Disinilah Jeonghan sekarang, di depan rumah semasa ia kecil. Di rumah ini, ia tidak pernah merasakan yang namanya kehangatan. Hangat, bagi kakaknya tidak untuk dia.

Jeonghan mengambil nafas panjang lalu ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah itu. Ia membuka pintunya dan langsung disambut oleh mama papanya.

“Udah enak ya sekarang.”

Jeonghan memejamkan matanya ia memeluk perutnya yang sudah mulai terlihat.

“Udah enak ada yang selalu belain? Seneng kamu pergi dari rumah ini?”

Jeonghan menggeleng lalu berjalan mundur ketika mamanya berjalan mendekat ke arahnya.

“Kenapa? Kamu takut sama mama?”

“Ma, Han lagi hamil jangan sakitin Han ma.”

“Oh wow, kamu lagi hamil. Seneng ya bisa ambil Seungcheol dari Naya?”

“Jadi, sekarang salah Han lagi ya ma?”

Saat Jeonghan tidak menjawab, mamanya menjambak rambut Jeonghan dengan kuat.

“Ma, ampun ma. Han minta maaf ma.”

“Dasar, anak gak tau di untung kamu ya.”

Ditampar, dicakar, dijambak, ditarik, dan terakhir di dorong sampai perut Jeonghan membentur meja.

“Akh.” Jeonghan memegang perutnya yang sakit, ia mencoba meminta pertolongan pada mama papanya. Yup, papanya ada di sana, tapi ia hanya memperhatikan mamanya memperlakukan Jeonghan dengan sekasar itu.

“Ma, pa tol..ong aww.” Jeonghan melihat ada darah segar di celananya, ia berharap itu bukan anaknya.

Sementara di satu sisi lain, Seungcheol sedang membaca berkas-berkasnya dengan perasaan tidak enak. Ia terus saja kepikiran oleh Jeonghan.

“Jeonghan, kamu kenapa?”

. . . . . . . . . .

Seungcheol memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah mertuanya, tapi rumah sangat sepi seperti tidak ada orang. Dengan cepat ia masuk dan mendapati Jeonghan sudah tergeletak di lantai dengan celana penuh darah.

“Jeonghan.”

Seungcheol berlari ke arah Jeonghan, ia mencoba menyadarkan Jeonghan.

“Han, Han bangun. Ini mas, Jeonghan.”

Jeonghan sedikit membuka matanya. “M-mas ma-af. Ma-af Han ga bi-sa ja-ga an-ak ki-ta.”

Sehabis itu Jeonghan pingsan, dengan cepat Seungcheol membawanya ke mobilnya dan menuju rumah sakit.

Di mobil, Seungcheol mencoba menghubungi bundanya.

“Halo, bund?”

“Mas ada apa? Kenapa panik?”

“Bun, mas bawa Han ke rumah sakit Han pingsan bun dan kayaknya Jeonghan keguguran soalnya ada bercak darah di celananya.”

“Mas, kok bisa gini? Ada apa sebenarnya? Kamu berantem sama Jeonghan?”

“Engga bun, mas sama Han baik-baik aja. Ceritanya panjang, bunda samperin mas ke rumah sakit dekat rumah mama papa Yoon.”

“Iya-iya, bunda sama ayah ke sana. Kamu hati-hati ya mas.”

“Iya bun.”

Seungcheol mematikan sambungan teleponnya.

“Jeonghan, kamu harus bertahan.”

. . . . . . . . . .

Saat ini Seungcheol, bundanya ayahnya dan Jihoon—adiknya ada di depan salah satu ruangan.

“Mas, sebenernya ada apa?”

“Mas gak tau bun, tadi siang Jeonghan pamit buat ke rumah mama papa Yoon abis itu udah gak ada kabar lagi. Tadi perasaan mas gak enak jadi mas samperin ke sana pas mas sampai di sana Jeonghan udah tergeletak dibawah tapi mas gak liat ada papa mama di sana.” Bundanya memeluk Seungcheol dengan erat, ia tau anak sulungnya tengah ketakutan.

“Apa kak Han jatuh ya mas?”

“Mas juga gak tau dek. Tapi tadi selama Jeonghan minta izin dia kayak ketakutan tapi mas gak tau kenapa, ya mas pikirin kenapa Jeonghan takut ketemu sama keluarganya sendiri. Bunda, kalo ada sesuatu hal terjadi sama Jeonghan atau calon anak mas, mas gak bisa maafin diri mas sendiri.”

“Mas, ini bukan salah mas. Ini musibah, udah ya?”

“Jelas ini salah mas bun, kalau aja tadi mas nemenin Jeonghan gak akan kejadian kayak gini.”

“Mas, tapi kamu aneh gak? Masa mama papa mertua kamu engga ada di rumah? Padahal mereka nyuruh Jeonghan ke sana.” Ucap ayahnya

“Mas juga gak tau yah.”

“Jeonghan, selama ini di perlakukan baik kan ya mas di rumahnya?” Tanya bundanya

Seungcheol terdiam, lalu ia teringat beberapa bulan lalu Naya marah sekali karena ia dan Jeonghan berbicara.

“Mas, gak yakin bun.”

Belum sempat melanjutkan obrolan mereka, dokter keluar dari ruangan Jeonghan.

“Dok, gimana? Gimana suami dan calon anak saya?”

“Suami bapak baik-baik saja, tapi calon anak bapak tidak, kandungan suami bapak sangat-sangat lemah. Benturan itu cukup keras.”

“Tapi masih bisa di selamatkan kan dok?”

“Dan untungnya anak bapak kuat, jadi ia masih bisa di selamatkan.” Semuanya mendesah lega.

“Tadi dokter bilang, benturan? Karena di dorong?”

“Bisa jadi di dorong atau mungkin tidak sengaja tersandung sesuatu jadi mengakibatkan terbentur.”

“Ya sudah, terima kasih dokter sudah membantu suami saya.”

“Kalau begitu saya permisi.”

Selepas dokter pergi, mereka semua masuk ke dalam ruangan Jeonghan. Seungcheol mendekati Jeonghan, ia mengelus-elus rambut Jeonghan dan beberapa kali meminta maaf pada Jeonghan karena sudah lalai.

“Mas, gak mungkin kesandung kan?” Tanya Jihoon

“Mas juga gak tau dek.”

“Di dalam rumah engga mungkin kesandung kan mas?”

Seungcheol tidak menjawab, ia menggenggam tangan Jeonghan.

“Jeonghan, anak ini mungkin hadir karena kesalahan mas. Tapi mas berjanji akan selalu jaga kalian.”