thatausaha

Setelah kejadian kemarin, Seungcheol pikir Nayeon akan langsung diam tapi ternyata tidak, wanita itu malah makin gencar mendekatinya. Ia sadar, benar-benar sadar kalau wanita itu menyimpan perasaan padanya.

Sama seperti halnya saat ini, saat ini Seungcheol dan Nayeon sedang meeting bersama klien dari perusahan Jung—mingyu tidak bisa mendampingi Seungcheol karena harus mengecek proyek yang ada di Bogor. Nayeon terus saja membuat skinship dengan Seungcheol dan itu cukup membuat Seungcheol risih, tapi sebisa mungkin ia tidak terpengaruh karena sedang meeting penting.

Setelah selesai meeting, Nayeon kembali melaksanakan itu. Saat ini Nayeon dengan sengaja memeluk lengan Seungcheol.

“Maksud kamu tuh apa ya Nayeon?” Tanya Seungcheol, tapi Nayeon tidak melepaskan pelukannya pada lengan Seungcheol.

“Gimana pak?”

Seungcheol menghela nafasnya, mencoba untuk tidak terpancing emosi. Ia menghempaskan tangan Nayeon.

“Maksud kamu apa pegang-pegang saya?”

Seungcheol tidak tau, wanita di depannya ini sengaja tidak tau atau memang bodoh. Ia menampilkan wajah tidak punya dosa.

“Saya sudah bersuami, suami saya sedang hamil. Lalu kamu dengan tenangnya mendekati saya? Kamu waras?”

“Pak Seungcheol, saya suka sama bapak.”

Seungcheol membuang pandangannya. Ini yang dia tidak suka ketika punya rekan kerja atau anak buah yang bukan temannya sendiri, akan selalu seperti ini.

“Saya tau, tapi gak akan merubah apapun di antara kita.”

“Saya siap jadi yang kedua pak.”

Ini, ini yang Seungcheol tidak senang. Tidak profesional, menurutnya.

“Saya sama kamu itu cuma sebatas atasan dan bawahan aja. Kenapa kamu berharap lebih sama saya?”

“Saya tau selama suami bapak hamil, bapak tidak pernah lagi dapat jatah dari dia. Saya bisa kasih ke bapak, kita bisa diam-diam main dibelakang pak Jeonghan.”

“Oh jadi kamu mau seperti itu? Mau main dibelakang suami saya?”

Nayeon mengangguk.

“Oke.” Jawab Seungcheol santai

Nayeon bisa merasakan angin segar sekarang.

Jeonghan menutup kembali handphone Seungcheol, dan ternyata pesan yang Nayeon kirimkan dibaca langsung oleh Jeonghan karena Seungcheol sedang berada di toilet. Jeonghan menatap langit-langit kamar hotel tempatnya menginap, beberapa kali ia menghembuskan nafasnya.

Seungcheol keluar dari toilet dan mendapati Jeonghan sedang melamun.

“Kenapa?” Jeonghan menatap Seungcheol, bukannya menjawab Jeonghan langsung membelakangi Seungcheol. Seungcheol mengernyitkan keningnya, ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun.

Seungcheol mendekati Jeonghan, ia ikut merebahkan tubuhnya di samping Jeonghan lalu tangannya mengelus-elus perut datar Jeonghan.

“Sayang kenapa? Mas bikin salah ya?” Tanya Seungcheol sambil mengecupi rambut belakang Jeonghan

Tapi lagi-lagi Jeonghan enggan menjawab, ia malah menyembunyikan wajahnya di bantal, bahunya bergetar menandakan ia menangis.

“Loh sayang kok nangis? Kenapa? Mas bikin salah atau ada yang sakit?”

Tangis Jeonghan makin menjadi ketika ia merasakan Seungcheol makin mempererat pelukannya. Ingin sekali membalikkan tubuhnya dan memeluk erat Seungcheol tapi ia merasa kalau hatinya sedih sekali.

“Sayang?”

“Jangan ditinggalin Han, mas.” Seungcheol makin tidak mengerti apa maksud dari perkataan Jeonghan.

“Mas kan disini, gak akan ninggalin Han. Emang siapa yang bilang mas mau ninggalin Han?”

“Tadi Han buka chatnya mas, ada pesan dari Nayeon dia bilang klien mas ngajakin minum tapi cuma mas sama Nayeon aja, Nayeon bilang kalo bisa jangan ajak Han.” Jawab Jeonghan dengan sesegukan karena menangis.

Seungcheol buru-buru membuka handphonenya, dan benar saja ia mendapati pesan dari Nayeon. Ia akan mengutuk siapapun yang membuat suaminya menangis.

“Hey, mas gak akan ke sana kalo Han gak izinin.”

“Tapi itu klien mas, nanti mereka kecewa.”

“Gapapa, masih banyak yang mau kerjasama sama perusahaan mas. Yang penting Han gak sedih, ya?”

Jeonghan membalikkan tubuhnya dan langsung memeluk Seungcheol.

“Maafin Han udah lancang buka-buka handphone mas.”

“Sayang, mau kamu bales-balesin juga gapapa. Mas gak marah sama Han, Han boleh buka-buka handphone mas.”

Jeonghan mengusakkan wajahnya di dada Seungcheol.

“Mas boleh minum sama klien mas. Han tunggu disini aja.”

“Engga, Han harus ikut. Kalo Han gak ikut ya mas gak ke sana.”

“Tapi nanti Han ganggu mas?”

“Engga dong sayang, mana ada kelincinya singa ganggu.” Ucap Seungcheol sambil mengecup bibir Jeonghan dengan gemas, sesekali ia gigit kecil bibir itu.

“Han sebenernya mau tidur aja.”

“Yaudah ayo kita tidur aja.”

“Tapi mas harus setor muka.”

“Han mau nemenin mas gak? Sebentar aja, setor muka. Nanti di lanjut sama Mingyu aja.”

Jeonghan mengangguk.

. . . . . . . . . .

“Pak Chanyeol, maaf saya telat.” Seungcheol menjabat tangan Chanyeol.

“Waduh gapapa pak Seungcheol. Ini kita baru mau mulai.”

“Biasa pak, suami saya lagi mode manja jadinya mau nempel-nempel terus.” Keduanya tertawa, Jeonghan sendiri merasakan wajahnya bersemu.

“Suami saya juga begitu pak. Lagi hamil kah?”

Seungcheol mengangguk. “Hamil muda.”

“Wah ini sih harus nempel terus pak. Jauh dikit merajuk.”

Seungcheol merangkul pinggang Jeonghan. “Bukan lagi.”

Chanyeol tertawa melihat tingkah Jeonghan yang malu-malu, ia jadi ingat suaminya di rumah.

“Maaf nih tapi saya bawa suami saya, pak.”

“It's okay pak Seungcheol. Saya sama sekali tidak masalah kalau pak Seungcheol bawa suami. Kan kita niatnya hanya mempererat hubungan kerjasama kita, bukan untuk yang aneh-aneh.”

Seungcheol tersenyum miring ketika mendengar ucapan Chanyeol lalu menatap Nayeon yang daritadi menatapnya dengan tatapan takut.

“Oh gitu ya pak? Soalnya tadi sekretaris saya bilang kalau hanya boleh saya dan dia aja yang datang, jadi saya pikir bapak emang mau yang privacy.”

Chanyeol menyesap wine nya dan menggeleng. “No, saya tidak pernah berbicara seperti itu.”

Tapi sepertinya Chanyeol belum paham apa yang Seungcheol katakan, ia hanya menjawab secara apa adanya.

“Oke, berarti tidak masalah dong ya pak kalau suami saya disini.” Ucap Seungcheol sambil menekankan perkataannya.

“It's okay pak Seungcheol.”

Jeonghan melihat wajah Nayeon yang pucat pasi karena mungkin ia malu. Dan ketika Nayeon melihat ke arahnya, Jeonghan buru-buru mengecup rahang tegas Seungcheol. Tidak ada yang memperhatikan mereka, hanya Nayeon.

“Kenapa yang? Ngantuk?” Tanya Seungcheol berbisik tepat di telinga Jeonghan

Jeonghan menggeleng. “Pengen cium aja.”

“Biji mau di pesenin apa?”

“Lagi gak mau apa-apa mas. Mau di elus-elus aja sih, tapi nanti aja di kamar. Biar sambil tidur.”

Seungcheol menggigit pelan hidung Jeonghan. “Ntar kalo biji udah lahir, gantian mas yang di kelonin ya.”

“Engga bisa dong, paling engga nunggu biji masuk SMP deh.”

Seungcheol mengerucutkan bibirnya. “Lama.”

Jeonghan mengecup bibir Seungcheol dengan gemas. “Gemes banget sih.”

“Kamu tuh yang jangan gemes-gemes, pengen aku makan terus jadinya.”

“Emang kamu nya aja yang mesum.”

Keduanya saling bercanda, sesekali Seungcheol berbincang dengan Chanyeol tanpa melepaskan rangkulannya di pinggang Jeonghan.

Tapi yang mereka kurang sadari adalah, ada seseorang yang menatap tidak suka ke arah mereka.

Seungcheol memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah ayahnya. Setelah mendapat kabar kalau Jeonghan ada disini ia langsung buru-buru menyusulnya ke sana.

“Bun, Han nya mana?” Tanya Seungcheol

“Dikamar kamu, kenapa sih? Berantem?”

“Han mau makan gudeg Bun, cuma di Jogja langsung. Kan gak bisa mendadak begini.”

“Ya ampun, yaudah sana temuin kasian tadi nangis sedih banget bunda tanyain malah tambah kejer.”

“Yaudah Cheol ke kamar dulu ya Bun.”

Setelah itu Seungcheol berlari menuju kamarnya, dan ia mendapati Jeonghan sedang tertidur pulas, ia mendekat ke arah Jeonghan dan melihat ada jejak air mata di pipinya.

Seungcheol mengelus pipi Jeonghan dengan lembut, tapi cukup membuat Jeonghan terusik. Jeonghan membuka matanya dan melihat ada suaminya di depannya, ia langsung membalikkan badannya memunggungi Seungcheol.

“Han?” Seungcheol mengelus-elus punggung Jeonghan. Tapi Jeonghan tidak bergeming.

“Mas minta maaf ya sama Han, mas gak nurutin maunya Han, tapi kan itu butuh proses sayang gak mungkin langsung gitu. Mas sedih banget waktu Han bilang mas gak sayang Han lagi, padahal mas sayang banget sama Han. Terus tambah sedih lagi mas dibelakangin gini sama Han.”

Seungcheol tau kalau Jeonghan sudah menangis. Akhir-akhir ini memang Jeonghan lebih perasa, mungkin bawaan bayi.

Karena tidak ada jawaban dari Jeonghan, Seungcheol berniat pergi karena menurutnya Jeonghan mungkin butuh waktu sendiri. Tapi saat ia akan membuka pintu, Jeonghan menangis dengan keras.

“Hey, kenapa sayang? Ada yang sakit?” Seungcheol dengan sabar menenangkan Jeonghan. Jeonghan mendudukkan dirinya di depan Seungcheol, lalu ia memeluk Seungcheol dengan erat.

“Maafin Han, mas.” Ucap Jeonghan dengan tersedu-sedu

“Hey, sayang udah ya. Jangan nangis, mas gak marah sama Han. Mas juga harusnya ngertiin Han, bukan Han aja yang harus ngertiin mas. Maafin mas juga ya sayang.”

Jeonghan makin mengeratkan pelukannya, ia merasa jadi orang paling beruntung karena bisa mendapatkan orang sabar seperti Seungcheol.

“Han, masih mau makan gudeg? Mau ke Jogja sekarang? Mas suruh Mingyu buat pesen tiket pesawat ya?”

Jeonghan menggeleng. “Udah gak mau mas.”

“Yah, sayang masih marah ya sama mas?”

“Engga, Han udah gak marah. Cuma sekarang Han udah gak mau ke Jogja, Han mau makan soto ayam sebrang kantor Han yang dulu.”

“Waduh, cepet juga si biji keinginannya berubah.”

“Bija biji bija biji, anak lo nih.”

“Abis kecil banget kayak biji.”

“Ntar juga gede, kalo papanya dikasih makan.”

“Oh iya, biji buah kan tumbuh karena di siram air ya? Nah kalo biji yang ini tumbuh karena disiram kuah soto ya?”

Jeonghan memukul dada Seungcheol pelan. “Ngaco banget sih.”

Seungcheol tertawa. “Jadi gak? Apa mau pesen aja makan di rumah?”

“Mau makan di sana, tapi sekarang mau dipeluk sama mas terus perutnya mau di elus-elus. Gapapa kan kalo balik ke kantornya agak lama?”

“Gapapa sayang, nanti aku bilang ke Mingyu. Lagi gak ada meeting penting juga sih.”

Jeonghan merebahkan tubuhnya diikuti oleh Seungcheol dengan tangan Seungcheol mengelus-elus perut datar Jeonghan.

“Cepet gede ya biji, biar cepet jadi buah. Jangan bikin papanya capek ya sayang?” Seungcheol mengecup perut datar Jeonghan. “Ayah sayang banget sama biji, sama papa juga. Sebisa mungkin ayah bakal turutin maunya kalian, biar kalian seneng. Love you sayang-sayangnya ayah.”

“Papa sama biji juga sayang sama ayah. Love you too ayah sayangnya papa sama biji.”

Seungcheol dengan cepat membuka pintu rumahnya, ia buru-buru menuju kamarnya untuk mencari Jeonghan.

“Jeonghan?”

Ia mendapati Jeonghan sedang memakan buah-buahan sambil menonton film di laptopnya. Jeonghan menatap Seungcheol yang terengah-engah karena berlari.

“Mas, lo lari?”

“Iyalah, kaget gue baca chat lo.”

Jeonghan memberikan Seungcheol minumannya, dengan cepat Seungcheol menegak habis air itu.

“Han, beneran?”

Jeonghan mengangguk. Seungcheol memeluknya.

“Makasih sayang makasih banget.”

“Kan yang bikin Han hamil mas, kenapa makasih nya sana Han.” Ucap Jeonghan sambil mengelus-elus punggung suaminya.

“Ya makasih juga Seungcheol udah mau ngehamilin Jeonghan.” Jeonghan tertawa, ia juga mencubit perut Seungcheol pelan.

“Periksa ke dokter ya?” Seungcheol mengelus-elus perut datar Jeonghan

“Boleh.”

. . . . . . . . .

Saat ini Jeonghan sedang berbaring di ranjang rumah sakit, dokter sedang memeriksa perutnya.

“Dih, itu apaan dok? Kok kecil banget?” Jeonghan mencubit lengan Seungcheol agar laki-lakinya itu diam.

“Itu anak bapak, kan awalnya kecil.”

“Kayak biji ya?” Dokter itu tertawa mendengarnya, lalu ia menutup kembali perut Jeonghan, Seungcheol membantu Jeonghan bangun dan menuntunnya menuju meja dimana dokter tadi sedang menuliskan resep obat untuk Jeonghan.

“Jadi gimana dok?”

“Selamat ya pak Jeonghan, kandungnya sehat udah berjalan 1 bulan.”

“Hah? Sebulan dok? Bukannya baru ya?” Tanya Seungcheol

“Iya pak, soalnya ada beberapa kehamilan yang tidak menunjukkan tanda-tanda. Mungkin pak Jeonghan termasuk yang itu.”

“Lo taunya gimana Han?”

“Han iseng aja sih cek mas, soalnya udah 3 bulan nikah tapi belum hamil juga padahal udah sering ngelakuin.” Dokter yang mendengar ucapan Jeonghan menahan senyumnya, ia memaklumi pasangan baru di depannya.

“Atau mungkin bapak udah ngerasain gejelanya tapi gak sadar. Seperti ngidam, atau terlalu perasa.”

Jeonghan dan Seungcheol saling bertatapan.

“Tapi kalo saya yang ngidam dok?” Tanya Seungcheol

“Wajar pak, yang ngidam itu bukan hanya yang hamil tapi bisa ayahnya juga.”

“Jeonghan juga akhir-akhir ini suka ngambek sih dok, kadang kalo saya telat ngabarin dia juga dia marah, cemburuan.” Jeonghan menundukkan kepalanya menyembunyikan wajahnya yang memerah.

“Iya pak, biasanya orang hamil itu lebih perasa. Bahkan ada yang tidak mengizinkan suaminya bekerja karena ingin dekat-dekat terus. Apalagi kalau pasangan muda, masih hangat-hangatnya.”

“Wah jangan sampe lo gak bolehin gue kerja Han mau dikasih makan apa anak gue nanti.”

“Mas ih.”

“Tapi ada juga pak yang malah mau jauh-jauhan sama suaminya.”

“Aduh, untung lo maunya deket-deket terus.”

“Dok maaf ya suami saya emang bawel banget.” Ucap Jeonghan

“Gapapa pak, ini saya kasih resep ya nanti di tebus aja.”

“Kalo hamil boleh minum obat ya dok?”

“Itu vitamin pak, sama obat penambah darah. Itu wajib ya biar pak Jeonghan gak kekurangan darah sama bayinya sehat terus.”

“Oh iya dok, terima kasih. Kalo begitu kita pamit dulu.” Jeonghan menarik tangan Seungcheol

“Silakan.”

. . . . . . . . .

“Bisa gak sih gak usah bikin malu?” Saat ini mereka sedang berada di mobil, dan akan pulang. Setelah menebus obat mereka memang memutuskan untuk pulang.

“Malu-maluin apaan si yang? Gue ga ngapa-ngapain perasaan.”

“Itu bilang anaknya biji depan dokter.”

“Kan emang biji.”

“Ini anak lo Seungcheol.”

“Tapi kayak biji, yang.”

“Terserah.”

Jeonghan saat ini sudah berada di kantor milik Seungcheol, ia meminta Seungcheol untuk menjemputnya di lobby.

Beberapa menit kemudian Seungcheol datang.

“Kenapa gak langsung masuk aja sih?” Tanya Seungcheol sambil mengecup kening suaminya.

“Takut gue sama tatapan-tatapan karyawan lo.”

Seungcheol menggenggam tangan Jeonghan dan mengajaknya ke ruangannya.

“Masak apa?” Tanya Seungcheol ketika keduanya sedang berada di lift khusus CEO.

“Masak sambel goreng kentang pake udang, ayam goreng mentega, terus gue bikinin lo jus melon, sama bawain buah potong.”

“Banyak banget, padahal buat berdua doang.” Seungcheol yang tadinya menggenggam tangan Jeonghan, sekarang ia sudah merangkul pinggang ramping Jeonghan.

“Lagi pengen masak banyak sih, abisin ya ntar?”

“Siap bosku.” Seungcheol mengecup pipi Jeonghan.

“Ntar di liat orang ah.”

Tling

Pintu lift terbuka, mereka keluar dari lift dan langsung masuk ke dalam ruangan Seungcheol, tapi sebelumnya Jeonghan melihat ada seorang wanita cantik.

Setelah masuk, Jeonghan duduk di sofa ruangan Seungcheol sedangkan Seungcheol mengambil air mineral dari kulkas yang berada di ruangannya.

“Punya sekretaris baru?” Tanya Jeonghan sambil membuka kotak makanan yang ia bawa.

“Oh itu, iya. Tapi Minggu yang urus, si Mingyu lagi bolak-balik Jakarta-Bogor ngurus proyek yang di sana. Takutnya gue keteteran jadi nyari sekretaris lagi.” Jawab Seungcheol, ia menyuap makanan yang Jeonghan sudah siapkan untuknya.

“Cantik tapi.”

“Iya, kan fungsinya biar narik minat klien.”

“Kalo pak bosnya tertarik gak?”

Seungcheol menghentikan makannya lalu menatap Jeonghan.

“Han, lo tau gak sih akhir-akhir ini lo suka mikir-mikir yang gak bakal kejadian?”

Jeonghan mengernyitkan keningnya. “Maksudnya?”

“Ya iya, kayak gue bakal oleng lagi ke Nara dan sekarang lo nanya gue tertarik gak sama sekretaris gue.” Jeonghan terdiam, jujur akhir-akhir ini ia juga merasa kalau ia semakin cemburu dengan apa-apa yang mendekati suaminya, ia merasa takut jika suaminya berangkat bekerja dan tidak bisa dihubungi. Semenjak resign ia menjadi lebih protektif pada Seungcheol.

“Maaf.”

“Engga, gue gak marah cuma aneh aja.”

“Maaf ya kalo sifat gue malah bikin lo risih.”

“Bukan gitu maksud gue, gue gapapa kalo lo kayak gini. Cuma ini kan bukan Jeonghan banget, ngerasa gak sih lo?”

Jeonghan memeluk Seungcheol, ia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seungcheol.

“Gak tau kenapa akhir-akhir ini gue gak mau jauh-jauh dari lo Cheol, kalo lo pergi kerja terus gak ngabarin gue juga gue negatif thinking, kalo ngeliat ada cewek cantik atau cowok ganteng di deket Lo gue cemburu, Cheol. Tapi gue gak tau kenapa gue begini, maaf kalo lo risih sama sikap gue. Gue cuma takut kehilangan lo.”

Seungcheol memindahkan Jeonghan ke atas pangkuannya, ia membalas pelukan Jeonghan dengan sangat erat.

“Nah kalo kayak gini kan enak nih, gue tau apa yang bikin lo begini. Kalo ada apa-apa yang ngeganjel di hati lo bilang ya Han, gue gak tau kalo lo gak bilang.” Jeonghan mengangguk

“Makan lagi yuk?” Jeonghan menggeleng.

“Terus?”

“Mau itu Cheol.”

“Itu apa?”

“Itu.”

“Apaan si yang?”

“Mau ngewe.”

“Hah?”

“Disini kedap suara kan?”

“Yang, lo serius?”

Jeonghan mengangguk. “Mau nyobain sex in office.”

“Ah udah gila sih lo, serius kagak sih?”

“Serius ih.”

“Gak bawa kondom anjrit.”

“Ya engga usah pake kondom, kan udah sah. Katanya mau punya anak.” Ucap Jeonghan sambil membelai lembut dada Seungcheol, niatnya ingin menggoda.

“Dih, belajar darimana lo?”

“Jisoo, dia pernah nyoba sama Seokmin terus gue penasaran.”

“Ingetin gue ngasih hadiah ke Jisoo karena udah bikin kelinci gue penasaran ya?” Jeonghan mengangguk, ia mengecupi rahang tegas Seungcheol dan tangannya menyusuri dada Seungcheol dengan sedikit mengelus tonjolan di dada Seungcheol.

Jeonghan menarik tangan Seungcheol, ia mendorong pelan Seungcheol agar duduk di kursinya.

“Mau di sepong gak?” Tanya Jeonghan.

“Mau.”

“Password nya?”

“Kelinci, singa mau di sepong dong. Boleh gak?”

“Boleh.”