thatausaha

Soonyoung terbangun dan langsung melihat ke sekelilingnya—ini bukan kamarnya. Lalu pandangannya tertuju pada seorang laki-laki yang tertidur dengan menggenggam tangannya. Jihoon. Ada Jihoon di sampingnya. Dan ia tidak tau kenapa rasanya hangat sekali ketika Jihoon menggenggam tangannya. Ia menggenggam balik tangan Jihoon, sesekali ia elus dengan lembut.

“Nghhhhh.” Jihoon mengerang ketika ia merasakan ada sesuatu yang mengelus tangannya.

“Soonyoung, lo udah bangun? Masih sakit gak? Atau butuh sesuatu?”

Soonyoung menggeleng. Tapi tidak melepaskan genggaman tangannya.

“Soon?”

“Saya bikin ulah ya?”

Jihoon terdiam, lalu ia mengangguk. “Lo hampir nyelakain Athan sama kak Han.”

Jihoon melihat Soonyoung mendesah panjang, Jihoon tau Soonyoung menyesal.

“Penyakit sialan.”

Soonyoung melepaskan genggaman tangannya dan memukuli dirinya sendiri.

“Soon hey jangan gini.” Jihoon mencoba menghentikan Soonyoung.

“Saya nyakitin Athan.”

“Athan udah baik-baik aja.”

“Mereka pasti benci sama saya.”

“No, gak ada yang benci sama lo.”

Dilihat Soonyoung sudah mulai tenang, Jihoon membawanya ke dalam pelukannya.

“Gak ada yang benci sama lo, young.”

Soonyoung membalas pelukan Jihoon. “Saya mau sembuh, Hoon.”

“Iya, kita berobat bareng-bareng ya young.”

Saat ini Soonyoung berada di apartemen Jeonghan. Ia datang tiba-tiba saja saat Jeonghan hanya berdua dengan Athan.

“Kamu kenapa kesini gak kabarin aku dulu Sun?”

Soonyoung menoleh menatap Jeonghan sekilas dan kembali bermain dengan Athan.

“Gak boleh? Biasanya juga gitu.”

“Ya tapi sekarang kan beda, aku gak enak sama mas Cheol kalo bawa laki-laki lain ke rumah tanpa ada siapapun.”

Soonyoung meremat kecil tangan Athan yang ada di genggamannya sehingga Athan menangis—karena sakit.

“Sun, kamu nyakitin Athan.”

“Kamu juga nyakitin aku Han.”

Jeonghan berusaha mengambil Athan dari Soonyoung, tapi Soonyoung tidak memberikannya.

“Sun.”

“Athan anak aku, dia baik-baik aja sama aku.”

“Tapi Athan nangis Sun.”

“ITU KARENA KAMU JAHAT SAMA AKU HAN.”

Athan dan Jeonghan terkejut ketika Soonyoung berteriak. Athan bahkan sudah menangis dengan kencang.

“Athan sedih kalo kamu jahat sama aku. Ya kan sayang, kamu sedih kan papa jahat sama Daddy?” Nada suara Soonyoung

Jeonghan hampir menangis, ia benar-benar takut dengan Soonyoung sekarang. Ia buru-buru menyuruh Seungcheol pulang.

“Kamu chat siapa Han? Laki-laki brengsek itu?”

“Aku chat temen-temen aku Sun.”

Lalu Soonyoung berjalan ke arah Jeonghan dengan Athan di gendongannya. Jeonghan berjalan mundur perlahan.

“Kamu takut sama aku Han?”

“Sun, kamu jangan gini. Kamu buat Athan takut sama kamu.”

“Athan nangis karena kamu jahat sama aku Han.”

Jeonghan menggeleng, ia masih berjalan mundur sampai akhirnya tubuhnya terpojok.

“Sun.”

Saat Soonyoung akan meraih Jeonghan, pintu apartemen terbuka. Dan ada di Jihoon di sana.

“Heh, lo ngapain?”

“Ji, tolong.” Ucap Jeonghan lirih

Jihoon mendekat ke arah Jeonghan dan Soonyoung. Tapi Soonyoung menghalanginya.

“Jangan mendekat.”

Jihoon terhenti ketika Soonyoung menghadangnya.

“Wah sakit ya lo?”

Soonyoung terdiam.

“Lo beneran sakit? Harusnya elo di rumah sakit jiwa bukan malah berkeliaran di sini.”

“Saya ga sakit.”

“Lo sakit. Lo ngapain masih ngejar-ngejar orang yang udah bersuami?”

“Kalo aja kakak kamu gak dateng, mungkin sekarang Jeonghan udah jadi punya saya.”

Jihoon tersenyum miring. “Sakit lo.”

“Saya gak sakit, Jihoon.”

“Heh, Kwon Soonyoung Lo harusnya sadar dong kalo kak Han gak bakal mau sama lo. Mana mau dia sama laki-laki kasar kayak lo? Hah? Dan gue bilangin sama lo ya, mendingan lo berobat karena kalo lo kayak gini gue pastiin lo akan tua membusuk sendirian.” Ucapan Jihoon membuat Soonyoung terdiam, ini Jihoon gunakan untuk memberi aba-aba pada Jeonghan agar berjalan pelan, dan sinyal itu Jeonghan tangkap. Ia berjalan pelan menjauhi Soonyoung masih belum merespon.

“Lo bahkan buat Athan takut sama lo. Jadi lo masih ngarep kak Han bakal mau sama lo?” Tanya Jihoon sambil menarik perhatian Soonyoung sambil Jeonghan berjalan pelan menjauhi Soonyoung.

“Kasih ke gue si Athan.” Ucap Jihoon, Soonyoung tersadar bahwa Jeonghan sudah berada jauh di depannya.

“Han?”

“Sun, aku mohon jangan sakitin Athan.”

“Kasih ke gue. Cepet. Atau Lo mau gue panggilin polisi karena udah bikin gak nyaman disini?”

Soonyoung masih enggan memberikan Athan pada Jihoon. Dan di saat yang sama, Seungcheol datang bersama Seokmin—Jeonghan juga menghubunginya.

“Soon, kasih ke gue ya Athan nya. Dia nangis daritadi.” Ucap Seokmin sambil berjalan pelan-pelan ke arah Soonyoung.

“Gak. Gue gak akan pernah kasih Athan ke kalian, dia anak gue.”

“Oke Athan anak lo, tapi kalo lo sayang sama Athan lo jangan bikin dia nangis.”

“Athan.” Soonyoung baru tersadar saat melihat Athan menangis. Ia buru-buru memeluk erat Athan agar tidak menangis lagi.

Seokmin mengajak Jihoon berjalan mendekat ke arah Soonyoung yang kembali lengah. Dibelakang Seungcheol mencoba menenangkan Jeonghan.

“Kasih ke Jihoon ya, soon?” Soonyoung masih memeluk erat Athan.

Jihoon mengambil tangan Athan, lalu Seokmin dengan cepat menyuntikkan suntikan berisi obat tidur ke Soonyoung. Soonyoung terjatuh, dan untungnya Athan berhasil Jihoon ambil.

“Mas Cheol, boleh minta tolong bantu angkat?” Seungcheol dengan sigap membantu Seokmin mengangkat tubuh Soonyoung.

“Seok, itu oke?” Tanya Jeonghan

“Oke kak, itu yang biasa gue kasih ke dia kalo dia ngamuk.”

. . . . . . . . .

“Jadi sebenarnya Soonyoung kenapa?” Tanya Jihoon.

Seokmin dan Jeonghan saling berpandangan, lalu Jeonghan mengangguk pada Seokmin.

“Jadi Soonyoung mengidap fear of abandonment.” Ucap Seokmin

“Itu apa?” Tanya Seungcheol

“Itu trauma mas, trauma masa lalu dimana pengidapnya takut akan kehilangan seseorang.”

“Dia pernah ditinggalin?”

“Soonyoung dulu pernah punya orang yang akan dia nikahin, namanya Lee Chan. Seminggu sebelum menikah, Chan meninggal karena kecelakaan sama Soonyoung. Harusnya mereka dipingit, tapi Soonyoung maksa untuk ketemu saat itu. Dan ya kecelakaan terjadi, Chan meninggal ditempat sedangkan Soonyoung dia koma beberapa bulan. Setelah dia bangun, yang dia cari ya Chan. Sebelum Chan juga pernah sama seseorang, dia meninggal juga tapi kalau yang dulu karena si orang itu sakit keras jadi emang ga bisa di tolong.”

Jihoon terdiam, ia menyesal sudah berkata kasar pada Soonyoung tadi. Lalu ia pamit untuk melihat keadaan Soonyoung.

“Gue ga tau kalo lo serapuh ini. Maaf Soonyoung, maaf.” Jihoon mengelus sebentar tangan Soonyoung tapi kemudian ia tarik kembali karena ia tidak ingin mengganggu Soonyoung, tapi saat akan pergi Soonyoung menarik tangannya dengan keadaan mata terpejam.

“Jangan pergi, jangan tinggalin aku.” Igau Soonyoung, akhirnya Jihoon menetap di sana dengan tangan yang masih Soonyoung genggam.

Di depan kamar, ada seseorang yang memperhatikan mereka, lalu orang itu menutup kembali pintu kamar dan pergi.

Jisoo menunggu teman Jeonghan dengan sabar, ia sesekali merapihkan pakaiannya agar terlihat menarik di depan teman Jeonghan.

“Jisoo ya?”

Jisoo mendapati seorang laki-laki tampan di depannya.

“Dokter Seokmin?”

Seokmin tertawa ketika mendengar ucapan Jisoo.

“Seokmin aja.”

Jisoo tersipu malu ketika Seokmin tersenyum manis padanya.

“Jadi, bisa langsung ke rumah kak Jeonghan ya?”

“Ah iya, ayo Seokmin.”

Lalu keduanya berjalan menuju mobil Jisoo.

“Kata Jeonghan, kamu dokternya Soonyoung ya?”

“Iya betul banget.”

“Emangnya Soonyoung sakit apa sih?”

Seokmin tersenyum. “Nanti kamu tanya ke Jeonghan aja ya?”

“Oh oke, sorry ya kepo banget.”

Seokmin hanya tersenyum.

“Buset dah, murah senyum banget. Jadi terangsang gue.”

Jeonghan terlihat sibuk sendiri dengan handphonenya, itu cukup membuat Seungcheol bingung.

“Sayang, ada apa?”

Jeonghan menoleh dan mendekat ke arah Seungcheol.

“Aku lagi hubungin Seokmin mas. Tapi dia belum bales.”

“Seokmin? Siapa?”

Jeonghan keceplosan. Ia menggigit bibir bawahnya. Seungcheol mengelus bibir Jeonghan.

“Jangan di gigit ah. Kalo kamu belum bisa cerita gapapa, dek.”

“Maaf ya mas, aku udah janji sama Sun gak cerita sama siapapun.”

“Mas ngerti dek. Udah ah jangan dipikirin ya? Tidur yuk? Athan udah tidur.”

“Makasih ya mas udah bantu aku tidurin Athan.”

“Athan kan anaknya mas, kamu gak usah berterimakasih gitu. Sekarang ayo papa yang ayah tidurin.”

Jeonghan memukul dada Seungcheol pelan.

“Mesum.”

Seungcheol tertawa. “Udah lama engga nih.”

“Emangnya gak pernah jajan?”

“Jajan apa? Mas jajan sama dek ji, makanan terus.”

“Jajan yang lain yang di maksud aku, mas.”

“Iya sayang ngerti, tapi mas gak pernah begitu. Boro-boro mikirin jajan, mikirin suami mas ntah kabur kemana.”

“Hehehehe, kan sekarang udah disini.”

Seungcheol mengeratkan pelukannya. “Kalo udah disini gak bakal boleh pergi lagi.”

“Siapa juga yang mau pergi, capek gendong Athan terus.”

“Oh jadi aku cuma di suruh gendong Athan aja?”

Jeonghan mengecup bibir Seungcheol. “Gendong papanya Athan juga dong, ayah.”

“Siap papanya Athan.”

Seungcheol mendorong troli belanjanya ke bagian mie instan, akhir-akhir ini ia dan Jihoon suka mengkonsumsi makanan instan itu karena tidak ada waktu—mereka berdua sibuk.

“Beli yang banyak aja kali ya sekalian?”

Akhirnya ia mengambil banyak mie instan goreng dan kuah. Setelah itu ia akan menuju ke bagian buah-buahan tapi sebelum itu ia melewati rak khusus bayi.

Ia tersenyum melihat banyak susu formula untuk bayi di sana, ia berkhayal suatu saat akan pergi kesini juga dengan Jeonghan untuk membeli susu untuk anaknya.

“Mikir apa sih gue? Jeonghan gak bakal mau balik sama gue.”

Akhirnya ia melanjutkan kegiatan berbelanjanya. Hampir sekitar 1 jam lebih ia berbelanja, dan sekarang saatnya pulang.

. . . . . . . .

Seungcheol turun dari mobilnya dan mengambil semua belanjaannya. Dengan susah payah ia membawa belanjaan itu, ia sudah menghubungi Jihoon tapi Jihoon tidak menjawabnya. Jadi mau tak mau ia harus membawanya sendiri.

Seungcheol memasukkan kode apartemennya setelah pintu terbuka ia masuk dengan cepat.

“Ji, kamu mah parah banget mas telponin gak di angkat.” Dumel Seungcheol, ia belum melihat sekitarnya.

“Mas?”

Seungcheol menoleh ke arah Jihoon, lalu senyumnya luntur seketika ketika melihat Jeonghan di sana. Dengan seorang bayi di gendongannya.

“Mas Cheol?”

Jeonghan

Seungcheol berjalan perlahan menuju Jeonghan, lalu ia menatap wajah anak kecil yang mirip dengannya.

“Nathan. Choi Nathan.” Jeonghan memperkenalkan bayi laki-laki itu pada Seungcheol.

Seungcheol menitikkan air matanya, lalu ia mengelus lembut bayi itu.

“Halo, Nathan. Ini ayah Cheol.”

. . . . . . . . . .

Jeonghan berkutat di dapur Seungcheol, ia terkejut ketika melihat isi belanjaan yang Seungcheol beli tadi. Nathan sedang main dengan Jihoon.

“Kamu nyetok mie banyak banget mas.”

Seungcheol menggaruk tengkuknya. “Gimana ya Han, mas sama Jihoon sibuk jadi gak ada waktu buat masak. Jadi nyari yang gampang aja.”

“Tapi kan gak baik buat kesehatan, mas.”

“Iya mas tau Han.”

“Terus mas masih konsumsi obat tidur?”

Seungcheol mengernyitkan keningnya. “Darimana kamu tau?”

“Jihoon. Dia udah ceritain semuanya ke Han.”

“Maaf Han, mas gak bisa tidur tenang pas kamu pergi.”

“Maaf ya mas, gara-gara Han mas jadi kayak gitu.”

“Bukan salah kamu, salah mas. Salah mas gak bisa tegas. Salah mas jadi kamu pergi waktu itu. Kamu harus menderita lagi karena mas.”

Jeonghan mendekat ke arah Seungcheol, ia mengelus pipi Seungcheol yang menurutnya agak tirus.

“Salah kita berdua mas.”

Seungcheol menarik pinggul Jeonghan agar mendekat padanya. Lalu ia menyatukan kening keduanya.

“Kalau ini cuma mimpi, mas gak mau bangun Han.”

“Sayangnya ini bukan mimpi mas.”

“Iya, kamu bukan mimpi.”

“Mas.”

“Ya dek?”

“Aku pulang.”

Seungcheol tersenyum. “Welcome home, dek. Makasih udah inget jalan pulang.”

“Ekhmm, mohon maaf bapak-bapak anaknya rewel.” Jihoon dengan jengkel memberikan Athan pada Jeonghan.

“Makasih ya ji udah mau direpotin.”

“Ya sama-sama kak, cuma tau tempat ya. Gue kan jomblo.”

Jeonghan dan Seungcheol tertawa.

“Cari pacar dong.”

“Sombong banget, baru beberapa jam yang lalu lo jadi team ngenes sama gue.”

“Sekarang kan udah engga.” Ucap Seungcheol dengan bangga ia merangkul pinggang Jeonghan.

Jihoon memutar bola matanya jengah. “Rese.”

Soonyoung dan Jeonghan sudah sampai di tempat dimana Jihoon ingin bertemu.

“Tumben kamu ajak aku kesini?”

“Ada yang mau ketemu kamu.”

“Siapa?”

“Nanti juga kamu tau.”

Jeonghan bertanya-tanya, jangan-jangan Seungcheol?

“Udah lama?” Tanya Soonyoung pada laki-laki yang duduk membelakangi mereka. Laki-laki itu berdiri dan ketika laki-laki itu berbalik, Jeonghan sangat terkejut.

“Jihoon?”

Jihoon tersenyum pada Jeonghan.

“Kak Han apa kabar?”

Jeonghan meminta penjelasan pada Soonyoung.

“Duduk dulu Han, harusnya aku yang tanya sama kamu. Kenapa kamu kenal sama dia?”

Dia Soonyoung bahkan tidak mau menyebut nama Jihoon.

“Ji, kamu sama siapa disini?”

“Kak Han jelasin dulu aja ke Soonyoung, baru nanti aku ceritain.”

“Sun, Jihoon ini adiknya suami aku.”

Soonyoung jelas terkejut. “Kenapa kamu gak cerita, Han?”

“Aku juga gak tau kenapa Jihoon ada disini.”

“Kasih tau kak, siapa nama suami kakak.”

Jeonghan tidak pernah bercerita tentang siapa suaminya, ia hanya bercerita tentang kisahnya.

Jeonghan menghela nafasnya. “Suami aku Seungcheol, Sun. Choi Seungcheol.”

Soonyoung makin ketika tau siapa suami Jeonghan—Seungcheol yang juga adalah rekan bisnisnya.

“Kenapa kamu gak cerita sama aku Han? Kamu gak percaya sama aku?”

“Sun, gak gitu aku...”

“Kak, maaf gue potong.” Jihoon memotong pembicaraan Jeonghan dan Soonyoung.

“Ji kesini cuma mau jelasin apa yang terjadi 2 tahun lalu setelah kak Han pergi. Jadi ji mohon jangan di sela dulu ya?”

Soonyoung dan Jeonghan mengangguk.

Flashback on

Setelah Jeonghan pergi beberapa menit yang lalu Seungcheol baru mengejarnya tapi ia terlambat.

“Cheol, kenapa kamu malah kejar dia?”*

“Jeonghan suami aku, Nay.”

“Oh, kamu udah suka sama dia?”

“Dia lagi mengandung anak aku.”

“Terus kenapa? Kamu mau tanggung jawab?”

“Iya, aku akan tanggung jawab sama dia. Dia suami aku, dia hamil anak aku.”

“Terus gimana sama aku, Cheol?”

“Kamu pergi gitu aja, Nay dan sekarang kamu dateng juga begitu aja. Jeonghan bener, kamu gak bisa seenaknya gini. Aku juga punya perasaan.”

“Terus kenapa kamu bales ciuman aku? Aku tau kamu masih sayang sama aku.”

“Kamu salah, Nay. Aku bales ciuman kamu karena aku mau menutup semua kisah kita. Aku udah gak ada rasa sama kamu, aku udah ga bisa rasain getaran cinta dari kamu. Aku mau nutup semuanya tentang kita, Nay.”

“Cheol, tapi kamu gak bisa gitu aja ninggalin aku.”

“Terus cuma kamu yang boleh ninggalin aku?”

Naya terdiam

“Nay, bumi ga berputar mengelilingi kamu. Dan di bumi bukan cuma kamu yang punya perasaan. Jadi stop bertingkah egois kayak gini.”

Lalu Seungcheol menatap kedua mertuanya

“Aku gak nyangka ternyata papa mama tega sama Jeonghan. Jeonghan selalu mikirin papa mama, tapi apa balasannya? Kalian malah jahat sama dia.”

Cheol, mama.....”

“Karena Jeonghan udah bukan tanggungjawab mama dan papa lagi, aku akan tarik semua saham yang aku punya di perusahaan papa.”

“Cheol, kamu gak bisa kayak gitu dong sama papa.”

“Cheol, akan jahat sama siapapun yang nyakitin Jeonghan.”

Lalu Seungcheol pergi, tanpa memperdulikan teriakan dari orang yang sekarang menjadi mantan papa mertuanya

“Jeonghan, aku akan marah sama siapapun yang jahat sama kamu. Termasuk aku marah sama diri aku sendiri.”

Setelah kejadian itu, Seungcheol mencari Jeonghan kemana-mana tapi nihil ia tidak bisa menemukan Jeonghan dimana-mana. Seungcheol sudah mendapat caci maki dari sahabat-sahabat Jeonghan. Bahkan ia mendapat bogeman dari Jisoo saat itu.

Flashback off

“Sampai sekarang mas nyari kak Han, dan ternyata kak Han udah bahagia.”

Jihoon menarik nafasnya, ia mendongakkan kepalanya agar air matanya tidak jatuh.

“Selama 2 tahun ini aku yang di samping mas, aku yang tau mas gimana, mas kenapa, aku yang tau kak. Mas bahkan hampir mati karena terlalu banyak minum obat tidur.”

Jihoon mengambil tangan Jeonghan.

“Kak Han, aku ngewakilin mas Cheol aku minta maaf karena mas Cheol udah pernah jahat sama kakak. Aku mohon kak Han jangan pernah benci sama mas ya kak? Mas orang baik, baik banget. Aku cuma minta tolong itu sama kak Han.”

Jihoon menangis sesenggukan di atas tangan Jeonghan, ia memohon maaf yang sebesar-besarnya pada Jeonghan.

“Aku sama mas besok pulang. Karena menurut mas udah gak ada yang perlu dilakukan lagi disini.”

Jihoon melepaskan genggaman tangannya pada tangan Jeonghan. Lalu ia bangkit dan merunduk sedikit.

“Halo, Athan. Ini om Jihoon. Athan sehat-sehat terus ya. Maaf kalo kita ketemu pas waktunya gak tepat. Om Jihoon pamit dulu, Athan baik-baik sama papa ya?” Jihoon mengecup kening bayi itu. Lalu ia menghapus air matanya.

“Kak Han, Ji pamit dulu ya?”

Saat akan pergi, Jihoon menatap Jeonghan yang masih menangis.

“Kak Han harus bahagia, ya.”

Setelahnya, Jihoon pergi tanpa menoleh kebelakang lagi.

Soonyoung berlari menuju unit apartemen Jeonghan, ia mengetuk pintu dengan keras.

“Han, ini aku.”

Jeonghan membuka pintu dan langsung memeluk Soonyoung, Soonyoung sendiri menenangkan Jeonghan dan Athan yang menangis secara bersamaan dipelukannya.

“Hey, udah ya udah. Aku disini.”

“Aku takut Sun.”

“Gak ada yang perlu kamu takutin, Han. Ada aku disini.”

“Aku takut dia ambil Athan dari aku, Sun.”

“Dan aku gak akan pernah biarin itu terjadi Han. Aku gak akan pernah biarin kamu sedih.”

Jeonghan mengeratkan pelukannya, ia benar-benar takut sekarang. Takut kalau ternyata Seungcheol hanya ingin mengambil Athan darinya.

Tapi tanpa mereka sadari, Seungcheol melihat semuanya. Ia bahkan tau siapa laki-laki yang Jihoon maksud.

“Ternyata kamu bener-bener udah dapet pengganti aku ya Han?”

Seungcheol meninggalkan Jeonghan dan Soonyoung yang masih berpelukan di depan unit apartemen Jeonghan, dengan hati yang terluka.

“Mungkin, ini emang karma buat gue. Dulu gue nyakitin Jeonghan, dan sekarang gue yang ada di posisi Jeonghan. Sakit banget, ya Tuhan.”

Jeonghan sibuk hari ini, ditambah dengan Athan yang rewel dari pagi.

“Athan, sebentar ya sayang papa lagi bikinin susu dulu.”

Setelah pembicaraannya dengan Soonyoung semalam, Soonyoung tidak ada kabar pagi ini. Mungkin Soonyoung butuh waktu atau mungkin ia kecewa dengan Jeonghan.

Lamunannya buyar ketika pintu apartemennya diketuk seseorang.

Siapa?

Jeonghan membawa botol berisi susu, ia membukakan pintu. Dan betapa terkejutnya ketika ia mendapati Seungcheol di sana.

Botol yang Jeonghan terjatuh, dan tumpah semuanya bahkan mengenai sepatu Seungcheol.

“Jeonghan?”

Jeonghan buru-buru akan menutup pintunya, tapi Seungcheol dengan cepat menahannya. Tenaga Jeonghan kalah kuat dengan Seungcheol.

“Jeonghan, tolong kasih mas satu kesempatan lagi.”

“Engga mas, engga. Pergi. Pergi yang jauh jangan pernah muncul lagi.”

“Jeonghan.”

Keduanya masih sibuk dengan pintu sampai mereka lupa ada Athan yang menangis dengan keras.

“Jeonghan, itu baby? Baby nya ayah?”

“Bukan, itu anak aku. Bukan anak mas.”

“Jeonghan mas mohon. Mas mau ketemu sama baby.”

“Engga. Pergi mas, pergi. Jangan pernah muncul lagi dihadapan aku.”

“Jeonghan.”

Dengan sekuat tenaganya, Jeonghan berhasil menutup pintu dari dalam. Dengan nafas tersengal ia memegangi dadanya yang terasa nyeri.

“Mas, maaf aku gak bisa ketemu kamu.”

Jihoon duduk di salah satu bangku di taman itu, sambil mendengarkan musik. Ia memandang jauh ke depannya dengan pikiran menerawang. Setelah pertemuannya dengan Soonyoung kemarin, laki-laki menjadi lebih sering berada di dalam benaknya. Ia mencoba menepis pikiran itu tapi tidak bisa, Soonyoung benar-benar sudah berdiam diri di otaknya.

“Arghhhh ngapain sih gue mikirin cowok aneh kayak dia? Masa iya gue jatuh cinta pada pandangan pertama. Aneh banget lo Jihoon.”

“Permisi?”

Jihoon menoleh dan mendapati seseorang yang ia pikirkan daritadi.

“Lo ngapain?” Tanya Jihoon, lalu pandangannya tertuju pada seorang bayi laki-laki yang berada di gendongan Soonyoung. “Udah berkeluarga ternyata.”

“Kamu lagi, kamu tuh ngikutin saya ya?”

“Pede banget sih lo. Emangnya lo siapa?”

“Tadinya saya mau minta tolong, tapi ternyata kamu orangnya saya jadi males minta tolong.”

“Helo, Lo pikir gue mau nolongin lo? Gak usah kepedean deh.”

Soonyoung akan pergi, dan Jihoon kembali pada posisi awalnya. Saat tau Jihoon tidak menahannya, Soonyoung mengernyitkan keningnya tapi sedetik kemudian ia tidak perduli akan hal itu.

. . . . . . . . . .

Jihoon memasuki cafe dekat taman yang tadi ia kunjungi. Ia memilih tempat duduk di pojok ruangan. Belum sempat ia duduk, ia melihat Soonyoung di sana dengan anak bayi yang tadi sore juga dan seorang pria di depannya.

“Suaminya?”

Posisi duduknya membelakangi Soonyoung dan seorang laki-laki yang Jihoon yakini suaminya. Tapi dari situ ia bisa mendengar jelas semua pembicaraan mereka.

“Kamu yakin gak mau pikirin lagi?”

“Mereka akan bercerai?”

“Aku gak bisa Sun, kamu pantes dapet yang lebih baik dari aku.”

Jihoon membulatkan matanya terkejut, ia ingat suara itu. Suara laki-laki yang membuat kakaknya kehilangan arah selama 2 tahun. Tapi tidak mungkin kan kalau laki-laki yang ia maksud adalah suami Soonyoung? Maksudnya, apakah selama ini pencarian kakaknya sia-sia?

“Tapi aku yakin kamu yang paling baik, Han.”

Han?

Jihoon masih menyimak pembicaraan keduanya.

“Sun, aku dan suamiku yang dulu belum bercerai.”

“Tapi selama 2 tahun ini dia gak menafkahi kamu Han.”

“Itu karena dia gak tau aku dimana?”

“Kamu yakin dia masih cari kamu?”

Seorang yang Soonyoung panggil Han itu tidak menjawab, dan Jihoon yakin kalau itu benar-benar Jeonghan.

“Kak Han, mas ada disini. Please jangan kemana-mana dulu.”

Jihoon memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian karena Seungcheol sangat-sangat sibuk. Setelah memberitahu Seungcheol tentang rencananya, ia pergi menuju halte bus terdekat dari hotel tempat mereka menginap.

Bukkkkkkkk trakkkk

Handphone Jihoon terjatuh dan tidak sengaja terinjak oleh orang yang menabraknya.

“Shit.” Umpat Jihoon

“Sorry, saya gak sengaja.”

Orang Indonesia

“Mana ada orang sengaja jatohin hape orang, terus sengaja di injek?”

“Iya maaf, saya bakal ganti rugi.”

“Lain kali hati-hati mas. Yang jalan gak cuma lo.”

“Sekali lagi saya minta maaf. Ini kartu nama saya, kamu boleh hubungin nomor saya dan minta ganti rugi. Saya buru-buru.” Saat orang itu akan pergi, Jihoon menahannya.

“Kenapa gak sekarang? Gue ga bisa ngapa-ngapain nih kalo gak ada handphone.”

“Tapi saya lagi buru-buru.”

“Tapi gue juga ga bisa ngapa-ngapain kalo ga ada handphone.”

Orang itu mendesah kesal.

“Okay, lagian kamu ngapain jalan sendirian? Mama papa kamu mana?”

“Ngapain sih lo nanya-nanya papa mama gue? Baru ketemu dah mau ketemu mama papa gue.”

“Astaga gak gitu, maksud saya kenapa SMP ditinggal sendirian di sini?”

Jihoon menganga lebar.

“Siapa yang elo maksud anak SMP?”

“Kamu. Kan saya lagi ngomong sama kamu.”

“Gue bahkan bisa ya tebalikin badan lo. Gue umur 27 tau.”

“Oh maaf, saya kira kamu....”

“Body shimming lo, mentang-mentang badan gue pendek Lo pikir gue bocah? Yang badannya gede belom tentu tua.”

“Iya-iya saya minta maaf.”

“Minta maaf mulu.”

“Iya saya minta maaf mulu. Sekarang bisa kita ke urusin handphone kamu? Saya buru-buru.”

“Yaudah ayo.”

. . . . . . . . . .

Jihoon dan orang itu sudah mendapatkan apa yang mereka butuhkan.

“Udah kan? Saya pergi.”

Lagi-lagi Jihoon menahannya.

“Apa lagi?”

“Traktir gue makan juga dong.”

Orang itu memutar bola matanya jengah.

“Saya buru-buru, oke? Saya kasih uangnya aja kamu makan sendiri.”

Jihoon tidak mendengarkan ucapan orang itu, tapi ia malah menarik tangan orang itu masuk ke salah satu restoran, dimana ada diskon untuk setiap pasangan.

“We're a couple.”

Sang pelayan pun mempersilahkan Jihoon dan orang itu duduk.

“Hey, kamu gak bisa seenaknya gini dong.”

“Gue laper.”

“Saya bisa kasih kamu uangnya tanpa harus ngajak saya kesini.”

“Ada diskon untuk pasangan.”

“Kita bukan pasangan?”

“Bawel banget sih, gue laper tau.”

Orang itu terlihat sangat frustasi, ia membuka handphonenya dan mengetikkan sesuatu di sana.

“Nama lo siapa?”

“Soonyoung.”

“Gue Jihoon.”

“Saya gak tanya dan gak mau nanya.”

“Lo orang Indonesia?” Tanya Jihoon tanpa memperdulikan ucapan Soonyoung

“Menurut kamu?”

“Berarti sama, gue juga orang Indonesia.”

Soonyoung tidak menanggapi ucapan Jihoon, ia masih sibuk menghubungi seseorang.

“Sibuk banget sih, kasih kabar ke pacar lo ya?”

Soonyoung menutup handphonenya. “Bukan urusan kamu.”

“Yaelah, kasian banget sih orang yang sama lo.”

Soonyoung menaikkan alisnya.

“Lo dingin gini, kek sop buah. Lo tau sop buah? Manis tapi dingin.”

Soonyoung melipat kedua tangannya di dadanya.

“Jadi menurut kamu, saya manis?”

Jihoon tergagu.

“Emangnya kamu pernah jilat saya? Sampai kamu tau kalau saya manis. Atau kamu mau jilat saya?”

Wajah Jihoon memerah seketika.

“Apasih lo, gak jelas banget. Gue ngomong apa Lo bahasnya apa.”

Soonyoung tersenyum mengejek. “Kayaknya apa yang saya omongin bener, kamu kepikiran mau jilat saya.”

“Aneh. Lo aneh banget sumpah.”