thatausaha

Soonyoung sampai di kantornya, ia langsung disambut oleh sekretarisnya.

“Pak Choi sudah menunggu di dalam, pak.”

“Oke, kamu udah siapin semuanya?”

“Sudah pak.”

Soonyoung mengangguk, ia langsung masuk ke dalam ruangannya.

“Selamat pagi, pak Choi.”

“Selamat pagi, pak Kwon.”

Keduanya berjabatan tangan, lalu Soonyoung mempersilahkan kliennya duduk.

“Jadi lebih enak kita manggil nama atau seperti tadi?” Tanya Soonyoung

“Nama saja pak, nama saya Seungcheol. Choi Seungcheol.”

“Saya Kwon Soonyoung.”

Lalu keduanya kembali fokus pada pembahasan yang akan mereka jadikan kerjasama mereka nanti.

. . . . . . . . . .

Soonyoung dan Seungcheol sedang berada di cafe dekat kantor Soonyoung. Keduanya masih berbincang-bincang tentang kerjasama mereka. Lalu tiba-tiba handphone Soonyoung berbunyi, Soonyoung meminta izin pada Seungcheol untuk mengangkat panggilan itu dan Seungcheol mempersilahkan.

“Halo, Han?”

Seungcheol terdiam ketika mendengar ucapan Soonyoung tapi ia mencoba menepis pikiran buruknya, mungkin saja Han yang dimaksud Soonyoung bukan Han-nya. Laki-lakinya.

“Aku pulang sore sih.”

“Oh Athan udah nyariin?”

“Yaudah nanti aku usahain pulang cepet ya.”

“Okay, see u.”

Soonyoung menutup panggilannya.

“Maaf pak Seungcheol, kepotong.”

“Gapapa pak, istri bapak?”

“Oh bukan, dia laki-laki sih.”

“Suami bapak?”

“Bukan, cuma tetangga samping apartemen saya.”

“Oh saya kira bapak sudah berkeluarga.”

“Kebetulan belum pak. Kalau pak Seungcheol sendiri gimana? Sudah beristri atau bersuami mungkin?”

“Saya sudah bersuami, tapi sedang ada masalah dalam pernikahan saya. Dan sedang saya perbaiki.”

“Kalau boleh saya tau, karena apa ya pak?”

“Semua salah ada di saya, pak. Saya bahkan gak tau saya ini masih bisa dapet maafnya dia atau engga. Tapi saya masih berharap, kalau saya masih bisa dapet kesempatan kedua.”

“Setiap manusia berhak dapat kesempatan kedua pak. Saya doakan bapak cepat-cepat rujuk sama suami bapak.”

“Terima kasih. Pak Soonyoung sendiri kenapa belum menikah? Padahal sudah mapan, bohong kalau tidak ada yang mendekati.”

Soonyoung tersenyum, pikirannya menerawang jauh. “Saya sedang mengharapkan seseorang tapi seseorang yang saya harapkan masih terjebak oleh masa lalunya.”

Soonyoung tersenyum ketika melihat Jeonghan dan Nathan tak jauh darinya, Nathan/Athan merentangkan tangannya meminta untuk di gendong oleh Soonyoung.

“Duh, anak Daddy.” Soonyoung mengecupi pipi tembem anak kecil itu.

“Kamu parkirnya jauh?”

Soonyoung menggeleng. “Jalan bentar.”

Jeonghan mengangguk, lalu mereka berdua berjalan menuju mobil Soonyoung. Di dalam Jeonghan mengambil kembali Athan dari Soonyoung agar Soonyoung bisa menyetir dengan gampang.

“Makan dimana?”

“Terserah kamu sih, aku ikut aja.”

“Kamu lagi gak pengen apa-apa?”

Jeonghan menggeleng. “Yang penting nasi, aku laper banget.”

“Oke siap bosku.”

Soonyoung adalah laki-laki yang selama 2 tahun belakangan ini ada disamping Jeonghan. Setelah kejadian waktu itu, Jeonghan meminta tolong pada Jisoo untuk membawanya ke Amerika—jeonghan juga menceritakan tentang kejadian yang ia alami selama dirumah. Jelas teman-temannya marah besar, terutama pada Seungcheol karena menurut mereka Seungcheol adalah laki-laki yang tidak punya pendirian. Mereka berusaha menjauhi Jeonghan dari Seungcheol.

Dan sebenarnya, Seungcheol sudah memohon-mohon pada mereka semua untuk menemukannya dengan Jeonghan. Seungcheol berkata ia menyesal telah jahat pada Jeonghan, namun nasi sudah menjadi bubur apa yang ia tanam itulah yang ia tuai. Dan sebenarnya juga Seungcheol masih mencari Jeonghan kemana-mana.

Setelah Jeonghan pindah ke Amerika, Jeonghan bertemu Soonyoung yang merupakan tetangga samping apartemennya.

. . . . . . . . .

Soonyoung dan Jeonghan sampai di salah satu restoran dekat apartemen mereka.

“Kamu beneran gak mau ikut aku ke Indonesia?”

Jeonghan menggeleng. “Buat apa? Ngebuka luka lama aku?”

“Han...”

“Sun, kamu tau setakut apa aku di sana? Bahkan untuk inget sesuatu itu aja aku takut.”

“Oke-oke aku minta maaf karena bahas itu, tapi sampai kapan kamu kayak gini? Athan kan butuh ketemu ayahnya.”

Jeonghan menghela nafasnya. “Orang tuanya Athan ya cuma aku. Athan gak punya ayah, Sun.”

“Han, aku ngerti kamu masih sakit hati. Tapi suatu saat Athan harus tetep tau siapa ayahnya.”

“Kamu ngomong gini karena udah capek ya nemenin aku sama Athan?”

“Bukan, bukan gitu. Aku cuma gak mau Athan sampai gak tau kalau ayahnya masih ada.”

“Aku masih gak tau Sun.”

“Gak harus sekarang, yang penting kalau suatu saat nanti tiba-tiba dia bisa menemukan kamu, kamu harus siap.”

Jeonghan kembali tenggelam dalam pikirannya, sedangkan Soonyoung sibuk memegangi botol susu yang sedang Athan minum.

. . . . . . . .

“Jauh bener sih kerjasama aja sampe Amerika.”

“Perusahaan gede dek. Lumayan kan?”

“Lo tuh bahkan udah bisa menggenggam dunia, apalagi yang elo cari?”

“Apanya yang menggenggam dunia, kalau dunia gue aja pergi dan gue gak tau dia dimana, apa dia baik-baik aja.”

“Move on dong mas. Dia juga gak tau dimana kan? Udah 2 tahun lo nyari tapi nihil. Temen-temennya juga gak mau ngasih tau.”

Seungcheol tersenyum pada Jihoon. “Mungkin ini artinya mas yang harus berusaha sekarang.”

Seungcheol kembali menarik kopernya, dengan Jihoon dibelakangnya.

“Jeonghan, kali ini mas kan yang harus berjuang?”

Jeonghan kembali menerima pesan singkat dari mamanya, lagi-lagi ia harus ketakutan saat menerima pesan itu. Seungcheol masuk dengan segelas susu hamil dan sepiring buah-buahan yang sudah di potong kecil-kecil.

“Dek?”

Jeonghan menatap Seungcheol, ia berusaha biasa saja dengan apa yang ia dengar tadi—tentang ucapan Seungcheol dan Jihoon.

“Lama banget?”

“Bikin susu, terus motongin buah.”

Jeonghan mengangguk dan menerima susu yang Seungcheol berikan padanya.

“Mas?”

“Hm?”

“Mama chat aku lagi, nyuruh aku ke rumah. Gimana?”

“Kamu mau ke sana?”

“Aku kangen sama mama papa sih mas.”

“Bahkan saat kamu disakiti berlebihan kamu masih rindu sama mereka. Hati kamu terbuat dari apa Han?”

“Mas temenin ya?” Jeonghan mengangguk.

“Ayo mandi bareng aja.”

“Mandi doang loh.”

“Gak janji.” Seungcheol membantu Jeonghan berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.

. . . . . . . . . .

Seungcheol dan Jeonghan sampai di rumah orang tua Jeonghan. Perasaan Jeonghan sama sekali tidak enak saat ini, ia meremat tangan Seungcheol dengan kuat.

“Hey, ada mas disini.” Jeonghan menoleh dan tersenyum pada Seungcheol.

Lalu keduanya melangkah masuk ke dalam, dan di dalam ternyata sudah ada papa dan mamanya.

“Seungcheol.” Mamanya malah menyapa Seungcheol terlebih dulu, Jeonghan melihat mamanya memeluk Seungcheol tanpa menganggap dirinya ada.

“Mama apa kabar?” Tanya Seungcheol

“Mama baik, kamu baikkan?”

“Baik ma, Jeonghan ngurusin aku dengan baik.” Jeonghan bisa melihat senyum mamanya yang luntur ketika Seungcheol menyebut namanya.

“Ayo duduk Cheol.” Ajak papanya. Hanya Seungcheol Seungcheol mengajak Jeonghan duduk.

“Papa sama Mama mau ngobrol apa sama Han?” Tanya Jeonghan

Sebelum mama dan papa nya menjawab, sebuah pintu terbuka.

“Cheol?”

Jeonghan dan Seungcheol menoleh dan mendapati seseorang di sana. Naya. Itu Naya. Jeonghan melihat Seungcheol yang berdiri menatap wajah Naya penuh kerinduan.

“Naya?”

Naya berlari ke arah Seungcheol dan memeluknya.

“Aku kangen banget Cheol.”

Seungcheol belum bereaksi apa-apa, ia masih memproses apa yang terjadi sekarang.

“Aku pulang Cheol.”

Jeonghan melihat Seungcheol membalas pelukan Naya.

“Mas.....” Lirih Jeonghan ketika Seungcheol sama sekali tidak ingat kalau ada ia di sana.

“Aku kangen banget sama kamu nay. Kenapa kamu pergi gitu aja?”

“Tapi sekarang aku udah pulang Cheol. Aku udah pulang ke kamu.”

Seungcheol menangis, memeluk Naya dengan erat seakan-akan tidak mau kehilangan Naya untuk kedua kalinya.

“Jangan tinggalin aku lagi, nay.”

Lalu semuanya gelap untuk Jeonghan.

. . . . . . . . .

Jeonghan terbangun dan tidak mendapati Seungcheol di sampingnya. Ia bangun dari tempat tidur dan keluar untuk mencari Seungcheol, tapi sebelumnya Jeonghan pergi ke dapur untuk mengambil minum setelahnya ia berjalan ke arah taman belakang rumahnya.

Prangggggggg

Gelas yang ia bawa terjatuh, ketika ia melihat Seungcheol sedang mencium Naya, tepat dibibirnya. Jeonghan berjalan cepat menuju keduanya, dan menarik Seungcheol.

“Apa maksudnya mas?”

Seungcheol terkejut ketika melihat Jeonghan.

“Dek, mas bisa jelasin.”

“Apa?” Jeonghan sudah menangis, hatinya sakit sekali.

“Heh, lo tuh ganggu orang aja ya? Ngapain sih lo disini?”

“Mba, mas Seungcheol sekarang suami aku. Jelas aku kesini untuk bawa suami aku.” Saat Jeonghan akan menarik tangan Seungcheol, Naya menahannya.

“Selamanya Seungcheol cuma punya gue.”

“Mba yang ninggalin mas, dan sekarang mau ambil mas lagi? Mba gak bisa seenaknya gitu.”

“Dari awal Seungcheol emang punya gue. Lo yang ambil dia dari gue. Lo jalang, Jeonghan. Lo nyerahin tubuh lo buat orang yang gak bakal sama lo. Lo harus sadar posisi lo, Jeonghan.”

“Mas Seungcheol suami aku mba.”

Plakkkk

Naya menampar pipi Jeonghan dengan keras, Seungcheol terkejut.

“Naya, kamu jangan kasar gitu sama Jeonghan.”

“Dia rebut kamu dari aku Cheol, dan sekarang dia gak tau diri.”

“Aku gak pernah rebut siapa-siapa dari siapa-siapa. Papa mama yang suruh aku nikah sama mas Seungcheol, kenapa masih aku yang disalahin? Aku korban disini.”

“Cuma sementara Jeonghan. Lo udah gak dibutuhin sekarang. Mending lo pergi.”

“Mas, ayo?” Jeonghan mengulurkan tangannya tapi dalam waktu lama Seungcheol tidak menjabat juga tangannya.

“Mas?”

Seungcheol masih diam, ia menatap Jeonghan dengan tatapan awal mereka bertemu. Tatapan kasian.

“Ternyata kamu cuma kasian sama aku ya, mas?”

Jeonghan menurunkan tangannya.

“Kamu pilih mba Naya ya mas?”

Jeonghan mengangguk. “Aku paham sekarang.”

Jeonghan melangkah menjauh dari Naya dan Seungcheol. Ia bahkan tidak bisa merasakan apa-apa sekarang.

“Dasar anak pungut.”

Langkah Jeonghan terhenti. Ia berbalik menatap Naya.

“Kenapa? Lo marah gue bilang anak pungut? Elo emang anak pungut Jeonghan, mama papa nemuin lo di depan pintu rumah. Hahaha, bahkan sama orang tua kandung lo aja lo gak di harapkan. Gak akan pernah ada yang sayang sama lo Jeonghan. Lo cuma anak pungut yang engga akan bisa dapetin kasih sayang dari siapa-siapa.”

Dua kali. Dua kali hatinya dihancurkan. Ia menatap Seungcheol lalu melanjutkan langkahnya. Ia menatap mama papa nya yang hanya melihat.

“Kenapa mama papa gak cerita dari awal ke Han? Biar ada yang dijadiin pelampiasan ya? Pantes gak ada yang pernah sayang sama Han disini. Han selalu mikir, Han salah apa sampe mama papa segitu marahnya sama Han, ternyata ini alasannya. Kalo boleh minta Han gak pernah mau dilahirin, Han gak pernah mau ada di dunia ini.”

Jeonghan menjeda kalimatnya, ia menahan amarahnya—tidak bisa ia luapkan di depan orang tuanya.

“Han mau makasih sama papa mama karena udah mau rawat Han dari kecil, mau sekolahin Han, mau kasih makan Han, makasih untuk semuanya. Maaf kalo Han suka bikin papa mama marah, Han gak bermaksud tapi mungkin yang di pikiran papa mama beda. Han pamit ya ma pa.” Jeonghan sempat mencium kedua tangan orang tuanya.

Lalu Jeonghan kembali menuju Seungcheol dan Naya.

“Mba, Han pamit. Makasih ya mba udah kasih tau Han semuanya.” Jeonghan mencium tangan Naya.

Lalu Jeonghan menatap Seungcheol, ia tersenyum dengan air mata yang masih mengalir.

“Mas Cheol, makasih untuk beberapa bulan ini. Makasih udah bikin Han tau rasanya disayangin gimana. Han pamit ya mas? Han titip salam buat bunda, ayah, Jihoon bilangin makasih udah sayang sama Han.” Dan terakhir Jeonghan mencium tangan Seungcheol, dengan terpaksa ia harus melepaskan laki-laki yang telah mengisi hati dan hari-harinya beberapa bulan belakangan.

“Han....” Lirih Seungcheol, ia menitikkan air matanya menyaksikan Jeonghan pergi.

Seungcheol tidak bisa menahan Jeonghan, karena tiba-tiba saja kakinya kaku dan tidak bisa ia gerakkan. Jeonghan pergi, ntah kemana.

Dan bagi Jeonghan, tidak ada yang menahannya lagi di sana dan lebih baik ia pergi. ketempat dimana orang-orang tidak bisa menemukannya, menyakitinya lagi.

“Baby, gapapa kan kalau cuma sama papa? Ayah gak bisa bareng-bareng kita lagi. Maafin papa karena udah bikin baby sedih, tapi papa mohon sama baby jangan benci ayah ya sayang?” Ucap Jeonghan sambil mengelus perutnya yang membesar. Jeonghan mengambil handphonenya, lalu menelpon seseorang.

“Jisoo, gue boleh minta tolong gak?”

Seungcheol jalan mengendap-endap masuk ke dalam kamarnya, dimana Jeonghan masih tertidur pulas. Ia membersihkan diri dulu sebelum ikut bergabung dengan Jeonghan.

Seungcheol membuka selimut dari sebelah sisi Jeonghan, ia menyelipkan tangannya ke atas perut Jeonghan yang membesar, usia kandungan Jeonghan sudah memasuki usia 7 bulan.

“Eunghhhh.” Jeonghan melenguh ketika ia merasakan ada tangan yang mengelus-elus perut buncitnya, ia tersadar dan langsung membalikkan tubuhnya dan mendapati suaminya di sana.

“Mas.” Jeonghan memeluk Seungcheol dengan erat, ia mengusakkan wajahnya di ceruk leher Seungcheol, menghirup aroma tubuh Seungcheol yang ia rindukan.

“Pelan-pelan, mas disini kok gak kemana-mana.”

“Kangen banget.”

“Mas juga kangen banget.”

“Kok cepet mas?”

“Maunya mas lama?”

“Engga, maksud Han kayaknya mas baru ngasih tau mau otw sejam yang lalu.”

“Otw ke rumah sayang, itu aku udah di bandara.”

Jeonghan mencubit perut Seungcheol pelan. “Rese.”

“Kamu yang rese, kirim-kirim foto padahal akunya lagi jauh.”

“Hehehehe biar mas cepet pulang.”

Seungcheol mengeratkan pelukannya. “Terus sekarang udah boleh mas gigit?”

“Mas mau gigit sekarang?”

“Adek maunya kapan?”

“Kan mas yang mau gigit.”

“Kan Adek yang mau digigit.”

Seungcheol dan Jeonghan tertawa, lalu menyatukan kedua bibir mereka. Lalu beberapa menit kemudian sudah terdengar desahan-desahan dari kamar mereka.

. . . . . . . . . .

Seungcheol berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum untuknya dan Jeonghan, di dapur ada Jihoon yang sedang meminum colanya.

“Berisik banget sih lu bedua.”

Seungcheol tertawa. “Namanya melepas rindu.”

“Jadi sekarang udah terima kak Han nih?”

Seungcheol menenggak airnya. “Kalo belom gak bakal gue tidurin sekarang tu anak.”

“Lo udah yakin 100% kan mas?”

Seungcheol tidak langsung menjawab, ia seperti berpikir dulu.

“Kok gak langsung jawab? Lo masih ragu sama kak Han?”

“Gue gak ragu sama Han, dek. Gue ragu sama diri gue sendiri.”

“Jangan jadi brengsek mas, lo bentar lagi bakal jadi ayah.”

“Iya gue paham ji.”

“Terus apa yang lo raguin? Lo takut mantan pacar lo balik lagi?”

Seungcheol terdiam.

“Lo masih sayang sama dia mas?” Beberapa detik kemudian Seungcheol mengangguk.

Jihoon tidak habis pikir dengan kakaknya itu, kurang apa Jeonghan untuknya?

“Lo harus bisa ambil keputusan mas. Kalo lo emang gak serius sama kak Han, tinggalin dia. Jangan Lo sakitin terus, hidupnya udah menderita sebelum kenal lo.” Ucap Jihoon, ia langsung pergi meninggalkan Seungcheol sendirian.

Seungcheol mengusap wajahnya kasar, ia sendiri tidak tau apa yang ia rasakan saat ini. Ia sayang dengan Jeonghan, tapi ia tidak bisa bohong kalau Naya masih ada di hatinya.

Dari sisi lain, Jeonghan menutup pintu kamarnya sebelum Seungcheol masuk. Ia memegangi dadanya yang terasa nyeri.

“aku akan selalu jadi tempat kamu pulang kan, mas?”

Seungcheol sudah menunggu Jeonghan di parkiran kampus. Ia keluar dari mobil agar Jeonghan bisa menemukannya. Seungcheol beberapa kali diberikan tatapan minat oleh mahasiswa-mahasiswi di sana. Tidak sedikit yang mengajaknya berkenalan.

“Hai kak, masa gak boleh kenalan sih?” Kali ini ada 3 orang mahasiswi cantik yang mengajaknya berkenalan tapi Seungcheol hanya membalasnya dengan senyuman.

“Nungguin siapa sih kak? Adeknya ya?”

“Iya, kamu kenal dengan Jeonghan?”

“Oh si cowok aneh itu ya?” Ujar salah satu dari mereka sedangkan 2 lainnya tertawa

Cowok aneh?

“Jeonghan tuh aneh kak, tukang berantem.”

“Tukang berantem?”

“Iya beberapa kali dia dateng ke kampus mukanya babak belur. Muka doang polos tapi kelakuan bar-bar.”

Jeonghan, separah itu ya dulu?

“Jadi Jeonghan adeknya kakak?”

Seungcheol menggeleng. “Bukan.”

“Terus siapa?”

Belum sempat menjawab, Jeonghan sudah datang.

“Lama ya mas?”

“Engga kok, mas baru sampe 15 menit yang lalu.”

“Maaf ya mas, tadi ada tambahan dari dosen.”

Seungcheol mengangguk. “Yuk, masuk.”

Sebelum membukakan pintu untuk Jeonghan, Seungcheol menatap ketiga mahasiswi yang tadi mengajaknya berkenalan.

“Jeonghan bukan Adek saya, dia suami saya. Sekarang dia lagi hamil anak saya.” Ucap Seungcheol sambil mengelus-elus perut buncit Jeonghan. Ucapan Seungcheol membuat ketiga orang itu menganga lebar tidak percaya.

. . . . . . . . . .

Jeonghan menyeruput es jeruk miliknya.

“Tadi mereka ngapain mas?”

“Siapa?”

“Cewek-cewek tadi.”

“Ngajak mas kenalan.”

“Terus mas mau?”

Seungcheol menggeleng. “Untuk apa?”

“Ya buat kenalan, nambah teman mungkin.”

“Kalo mas tuh ya nambah teman ya yang lebih berpengalaman di bisnis bukan mahasiswi, gak ada gunanya.”

Jeonghan mengangguk lalu ia kembali menyeruput minumannya.

“Jangan kebanyakan minum es Han, bunda dah sering ingetin kamu loh.”

“Abis haus banget tau mas, kayaknya tuh cuacanya panas banget jadi cocoknya minum yang dingin-dingin.”

“Alesan aja, nanti kalo di marahin bunda jangan minta tolong mas ya?”

Jeonghan mengerucutkan bibirnya. “Kan mas suaminya Han, harusnya lindungin Han dong dari amarah bunda.”

“Males ah.”

“Ih mas mah.”

Seungcheol tertawa melihat Jeonghan merajuk. Lalu ia mengusap-usap rambut Jeonghan, dan tidak sengaja melihat ada bekas cakaran yang sudah mulai menghilang di leher Jeonghan lalu ia mengelus bekas luka itu.

“Sakit pasti ya?”

Jeonghan menatap Seungcheol. “Apa?”

“Luka cakar. Sakit kan?”

Jeonghan tersenyum. “Udah biasa mas, udah kebal Han mah.”

“Kenapa mama papa kayak gitu ya ke Han?”

“Han gak tau mas, mungkin Han bukan anak kandung?”

“Han marah gak sama mama papa?”

“Engga mas, soalnya gitu-gitu mama papa kan udah nyekolahin Han sampe sekarang.”

“Bener, Han gak boleh ya marah sama mama papa.”

Jeonghan mengangguk.

“Tapi Jeonghan tau kan kalo sekarang udah bukan tanggungjawab mama papa lagi?”

“Han jadi tanggungjawabnya mas kan?”

Seungcheol mengangguk. “Jadi kalau mama papa minta Han ke rumah Han harus bilang sama mas. Mas gak akan biarin Han ke sana sendirian.”

“Sekalipun papa mama maunya Han sendirian ke sana?”

“Iya, Han harus ikutin kata-katanya mas aja. Kalau mas bilang engga berarti engga. Paham kan?”

Jeonghan mengangguk. “Paham mas.”

“Pinter.” Seungcheol mengecup kening Jeonghan.

“Kan Han yang mau ciumin mas.”

Seungcheol tertawa. “Nanti aja di rumah.”

“Ada Jihoon?”

“Yaudah di mobil.”

“Oke.”

Beberapa menit kemudian makanan mereka datang dan mereka memakannya.

. . . . . . . . . .

Dan benar, Seungcheol menepati janjinya. Saat ini Jeonghan ada di atas pangkuannya dengan baju yang sudah berantakan dan bibir bengkak. Posisi mereka saat ini ada di parkiran apartemen mereka.

“Eunghhhh masshh.” Jeonghan mendongakkan kepalanya ketika Seungcheol menggigit dan menjilati lehernya.

“Kamu belum boleh ya Han?”

Jeonghan menggeleng dengan lemas. “Nanti mas kalo udah 5 bulan. Boleh sih, kalo pelan-pelan.”

“Mas gak tau bisa nahan diri apa engga.” Seungcheol menjatuhkan kepalanya di bahu Jeonghan.

“Kalo mas mau ya ayo?”

“Mas takut ke kencengan, nanti aja nungguin udah kuat.”

“Tapi mas bangun.”

“Nanti mas tidurin sendiri, ayo naik kamu harus istirahat.”

“Mas?”

“Hm?”

“Han bantuin ya?”

“Hah?”

“Han kocokin? Atau sepong?”

“Kamu tau istilah itu darimana?”

“Jun. Dia suka gitu ke pacarnya kalo pacarnya lagi bete atau lagi pengen.”

“Besok-besok jangan main sama Jun lagi ya?”

“Kenapa?”

“Dia bikin otak kamu kotor.”

“Ih mas, serius tau.”

“Mas juga serius.”

“Tapi akhir-akhir ini Han suka mikirin juga.”

“Mikirin apa?”

“Ngelayanin mas, Han kan belum ngelayanin mas.”

“Lah ini udah jadi, apa dong namanya?”

“Yang mas nya sadar, Han juga suka kepengen terus Han searching katanya kalo lagi hamil emang gitu, hormon seks nya tinggi.”

Seungcheol tertawa. “Iya ngerti, tapi jangan sekarang ya? Baby nya belum kuat, mas takut kenapa-kenapa.”

“Tapi mas mau kan?”

“Mau apa?”

“Ngelakuin sama Han? Secara sadar.”

“Mau Han, mas mau banget. Sabar ya? Mas juga lagi nahan diri biar gak nyerang kamu.”

Lalu Jeonghan kembali menyatukan bibir keduanya.

“Temen kamu jadi pada kesini, Han?”

Jeonghan mengangguk. “Iya mas, gapapa kan?”

“Gapapa, mau dipesenin apa?”

“Nanti aja, tanya mereka mau apa hehehe.”

“Yaudah istirahat dulu. Oh ya, Jihoon bakal tinggal disini.”

“Hah? Terus tidur dimana? Atau Han tidur dimana?”

“Ya, kamu kan nanti tidurnya sama mas?”

“Hah? Sekamar?”

Seungcheol mengangguk.

“Mas serius?”

“Iya kenapa sih?”

“Kan mas bilang, kalau kamar mas cuma buat mba.”

Seungcheol tersenyum. “Itu dulu, sekarang cuma buat Han.”

Jeonghan memeluk Seungcheol. “Makasih mas.”

“Sama-sama. Kamu istirahat aja, mas mau bantuin Jihoon bongkar kopernya. Nanti kalo mau apa-apa panggil ya.”

Jeonghan mengangguk, Seungcheol mengecup kening Jeonghan lalu pergi menuju kamar adiknya.

“Semoga kamu bener-bener buat aku ya mas.”

“Mas?”

Seungcheol menoleh, sehabis menyuapi Jeonghan makan Seungcheol membersihkan bekas makanan Jeonghan.

“Ya, Han?”

“Han mau eskrim boleh?”

“Sudah malam, besok aja ya?”

Jeonghan mengerucutkan bibirnya, lalu ia mengubur dirinya dalam selimut. Seungcheol tersenyum, lalu ia mendekat dan mencoba membuka selimut yang membungkus tubuh Jeonghan.

“Ngambek?”

Jeonghan tidak menjawab.

“Yasudah mas pulang aja deh, daripada di diemin.” Ucap Seungcheol pura-pura merajuk juga. Jeonghan dengan cepat membuka selimutnya dan menatap Seungcheol dengan mata yang berkaca-kaca.

“Disini aja.”

“Ngapain mas disini kalo di diemin?”

“Maaf.”

“Jeonghan, mas tidak izin sekarang bukan karena apa-apa tapi kamu baru aja minum obat. Mas kan bukan tidak bolehin, cuma jangan sekarang.”

“Iya, maaf mas. Tapi Han pengen banget.”

“Iya besok, mas janji.”

“Oke.”

“Ya udah tidur sekarang.”

“Belum ngantuk.”

“Hm, Jeonghan?”

“Ya mas?”

“Mau cerita sama mas kejadian tadi siang?”

Seungcheol bisa melihat tubuh Jeonghan yang menegang.

“Kalau kamu belum siap, gapapa mas tunggu.”

“Mas, mas bakal percaya sama Han?”

“Iya, mas bakal percaya sama Han. Han kan sekarang suaminya mas, kita harus saling percaya.”

Jeonghan mengatur nafasnya.

“Han di dorong sama mama mas.”

Jujur Seungcheol terkejut. Kenapa?

“Mama jambak Han, mama cakar Han, mama tampar Han.” Nafas Jeonghan sudah memburu, Jeonghan teringat semua yang dilakukan mamanya.

“Hey, udah udah jangan di lanjutin. Tarik nafas, buang perlahan.” Jeonghan mengikuti ucapan Seungcheol. Dan saat ini ia sudah lebih tenang.

“Kalau boleh tau, kenapa?”

Jeonghan menggeleng. “Dari dulu, mama papa mba Naya selalu kasar sama Han. Waktu itu mas liat Han jalan pincang karena malemnya Han abis dipukulin sama papa karena Han pulang malem.”

Seungcheol benar-benar terkejut, kenapa mertuanya seperti itu?

“Jujur Han iri sama mba Naya, mba Naya selalu dapet apa yang dia mau, sedangkan Han harus usaha dulu. Han iri sama mba Naya yang bisa punya mas Cheol. Pokonya Han iri sama mba Naya tapi Han gak bisa ngapa-ngapain. Han selalu jadi orang kedua ketika mba engga ada, sama kayak kejadian waktu nikah. Han jadi cadangan pas mba engga ada. Tanpa papa bilang dulu sama Han, tanya Han mau apa engga, tanya Han baik-baik aja atau engga. Papa mama engga pernah nanya itu sama Han, yang mereka tau Han selalu salah. Tadi mama juga nyalahin Han karena Han hamil mama bilang Han seneng ngerebut mas dari mba. Padahal mereka yang dari awal buat semua ini.” Ucap Jeonghan dengan terisak-isak.

Seungcheol membawa Jeonghan kedalam pelukannya.

“Jeonghan, maaf. Maaf kalau kamu harus ngalamin ini semua. Maaf mas jahat sama kamu. Mas bawa kamu ke masalah ini. Jeonghan mas benar-benar minta maaf.”

“Ini bukan salah mas, tapi emang takdir hidup Han. Mas gak bisa nyalahin diri mas sendiri.”

Seungcheol menatap Jeonghan, ia menangkup wajah Jeonghan lalu mengecup bibir mungil Jeonghan dengan lembut.

“Jeonghan, ayo kita mulai semuanya dari awal.”

Disinilah Jeonghan sekarang, di depan rumah semasa ia kecil. Di rumah ini, ia tidak pernah merasakan yang namanya kehangatan. Hangat, bagi kakaknya tidak untuk dia.

Jeonghan mengambil nafas panjang lalu ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah itu. Ia membuka pintunya dan langsung disambut oleh mama papanya.

“Udah enak ya sekarang.”

Jeonghan memejamkan matanya ia memeluk perutnya yang sudah mulai terlihat.

“Udah enak ada yang selalu belain? Seneng kamu pergi dari rumah ini?”

Jeonghan menggeleng lalu berjalan mundur ketika mamanya berjalan mendekat ke arahnya.

“Kenapa? Kamu takut sama mama?”

“Ma, Han lagi hamil jangan sakitin Han ma.”

“Oh wow, kamu lagi hamil. Seneng ya bisa ambil Seungcheol dari Naya?”

“Jadi, sekarang salah Han lagi ya ma?”

Saat Jeonghan tidak menjawab, mamanya menjambak rambut Jeonghan dengan kuat.

“Ma, ampun ma. Han minta maaf ma.”

“Dasar, anak gak tau di untung kamu ya.”

Ditampar, dicakar, dijambak, ditarik, dan terakhir di dorong sampai perut Jeonghan membentur meja.

“Akh.” Jeonghan memegang perutnya yang sakit, ia mencoba meminta pertolongan pada mama papanya. Yup, papanya ada di sana, tapi ia hanya memperhatikan mamanya memperlakukan Jeonghan dengan sekasar itu.

“Ma, pa tol..ong aww.” Jeonghan melihat ada darah segar di celananya, ia berharap itu bukan anaknya.

Sementara di satu sisi lain, Seungcheol sedang membaca berkas-berkasnya dengan perasaan tidak enak. Ia terus saja kepikiran oleh Jeonghan.

“Jeonghan, kamu kenapa?”

. . . . . . . . . .

Seungcheol memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah mertuanya, tapi rumah sangat sepi seperti tidak ada orang. Dengan cepat ia masuk dan mendapati Jeonghan sudah tergeletak di lantai dengan celana penuh darah.

“Jeonghan.”

Seungcheol berlari ke arah Jeonghan, ia mencoba menyadarkan Jeonghan.

“Han, Han bangun. Ini mas, Jeonghan.”

Jeonghan sedikit membuka matanya. “M-mas ma-af. Ma-af Han ga bi-sa ja-ga an-ak ki-ta.”

Sehabis itu Jeonghan pingsan, dengan cepat Seungcheol membawanya ke mobilnya dan menuju rumah sakit.

Di mobil, Seungcheol mencoba menghubungi bundanya.

“Halo, bund?”

“Mas ada apa? Kenapa panik?”

“Bun, mas bawa Han ke rumah sakit Han pingsan bun dan kayaknya Jeonghan keguguran soalnya ada bercak darah di celananya.”

“Mas, kok bisa gini? Ada apa sebenarnya? Kamu berantem sama Jeonghan?”

“Engga bun, mas sama Han baik-baik aja. Ceritanya panjang, bunda samperin mas ke rumah sakit dekat rumah mama papa Yoon.”

“Iya-iya, bunda sama ayah ke sana. Kamu hati-hati ya mas.”

“Iya bun.”

Seungcheol mematikan sambungan teleponnya.

“Jeonghan, kamu harus bertahan.”

. . . . . . . . . .

Saat ini Seungcheol, bundanya ayahnya dan Jihoon—adiknya ada di depan salah satu ruangan.

“Mas, sebenernya ada apa?”

“Mas gak tau bun, tadi siang Jeonghan pamit buat ke rumah mama papa Yoon abis itu udah gak ada kabar lagi. Tadi perasaan mas gak enak jadi mas samperin ke sana pas mas sampai di sana Jeonghan udah tergeletak dibawah tapi mas gak liat ada papa mama di sana.” Bundanya memeluk Seungcheol dengan erat, ia tau anak sulungnya tengah ketakutan.

“Apa kak Han jatuh ya mas?”

“Mas juga gak tau dek. Tapi tadi selama Jeonghan minta izin dia kayak ketakutan tapi mas gak tau kenapa, ya mas pikirin kenapa Jeonghan takut ketemu sama keluarganya sendiri. Bunda, kalo ada sesuatu hal terjadi sama Jeonghan atau calon anak mas, mas gak bisa maafin diri mas sendiri.”

“Mas, ini bukan salah mas. Ini musibah, udah ya?”

“Jelas ini salah mas bun, kalau aja tadi mas nemenin Jeonghan gak akan kejadian kayak gini.”

“Mas, tapi kamu aneh gak? Masa mama papa mertua kamu engga ada di rumah? Padahal mereka nyuruh Jeonghan ke sana.” Ucap ayahnya

“Mas juga gak tau yah.”

“Jeonghan, selama ini di perlakukan baik kan ya mas di rumahnya?” Tanya bundanya

Seungcheol terdiam, lalu ia teringat beberapa bulan lalu Naya marah sekali karena ia dan Jeonghan berbicara.

“Mas, gak yakin bun.”

Belum sempat melanjutkan obrolan mereka, dokter keluar dari ruangan Jeonghan.

“Dok, gimana? Gimana suami dan calon anak saya?”

“Suami bapak baik-baik saja, tapi calon anak bapak tidak, kandungan suami bapak sangat-sangat lemah. Benturan itu cukup keras.”

“Tapi masih bisa di selamatkan kan dok?”

“Dan untungnya anak bapak kuat, jadi ia masih bisa di selamatkan.” Semuanya mendesah lega.

“Tadi dokter bilang, benturan? Karena di dorong?”

“Bisa jadi di dorong atau mungkin tidak sengaja tersandung sesuatu jadi mengakibatkan terbentur.”

“Ya sudah, terima kasih dokter sudah membantu suami saya.”

“Kalau begitu saya permisi.”

Selepas dokter pergi, mereka semua masuk ke dalam ruangan Jeonghan. Seungcheol mendekati Jeonghan, ia mengelus-elus rambut Jeonghan dan beberapa kali meminta maaf pada Jeonghan karena sudah lalai.

“Mas, gak mungkin kesandung kan?” Tanya Jihoon

“Mas juga gak tau dek.”

“Di dalam rumah engga mungkin kesandung kan mas?”

Seungcheol tidak menjawab, ia menggenggam tangan Jeonghan.

“Jeonghan, anak ini mungkin hadir karena kesalahan mas. Tapi mas berjanji akan selalu jaga kalian.”

Saat Seungcheol sampai di apartemennya pemandangan pertama yang ia temukan adalah bundanya sedang bercanda ria dengan Jeonghan sambil memasak. Ini selalu jadi impian Seungcheol, melihat bundanya akur dengan pasangannya. Tapi kalau saat ini Naya yang menjadi pasangannya mungkin ia tidak akan menyaksikan ini secara langsung. Naya tipe orang yang tidak suka berlama-lama di dapur, sedangkan bundanya adalah orang yang suka berlama-lama di dapur.

“Mas, udah pulang?”

Suara halus Jeonghan membuyarkan lamunan Seungcheol, Seungcheol mengangguk dan tersenyum lalu ia mencium tangan bundanya.

“Bunda kenapa gak bilang kalau mau kesini? Mas bisa jemput di rumah.”

“Nungguin kamu mah lama mas, bunda keburu kangen sama Jeonghan.”

“Bunda cuma kangen sama Jeonghan, tidak sama mas. Mas sedih.” Ucap Seungcheol sambil berjalan menuju kamarnya. Jeonghan dan bunda Choi tertawa.

“Mas mu tuh Han.”

Mas mu

Jeonghan tersenyum malu, lalu ia kembali memasak soto untuk Seungcheol.

. . . . . . . . .

“Bunda, nanti nginep kan? Nanti tidurnya sama Han.”

“Loh, memangnya boleh sama mas mu? Kamu tidur sama bunda?”

“Boleh, kan Han sama mas engga tidur sekamar.” Jawab Jeonghan enteng, lalu sedetik kemudian Jeonghan tersadar.

“Hah? Kalian gak sekamar? Mas, maksudnya apa?”

“Itu-itu bunda..” Seungcheol bingung harus menjawab apa, ia meminta pertolongan pada Jeonghan.

“Ehm, itu bunda selama Jeonghan hamil Jeonghan tuh gak mau tidur sama mas. Kayak kesel aja gitu bawaannya.”

“Jadi selama hamil aja kan?”

“Hahaha iya dong bunda, terus si bayi darimana asalnya kalo Han sama mas gak sekamar?”

“Mungkin aja Cheol lagi mabuk terus gak sadar menyetubuhi kamu?”

“Hahaha gak mungkin bunda, Han beneran deh. Ini kita sama-sama sadar. Ya kan mas?”

“I-iya bun.”

“Bunda bercanda tau mas, masa iya mas begitu. Yaudah bunda nginep di sini, nanti bunda bilang sama ayah.”

“Yeay.” Pekik Jeonghan, sedangkan Seungcheol bersyukur kalau bundanya percaya omongan Jeonghan. “Maafin mas ya bund”

. . . . . . . . .

Jeonghan sedang membersihkan piring-piring kotor di atas meja makan.

“Biar saya aja Han.”

“Engga usah mas, mas istirahat aja. Ini tinggal cuci doang kok.”

“Yasudah saya yang cuci.”

“Ih keras kepala banget sih.”

Seungcheol tidak menjawab, ia langsung mencuci piring yang tadi Jeonghan bawa dari meja makan.

“Baby, jangan ikutin sifatnya ayah Cheol ya?” Ucapan Jeonghan membuat gerakan tangan Seungcheol terhenti, dadanya berdebar-debar saat mendengar kata-kata Jeonghan.

Ayah Cheol?

Seungcheol kembali melanjutkan kegiatan mencuci piringnya dengan senyum mengembang.

“Semoga sifat kamu kayak papa Han ya baby.”

Seungcheol pulang tepat waktu hari ini, ketika ia masuk ia mendapati Jeonghan sedang merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah, dengan sedikit memijat-mijat keningnya.

“Kamu sakit?”

Jeonghan melihat Seungcheol yang sedang menatapnya.

“Cuma kecapean aja mas. Mas tumben udah pulang? Mau makan apa? Han bikinin ya?”

“Engga usah, saya masak sendiri aja. Kamu kalo sakit langsung ke rumah sakit.” Ucap Seungcheol sambil berjalan pergi meninggalkan Jeonghan.

“Tidak jelas, bintang satu.”

. . . . . . . . . . .

“Huekkkkk huekkkk.”

Jeonghan memijat-mijat tengkuk lehernya, agar ia bisa memuntahkan yang mengganjal di perutnya. Hampir setengah jam ia di kamar mandi tapi hanya keluar cairan bening saja.

Jeonghan keluar dari kamarnya berniat untuk mengambil minum, tapi di dapur ia mendapati Seungcheol sedang mengolah makanan.

Jeonghan hanya tersenyum ketika Seungcheol melihatnya, ia membuka kulkas dan menuangkan air ke dalam gelas yang ia ambil tadi.

“Mau?”

Jeonghan menoleh dan melihat Seungcheol sedang memperlihatkan makanan yang ia masak.

“Itu apa mas?”

“Gak tau ini namanya apa, cuma telur saya orek-orek tambahin ayam terus dikasih saus.”

“Han cobain ya mas?” Seungcheol mengangguk, Jeonghan mengambil garpu yang Seungcheol sediakan ia mengambil sedikit dan memakannya, baru saja di telan Jeonghan sudah berlari ke arah wastafel dan langsung memuntahkan makanan yang tadi ia telan.

“Huekkkkk.” Seungcheol dengan sigap membantu memijat-mijat tengkuk leher Jeonghan.

“Kamu gapapa?”

Belum sempat Jeonghan menjawab, Jeonghan sudah jatuh pingsan dipelukan Seungcheol.

. . . . . . . . .

“Jadi gimana dok?”

“Selamat ya pak Seungcheol.”

Seungcheol mengernyitkan keningnya. “Selamat?”

“Suami bapak sedang hamil muda.”

“Hamil?”

“Jangan bercanda, dokter.”

“Buat apa saya bercanda?”

Seungcheol terdiam.

“Ya sudah kalau begitu saya pamit, ini resep agar ditebus di apotek terdekat. Vitamin agar suami bapak dan calon anak bapak kuat.”

Seungcheol mengantar dokter itu keluar dari apartemennya. Lalu ia berpikir bagaimana bisa Jeonghan hamil?

Lalu ia tersadar, pada saat ia mabuk. Seungcheol dengan cepat membuka aplikasi cctv dari handphonenya, sebenarnya sudah lama ia pasang cctv di apartemennya termasuk kamarnya.

Deg

Ia melihat bagaimana ia bergerak di atas Jeonghan.

“Ya Tuhan.” Seungcheol mengusap wajahnya dengan kasar