunci.

“Pak Mingyu, ini terkunci. Tadi pagi saya bersihkan tapi tidak saya kunci. Saya khawatir pak Jeonghan ada di dalam.”

“Ada kunci cadangan?” Maid itu mengangguk, ia mencari kunci cadangan itu, dan setelah menemukannya ia memberikannya pada Mingyu, Mingyu membukanya dan berhasil.

Di dalam, Jeonghan sudah tidak berbusana. Ia tetap meronta-ronta, meminta pada Minhyuk untuk tidak menyentuhnya.

Bukkkkkkkk

Mingyu menendang Minhyuk dengan keras hingga laki-laki itu terjatuh. Mingyu menatap Jeonghan sekilas, lalu ia menatap ke sembarang arah karena Jeonghan tidak memakai bajunya.

“Pak Jeonghan maaf, tolong tutup pakai selimut.” Jeonghan langsung menutup seluruh badannya dengan selimut, para maid juga membantunya mengambilkan baju Jeonghan yang sudah berserakan.

“Berani-beraninya lo nyentuh suaminya bos gue.”

Bukkkkkkkk

Minhyuk memegang sudut bibirnya yang dipukul oleh Mingyu.

“Siapa sih lo? Ganggu gue aja.”

Bukkkkkkkk

“Brengsek.”

Mingyu melayangkan beberapa bogeman ke wajah Minhyuk. Saat Mingyu sedang fokus pada Minhyuk, Seungcheol datang.

“Han.”

“Mas.” Seungcheol menarik Jeonghan ke dalam pelukannya, Jeonghan terisak dengan keras.

“Maafin Han mas, maafin Han.” Hanya itu yang Jeonghan ucapkan pada Seungcheol.

“Sayang, jangan minta maaf. Han gak salah.”

Mingyu terengah-engah karena beberapa kali meninju Minhyuk. Ia berhenti lalu melihat ke arah bos nya.

“Diapain bos?”

“Kelarin. Usut sampe tuntas.”

Mingyu mengangguk, ia kemudian mengambil handphonenya. Menelpon seseorang.

“Tempat biasa, ada daging segar.”

Setelah itu Mingyu membawa Minhyuk ke tempat yang ia maksud. Tinggallah Seungcheol, Jeonghan dan para maid serta penjaga di sana.

“Kenapa bisa begini?” Tanya Seungcheol datar. Jeonghan mengingatkannya agar tidak terpancing emosi.

“Saya tugasin kalian untuk jaga suami saya. Tapi kenapa bisa kecolongan?”

“Mas, ini salah Han. Han yang bolehin kak Minhyuk masuk. Jangan marahin mereka mas.”

“Pak Seungcheol, saya minta maaf karena tadi saya pergi ke kamar mandi sebentar waktu saya balik sudah ada pak Mingyu di depan pintu.” Ucap satpam yang berjaga.

“Emangnya gak kamu kunci?”

“Saya kunci pak. Makanya saya bingung kenapa dia bisa masuk. Kuncinya ada sama saya kok tapi ada kunci cadangan juga di pos, tapi cuma para penjaga yang tau.”

“Berarti orang dalem yang bukain?”

“Bisa jadi pak.”

“Keluar.” Mereka semua keluar, tinggallah Seungcheol dan Jeonghan.

“Mas.” Jeonghan kembali menangis.

“Dia pegang apa aja sayang? Kamu di apain?” Seungcheol bertanya dengan menahan sakit dihatinya.

“Dia pegang bagian bawah Han mas.” Jeonghan kembali menangis, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Han, kotor mas.” Seungcheol menggeleng keras, ia memeluk Jeonghan dengan erat.

“Han gak kotor, Han suci buat mas. Jangan diinget sayang.”

Jeonghan menangis di pelukan Seungcheol, ia meremat suit yang Seungcheol gunakan.

“Dia cium Han?”

Jeonghan mengangguk.

“Dimana sayang?”

“Pipi Han mas, dia tadi mau cium bibir Han tapi Han ngelak terus jadi kena di pipi.”

Seungcheol mengecup kedua pipi Jeonghan sebanyak-banyaknya.

“Mas apus bibir dia di pipinya Han, sekalian hadiah buat Han karena Han pinter.”

. . . . . . . . .

Seungcheol keluar dari kamar setelah Jeonghan tertidur pulas. Jeonghan kelelahan karena menangis dan meraung-raung. Seungcheol mengumpulkan para pelayan di rumahnya.

“Jadi siapa yang bukakan pintu gerbang?”

“Bukan kami pak.” Jawab salah satu maid.

“Kami disuruh pak Jeonghan untuk berbelanja, karena bulan ini barang-barang yang dibeli cukup banyak.”

“Terus siapa kalo bukan kalian?”

Mereka menggeleng, karena tidak tau.

“Ada satu lagi pak.” Ucap salah seorang maid.

“Siapa?”

Maid itu tidak menjawab, ia menatap ke arah salah satu kamar dilantai dua, Seungcheol mengikuti arah pandang itu. Dan ia mengerti, lalu ia mengetik sesuatu di handphonenya. Ia menelpon Mingyu.

“Ke rumah gue lagi Gyu, ada satu daging segar lagi. Lumayan buat makan malam.”

Seungcheol membuka handphone Jeonghan, ia menemukan nomor tidak dikenal di sana. Lalu ia membalasnya, dan terkejut mengetahui siapa orang yang mengirimkan pesan itu.

Jeonghan keluar dari kamar mandi, melihat Seungcheol yang sedang menatap handphonenya.

“Kenapa mas?”

“Lo ketemu Minhyuk?”

“Iya tadi, gak sengaja.”

“Kok gak bilang?”

“Ini baru mau cerita.”

“Lo kasih nomor lo ke dia?”

Jeonghan mengernyitkan keningnya. “Tadi emang sempet dia minta, tapi Han gak kasih karena keburu ditarik sama Jisoo. Kenapa emang?”

“Dia chat lo.”

“Hah?” Jeonghan melihat handphonenya, dan benar itu Minhyuk.

“Han berani sumpah mas, bukan Han yang kasih.”

Seungcheol mengangguk. “Percaya kok gue. Ayo tidur.”

Jeonghan naik ke atas ranjang dan masuk ke pelukan Seungcheol.

“Han gak bohong kok mas.”

“Iya Han, mas percaya. Mas izin balesin, gapapa kan?”

“Ya gapapa lah. Mau mas block juga gapapa.”

“Mas kerjain dikit ah.”

“Iseng.”

“Biarin, biji berulah apa hari ini yang?”

“Engga ada sih. Tapi tadi Han beli perlengkapan bayi banyak banget.”

“Apa yang kurang?”

“Engga ada sih.”

“Lo gak beli stroller bayi?”

“Jisoo katanya yang mau beliin.”

“Oh yaudah.”

“Mas?”

“Hm?”

“Mau di cium.”

“Apanya?”

“Kening, pipi, hidung, bibir.”

Seungcheol menuruti keinginan Jeonghan, ia mengecup kening, lalu pipi, hidung dan terakhir bibir—ini lebih lama dari yang lain.

“Dah?” Jeonghan mengangguk.

“Tidur ya?” Jeonghan mengangguk lagi.

Seungcheol turun ke perut besar Jeonghan.

“Biji, ayah sama papa tidur ya kamu juga tidur, jangan ngerjain papanya lagi. Selamat bobok biji kesayangan ayah dan papa.”

Sudah hampir 1 jam Jisoo dan Jeonghan berkeliling-keliling mall.

“Udahan Han ?”

“Udah deh keknya, capek banget gue.”

“Yaudah, makan dulu yuk?”

“Yuk.”

Jeonghan dan Jisoo memilih salah satu restoran untuk mereka mengisi tenaga.

“Jeonghan?”

Jeonghan dan Jisoo menoleh ke arah sumber suara.

“Kak Minhyuk?”

“Hai, kamu apa kabar?”

“Aku baik kak, kakak gimana?”

“Baik juga. Hai Jisoo.”

“Hai juga.” Jisoo menjawabnya dengan ketus.

“Kamu.....” Ucapan Minhyuk terputus karena menatap perut besar Jeonghan.

Jeonghan tersenyum, lalu ia mengelus-elus perut besarnya.

“Aku lagi hamil kak.”

“Oh waw, anaknya siapa?”

“Seungcheol kak.”

“Seungcheol mantan BEM?” Jeonghan mengangguk.

“Oh aku kira kamu cuma temenan aja sama dia.”

“Emang kalo temenan gak bisa nikah.” Ucap Jisoo datar, Jeonghan menginjak kaki Jisoo pelan. Jisoo menatapnya tajam.

“Ya iya sih bisa, aku gak nyangka aja.”

“Aku juga gak nyangka sih kak, nyari jauh-jauh ujung-ujungnya sama sahabat sendiri.”

“Ayo Han ah lama banget. Laper gue.”

“Kak Minhyuk maaf ya aku sama Jisoo duluan.”

“Eh Han, boleh minta nomor kamu gak?”

Sebelum Jeonghan menjawab, Jisoo sudah menariknya pergi sampai Minhyuk berteriak memanggil-manggil namanya.

“Soo, gak sopan tau kayak gitu.”

“Ga perduli.”

Jeonghan menghela nafasnya, lalu ia mengikuti Jisoo yang masuk ke dalam salah satu restoran.

Setelah mengirimkan Seungcheol pesan, Jeonghan kembali mengganti celananya, niatnya memang hanya ingin iseng pada Seungcheol, toh nanti malam pasti Seungcheol tidak akan membiarkannya tidur cepat.

Jeonghan keluar dari kamarnya, ia menuju dapur karena merasa lapar. Di dapur Jeonghan menemukan Nara sedang makan sesuatu juga. Jeonghan berjalan seakan Nara tidak ada di sana.

“Jeonghan, kira-kira kalo gue pake baju seksi Seungcheol bakal mau tidur sama gue gak ya?”

Jeonghan meremat botol minuman yang ia minum tadi, Nara memang menguji kesabarannya.

“Gue udah pesen sih lingerie.”

Jeonghan masih bungkam.

“Gak sabar deh pengen pake itu di depan Seungcheol.”

Jeonghan membalikkan badannya dan menatap Nara.

“Mau coba gak, kita berdua sama-sama pake baju seksi. Terus kita liat, ke siapa Seungcheol dateng?”

“Lo nantangin gue?” Tanya Nara

“Kalo lo merasa tertantang.”

. . . . . . . . . .

18.00

Seungcheol masuk ke rumahnya dengan perasaan riang, ia juga membawakan Jeonghan buah strawberry.

“Sayang, mas pulang.” Teriak Seungcheol

“Eh kamu udah pulang, Cheol.”

Seungcheol yang tadinya bersemangat, menjadi malas.

“Iya, gue udah pulang.”

“Capek gak Cheol? Mau aku pijetin?”

“Mas?” Jeonghan datang dari arah kamarnya

“Sayang.” Seungcheol berjalan ke arah Jeonghan yang sudah mulai kesulitan berjalan karena perutnya yang membesar.

“Mas bawain strawberry buat Han sama biji.”

“Yeay, makasih mas sayang.” Jeonghan mengecup bibir Seungcheol

Mereka tidak memperdulikan Nara di sana.

“Mas mau mandi dulu?”

“Iya nih yang, gerah banget. Bibi masak apa?”

“Han tadi masak mas, Han buat udang saus padang buat mas.”

“Oh ya? Wah mas udah gak sabar. Ayo mandi.”

“Han udah mandi.”

“Han liatin mas mandi aja.” Seungcheol dan Jeonghan berjalan menuju kamar mereka. Meninggalkan Nara yang menatap mereka dengan sedih.

“Emang udah ada ada aku ya Cheol di hati kamu?”

. . . . . . . . . .

Saat ini mereka ber3 sedang menikmati makan malam, Jeonghan dengan sigap mengambilkan apapun yang Seungcheol butuhkan.

“Cheol kamu mau nambah nasi?” Tanya Nara

Seungcheol menggeleng. “Udah cukup Ra.”

“Mas, mau tambah udangnya gak?”

“Boleh yang, enak deh yang. Udah lama banget lo gak masak ini.”

“Gara-gara aku mual terus kalo nyium bau udang mentah.”

“Iya kali ya, makannya lama banget.”

Nara lagi-lagi dilupakan oleh keduanya.

“Ntar jadi kan yang?”

“Apaan?”

“Strawberry.” Ucap Seungcheol sambil menaik-naikkan alisnya menggoda Jeonghan, sepertinya Seungcheol lupa kalo ada Nara di sana.

“Jadi kalo mas mau. Han juga ada kejutan buat mas. Nara juga sih.” Ucap Jeonghan sambil menatap Nara.

“Hah? Mau ngapain si? Mas gak mau ya kalo aneh-aneh.”

“Engga kok, mas tinggal pilih aku atau Nara. Gitu aja.”

Seungcheol tidak bisa berkata-kata lagi.

. . . . . . . . .

Seungcheol duduk di sofa ruang tengah, ia tidak tau apa yang ada di pikiran Jeonghan dan Nara. Kenapa mereka menjadikannya kelinci percobaan.

Beberapa menit kemudian, Nara keluar dari kamarnya dengan menggunakan lingerie yang menurut Seungcheol sangat pas di badan Nara, tapi ia tidak merasakan keinginan untuk memegang tubuh Nara padahal daritadi Nara sudah bertingkah menggoda dirinya.

Lalu selanjutnya Jeonghan keluar dengan celana yang tadi ia kirimkan ke Seungcheol tapi bedanya kali ini bergambar strawberry, dengan perutnya yang membesar Jeonghan berjalan ke arah Seungcheol yang menatapnya dengan tatapan penuh nafsu. Jeonghan juga melihat Seungcheol yang beberapa kali menjilat lidahnya. Jeonghan berdiri di samping Nara.

Tanpa menunggu lama, Seungcheol berjalan ke arah Jeonghan lalu ia meremas pelan bokong Jeonghan, Jeonghan berjengkit kaget karena Seungcheol terlalu tiba-tiba.

“Mas ih.”

Seungcheol menjilat leher mulus Jeonghan.

“Gue gak tau lo lagi pada ngapain. Cuma kalo kayak gini ini gak bener apalagi lo Ra, gue bukan suami lo dan ga seharusnya lo hampir telanjang di depan gue. Gue ga nafsu liat badan lo, sumpah. Jangan kayak jalang.” Seungcheol menarik tangan Jeonghan untuk masuk ke kamar mereka. Sedangkan Nara, ia menangis. Ia merasa di permalukan oleh Jeonghan.

“Mas pelan-pelan ih.” Ucap Jeonghan

“Ini pasti ide lo kan?”.

“Abis dia pede banget mau tidur sama mas.”

“Ya tapi gak gitu. Emang musti di hukum ini kelinci, hm.”

“Iya boleh, tapi pelan-pelan aja. Ada biji di dalem nih.”

Seungcheol tidak lagi menjawab, hanya perlakuan yang ia berikan pada Jeonghan. Dan kita biarkan saja mereka bertempur.

Seungkwan berkunjung ke rumah Jeonghan hari ini. Seungkwan memencet bel rumah Jeonghan 2x sampai yang ke 3x pintu baru terbuka.

“Cari siapa?”

Seungkwan terkejut karena seorang wanita yang ada di sana.

“Ini rumahnya kak Han kan ya kak?” Tanya Seungkwan

Tiba-tiba wajah wanita itu menjadi datar. Seungkwan melihat betul perubahan wajah itu.

“Ini rumahnya Seungcheol.”

Seungkwan mengernyit heran, rumah Seungcheol kan berarti rumah Jeonghan juga.

“Kak Han nya ada kak?”

Belum sempat wanita itu menjawab, Jeonghan sudah muncul.

“Kwan.” Pekik Jeonghan ketika melihat Seungkwan sudah ada di sana.

“Kok gak langsung masuk?” Tanya Jeonghan, Jeonghan sedikit menabrak bahu Nara—ia seperti tidak menganggap Nara ada di sana.

Jeonghan menarik tangan Seungkwan untuk masuk ke dalam rumahnya.

“Gue pikir gue salah rumah, soalnya bukan kak Han yang bukain pintu. Itu siapa kak?”

“Ke taman belakang aja yuk Kwan, ntar gue ceritain. Lo sendirian?”

“Ya emangnya mau sama siapa?”

“Lah Hansol?”

“Kok Hansol?”

“Lah bukannya sama Hansol?”

“Kok bisa sama Hansol?”

“Ih gak tau ah rumit deh. Ayo.” Setelah meminta tolong pada bibi untuk membuatkan minuman dan cemilan Jeonghan dan Seungkwan menuju halaman belakang rumah Jeonghan.

Keduanya duduk di ayunan yang ada di sana.

“Jadi dia siapa?”

“Nara.”

Seungkwan terkejut, ia tau tentang Nara tapi belum tau seperti apa wajahnya.

“Kok ada disini?”

“Gue suruh dia tinggal disini sampe lahiran, nanti kalo anaknya udah lahir kita tes DNA kalo bener anaknya Cheol ya gue harus rela di madu.”

“Ah udah gila lo kak.”

“Terus gue harus gimana Kwan? Bingung gue tuh. Satu sisi gue percaya sama Cheol, tapi di sisi lain gue juga ragu.”

“Lo yakin mau di madu?”

“Sebenernya gak mau, tapi mau gak mau Kwan. Gue ga bisa biarin anak itu tanpa bapaknya.”

“Tapi sekali lagi gue tanya, lo yakin itu anaknya kak Cheol?”

“Gue ragu.”

“Aduh rumit banget sih kak, semoga aja bukan anaknya kak Cheol deh.”

“Amin, gue juga berharap begitu.”

“Terus nyokap bokap lu sama kak Cheol udah tau?”

Jeonghan menggeleng. “Hansol juga belum tau.”

“Mau sampe kapan disembunyiin?”

“Gak tau deh, pusing gue juga.”

“Udah jangan terlalu dipikirin deh kak, kasian anak lo ntar kepikiran juga.”

. . . . . . . . . .

Hansol langsung masuk setelah usai memarkirkan mobilnya.

“Lo siapa?”

Hansol melihat seorang wanita sedang berdiri di depan kulkas. Wanita membalikkan tubuhnya, Hansol menatapnya tajam.

“Lo ngapain disini?”

“Gue tinggal disini.”

“Lo gila?”

“Soon gue bakal nikah sama kakak lo. Jaga bicara lo.”

“Yakin banget lo.”

“Itu kenyataanya.”

Saat Hansol akan kembali membalas ucapan Nara, Jeonghan dan Seungkwan datang.

“Sol.” Panggil Seungkwan

“Kenapa dia ada disini kak?”

“Sol, ayo ke belakang dulu nanti kakak jelasin.” Jeonghan menarik tangan Hansol.

“Harusnya lo sopan juga sama gue. Gue bakal jadi kakak ipar lo nantinya.”

Jeonghan, Hansol dan Seungkwan berhenti ketika mendengar ucapan Nara. Jeonghan meremat tangan Hansol sambil mencoba mengatur emosinya.

“Dasar gak punya sopan santun.” Nara berjalan melewati mereka.

“Aww.” Nara terpekik ketika Seungkwan dengan tiba-tiba menjambak rambutnya

“Sorry kak, tadi gue liat ada kecoa di rambutnya kakak.”

“Jangan kurang ajar ya lo.”

Nara sudah akan menampar pipi Seungkwan, tapi dengan sigap Hansol menahannya.

“Berani lo daratin tangan lo di pipinya dia, abis lo sama gue.” Ucap Hansol, lalu ia menghempaskan tangan Nara.

“Kenapa nih?” Tanya Seungcheol yang tiba-tiba muncul.

“Cheol, mereka jahatin aku.”

Jeonghan menatap Nara tidak percaya.

“Han, lo gapapa?”

Nara terdiam. Seungcheol tidak perduli pada dirinya.

“Han gapapa mas, tapi tadi Seungkwan hampir ditampar sama Nara.”

Seungcheol menatap Nara dengan marah. “Bisa gak lo jaga sikap?”

“Cheol, tapi mereka duluan. Dia jambak rambut aku.” Ucap Nara sambil menunjuk Seungkwan

“Lo itu numpang disini. Jaga sikap lo.”

“Cheol, kamu ga percaya sama aku?”

“Benalu.”

Seungcheol langsung menarik tangan Jeonghan untuk pergi dari sana, diikuti oleh Hansol dan Seungkwan dibelakang mereka. Sebelum mereka menghilang dari pandangan Nara, Jeonghan sempat menoleh sebentar lalu tersenyum, sedangkan Nara mengepalkan tangannya.

“Lo liat aja Jeonghan, gue gak akan tinggal diem.”

Jeonghan dan Seungcheol masih terengah-engah akibat pelepasan keduanya, usia kandungan Jeonghan sudah cukup kuat untuk melayani nafsu suaminya.

Seungcheol mengelap keringat yang mengucur di pelipis Jeonghan

“Capek ya?”

Jeonghan mengangguk. “Udah lama engga jadinya capek.”

“Makasih ya sayang.” Seungcheol memajukan kepalanya lalu mengecup kening Jeonghan.

“Sama-sama mas, itu kan kewajiban Han ngelayanin mas.”

Seungcheol membawa Jeonghan kedalam pelukannya. “Kangen banget sama Han, sehari tidur ga meluk Han gak enak. Han bisa tidur sendiri?”

Jeonghan menggeleng. “Gak ada yang usap-usap perut Han.”

“Makannya disini aja ya sama mas.” Jeonghan mengangguk, mengecup dada telanjang Seungcheol.

Saat sedang asik bercengkrama, bel rumah mereka berbunyi.

“Siapa sih?” Tanya Seungcheol, ia tidak rela melepaskan Jeonghan sekarang.

“Paling Nara mas.”

“Hah?”

“Tadi Han balesin chatnya Nara di handphone mas.”

“Bales apa?”

“Foto.”

“Foto apa?”

“Foto mas di atas Han.” Jawab Jeonghan

Seungcheol terperangah. “Keliatan badan lo gak?”

“Keliatan lah. Kenapa sih? Mas gak mau Nara tau kita abis ngapain?”

“Bukan, mas cuma gak suka ada yang liat badan Han selain mas. Kan punya mas.”

“Alesan. Udah sana temuin dulu.”

Seungcheol mengeluarkan kejantanannya dari lubang Jeonghan—yup daritadi masih tertanam di sana😌

Saat Seungcheol akan memakai kembali pakaiannya, Jeonghan menahannya.

“Han mau pake baju mas. Mas pake baju lain aja.”

Seungcheol menurut, ia mengambil baju baru di lemarinya, lalu memakannya Jeonghan juga langsung memakainya. Mereka berdua keluar dan mendapati Nara ada di sana.

“Cheol?” Nara melihat Jeonghan yang memakai baju kebesaran dengan perut yang juga membesar.

“Kenapa Ra? Lo mau ngapain kesini?” Nara mencelos, sudah tidak ada lagi Seungcheol yang hangat untuknya.

“Baby mau di elus ayahnya.” Jeonghan memutar bola matanya jengah. Ayah katanya.

“Gue gak mau.” Jawab Seungcheol

“Cheol, please aku pengen banget.”

“Gapapa, elus aja Cheol.” Seungcheol menatap Jeonghan tidak percaya.

“Gue gak mau Han.”

“Nanti anaknya ileran Cheol. Kasian.”

“Gak perduli.” Jeonghan tersenyum menang, karena Seungcheol menolak Nara mentah-mentah.

“Kamu jahat banget, Cheol. Baby cuma mau di elus ayahnya.”

“Yang jelas bukan gue ayahnya.”

“Cheol.”

“Cheol jangan jahat gitu ah.” Jeonghan berjalan menuju Nara. “Gimana kalo kita ajak dia tinggal disini?”

“Han, yang bener aja dong lo.”

“Kan dia bilang ini anak lo, Cheol. Jadi ya siapa tau mau deket-deket sama ayahnya.”

“Han?”

Jeonghan kembali menatap Nara. “Lo tinggal disini, tapi gak nikah dulu sampe anak lo lahir. Kita tes DNA kalo bener anaknya Cheol, lo boleh nikah sama Seungcheol.”

“Han.”

“Mas, Han gapapa kalo di madu.”

“Gue yang gak mau. Jangan aneh-aneh lo ah.”

Jeonghan mendekat ke arah Seungcheol, ia mengelus-elus pipi suaminya. “Please, mas?”

Seungcheol tidak tau apa yang terjadi pada Jeonghan, tapi ia harus menyetujui permintaan Jeonghan. Akhirnya Seungcheol mengangguk.

“Besok lo pindah kesini.” Ucap Jeonghan pada Nara.

“Mas, lanjut yang semalem yuk?”

“Lo gak capek?”

Jeonghan menggeleng. “Biji mau ketemu ayahnya lagi.”

Seungcheol dengan sigap menggendong Jeonghan menuju kamar mereka. Jeonghan sempat melihat wajah kesal Nara saat melihat Seungcheol mengangkat tubuhnya.

“Nara, selamat datang di permainan Choi Jeonghan.”

Saat ini Soonyoung dan Jihoon—suami Soonyoung berada di rumah Jeonghan, setelah disambut oleh mama Jeonghan akhirnya Jeonghan berada di hadapan mereka sekarang.

“Kak Han apa kabar?” Tanya Jihoon

“Udah lebih baik ji.”

“Si baby nya juga sehat-sehat aja kan pak? Lagi pengen apa gitu, ntar saya cariin deh.” Ucap Soonyoung

“Gak usah bang nyong, lagi gak pengen apa-apa. Oh ya, ngomong-ngomong tumben banget kesini, ada apa?”

Jihoon dan Soonyoung saling berpandangan.

“Jadi gini pak Jeonghan, sebenernya saya sama Jihoon kesini itu ada yang mau saya bicarain ke bapak.”

“Tentang?”

“Pak bos.”

Jeonghan tau ke arah mana omongan Soonyoung.

“Bang nyong, maaf banget tapi kalo mau ngomongin masalah itu mending gak dulu ya? Han juga belum mau denger penjelasan apa-apa.”

“Tapi mau sampe kapan kak Han?”

Jeonghan terdiam.

“Sampe kak Han beneran cerai sama pak Seungcheol?”

“Gak, gue gak mau cerai dari Seungcheol.”

“Atau sampe pak Seungcheol nikah sama wanita itu?”

“Engga, gak ada yang boleh nikah sama Seungcheol kecuali gue.”

“Pak, bukan saya lancang mau ikut campur. Tapi pak bos kagak salah sama sekali. Saya saksinya.”

“Bang nyong ngomong gitu karena temennya Seungcheol kan.”

“Coba kita kesampingkan dulu masalah pertemanan saya sama pak bos. Saya disini bener-bener ngomong yang sejujur-jujurnya, kalau yang pak bos bilang itu gak salah pak. Saya, Mingyu, sama pak bos waktu itu emang minum bareng, tapi di sana ternyata kita ketemu sama Nara, dia mabuk tapi masih sadar sampe akhirnya dia ngedeketin meja kita, dia sadar ada pak bos di sana, pokonya dia lengket banget sama pak bos, tapi pak bos gak mau. Pas kita mau pulang, Nara minta di anter terus saya tanya sama pak bos mau di anter apa engga, pak bos jawab engga dia takut pak Jeonghan marah jadi ya gak kita angkut tapi setau saya dia emang lagi mabuk. Abis itu gak ada apa-apa lagi pak, saya nganterin pak bos ke rumah. Jujur saya, kalo boong ilang deh boneka maung saya.” Soonyoung menjelaskan panjang lebar, Jeonghan juga tidak menemukan tanda-tanda kalau Soonyoung bohong.

“Saya, masih gak tau bang nyong. Masih takut, Seungcheol kan pernah pergi juga ketemu Nara tanpa bilang sama saya. Takutnya dia ketemu pas besoknya.”

“Kak Han, coba deh kak Han percaya sama pak Seungcheol. Kak Han sendiri yang cerita kalo pak Seungcheol beberapa kali ke rumah untuk minta maaf, bahkan pas kemarin pak Seungcheol sampai berlutut ke kak Han, berarti kan pak Seungcheol tulus minta maaf.”

Jeonghan masih mencerna ucapan Soonyoung dan Jihoon.

“Saya sama Jihoon kagak mau maksa bapak, saya juga cuma ngomong apa adanya aja. Kalau masalah percaya atau engga itu urusan bapak.”

“Makasih ya bang nyong, Jihoon udah mau jujur.”

“Sama-sama kak Han, kita cuma mau ngomong itu aja. Kalo gitu kita pamit ya kak?”

“Gak makan dulu, ji?”

“Engga usah kak, Soonyoung ngajakin makan malem di luar.”

“Mau pacaran dulu kita pak.”

Jeonghan tersenyum lebar, lalu mengantar Jihoon dan Soonyoung keluar rumah. Setelah Jihoon dan Soonyoung pergi, Jeonghan menuju kamarnya, ia mengambil handphonenya.

“Halo, mas?”

Seungcheol dan Jeonghan sampai di rumah bundanya, mereka langsung bergegas masuk karena bunda bilang ada Nara di sana dan benar saja, ada Nara yang sedang menangis di pelukan bunda.

“Bun?”

“Cheol, kamu bisa jelasin gak ini ada apa?”

“Harusnya Cheol gak sih Bun yang tanya, ini ada apa? Kenapa Nara nangis-nangis gini?”

“Nara hamil Cheol.”

“Terus?”

“Ini anak kamu, Cheol.”

Brukkkk

Jeonghan pingsan ketika ia mendengar ucapan Nara. Ia terjatuh tepat di atas sofa.

“Jeonghan.” Seungcheol langsung membopong Jeonghan menuju kamar mereka.

“Sayang, bangun.” Seungcheol mencoba menyadarkan Jeonghan, bunda memberikannya minyak angin bermaksud mungkin akan cepat sadar. Tapi Jeonghan belum juga menunjukkan tanda-tanda ia akan sadar.

“Cheol, ngobrol dulu di bawah ya? Ada ayah di sana.”

“Cheol, harus jagain Han Bun. Gak mungkin nanti dia sadar Cheol gak ada.”

“Mas, biarin gue aja yang jaga kak Han.” Ucap Hansol

Seungcheol dengan engga meninggalkan Jeonghan yang masih pingsan, ia berjalan keluar menuju ruang tamu dimana ada ayah dan mantan kekasihnya.

“Kurang ajar ya lo Ra, bisa-bisanya lo fitnah gue kayak gini.” Ucap Seungcheol sambil menunjuk-nunjuk ke arah Nara yang masih menunduk. Seungcheol tidak pernah kasar pada wanita itu, ia bahkan tidak pernah berbicara “lo-gue” pada Nara.

“Cheol.” Ucap ayahnya

“Cheol gak salah ayah, Cheol gak pernah berbuat sama dia. Satu-satunya orang yang Cheol hamilin ya Jeonghan. Cheol berani sumpah, ayah.” Seungcheol berbicara dengan keras, dan menangis. Seungcheol terduduk lemas di lantai, sang bunda mencoba menenangkan anak sulungnya itu, ia juga yakin kalau Seungcheol tidak akan melakukan hal seperti itu.

“Nara, bisa ceritakan sama om kejadian aslinya?”

“Waktu itu 2 minggu sebelum Seungcheol menikah, dia dateng ke Nara om. Dia minta tolong awalnya sama Nara, tapi ternyata dia jebak Nara. Dan sekarang dia bertingkah seakan gak terjadi apa-apa.”

“Ra....” Seungcheol menatap Nara tidak percaya.

“Jahat lo Seungcheol.” Semua orang menoleh dan mendapati Jeonghan di sana berdiri dibantu oleh Hansol.

“Han, ini gak seperti yang kamu pikirin. Mas di jebak Han, mas gak pernah ngelakuin itu Han. Percaya sama mas Han.”

“Gue salah apa sih sama lo, Cheol? Semuanya gue kasih ke elo, termasuk masa depan gue. Tapi apa, ini yang gue dapet? Pengkhianatan? Iya?”

“Han, gue ga pernah ngelakuin itu.”

“Kamu mabuk Seungcheol, kamu jelas gak inget apa-apa.”

“Gue mau cerai.”

Seungcheol menggeleng keras, ia bahkan sudah bersimpuh di depan Jeonghan, memeluk kaki suaminya sambil bersumpah kalau ia tidak melakukan itu dan ia tidak mau bercerai dengan Jeonghan.

“Hansol anterin kakak pulang.” Ucap Jeonghan, ia mencoba melepaskan Seungcheol yang ada dibawahnya.

“Han, bisa di omongin baik-baik dulu ya sayang. Pamali sayang lagi hamil ngomong begitu.”

“Bunda, Han gak bisa kalau harus di madu. Lebih baik Han yang mundur.”

“Jeonghan, mas mohon. Mas gak pernah begitu sayang. Mas sayang sekali sama Jeonghan, tidak mungkin mas seperti itu.”

“Dulu lo pernah lupa sama gue karena dia Cheol, lo ketemu dia tapi gue gak tau. Siapa tau yang kemarin juga kayak gitu, lo ketemu dia tanpa gue tau.” Jeonghan bergegas pergi dengan Hansol yang masih menuntunnya. Lalu ia berdiri di depan Nara.

“Inikan yang lo pengen? Lo ngambil Seungcheol dari gue.”

“Jeonghan, anak aku butuh ayahnya.”.

“Terus menurut lo anak gue gak butuh ayahnya?”

“Kamu yang rebut Seungcheol dari aku, tapi kamu berlagak seperti kamu yang paling tersakiti.”

“Lo yang buang Seungcheol, kenapa jadi gue yang di salahin?”

“Aku gak pernah buang Seungcheol.”

Jeonghan menyeringai. “Aneh, gak kedengaran kabar beritanya tiba-tiba ngaku hamil anak Seungcheol. Lo yakin itu anak dia?”

Jeonghan langsung pergi tanpa menunggu jawaban Nara. Sementara Seungcheol, ia masih menangis meratapi kepergian Jeonghan. Kakinya kaku, ia bahkan tidak bisa menggerakkan kakinya apalagi harus mengejar Jeonghan.

“Mas akan buktikan ke kamu Han, kalo mas gak salah. Sayang tunggu mas ya, biji ayah titip papa sebentar ya sayang.”

Seungcheol dan Jeonghan adalah dua sahabat, bisa dibilang mereka bersama dari bayi karena kedua orang tua mereka berteman. Seungcheol dan Jeonghan sudah melewati semuanya bersama-sama.

Keduanya berteman baik tanpa melibatkan perasaan, sampai suatu ketika Jeonghan lah yang pertama kali merasakan kalau ia menatap Seungcheol sudah seperti bukan sahabat lagi, tapi sebagai laki-laki. Jelas ini tidak baik menurutnya, itu malah akan membuat hubungan ia dan Seungcheol merenggang. Ia tidak mau kehilangan Seungcheol. Satu-satunya cara adalah menjadi pendengar yang baik ketika Seungcheol jatuh cinta dan patah hati. Itu memang fungsinya sahabat—menurutnya.

Jeonghan menutup rapat-rapat perasaannya, ia mencoba menjadi tegar ketika melihat Seungcheol tersenyum bukan karenanya, melihat Seungcheol menggenggam tangan lain dan melihat Seungcheol menatap penuh damba pada seseorang yang bukan ia orangnya. Jisoo, sahabatnya yang lain menyarankan agar Jeonghan memberitahu perasaannya pada Seungcheol, tapi jelas Jeonghan menolak mentah-mentah saran Jisoo. Sekali lagi, ia tidak mau kehilangan Seungcheol.

Tapi yang Jeonghan tidak ketahui adalah, bahwa Seungcheol juga mempunyai perasaan yang sama terhadapnya, mereka bedua berpikir sama dan akhirnya mereka berdua sama-sama memendam perasaan mereka.

Seungcheol sudah sering bergonta-ganti pasangan, tapi berakhir retak karena Seungcheol yang selalu mengutamakan Jeonghan. Yang terakhir adalah Nara, ia adalah orang terakhir yang menjadi mantan kekasih Seungcheol, keduanya berpisah karena Nara sudah tidak kuat dengan Seungcheol yang selalu menomorduakannya, ia memutuskan Seungcheol berniat agar Seungcheol mengejarnya tapi apa yang ia dapat? Seungcheol malah menikah dengan Jeonghan, orang yang paling ia benci.

Nara membenci Jeonghan karena Jeonghan sudah mengambil apa yang harusnya menjadi miliknya, ia bahkan bertekad untuk mengambil Seungcheol lagi dari kehidupan Jeonghan.

Seungcheol dan Nayeon saat ini sudah berada di lobby salah satu hotel bintang 5. Nayeon dengan bangga ia memeluk lengan Seungcheol dengan wajah berseri. Setelah check-in keduanya menuju salah satu suite room di hotel itu.

Seungcheol mempersilahkan Nayeon masih lebih dulu.

“Bapak yakin kita disini?”

“Iya dong, saya gak biasa pake room biasa. Dan saya gak mau ini cuma setengah-setengah.”

“Terus bapak mau mandi dulu atau mau langsung?” Tanya Nayeon dengan wajah memerah.

“Tunggu bentar ya?”

Seungcheol duduk di sofa kamar itu, ia menyesap wine yang di sediakan. Nayeon sendiri duduk sambil memperhatikan Seungcheol yang sedang menikmati winenya. Menurut Nayeon, Seungcheol sangat seksi saat meminum wine.

“Mau?” Tanya Seungcheol saat ia merasa Nayeon memperhatikannya.

“Boleh pak.” Nayeon mendekat ke arah Seungcheol, ia mengambil gelas yang Seungcheol berikan lalu menyesapnya dengan menggoda. Menurutnya, Seungcheol akan tergoda dengan ia seperti itu, dan mempercepat kegiatan mereka.

1 gelas, Nayeon masih bisa tersenyum menggoda pada Seungcheol.

2 gelas, masih tetap sama.

3 gelas, Nayeon memegangi kepalanya yang terasa sakit.

“Kenapa Nayeon?” Tanya Seungcheol

“Pak, kepala saya pusing banget.”

“Oh yaudah, kamu tidur aja.”

“Tapi kita?”

“Gapapa kan kalo nanti saya lakuin kalo kamu gak sadar?”

Nayeon masih bisa mengerti ucapan Seungcheol, ia menanggapinya dengan anggukan walaupun kepalanya terasa sakit sekali.

“Lakuin apa yang mau bapak lakuin. Lakuin yang gak bapak dapet dari suami bapak akhir-akhir ini.”

Lalu sedetik kemudian Nayeon jatuh pingsan.

. . . . . . . . .

Nayeon terbangun, dan mendapati tangannya terikat lalu ia menatap ada dua laki-laki di depannya, Seungcheol dan Mingyu.

“Pak Seungcheol, kenapa saya di iket pak?” Tanya Nayeon, sambil mencoba melepaskan ikatan di tangannya.

“Oh udah sadar?” Seungcheol berdiri dan mendekati Nayeon, ia mencengkram kuat rahang wanita itu.

“Masih tanya kenapa kamu saya iket?”

“Salah saya apa pak?”

“Masih tanya juga salah kamu? Kamu ini bodoh atau bagaimana sih? Saya cuma kasih kamu obat tidur, belum bikin kamu geger otak.”

Nayeon masih berusaha untuk melepaskan ikatan ditangannya.

“Nayeon.” Nayeon menatap wajah Seungcheol yang menatapnya dingin.

“Saya udah ingetin berapa kali sama kamu untuk tidak mengusik ketenangan hidup saya, apalagi suami saya. Saya tidak segan-segan buat perhitungan dengan orang-orang yang membuat suami saya menangis.”

Nayeon sudah menangis, ia merasakan sakit di rahang dan tangannya.

“Saya gak segan-segan hancurkan kamu sampai akarnya. Kamu punya 2 adik yang masih kecil-kecil, ayah kamu sudah tidak ada, ibu kamu hanya seorang ibu rumah tangga.”

“Jangan sentuh keluarga saya.”

“Saya gak boleh sentuh keluarga kamu, tapi kamu bikin suami saya menangis.”

“Kalo bapak ngelakuin apa yang saya lakuin, apa bedanya bapak sama saya?”

“Jelas beda, kamu bikin suami saya menangis dan saya bikin hidup kamu menderita. Beda kan?”

“Saya mohon sama bapak jangan sakitin ibu dan adik-adik saya. Bapak boleh sakitin saya aja.”

“Gak sepadan dong sama yang saya rasain? Saya juga pengen kamu sakit hati liat keluarga kamu menderita.”

Nayeon makin merasakan kalau cengkraman tangan Seungcheol makin mengerat, ia bahkan merasa kalau sebentar lagi jari-jari Seungcheol yang ada di wajahnya akan menembus pipinya.

“Maaf pak.”

“Brengsek, lo buang-buang waktu gue anjing. Harusnya sekarang gue udah di kamar sama suami gue, tapi gue malah ngurusin benalu kayak lo.”

Seungcheol menghempaskan wajah Nayeon dengan kuat, sampai Nayeon merasakan sakit di kepalanya. Lalu Seungcheol bangkit dan menuju Mingyu.

“Lo urusin deh Ming, gue muak banget. Main bersih aja.”

“Siap pak.”

Seungcheol mengambil suitnya dan langsung pergi dari kamar itu meninggalkan Nayeon dan Mingyu.

“Gue pikir lo ngerti apa yang gue bilang kemaren. Kalo kayak gini lo sama aja bikin kerjaan gue nambah.” Ucap Mingyu dingin.

Mingyu menampar wajah Nayeon sebanyak 4x sampai wanita itu hampir pingsan. Lalu Mingyu melepaskan ikatan di tangan Nayeon.

“Ini belum ada apa-apanya. Jangan sampe lo ngadu sama siapapun, kecuali kalo lo mau keluarga lo menderita.”

Lalu Mingyu pergi meninggalkan Nayeon yang menangis sambil memegangi pipinya yang terasa sangat perih. Mingyu itu laki-laki, dan tenaganya kuat. Lalu dengan langkah tertatih, Nayeon keluar dari kamar itu, untungnya ia membawa masker untuk melindungi wajahnya agar tidak terlihat oleh siapapun.