Jeonghan kembali menerima pesan singkat dari mamanya, lagi-lagi ia harus ketakutan saat menerima pesan itu. Seungcheol masuk dengan segelas susu hamil dan sepiring buah-buahan yang sudah di potong kecil-kecil.
“Dek?”
Jeonghan menatap Seungcheol, ia berusaha biasa saja dengan apa yang ia dengar tadi—tentang ucapan Seungcheol dan Jihoon.
“Lama banget?”
“Bikin susu, terus motongin buah.”
Jeonghan mengangguk dan menerima susu yang Seungcheol berikan padanya.
“Mas?”
“Hm?”
“Mama chat aku lagi, nyuruh aku ke rumah. Gimana?”
“Kamu mau ke sana?”
“Aku kangen sama mama papa sih mas.”
“Bahkan saat kamu disakiti berlebihan kamu masih rindu sama mereka. Hati kamu terbuat dari apa Han?”
“Mas temenin ya?” Jeonghan mengangguk.
“Ayo mandi bareng aja.”
“Mandi doang loh.”
“Gak janji.” Seungcheol membantu Jeonghan berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Seungcheol dan Jeonghan sampai di rumah orang tua Jeonghan. Perasaan Jeonghan sama sekali tidak enak saat ini, ia meremat tangan Seungcheol dengan kuat.
“Hey, ada mas disini.” Jeonghan menoleh dan tersenyum pada Seungcheol.
Lalu keduanya melangkah masuk ke dalam, dan di dalam ternyata sudah ada papa dan mamanya.
“Seungcheol.” Mamanya malah menyapa Seungcheol terlebih dulu, Jeonghan melihat mamanya memeluk Seungcheol tanpa menganggap dirinya ada.
“Mama apa kabar?” Tanya Seungcheol
“Mama baik, kamu baikkan?”
“Baik ma, Jeonghan ngurusin aku dengan baik.” Jeonghan bisa melihat senyum mamanya yang luntur ketika Seungcheol menyebut namanya.
“Ayo duduk Cheol.” Ajak papanya. Hanya Seungcheol Seungcheol mengajak Jeonghan duduk.
“Papa sama Mama mau ngobrol apa sama Han?” Tanya Jeonghan
Sebelum mama dan papa nya menjawab, sebuah pintu terbuka.
“Cheol?”
Jeonghan dan Seungcheol menoleh dan mendapati seseorang di sana. Naya. Itu Naya. Jeonghan melihat Seungcheol yang berdiri menatap wajah Naya penuh kerinduan.
“Naya?”
Naya berlari ke arah Seungcheol dan memeluknya.
“Aku kangen banget Cheol.”
Seungcheol belum bereaksi apa-apa, ia masih memproses apa yang terjadi sekarang.
“Aku pulang Cheol.”
Jeonghan melihat Seungcheol membalas pelukan Naya.
“Mas.....” Lirih Jeonghan ketika Seungcheol sama sekali tidak ingat kalau ada ia di sana.
“Aku kangen banget sama kamu nay. Kenapa kamu pergi gitu aja?”
“Tapi sekarang aku udah pulang Cheol. Aku udah pulang ke kamu.”
Seungcheol menangis, memeluk Naya dengan erat seakan-akan tidak mau kehilangan Naya untuk kedua kalinya.
“Jangan tinggalin aku lagi, nay.”
Lalu semuanya gelap untuk Jeonghan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jeonghan terbangun dan tidak mendapati Seungcheol di sampingnya. Ia bangun dari tempat tidur dan keluar untuk mencari Seungcheol, tapi sebelumnya Jeonghan pergi ke dapur untuk mengambil minum setelahnya ia berjalan ke arah taman belakang rumahnya.
Prangggggggg
Gelas yang ia bawa terjatuh, ketika ia melihat Seungcheol sedang mencium Naya, tepat dibibirnya. Jeonghan berjalan cepat menuju keduanya, dan menarik Seungcheol.
“Apa maksudnya mas?”
Seungcheol terkejut ketika melihat Jeonghan.
“Dek, mas bisa jelasin.”
“Apa?” Jeonghan sudah menangis, hatinya sakit sekali.
“Heh, lo tuh ganggu orang aja ya? Ngapain sih lo disini?”
“Mba, mas Seungcheol sekarang suami aku. Jelas aku kesini untuk bawa suami aku.” Saat Jeonghan akan menarik tangan Seungcheol, Naya menahannya.
“Selamanya Seungcheol cuma punya gue.”
“Mba yang ninggalin mas, dan sekarang mau ambil mas lagi? Mba gak bisa seenaknya gitu.”
“Dari awal Seungcheol emang punya gue. Lo yang ambil dia dari gue. Lo jalang, Jeonghan. Lo nyerahin tubuh lo buat orang yang gak bakal sama lo. Lo harus sadar posisi lo, Jeonghan.”
“Mas Seungcheol suami aku mba.”
Plakkkk
Naya menampar pipi Jeonghan dengan keras, Seungcheol terkejut.
“Naya, kamu jangan kasar gitu sama Jeonghan.”
“Dia rebut kamu dari aku Cheol, dan sekarang dia gak tau diri.”
“Aku gak pernah rebut siapa-siapa dari siapa-siapa. Papa mama yang suruh aku nikah sama mas Seungcheol, kenapa masih aku yang disalahin? Aku korban disini.”
“Cuma sementara Jeonghan. Lo udah gak dibutuhin sekarang. Mending lo pergi.”
“Mas, ayo?” Jeonghan mengulurkan tangannya tapi dalam waktu lama Seungcheol tidak menjabat juga tangannya.
“Mas?”
Seungcheol masih diam, ia menatap Jeonghan dengan tatapan awal mereka bertemu. Tatapan kasian.
“Ternyata kamu cuma kasian sama aku ya, mas?”
Jeonghan menurunkan tangannya.
“Kamu pilih mba Naya ya mas?”
Jeonghan mengangguk. “Aku paham sekarang.”
Jeonghan melangkah menjauh dari Naya dan Seungcheol. Ia bahkan tidak bisa merasakan apa-apa sekarang.
“Dasar anak pungut.”
Langkah Jeonghan terhenti. Ia berbalik menatap Naya.
“Kenapa? Lo marah gue bilang anak pungut? Elo emang anak pungut Jeonghan, mama papa nemuin lo di depan pintu rumah. Hahaha, bahkan sama orang tua kandung lo aja lo gak di harapkan. Gak akan pernah ada yang sayang sama lo Jeonghan. Lo cuma anak pungut yang engga akan bisa dapetin kasih sayang dari siapa-siapa.”
Dua kali. Dua kali hatinya dihancurkan. Ia menatap Seungcheol lalu melanjutkan langkahnya. Ia menatap mama papa nya yang hanya melihat.
“Kenapa mama papa gak cerita dari awal ke Han? Biar ada yang dijadiin pelampiasan ya? Pantes gak ada yang pernah sayang sama Han disini. Han selalu mikir, Han salah apa sampe mama papa segitu marahnya sama Han, ternyata ini alasannya. Kalo boleh minta Han gak pernah mau dilahirin, Han gak pernah mau ada di dunia ini.”
Jeonghan menjeda kalimatnya, ia menahan amarahnya—tidak bisa ia luapkan di depan orang tuanya.
“Han mau makasih sama papa mama karena udah mau rawat Han dari kecil, mau sekolahin Han, mau kasih makan Han, makasih untuk semuanya. Maaf kalo Han suka bikin papa mama marah, Han gak bermaksud tapi mungkin yang di pikiran papa mama beda. Han pamit ya ma pa.” Jeonghan sempat mencium kedua tangan orang tuanya.
Lalu Jeonghan kembali menuju Seungcheol dan Naya.
“Mba, Han pamit. Makasih ya mba udah kasih tau Han semuanya.” Jeonghan mencium tangan Naya.
Lalu Jeonghan menatap Seungcheol, ia tersenyum dengan air mata yang masih mengalir.
“Mas Cheol, makasih untuk beberapa bulan ini. Makasih udah bikin Han tau rasanya disayangin gimana. Han pamit ya mas? Han titip salam buat bunda, ayah, Jihoon bilangin makasih udah sayang sama Han.” Dan terakhir Jeonghan mencium tangan Seungcheol, dengan terpaksa ia harus melepaskan laki-laki yang telah mengisi hati dan hari-harinya beberapa bulan belakangan.
“Han....” Lirih Seungcheol, ia menitikkan air matanya menyaksikan Jeonghan pergi.
Seungcheol tidak bisa menahan Jeonghan, karena tiba-tiba saja kakinya kaku dan tidak bisa ia gerakkan. Jeonghan pergi, ntah kemana.
Dan bagi Jeonghan, tidak ada yang menahannya lagi di sana dan lebih baik ia pergi. ketempat dimana orang-orang tidak bisa menemukannya, menyakitinya lagi.
“Baby, gapapa kan kalau cuma sama papa? Ayah gak bisa bareng-bareng kita lagi. Maafin papa karena udah bikin baby sedih, tapi papa mohon sama baby jangan benci ayah ya sayang?” Ucap Jeonghan sambil mengelus perutnya yang membesar. Jeonghan mengambil handphonenya, lalu menelpon seseorang.
“Jisoo, gue boleh minta tolong gak?”