thatausaha

Jeonghan sudah duduk manis di samping Seungcheol.

“Ngobrol apa aja tadi sama Nando?”

“Banyak.”

“Salah satunya?”

“Dia nanya sih.”

“Nanya apa?”

“Gue mau gak jadi pacarnya dia.”

Secara tidak sengaja Seungcheol menginjak rem dengan sedikit lebih kuat, hingga Jeonghan terkejut.

“Cheol ih.”

“Sorry Han, gue kaget.”

“Untung gue pake seat belt.”

“Terus lo jawab apa Han?”

“Jawab apa?”

“Ya itu pertanyaan si Nando.”

“Oh, gue jawab gue gak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena gue lagi suka sama orang lain.”

Seungcheol terdiam sejenak. “Siapa?”

“Kepo.”

Lalu Seungcheol tidak lagi membuka mulutnya.

Jeonghan sudah duduk manis di samping Seungcheol.

“Ngobrol apa aja tadi sama Nando?”

“Banyak.”

“Salah satunya?”

“Dia nanya sih.”

“Nanya apa?”

“Gue mau gak jadi pacarnya dia.”

Secara tidak sengaja Seungcheol menginjak rem dengan sedikit lebih kuat, hingga Jeonghan terkejut.

“Cheol ih.”

“Sorry Han, gue kaget.”

“Untung gue pake seat belt.”

“Terus lo jawab apa Han?”

“Jawab apa?”

“Ya itu pertanyaan si Nando.”

“Oh, gue jawab gue gak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena gue lagi suka sama orang lain.”

Seungcheol terdiam sejenak. “Siapa?”

“Kepo.”

Lalu Seungcheol tidak lagi membuka mulutnya.

“Ah ah ah.”

Seungcheol menumbuk Jeonghan dengan cepat, ia terus menggerakkan pinggulnya sedangkan Jeonghan terus meracau nikmat ketika Seungcheol berhasil mengenai sweet spotnya.

“Cheollllllll hmm.” Jeonghan melenguh ketika Seungcheol kembali mengencangkan tumbukannya.

“Gue gak ngambek Jeonghan.”

Jeonghan menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri, ia juga merasakan pusing di kepalanya merasakan kenikmatan yang Seungcheol berikan. Seungcheol merasakan lubang Jeonghan mengeta.

“Jeonghan anjing.” Ia mengencangkan gerakan pinggulnya.

“Ahhh seungcheolllllllll.”

“Jeonghaaaaannnnn arghhhh.”

Keduanya sama-sama mencapai puncaknya.

. . . . . . . .

Saat ini keduanya sedang memberikan kehangatan satu sama lain.

“Cheol.”

“Hm?”

“Gapapa kan gue pergi sama Nando?”

“Bisa gak, gak usah?”

“Gue udah keburu janji.”

“Yaudah.”

“Yaudah apa?”

“Yaudah pergi aja.”

“Bentar dong kok.”

“Oke.”

Lalu keduanya sama-sama terdiam.

“Han?”

“Hm?”

“Jangan sama siapapun.”

“Iya.”

Lalu keduanya saling mengeratkan pelukan mereka.

Saat ini posisinya adalah Seungcheol duduk di sebelah Jeonghan dan di depan mereka ada Nando—seseorang yang menyukai Jeonghan.

Nando beberapa kali melayangkan pertanyaan-pertanyaan yang menurut Seungcheol terlalu basa-basi.

“Jadi, weekend ini bisa gak Han jalan bareng?” Tanya Nando. Jeonghan melirik ke arah Seungcheol yang sudah memasang muka masam.

“Bisa nan.”

Seungcheol melihat Nando yang tersenyum lebar ketika mendengar jawaban Jeonghan.

Seungcheol berdiri dari kursinya.

“Mau kemana?” Tanya Jeonghan ketika melihat Seungcheol akan pergi.

“Muntah.”

Seungcheol mendongakkan kepalanya ketika mulut hangat Jeonghan mengulum kejantanannya, ia meremas rambut Jeonghan menyalurkan afeksinya. Jeonghan sendiri dibawah melenguh kecil ketika kejantanan Seungcheol mengenai kerongkongannya.

Tok tok tok tok

Keduanya melihat siapa yang mengetuk kaca jendela mobil Seungcheol. Ternyata ada Soonyoung di sana, ia tersenyum meremehkan kedua insan di dalam mobil itu.

“Gak punya modal lo bedua ngewe di parkiran?” Tanya Soonyoung dengan berteriak

“Anjing emang lo nyong. Pergi gak.” Ucap Seungcheol, sedangkan Jeonghan ia merapihkan pakaiannya yang berantakan.

“Ngewe mulu.” Ucap Soonyoung, lalu ia pergi meninggalkan parkiran.

“Nyong anjing, udah mau keluar malah kagak jadi. Tai.” Ucap Seungcheol kesal, ia merapihkan kembali celananya.

“Gak mau di keluarin aja?” Tanya Jeonghan

“Udah turun lagi, gak mood. Ntar malem aja yak, di apart gue.”

“Engga tau, kalo ga capek.”

“Semoga engga capek, biar gue aja yang bikin capek.”

“Najis lo. Ayo masuk ah.”

“Cium dulu Han.”

Cup

“Dah.”

“Dikit amat.”

“Ntar kalo banyak, ngewe kita.”

Seungcheol tertawa, lalu ia kembali mengecup bibir Jeonghan sebelum keduanya masuk ke kantor.

Minghao berlari secepat mungkin untuk menuju ruang meeting, dimana ada Seungcheol dan beberapa pemegang saham yang sedang meeting.

Tanpa mengetuk pintu, Minghao membuka pintu dan langsung menjadi pusat perhatian semua yang ada di dalam.

“Hao, kamu ngapain?” Tanya Mingyu, ia melihat pujaan hatinya terengah-engah karena mungkin lari cepat.

“Maaf, maaf pak Seungcheol. Tapi saya baru dapet kabar dari orang rumah, kalau pak Jeonghan mau melahirkan.”

Tanpa pikir panjang Seungcheol keluar dari ruangan itu, Hao mengikutinya sedangkan Mingyu menutup rapat hari itu.

“Pak, langsung ke rumah sakit aja. Tadi saya udah suruh yang di rumah ke rumah sakit diamond light.” Ucap Hao, ia membukakan pintu mobil untuk Seungcheol. Seungcheol menatapnya.

“Saya gak bisa biarin bapak nyetir pas panik gini. Jadi biar saya aja. Supir bapak saya suruh menjemput orang tua bapak dan pak Jeonghan.” Seungcheol lagi-lagi tidak menjawab, ia langsung masuk ke dalam mobil yang dipikirannya adalah Jeonghan. Jeonghan pasti kesakitan.

“Tunggu ayah ya sayang-sayang ayah.”

. . . . . . . .

Jeonghan sudah masuk ke ruangan bersalin, ia terus-terusan berteriak sakit sambil terus memanggil-manggil nama Seungcheol.

“Mas Seungcheol.” Air mata Jeonghan sudah keluar, ia benar-benar tidak kuat dengan sakit yang ia rasakan.

“Pak Jeonghan, kalo mau ngeden udah boleh.” Kata dokter yang menanganinya.

“Jeonghan menggeleng. “Mau nungguin mas Seungcheol.”

Jeonghan terus meremas bantal yang ia pakai, untuk mengurangi rasa sakit.

Lalu beberapa menit kemudian, pintu ruangan itu terbuka dan muncullah Seungcheol di sana.

“Sayang.” Seungcheol menghampiri Jeonghan yang sudah banjir keringat

“Sakit mas, Han gak kuat.” Jeonghan menggenggam kuat jemari Seungcheol.

“Kuat sayang, kan biji mau keluar. Katanya mau liat biji? Mau liburan bertiga. Kuat ya? Kan sama mas disini.” Seungcheol terus menyemangati Jeonghan.

“Sakit.” Seungcheol mengecup kening Jeonghan, ia merapalkan doa-doa untuk Jeonghan. Ia juga terus menyemangati Jeonghan, bagaimana pun hanya itu yang bisa ia lakukan.

“Pak Jeonghan, ngeden ya? Ikutin instruksi saya.”

Seungcheol menggenggam erat tangan Jeonghan, ia mengelap wajah Jeonghan yang berkeringat.

“Han bisa ya sayang, demi mas sama biji ya sayang.”

“Pak, Jeonghan ngeden ya.”

“Arghhhh mas.”

. . . . . . . . .

Hao duduk lemas di kursi tunggu yang lumayan jauh dari ruangan bersalin, sejujurnya ia juga panik tapi ia tidak bisa menunjukkan di depan bos nya—hao sudah bekerja dengan Seungcheol menjadi sekretaris 2, tugasnya menggantikan Mingyu jika Mingyu sedang dinas luar.

“Minum dulu Hao.” Mingyu memberikan sebotol minuman kepada Hao.

“Makasih gu.” Hao menenggak minuman itu hingga tinggal setengah.

Mingyu melihat tangan Hao yang masih bergetar, mungkin paniknya belum hilang. Hao menatapnya, tapi ia tidak menarik tangannya, ia malah balik menggenggam tangan Mingyu.

“Tadi pak Seungcheol panik banget, gue juga panik.” Ucap Hao, kali ini ia menyenderkan kepalanya di bahu Mingyu

“Namanya suami mau lahiran, gue juga nanti kalo punya suami terus mau lahiran juga begitu. Apalagi anak pertama.”

“Iya sih, gak paham juga gue.”

“Mau gak biar paham?”

“Apa?”

“Nikah sama gue yuk?”

. . . . . . . . . .

Seungcheol keluar dari ruangan bersalin dengan badan lemas, di depan ruangan sudah ada keluarganya yang menunggu.

Seungcheol berjalan ke arah bundanya, ia memeluk sang bunda dan menangis.

“Cheol, jadi ayah bun. Anak Cheol cantik banget Bun kayak Jeonghan.”

Bunda dan mamanya menitikkan air mata mendengar ucapan Seungcheol, kedua ayahnya bersyukur. Ada Hansol dan Seungkwan juga di sana.

“Selamat ya, mas.”

Seungcheol mengeratkan pelukannya pada bundanya.

“Han kesakitan banget bunda, Cheol gak tega liatnya. Maaf kalo Cheol suka bikin bunda atau mama sedih.”

“Mas ga pernah bikin bunda sama mama sedih kok. Mas selalu bikin bangga bunda sama mama.” Ucap mama Yoon sambil mengelus-elus punggung menantunya.

Saat suasana sedang haru biru, dokter yang membantu persalinan Jeonghan keluar dari ruangan itu.

“Pak Seungcheol, pak Jeonghan sudah bisa dibawa ke ruangan rawat inapnya ya. Sekali lagi saya ucapkan selamat untuk pak Seungcheol dan pak Jeonghan.”

“Terima kasih dokter sudah membantu suami saya.”

“Sudah kewajiban saya. Kalau begitu saya permisi dulu.”

. . . . . . . . . .

Saat ini hanya tinggal Seungcheol dan Jeonghan di kamar rawat itu, karena kedua orang tua Seungcheol dan Jeonghan, Hansol, Seungkwan bahkan Mingyu dan Hao sudah pulang karena sudah malam dan jam besuk juga sudah habis.

“Mas, minta tolong ambilin minum.” Ucap Jeonghan, Seungcheol dengan sigap membantu Jeonghan bangun dan mengambilkan air minum untuk Jeonghan.

“Makasih mas.” Ucap Jeonghan ketika ia sudah selesai minum.

“Masih sakit ya yang?”

“Dikit.”

“Han, Makasih ya.”

“Makasih kenapa?”

“Makasih udah bertahan sampe si biji keluar.”

Jeonghan tersenyum, kalau ia bisa berjalan mungkin ia sudah memukul Seungcheol.

“Sama-sama mas, tadi sakit gak Han cakar?”

“Engga dong, mas kan kuat. Lagian masih sakitan kamu.”

“Huum sakit mas, punya anaknya ntar-ntaran lagi ya mas.”

“Han, lo bukan mesin pencetak anak. Gue kalo mau punya anak lagi ya rembukan dulu sama lo. Gue ikutin maunya lo aja, kalo udah siap punya anak lagi tinggal bilang, gue siap ngehamilin lagi.”

Jeonghan mencubit lengan Seungcheol pelan. “Bahasanya ih.”

“Mau dikasih nama siapa yang?”

“Mas belum ada ide?”

Seungcheol menggeleng.

“Han ada sih, cuma gak tau mas suka apa engga.”

“Apa?”

“Areum. Choi Areum.”

“Artinya apaan?”

“Cantik.”

Seungcheol tersenyum. “Kayak papanya?”

“Iya dong. Gimana mas setuju gak?”

“Setuju sayang.”

“Hehehehe oke. Cium Han dong.”

Jeonghan memejamkan matanya ketika bibir Seungcheol menyentuh bibirnya. Ia meremas rambut belakang Seungcheol ketika ia merasa ia menyukai saat Seungcheol menyentuhnya.

“Udah ah, ntar bablas.” Ucap Seungcheol saat menyudahi ciuman mereka.

“Tidur ya.” Jeonghan mengangguk, Seungcheol mengecup kening Jeonghan.

“Selamat tidur papa.”

Lalu ia beralih ke box bayi dimana anaknya berada.

“Selamat tidur, lontong.”

Seungcheol pergi pagi-pagi sekali, bahkan tanpa pamit pada Jeonghan dan Jisoo.

Jisoo keluar kamar terlebih dahulu, beberapa detik kemudian Jeonghan keluar dari kamarnya. Lalu mereka saling berpandangan, tapi sedetik kemudian Jeonghan memutus pandangan mereka.

“Cheol, udah berangkat ya yang?” Tanya Jisoo, Jeonghan hanya mengangguk. Sebenernya ingin sekali ia berlari ke arah Jisoo dan memeluk laki-laki yang tidak ia peluk semalaman.

“Kamu mau sarapan apa?”

“Sarapan di kantor aja.” Jisoo mengangguk kaku, lalu ia mengambil dua gelas kosong dan berjalan menuju kulkas untuk mengambil susu. Lalu ia menuangkan ke dua gelas kosong tadi. Lalu memberikannya pada Jeonghan, Jeonghan menerimanya dan langsung meminumnya. Keheningan menyapa mereka.b

“Yang?”

Jeonghan hanya berdehem.

“Kangen.”

Satu kata yang hampir saja membuat air mata Jeonghan menetes, Jeonghan meremat gelas yang ia pegang.

Jisoo mendekat ke arah Jeonghan, dengan pelan ia mencoba untuk mengambil tangan Jeonghan—ia takut Jeonghan menolaknya. Tapi tidak, Jeonghan tidak menolaknya bahkan ketika Jisoo sudah berhasil menggenggam tangan Jeonghan, Jeonghan meremat tangannya. Itu artinya Jeonghan sudah mulai memaafkannya.

“Maaf yang, maaf aku buat kamu sama Cheol cemburu. Niat aku cuma mau bantuin bos aku aja, tapi ternyata niat aku malah bikin kalian berdua sakit hati. Maaf ya yang, aku kurang peka sama kalian.

Jeonghan menangis karena ucapan Jisoo, lalu ia memeluk Jisoo dengan erat.

“Maaf aku juga terlalu kekanak-kanakan.” Jisoo membalas pelukan Jeonghan dengan erat juga.

“Engga sayang, kamu berhak kayak gitu. Maaf ya.” Jeonghan duduk di atas pangkuan Jisoo, ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Jisoo, Jisoo mengelus-elus punggungnya dengan lembut.

“Soo?”

“Hm?”

“Aku pengen kamu.”

Jisoo mengerti apa yang di ucapkan Jeonghan.

“Bolos berarti nih?”

“Bolos sehari aja.”

“Yaudah. Ke kamar Cheol aja ya? Pelumas sama pengamannya di sana soalnya.” Jeonghan mengangguk.

“Gendong.”

Dengan sigap Jisoo menggendong Jeonghan menuju kamar Seungcheol. Sesampainya di sana Jisoo merebahkan tubuh Jeonghan dengan pelan.

“Aku bales chat nya Cheol dulu ya?”

Jeonghan mengangguk. “Bilang juga kita mau ngapain.”

“Iya sayang.”

Sebuah mobil mewah terparkir di depan rumah Seungcheol, Seungcheol menunggu sampai kedua orang di dalamnya keluar.

“Cheol.” Jisoo menyapa Seungcheol, lalu ia berlari kecil dan memeluk Seungcheol juga memberikan kecupan di pipi Seungcheol.

“Jam 8 lewat 5.” Ucap Seungcheol

“Maaf sayang, telat dikit.”

Lalu atensi Seungcheol mengarah kepada seseorang yang sedang memperhatikan mereka. Orang itu mendekat dan mengulurkan tangannya.

“Seokmin.”

Seungcheol membalas jabatan tangan Seokmin. “Seungcheol, pacarnya Jisoo.”

Jisoo menatap Seokmin dengan tatapan tidak enak, karena Seungcheol menekankan kata “pacar Jisoo”.

“Maaf saya ajak pacarnya untuk bantu saya cari kado buat mama saya.”

Seungcheol mengangguk. “Lain kali sama orang lain aja ya pak? Sekretaris bapak ada kan?”

“Cheol.” Jisoo memperingati Seungcheol untuk tidak keterlaluan.

“Oh iya, sekali lagi saya minta maaf. Kalau begitu, Jisoo saya pamit dulu, terima kasih dan pak Seungcheol saya pamit.” Tanpa menunggu jawaban Seungcheol dan Jisoo, Seokmin bergegas pergi.

Seungcheol merangkul pinggang Jisoo untuk masuk ke dalam.

“Cheol, kan gak harus begitu.” Ucap Jisoo saat mereka masuk.

“Aku ngapain? Aku cuma bilang yang sebenarnya.”

“Ya iya, tapi gak harus gitu.”

“Udahlah Soo, aku gak mau berantem sama kamu.”

Jisoo dan Seungcheol masuk ke dalam dan mendapati Jeonghan ada di ruang tamu sedang menonton televisi sambil memakan cemilannya.

“Han?”

Jeonghan menoleh dan bergegas pergi, sebelum masuk kamarnya. “Tidur sama aku Cheol.” Lalu ia menutup pintu kamarnya tanpa menunggu jawaban Seungcheol.

Seungcheol menatap Jisoo yang menatap pintu kamar Jeonghan yang tertutup dengan tatapan sedih. Seungcheol mengeratkan rangkulan tangannya di pinggang Jisoo.

“Ayo aku kelonin kamu dulu.”

Jisoo memukul dada Seungcheol dengan pelan. “Emang aku bayi.”

“Bayinya aku.”

“Han gimana?”

“Aku tetep tidur sama Han, tapi ngelonin kamu dulu. Kamu duluan deh, aku bilang Han dulu daripada marah, moodnya lagi jelek.”

“Maaf ya sayang aku buat moodnya Han jelek.”

Seungcheol mengecup bibir Jisoo. “Gapapa, jangan ngerasa bersalah terus. Bentar ya yang.”

Seungcheol pergi ke kamar Jeonghan, ia mendapati Jeonghan sedang tidur tengkurap. Seungcheol mengelus kepala Jeonghan.

“Yang, aku ngelonin Jisoo dulu ya?”

Jeonghan menoleh. “Emangnya dia bayi?”

“Dia bayi aku, kamu juga.”

“Terserah deh, mau tidur di sana juga gapapa.” Jeonghan membelakangi Seungcheol.

“Aku ngelonin doang, ntar tidurnya tetep sama kamu.” Ucap Seungcheol, ia mengecup kening Jeonghan lalu keluar dari kamar itu dan menuju kamar Jisoo.

Sesampainya di dalam kamar Jisoo, Seungcheol mendengar suara gemericik air dari kamar mandi dan ia yakin Jisoo sedang mandi. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menunggu Jisoo selesai mandi.

Beberapa menit kemudian Jisoo selesai mandi, ia keluar dan menemukan kekasihnya di sana.

“Kirain gak boleh sama Han.”

“Ngambek sih dia, tapi biarin deh. Sini yang.” Jisoo merangkak naik ke ranjang dan masuk ke dalam pelukan Seungcheol.

“Kangen banget.” Ucap Seungcheol sambil mengeratkan pelukannya.

“Cheol, Han gimana? Marah banget ya sama aku?”

“Gapapa sayang, ngambek dikit dia.”

“Maaf ya.”

“Sayang.”

“Ya?”

“Aku cemburu.”

Jisoo tersenyum, lalu ia mendongakkan kepalanya dan mengecup bibir Seungcheol.

“Aku cemburu pas liat kamu di anter sama cowok lain, cemburu pas kamu senyum sama cowok lain, cemburu waktu tau kalo ada orang lain yang denger suara ketawa kamu. Aku cemburu banget sayang, tapi aku gak mau bikin kamu tertekan, aku gak mau kamu sedih.”

“Seungcheol, maafin aku ya. Maaf karena aku bikin kamu sama Han cemburu, aku gak maksud kayak gitu. Aku sayangnya cuma sama kamu, sama Han gak ada yang lain.”

Seungcheol mencium bibir Jisoo, ia menuangkan kecemburuannya pada bibir Jisoo sampai bibir Jisoo bengkak karena ulahnya.

“Besok aku keluar kota.”

“Hah? Ngapain? Kemana?”

“Ada kerjaan di Bandung.”

“Berapa lama?”

“Sehari semalem doang. Besoknya aku udah pulang. Kamu mau dibawain apa?”

“Mau kamu pulang dengan selamat aja.”

Seungcheol tersenyum, lalu mencium kembali bibir Jisoo.

“Siap rusa-ku. Ayo bobo ah, besok berangkat sendiri gapapa kan?”

“Gapapa sayang.”

“Selamat bobok sayangnya singa sama kelinci.” Jisoo terlelap, ketika ia merasakan tangan Seungcheol menepuk-nepuk pelan pantatnya—seperti bayi. Dan terakhir yang ia rasakan sebelum benar-benar terlelap adalah kecupan di keningnya.

. . . . . . . . .

Setelah Jisoo terlelap dalam tidurnya, Seungcheol menuju kamar Jeonghan. Ia melihat Jeonghan menutup matanya tapi tidak tertidur. Lalu Seungcheol memeluk Jeonghan, mengecup kening Jeonghan.

“Udah bobok?”

Jeonghan menggeleng. Ia mengeratkan pelukannya, menghirup aroma tubuh Seungcheol yang bercampur dengan wangi sabun yang biasa Jisoo gunakan.

“Bau Jisoo.”

“Biarin ah, bau pacar sendiri.”

“Udah tidur dia?”

“Udah, buktinya aku bisa kesini.”

“Uh suami siaga.”

“Sayang?”

“Hm?”

“Kamu cemburu banget ya Jisoo pergi sama orang lain?”

Jeonghan terdiam, tapi ia mengeratkan pelukannya.

“Aku juga sama kamu yang, cemburu banget aku. Kalo gak ada Jisoo tadi udah aku pukul kali tuh bosnya.” Jeonghan harusnya sadar, kalau bukan hanya dia yang tidak suka Jisoo pergi dengan orang lain, tapi Seungcheol juga.

“Aku kayak anak kecil ya Cheol?”

“Engga sayang, cara kamu nunjukin rasa cemburu kamu ya kayak gitu.”

“Maaf ya Cheol.”

“Gapapa sayang, aku ngerti. Oh ya, besok aku keluar kota ya? Ke Bandung ada kerjaan.”

“Hah? Berapa lama?”

“Sehari semalam doang. Besoknya aku udah pulang. Tapi paling sore.”

“Aku ditinggal berdua sama Jisoo doang?”

“Emang kenapa? Jisoo kan pacar kamu juga. Tapi kalo kamu gak mau ya kamu nginep rumah mama dulu aja, tapi aku gak mau ya kalian berantem lebih dari 3 hari. Kalo lebih, aku yang marah.”

Jeonghan mengeratkan pelukannya. “Jangan marah, yang.”

“Yaudah tidur aja yuk? Besok aku berangkat pagi.”

“Aku gimana?”

“Bareng Jisoo aja, kalo ga mau ya naik taksi online. Nanti aku tf.”

Jeonghan mengerucutkan bibirnya, ia masih merasa canggung dengan Jisoo.

“Bobo yang.”

Seungcheol melakukan hal yang sama kepada Jeonghan, ia menepuk-nepuk pantat Jeonghan—seperti bayi. Dan mengecup kening Jeonghan, lalu mereka berdua terlelap.

Seungcheol dan Jisoo sampai dirumah keluarga Yoon, di depan mereka sudah bisa melihat Jeonghan yang menunggu mereka.

“Lama ya?” Tanya Jisoo, ia mengecup pipi Jeonghan diikuti Seungcheol yang mengecup bibir Jeonghan.

“Engga sih, emang mampir dulu?”

“Mampir beli buah aja sih.” Mereka bertiga masuk, Jisoo dan Jeonghan saling bergandengan tangan sedangkan Seungcheol dibelakang mereka sambil membawa tas yang berisi bajunya dan Jisoo.

Di dalam rumah sudah ada mama Yoon yang menunggu mereka.

“Kok gak di kamar sih mah?” Tanya Jisoo, ia mengecup pipi mama Yoon.

“Mama tuh excited banget pas tau kalian mau nginep disini, jadi mau nungguin disini katanya.” Jeonghan yang menjawab.

“Abis kalian jarang bareng ke rumah mama, mama kan kangen.” Kali ini Seungcheol yang mengecup pipi mama Yoon.

“Cheol tuh yang sibuk mah. Giliran aku sama Jeonghan mau kesini, ga dibolehin katanya bahaya kalo nyetir jauh.” Ucap Jisoo

“Eh Soo dia mah bukan karena mikirin bahaya tapi karena takut tidur gak ada kita.” Ucap Jeonghan. Seungcheol yang daritadi hanya diam, ia memeluk mama Yoon.

“Liat tuh mah, seneng banget mereka kalo mojokin Cheol.” Ucap Seungcheol

“Ngadu terus. Soo mau mandi duluan?” Tanya Jeonghan

“Boleh deh.”

“Cheol, kamu makan bubur jagung nya sana sekalian temenin mama. Minta sama bibi aja ya.” Ucap Jeonghan, tapi ia sambil berjalan pergi menggandeng Jisoo masuk ke kamarnya.

. . . . . .

Di dalam kamar, Jeonghan memeluk Jisoo terlebih dahulu. Jisoo membalas pelukannya dengan erat.

“Kangen.” Ucap Jeonghan

“Tadi pagi kan ketemu. Maaf ya tadi kamu panik sendirian.” Jeonghan mengangguk, ia makin mengeratkan pelukannya.

“Aku mandi dulu deh Han, bau kan?”

“Kapan sih pacar aku ada yang bau? Wangi semua makannya aku suka melukin kalian.” Jawab Jeonghan, Jisoo tertawa. Jisoo memberikan elus-elusan lembut di punggung kekasihnya.

“Soo?”

“Hm?”

“Cium.”

Jisoo langsung menangkup wajah Jeonghan, ia mencium bibir Jeonghan dengan lembut, menggigitnya pelan, melesakkan lidahnya, menghisap lidah Jeonghan dengan lembut sampai Jeonghan mengerang lembut.

“Waduh bosku lagi pada ciuman, ikutan dong.” Seungcheol tiba-tiba masuk, mengagetkan keduanya. Jeonghan dan Jisoo melepaskan ciuman mereka, Jisoo juga mengelap bibir Jeonghan yang basah karena saliva nya.

“Sama Cheol dulu, aku mau mandi.” Jeonghan mengangguk, Jisoo langsung masuk ke dalam kamar mandi di kamar itu.

“Udah makan buburnya? Mama kamu tinggal sendiri?” Tanya Jeonghan

Seungcheol merengkuh tubuh mungil kekasihnya, ia menghirup aroma tubuh Jeonghan.

“Maaf ya tadi kamu panik sendirian.”

Jeonghan mengeratkan pelukannya. “Gapapa Cheol.”

“Aku belum makan buburnya, nunggu kamu sama Jisoo aja. Mama tadi aku anter ke kamar.” Jeonghan mengangguk. Seungcheol mengangkat tubuh Jeonghan, untuk ia ajak rebahan di ranjang, jadi posisinya Jeonghan ada di atas Seungcheol. Keduanya terdiam, sambil menikmati pelukan hangat keduanya.

Sampai beberapa menit kemudian Jisoo keluar kamar mandi, dan melihat kedua kekasihnya hanya diam saling berpelukan. Lalu ia mendekat dan langsung memeluk keduanya.

“Ngapain sih, diem-dieman aja.”

Seungcheol dan Jeonghan terkejut, tapi sedetik kemudian Seungcheol merengkuh tubuh Jisoo dengan sebelah tangannya karena yang sebelahnya ia gunakan untuk memeluk Jeonghan yang masih ada di atasnya.

“Aku belum mandi nih, masa nempel berdua gini.” Ucap Seungcheol. Jisoo dan Jeonghan malah makin mengeratkan pelukan mereka. Seungcheol tertawa, lalu ia mengecup kening Jeonghan dan Jisoo secara bergantian.

“Senangnya dalam hati punya suami dua.”

. . . . . . . . .

Saat ini Jeonghan, Seungcheol, Jisoo, dan papa mama Yoon sedang menikmati makanan malam.

“Bisnis lancar Cheol?” Tanya papa Yoon

“Lancar pah. Kalo ga lancar ga bisa menghidupi kedua suami Cheol dong.” Mereka tertawa.

“Pantesan Jisoo sama Jeonghan gemuk sekarang. Jisoo apalagi.”

“Jisoo mah lagi ngebentuk badan dia mah. Tau biar apa.” Jawab Jeonghan

“Mau nyaingin Cheol kali ya Soo.”

“Iya mah, biar Han ke gencet.” Mereka tertawa kecuali Jeonghan yang mengerucutkan bibirnya. Jisoo menggenggam tangan Jeonghan.

“Ini kalian nginep sehari aja?” Tanya mama

“Iya mah, kan tanggal merahnya cuma satu.” Jawab Jisoo

“Sepi lagi deh rumah.” Ucap mama Yoon sedih.

“Han janji deh bakal sering-sering nengokin mama. Ntar kalo gak bisa bareng ya ganti-gantian aja. Ya Cheol Soo?” Seungcheol dan Jisoo mengangguk.

“Iya mah, harus ngerti juga kan mereka sibuk. Oh ya, papa mama kalian sehat kan?”

“Sehat pa.” Jawab Seungcheol dan Jisoo bersamaan.

“Udah lama juga kan kalian gak nengokin papa mama Hong?”

“Terakhir kayaknya 7 bulan yang lalu deh pa.” Jawab Jisoo

“Yang adil kalo nengokin tuh.”

“Iya pah, ini juga karena lagi sibuk aja. Ntar Cheol ajakin cuti panjang.”

Lalu mereka melanjutkan obrolan mereka.

. . . . . . . . . .

Seungcheol dan Jisoo sudah merebahkan tubuh mereka, saling memeluk satu sama lain.

“Kamu lama banget sih Han?” Seungcheol sudah tidak sabar memeluk kedua pacarnya.

“Bentar dong, Soo kamu gak pake krim malam dulu?”

“Dah keburu capek Han, gak pake sekali gapapa kok.” Ucap Jisoo sambil menyembunyikan wajahnya di leher Seungcheol.

Setelah selesai memakai krim malamnya, Jeonghan bergabung dengan para kekasihnya. Posisinya Seungcheol berada diantara Jeonghan dan Jisoo. Sebenarnya mereka suka gantian siapa yang tidur ditengah, tapi kali ini giliran Seungcheol.

“Tiba-tiba aku kepikiran buat nengokin mama papa deh.” Ucap Jisoo sambil memejamkan matanya karena Jeonghan mengusap punggungnya.

“Iya nanti yang, kita ngajuin cuti bareng.”

“Kenapa kita gak tahun baruan aja di sana?” Tanya Jeonghan

“Mau begitu aja yang?” Tanya Seungcheol

“Apa aku aja ya yang ajak papa mama kesini?”

“Oh iya bisa tuh, kalo kita ke sana kan harus ajak papa mama Yoon, sama papa mama Choi.”

“Yaudah aku coba tanya sama papa mama deh.”

“Udah sekarang kita bobo.” Seungcheol mengeratkan pelukannya pada kedua orang yang ada disisinya.

Tinggal kram aja besok

23.45

Seungcheol memasuki tempat dimana yang mereka sebut markas. Di dalam sudah ada Mingyu, Hao, dan beberapa anak buah Seungcheol—ada juga Minhyuk dan Nara.

“Cheol, lepasin aku Cheol.” Ucap Nara dengan menangis tersedu-sedu.

“Hao, infonya.” Seungcheol tidak memperdulikan ucapan Nara.

“Jadi Nara sama Minhyuk itu saling kenal mas, mereka ternyata pernah menjalin hubungan. Sebelum sama mas.” Jelas Hao

“Terus anak yang dikandung Nara?”

“Waktu kalian sempet ketemu 2 Minggu lalu, Nara juga ketemu sama Minhyuk tepat setelah kalian pergi dari bar itu. Dan pas gue cek cctv apartemen Nara ternyata yang masuk ke unit apartemen itu Nara sama Minhyuk. Jadi gue pastiin itu anaknya Minhyuk.”

Seungcheol tersenyum miring. Lalu ia mendekat ke arah Nara, ia mencengkram kuat rahang Nara.

“Brengsek.” Lalu ia menghempaskan rahang Nara dengan kuat.

“Kelarin Gyu. Gue mau balik, lo pastiin ini orang dua ga muncul di hadapan gue dan Jeonghan. Terserah lo mau buang kemana.”

Nara menggeleng takut. “Cheol, aku mohon jangan Cheol. Aku sayang sama kamu Cheol.”

“TAPI ELO YANG BIKIN SUAMI GUE CELAKA, BANGSAT.” Seungcheol berteriak di depan Nara, dadanya naik turun karena emosi.

“Gue gak pernah segan-segan menghancurkan semua orang yang bikin suami gue nangis, apalagi sampe luka.”

“Aku lakuin semuanya karena aku sayang sama kamu Cheol.”

“Lo sakit Ra. Sakit. Kalo lo sayang sama gue, lo gak bakal ngelakuin hal gila yang bikin orang yang gue sayang sedih. Lo terobsesi sama gue Ra.”

Nara menangis, sementara Minhyuk masih belum sadarkan diri karena pukulan keras dari Mingyu dan beberapa orang lainnya.

“Kelarin.” Setelah berbicara itu, Seungcheol pergi tanpa mendengar teriakan mohon ampun dari Nara.