thatausaha

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasssasaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaassssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasassaaaaaaasssssasssssssssssss

Jeonghan masih mondar-mandir di depan pintu menunggu Seungcheol pulang, sampai jam 2 dini hari Seungcheol belum juga pulang.

Cklekkkk

Pintu terbuka dan Seungcheol ada di sana—dalam keadaan mabuk.

“Mas?” Jeonghan dengan sigap membantu menopang tubuh Seungcheol saat Seungcheol akan terjatuh.

Jeonghan membawa Seungcheol masuk ke dalam kamar milik Seungcheol.

“Mas, kenapa sampai mabuk?”

Jeonghan menjatuhkan tubuh Seungcheol ke atas ranjang milik Seungcheol, ia membukakan sepatu dan jas yang Seungcheol gunakan.

“Tidur nyenyak mas.”

Saat akan pergi, Seungcheol menarik tangan Jeonghan sehingga Jeonghan terjatuh di atas tubuhnya. Sedetik kemudian Seungcheol mencium bibir Jeonghan dengan kasar, Jeonghan menggeleng keras untuk menolak karena ia tidak mau melakukan saat Seungcheol dalam keadaan mabuk.

“Mas, jangan.” Jeonghan menangis ketika Seungcheol makin berani memegang dadanya.

Srekkkkkk

Seungcheol merobek baju yang Jeonghan kenakan, lalu terpampang dengan jelas dada putih mulus Jeonghan dan Seungcheol menatapnya dengan tatapan lapar.

Seungcheol mengulum puting milik Jeonghan, membuat sang empu meringis antara sakit dan nikmat yang bersamaan.

“Mashhh janganhhh eunghhhh.” Desahan lolos begitu saja dari mulut Jeonghan saat Seungcheol dengan cepat mengocok kejantanannya. Jeonghan menggeliat tidak nyaman, tapi ia juga merasakan nikmat yang belum pernah ia rasakan. Lalu selang beberapa menit Seungcheol sudah dalam keadaan telanjang, ia sudah mengarahkan kejantanannya ke lubang Jeonghan. Jeonghan menggeleng memohon agar Seungcheol tidak melakukan itu.

Seungcheol yang dalam keadaan tidak sadar karena alkohol tidak menghiraukan ringisan Jeonghan, ia makin menggerakkan pinggulnya dengan cepat. Katakanlah Jeonghan munafik, tadi ia memohon pada Seungcheol untuk berhenti tapi sekarang ia mendesah dengan keras sampai suaranya memenuhi seluruh kamar itu.

Beberapa saat kemudian, Jeonghan merasakan kejantanan Seungcheol membesar di dalamnya

“NAYYYYYYY ARGHHHH.”

. . . . . . . . . .

Seungcheol terbangun dari tidurnya, kepalanya terasa sangat pusing karena efek dari alkohol yang ia minum semalam. Sedetik kemudian ia menyadari kalau pakaian yang ia gunakan bukan pakaian kantor yang kemarin ia gunakan. Jeonghan. Pasti Jeonghan yang menggantinya. Tapi sedetik kemudian juga Seungcheol ia juga sadar kalau ia bahkan tidak ingat apa yang terjadi semalam.

Seungcheol keluar dari kamarnya dan mendapati Jeonghan sedang memasak di dapur apartemennya.

“Kamu yang gantiin baju saya?”

Jeonghan terlonjak kaget ketika mendengar suara Seungcheol tiba-tiba.

“Iya mas, maaf ya. Semalem mas muntah jadi aku gantiin baju mas.”

Seungcheol terdiam, lalu ia mengangguk dan pergi begitu saja.

Jeonghan jatuh kalau saja ia tidak pegangan pada meja pantry. Ia memegang dadanya yang terasa sangat sakit.

“Kenapa orang-orang jahat banget sama Han? Han salah apa ya? Kenapa sama sekali gak ada yang bisa jadiin Han istimewa?”

Jeonghan bangun dari tidurnya, lalu ia membersihkan tubuhnya. Beberapa menit kemudian, setelah selesai mandi ia bergegas menuju dapur untuk menyiapkan sarapan untuknya dan suaminya.

Suami memikirkannya saja sudah membuat wajah Jeonghan bersemu.

Skip time

Tok tok tok tok

Seungcheol membuka pintunya dan langsung berhadapan dengan Jeonghan yang masih mengenakan apron.

“Ada apa?”

“Baru bangun ya mas? Han udah siapin sarapan buat mas. Sarapan yuk?”

“Jeonghan.”

“Ya?”

“Kamu gak usah susah payah melakukan sesuatu untuk saya. Karena sampai kapanpun saya tidak akan pernah bisa cinta sama kamu.”

Senyum Jeonghan luntur seketika, tapi sedetik kemudian ia kembali tersenyum.

“Oke mas Cheol, maaf kalo Han lancang. Han cuma mau melakukan kewajiban Han sebagai suaminya mas, tapi ternyata mas malah terganggu sama apa yang Han lakuin. Maaf ya mas, Han balik lagi ke dapur.”

Jeonghan pergi meninggalkan Seungcheol yang diam membisu, sejujurnya Seungcheol tidak tega berbicara seperti itu apalagi setelah ia melihat tatapan tulus dari Jeonghan.

“Jeonghan, maafkan saya.”

Hari ini adalah hari pernikahan Naya dan Seungcheol. Keluarga besar Seungcheol sudah memenuhi rumah Naya.

Baru pertama kalinya Jeonghan melihat kedua orang tuanya tersenyum tulus pada orang lain selain pada Naya.

“Kapan ya mama sama papa senyum tulus kayak gitu ke gue?”

“Jeonghan, panggil mba Naya.” Bahkan ketika berbicara padanya saja mamanya memasang wajah masam.

Jeonghan bergegas menuju kamar Naya, ia mengetuk pintu kamar Naya beberapa kali tapi tidak ada jawaban. Akhirnya Jeonghan memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kamar itu.

“Mba?” Jeonghan masuk dan tidak mendapati Naya di sana lalu ia mengecek kamar mandi yang ada di dalam kamar itu, tapi nihil Naya tidak ada.

Jeonghan kalang kabut ketika mengetahui itu, tapi matanya tertuju pada sepucuk di atas ranjang Naya.

“Mba Naya kabur?”

. . . . . . . . . .

“Pah, mah.” Jeonghan berteriak sambil berlari menuruni anak tangga.

“Apasih? Emang kamu pikir kamu di hutan?”

“Bahkan di depan orang banyak mama gak bisa bersikap baik sama gue.”

“Ma, mba Naya gak ada di kamarnya.”

“Apa maksudnya Han?”

“Mba Naya gak ada mas, Han cuma nemuin ini di kamar mba Naya.”

Jeonghan memberikan surat itu pada Seungcheol, dengan tergesa Seungcheol membukanya.

“Pa, ma kalo kalian udah baca surat ini artinya aku udah gak di Indonesia. Aku pergi dulu ya? Cuma buat sementara kok hehehe. Cheol, gapapa kan nikahnya kita tunda dulu? Jujur aku belum siap nikah Cheol. Aku janji, cuma nunda bukan ninggalin kamu. ❤️”

Seungcheol meremat surat itu, lalu membuangnya ke lantai.

“Apa isinya Cheol?” Tanya ayah Choi

“Naya pergi, dia bilang dia belum siap nikah.”

Ucapan Seungcheol tentunya membuat semua orang terkejut.

“Terus ini gimana? Batal?” Tanya bundanya.

“Seungcheol papa minta maaf. Tapi gimana kalo acara ini jangan dibatalin?”

“Maksud papa apa? Naya gak ada, aku harus nikah sama siapa?”

“Gimana kalo Jeonghan?”

“Selamat Jeonghan, lo jadi figuran lagi di hidup orang lain.”

. . . . . . . . . .

Jeonghan dan Seungcheol sudah berada di apartemen mewah milik Seungcheol. Seharusnya apartemen itu Seungcheol gunakan dengan Naya, bukan Jeonghan.

“Han, kamar kamu di sana ya?” Seungcheol menunjuk kamar yang dekat dengan dapur.

“Mas Seungcheol?”

“Ya?”

“Kita gak sekamar?”

Seungcheol menggeleng. “Kamar saya cuma buat Naya.”

Lalu Seungcheol pergi masuk ke kamarnya, meninggalkan Jeonghan yang menangis.

Jeonghan keluar dari kamarnya dengan jalan terpincang-pincang, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.

“Jeonghan, kok gak kuliah?”

Jeonghan mendapati Seungcheol—kekasih kakaknya ada di sana. Pagi-pagi udah bertamu

“Kesiangan mas.” Jawab Jeonghan sambil menyengir

“Makannya jangan tidur malem-malem.”

Jeonghan mengacungkan jempolnya lalu ia berjalan kembali menuju dapur.

“Kaki kamu kenapa?”

Jeonghan menggeleng. “Gapapa mas, jatoh tadi.”

“Udah di urut? Atau kamu mau periksa ke dokter aja? Nanti takut ada yang parah.”

Jeonghan menganga lebar ketika Seungcheol berbicara seperti itu.

“Ini gak bisa ya gue aja yang nikah sama mas Seungcheol? Mba Naya beruntung banget bisa jalanin hidup sama mas Seungcheol.”

“Han?”

Jeonghan terlonjak kaget. “Engga usah mas, udah Han kasih salep sama urut dikit-dikit nanti sore juga udah enakkan.”

“Kamu jangan suka asal urut loh Han, nanti salah urat aja.”.

“Hehehehe oke mas.”

“Ngapain lo disini?”

Naya bertanya dengan ketusnya saat melihat Seungcheol berbicara dengan Jeonghan.

“Aku mau ambil minum mba. Yaudah mas Cheol, Han duluan ya.”

“Gak usah ganjen lo.”

“Nay, aku kok yang ajak dia ngobrol.”

Naya memutar bola matanya jengah, sedangkan Jeonghan kembali berjalan menuju kamarnya.

“Aku gak suka kamu ngobrol sama dia.”

“Kenapa sih? Dia kan bakal jadi Adek aku nantinya.”

“Ya ga suka aja.”

“Udah ah jadi berantem. Ayo nanti kesiangan fitting bajunya.”

“Yaudah yuk.”

. . . . . . . . . .

Jeonghan menatap kepergian mobil yang membawa Seungcheol dan Naya dari jendela kamarnya.

“Salah gak sih gue iri sama kakak gue sendiri?”

happy birthday Areum

Hari ini adalah hari ulang tahun Areum yang ke 4, tapi hari ini hanya dirayakan dengan papa dan ayahnya. Karena Hansol-Seungkwan sedang honeymoon, papa-mama Jeonghan sedang pulang ke kampung halaman mereka, ayah-bunda Seungcheol juga sedang berlibur. Sedangkan om-om nya Areum kebetulan juga sedang sibuk semua.

“It's okay kan sayang dirayain sama papa dan ayah aja?” Tanya Jeonghan sambil menyiapkan makanan untuk mereka

“Aku sedih tapi it's okay pa.”

“Nanti kan kita bikin acara yang gede lagi, ya kan?”

“Huum.”

Seungcheol keluar dari kamar dengan wajah segar karena habis mandi.

“Anak ayah yang paling cantik.” Ucap Seungcheol sambil mengecup pipi gembul Areum

“Kan anak ayah cuma aku aja, emang ayah punya anak lagi?”

Seungcheol dan Jeonghan saling tatap, lalu tersenyum kikuk.

“Waktunya tiup lilin.” Ucap Jeonghan agar mengalihkan pembicaraan mereka.

“Yeay.”

. . . . . . . . . .

“Tiup lilinnya, tiup lilinnya tiup lilinnya sekarang juga sekarang juga sekarang juga.”

Wushhhhhhhhhh

Areum meniup lilinnya dengan cepat, ketika sudah mati mereka bertepuk tangan.

“Hore.”

“Areum mau hadiah apa dari ayah?”

“Adik bayi.” Jawab Areum cepat

Jeonghan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia mengangkat bahunya ketika Seungcheol menatapnya.

“Aku mau adik bayi ayah.”

“Oke, tapi ayah sama papa bikin dulu.”

“Bikinnya seperti apa? Seperti papa bikin kue ulang tahun Areum?”

“Rahasia, Areum gak boleh tau dan gak boleh ikut.”

Areum cemberut. “Kenapa ayah? Aku ingin lihat.”

“Engga boleh sayang, Areum masih kecil jadi gak boleh liat. Ayah sama papa masih Areum adik bayi tapi Areum gak boleh nakal, oke?”

“Areum tidak nakal. Iya kan pa?”

Jeonghan mengangguk. “Areum anak baik.”

“Tuh kan ayah, papa bilang begitu.”

“Berarti Areum harus jadi anak lebih baik lagi?”

“Kenapa?”

“Kan Areum mau jadi kakak, gak boleh cengeng.”

“Memangnya kenapa?”

“Nanti kalo Areum cengeng, adiknya siapa yang jagain?”

“Kan ada ayah. Ayah selalu jaga Areum dan papa, kenapa adik bayi tidak.”

Seungcheol menggigit bibir bawahnya menahan kesalnya, Jeonghan hanya menahan tawa ketika melihat Seungcheol seperti itu.

“Udah, pokonya Areum gak boleh nakal, harus nurut sama semuanya. Nanti papa kasih adik bayi.”

“Beneran ya pa?”

“Iya sayang.”

“Asik.”

“Elo emang paling top deh, yang laen bengbeng.”

. . . . . . . . .

Seungcheol dan Jeonghan sudah di kamar mereka, setelah menidurkan anak mereka tentunya.

“Mau adik bayi katanya yang.”

Jeonghan tertawa. “Bikin dong?”

“Yuk?”

“Han capek mas, besok aja ya?”

Seungcheol tersenyum. “Gue gak mau maksa, lo bukan boneka sex gue. Kalo lo gak mau lo boleh nolak.”

Jeonghan mengecup bibir Seungcheol. “Makasih mas sayang.”

“Sama-sama sayang, ayo kita tidur. Besok nguli.”

Lalu keduanya sama-sama terlelap.

Seungcheol menaruh handphonenya lalu ia bergegas menuju Jeonghan yang berada di dapur.

“Yang?”

Jeonghan menoleh dan menatap Seungcheol datar.

“Gak.”

Seungcheol memajukan bibirnya. “Yaelah yang, udah lama nih engga.”

“Mas gak liat aku lagi pegel-pegel?”

“Kan mas yang gerak.”

“Ya sama aja, aku ikutan gerak.”

“Yang.”

“Engga ya mas.”

Seungcheol berjalan menjauh dari Jeonghan dengan langkah lesu, Jeonghan menghela nafasnya.

“Ditolak engga tega, di iyain gue nya capek. Pengen juga sih, tapi gimana ya.” Ucap Jeonghan

. . . . . . . . . . .

“Eunghhhh mas.”

Seungcheol sudah menggerakkan pinggulnya dengan cepat, ia menahan pinggul Jeonghan agar bergerak berlawanan dengannya. Kepalanya terdongak ke atas ketika lubang milik Jeonghan meremas miliknya.

“Jeonghan gak pernah ga enak.”

“Terushhh mashh.”

Keduanya merasakan pusing di kepala mereka.

“Han, dikit lagi mas mau keluar.”

“Han juga mas.”

Oek oek oek

Keduanya terhenti dan saling pandang.

“Areum mas.”

“Yang, dikit lagi sumpah.” Seungcheol kembali menggerakkan pinggulnya.

Oek oek oek

Seungcheol tidak menghentikan gerakannya, tapi Jeonghan menyuruhnya berhenti.

“Mas, anaknya itu nangis.”

Seungcheol masih terus bergerak. “Yang, dikit lagi.”

“Seungcheol, anak lo nangis.” Seungcheol berhenti ketika Jeonghan membentaknya. Lalu ia mengeluarkan miliknya dari lubang Jeonghan dan memakai kembali pakaiannya, begitu juga dengan Jeonghan yang langsung memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya, lalu ia pergi menuju kamar anaknya.

. . . . . . . . .

Jeonghan kembali ke kamarnya setelah Areum tertidur dengan pulas, tapi ia tidak menemukan suaminya ada di sana.

“Kamu kemana mas?” Ia mencoba menghubungi handphone Seungcheol yang ternyata Seungcheol tidak membawa handphonenya.

“Mas.” Jeonghan merasakan akan menangis sekarang.

. . . . . . . . . .

“Kok lo disini mas?” Seungcheol sedikit bergeser ketika Hansol datang. Seungcheol berada di rumah orang tuanya.

“Suntuk gue.”

“Kenapa?”

“Gapapa.”

“Yaelah, masih aja. Berantem sama kak Han?”

Seungcheol tidak menjawab.

“Mas, lo umur berapa sih? Berantem itu harusnya dikelarin masalahnya bukan malah kabur gini.”

“Gue cuma lagi suntuk aja sol.”

“Suntuk sama kak Han? Sama Areum?”

Lagi-lagi Seungcheol tidak menjawab.

“Atau lo cemburu sama Areum?”

Skakmat

“Cemburu sama Areum? Benerkan gue?”

“Gue sama Jeonghan lagi ngewe, terus tiba-tiba Areum nangis terus Jeonghan minta gue berenti padahal bentar lagi sampe.”

“Hah? Lo serius ngambek gara-gara gagal keluar?” Wah gila sih, lo ketauan bunda abis deh. Lagian lo jadi laki gak bisa tahan nafsu banget sih? Kasian banget kak Han punya laki kelebihan hormon kek lo.”

Ucapan Hansol menusuk tepat ke ulu hatinya.

“Mas, berkeluarga tuh bukan masalah ngewe doang. Ayah kan sering bilang sama kita. Kalo kita udah milih seseorang artinya kita harus bisa ngertiin dia seutuhnya. Jelas kak Han mentingin Areum, kalo misalkan Areum kenapa-kenapa gimana? Beh nyesel lu pasti. Gimanapun Areum juga masih kecil, masih butuh pengawasan, kalo misalkan yang ngawasin lalai terus dia celaka gimana? Gimana pertanggungjawaban lu ke kak Han? Ke ayah-bunda? Ke mama-papanya kak Han? Ke Tuhan?”

Seungcheol tidak menjawab, ia langsung buru-buru pergi tanpa menghiraukan panggilan Hansol.

. . . . . . . . .

Seungcheol buru-buru masuk ke dalam rumahnya, dan ia mendapati Jeonghan sedang menangis di sofa ruang tamu.

“Sayang.”

Jeonghan mendongak, ia berlari ke arah Seungcheol.

“Mas, maafin Han. Maafin Han bikin mas kesel, jangan tinggalin Han, mas.” Seungcheol memeluk erat Jeonghan, ia mencium kening Jeonghan berkali-kali.

“Maafin Han, mas.”

“Jeonghan, yang harusnya minta maaf itu mas. Harusnya mas ngertiin, karena kita udah bukan pasangan suami-suami baru menikah, tapi sekarang udah ada Areum. Harusnya mas paham kalo Areum harus nomor satu di atas segalanya. Maaf mas kekanak-kanakan. Maaf sayang.” Jeonghan juga membalas pelukan Seungcheol tidak kalah erat.

“Mas?”

“Ya sayang?”

“Ayo lagi?”

Seungcheol mengecup kening Jeonghan lagi. “Kapan-kapan aja ya? Mas tau kamu capek. Kita tidur aja, bawa Areum biar tidur sama kita.”

Saat Seungcheol akan mengajaknya ke kamar, Jeonghan menolaknya.

“Han mau, mas.”

“Han?”

“Please ayah. Papa mau banget. Tadi kan papa belum keluar. Ya?”

“Yaudah, tapi satu ronde aja ya?”

“2 ya mas?”

“Yang?”

“Pleaseee.”

“Oke.”

“Han di atas?”

“Nanti capek.”

“Pleaseee.”

“Yaelah yang, gue mana bisa nolak kalo lu manis banget gini.”

Jeonghan tersenyum lebar, ia tau Seungcheol tidak akan pernah bisa menolaknya.

“Oke, password nya?”

“Singa, kelinci on top boleh?”

“Gas, yang.”

“Mas, bangun.”

Jeonghan menggoyangkan lengan Seungcheol pelan, agar Areum tidak terbangun. Seungcheol termasuk orang yang gampang bangun ketika dibangunkan.

“Jam berapa yang?” Seungcheol mengucek matanya dengan sebelah tangannya dan yang sebelahnya ia gunakan untuk memeluk erat tubuh Areum.

“Jam 1, mas. Pindah ke kasur, Areum biar Han pindahin ke boxnya.”

Seungcheol memberikan Areum pada Jeonghan.

“Taro box, tutup yang rapih lempar ke sungai.” Ucap Seungcheol sambil membuka bajunya dan berlindung dibawah selimut.

“Ngelantur banget jadi bapak.”

Setelah menaruh Areum, Jeonghan ikut masuk ke dalam selimut itu. Ia menarik tangan Seungcheol agar ia bisa masuk ke dalam pelukan suaminya. Seungcheol terbangun sedikit lalu ia mengerti dan langsung membawa Jeonghan kedalam pelukannya.

“Susah gak boboin Areum?”

“Engga, aku mpok-mpokin 30 menit udah tidur dia.”

Jeonghan mendengus kesal. “Sama aku kenapa lama banget. Kan aku juga bapaknya.”

“Lah dia kan sperma aku yang, jadinya aku paham.” Jeonghan mencubit lengan Seungcheol pelan, Seungcheol hanya tertawa kecil.

“Bobok sayang, besok akan lebih berat.”

“Mas ih.”

“Kamu mau pake baby sitter aja?”

“Nooooo, aku gak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

“Gak boleh negatif thinking.”

“Bukan negatif thinking mas, cuma emang mas tega ngasih anak mas di urus sama orang lain? Yang ngeliat pertama kali tumbuh kembang dia tuh orang lain? Aku sih gak rela.”

Seungcheol mengeratkan pelukannya. “Love you sayang.”

“Tiba-tiba?”

“Engga aku emang love you banget.”

Jeonghan mengusakkan wajahnya di dada Seungcheol.

“Love you too, ayah.”

Lalu keduanya sama-sama terlelap

Semua orang tersenyum cerah ketika keluarga Choi datang, Jeonghan bisa melihat mama dan papanya tersenyum tulus pada laki-laki yang nantinya akan menjadi kakak iparnya.

“Kapan ya papa mama senyum kayak gitu ke gue?”

“Jeonghan panggil mba Naya.” Suruh mamanya

Jeonghan tidak menjawab, ia langsung pergi. Sesampainya di sana ia menemukan kamar itu kosong, tas yang semalam dipakai mbanya untuk mengemas baju juga tidak ada, ia hanya menemukan secarik surat di atas ranjang.

“Ma, mba Naya gak ada.”

“Apa maksudnya Han?” Tanya Seungcheol

“Aku cuma nemuin ini mas, mba Naya gak ada.” Jeonghan menyerahkan surat itu, lalu Seungcheol membacanya dan beberapa menit kemudian ia meremat surat itu.

“Naya pergi, dia bilang dia belum siap menikah.” Semua orang terkejut.

“Cheol, papa minta maaf. Bagaimana kalau kita ganti dengan Jeonghan?”

“Bahkan papa gak minta pendapat gue.”

Jihoon keluar dari gedung kantornya pada pukul 20.00, saat akan memesan ojek online ia melihat mobil yang sangat familiar dan ternyata mobil kekasihnya. Jihoon berjalan menuju dimana mobil itu terparkir dan langsung masuk ke dalam mobil itu.

“Kok jemput gak bilang? Untung aku belum pesen ojek.”

“Lagian kamu punya pacar bukannya dipergunakan dengan baik.”

Jihoon tertawa. “Kamu kan pacar aku bukan tukang ojek.”

“Ojek pribadi it's okay yang.”

“Mas?”

“Hm?”

“Peluk boleh?”

“Boleh sayang.”

Jihoon memeluk Seungcheol, ia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher kekasihnya itu. Seungcheol mengelus punggung Jihoon.

“Ada aku, jangan takut sendirian.” Ucap Seungcheol

“Aku sayang banget sama kamu mas.”