thatausaha

“Nghhh.”

Jeonghan melenguh ketika kedua putingnya dikerjai oleh Wonwoo—yang satu disedot yang satunya dipilin—dan dengan bersamaan Jeonghan menggesekkan milihnya dengan milik Wonwoo.

“By, udah gatel ya sayang?” Tanya Wonwoo dengan tidak berhenti memilin puting Jeonghan.

“Nu.” Rengek Jeonghan ketika Wonwoo masih bertanya padahal dirinya sudah ingin meledak.

Wonwoo terkekeh, lalu ia bangkit dari pelukan Jeonghan. Membuka ikat pinggang dan celananya lalu membantu Jeonghan juga melepaskan celananya.

“By, kamu tau gak kamu kalo lagi kayak gini tambah cantik. Aku jadi pengen sodok kamu terus. Mau gak sayang aku sodok?”

Jeonghan mengangguk. “Mau nu, aku mau dimentokin terus sama kamu.”

Lampu hijau dari Jeonghan memastikan Wonwoo tidak akan berhenti sampai ia puas.

. . . . . . . . . . . . .. . . . . .

Jeonghan terbangun lebih dulu, kemudian ia melihat Wonwoo yang masih tertidur di sebelahnya. Kemudian ia melirik handphone milik Wonwoo yang tergeletak di atas nakas, dengan cepat ia ambil dan ia buka. Tapi, tidak ada nomor mencurigakan di sana, semua nomor yang ada di sana ia kenal semua, termasuk nomor pacar Seokmin.

“Masa iya langsung diapus?”

“By?” Jeonghan terkejut ketika Wonwoo yang tiba-tiba bangun.

“Kok udah bangun aja??”

“Haus.” Wonwoo bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar untuk mengambil minum—dan hanya memakai celana pendeknya saja tanpa sehelai benang menutupi bagian badannya—Wonwoo juga tidak protes kenapa Jeonghan membuka handphonenya.

Beberapa menit kemudian Wonwoo kembali dengan segelas air, lalu memberikannya pada Jeonghan.

“Kalo haus bangunin aku aja yang, kamu pasti masih nyeri bawahnya.” Ucap Wonwoo dan kemudian ia kembali tidur dengan membelakangi Jeonghan.

“Nu, kamu tidur lagi?”

“Belum. Kenapa? Butuh apa?”

Jeonghan menggeleng. “Aku mau tanya dong.”

“Tanya apa?” Tanpa menoleh ke Jeonghan Wonwoo tetap menjawab.

“Yang bawain kamu makanan kemarin siapa?”

Pertanyaan Jeonghan mampu membuat Wonwoo menatapnya.

“Jun.” Jawab Wonwoo.

Jeonghan tidak melihat kebohongan di wajah Wonwoo. Atau memang dia yang tidak bisa membaca?

“Okay.” Jawab Jeonghan akhirnya. Dan Wonwoo kembali membalikkan tubuhnya dan tertidur—karena Jeonghan mendengar suara dengkuran halus dari kekasihnya itu.

Tapi, masih ada yang mengganjal di hati Jeonghan. Entah apa itu.

Jeonghan masuk ke dalam mobil Seokmin ketika laki-laki itu sampai di depan apartemen nya.

“Jadi, kali ini Abang gue ngaku kemana sama lu kak?”

“Nemenin Jun beli makanan kucing.”

Seokmin terbahak-bahak mendengar jawaban Jeonghan.

“Seok, gue takut bgt nu selingkuh.”

“Kagak bakal lah, aneh aja lu.”

“Ga ada yang ga mungkin Seok.”

“Percaya sama gue kak, Abang gue ga mungkin kayak gitu. Gue tau banget dia orangnya gimana.”

Kata-kata Seokmin bagai mantra untuk Jeonghan. Tiba-tiba saja kegelisahan dalam hatinya lenyap begitu saja.

“Semoga yang Seokmin bilang bener ya nu. Aku takut nu.”

. . . . . . . . . . . . . . . . .

“Jadi gimana nak Wonwoo?”

“Wonwoo juga jadi bingung om, masalahnya ini udah nyakitin 2 hati sekaligus.”

“Adek mu pasti ngerti.”

Wonwoo menghela nafasnya. Kepalanya terasa berat sekarang, ada beban yang ia tanggung. Bagaimana caranya berbicara pada Seokmin?

Wonwoo dan Seokmin hanya tinggal berdua, karena kedua orang tua mereka sudah tiada sejak Wonwoo kuliah. Akhirnya Wonwoo yang berusaha untuk membangun kembali perusahaan orang tuanya yang hampir bangkrut.

Sedang dilanda kerisauan, tiba-tiba ada tangan yang menggenggam tangannya.

“Kita lakuin berdua ya, bang.”

Yang seharusnya Jeonghan lakukan hanyalah mengawasi Mingyu—kekasih tetangganya—bukan malah mendesah dibawahnya.

“Mmhhm... ahhh! Ah! Ah!” Jeonghan mencengkram kuat lengan Mingyu yang berada di kedua sisinya.

“Jeonghan, kamu tau udah berapa lama saya mendambakan tubuh kecil kamu dibawah saya?” Tanya Mingyu yang kemudian kembali menyesap kulit putih Jeonghan, meninggalkan beberapa jejak merah di sekitar tulang selangkanya.

“Mmhhm... ahhh! Mingyu.” Jeonghan terlonjak ketika Mingyu menghentaknya dengan keras.

“Waktu saya tidak sengaja melihat kamu telanjang bulat di kamar kamu yang tepat berada di depan kamar Mika.” Jeonghan melihat Mingyu menyeringai. “Waktu itu saya baru kelar main dengan Mika, tapi waktu lihat kamu, saya jadi bangun lagi. Tapi Mika tidak bisa memuaskan saya untuk kedua kalinya, jadi saya memainkan milik saya sendiri sambil membayangkan kamu. Dan sekarang, saya tidak perlu membayangkan lagi, karena saya sudah bisa merasakan yang asli.” Mingyu bercerita sambil pinggulnya tetap bergerak, membuat Jeonghan harus setengah mendengar dan setengah mendesah.

Katakanlah Mingyu gila, karena tergila-gila dengan tetangga kekasihnya. Tapi ia sendiri tidak bisa menahan dirinya. Ia melakukan segala cara agar bisa berada di dekat Jeonghan. Termasuk kedatangannya ke Bali. Dengan embel-embel pekerjaan, ia lebih membuntuti Jeonghan.

Jeonghan sendiri juga tidak menyangka, kalau ternyata Mingyu sudah mengincarnya. Dan sekarang keduanya malah saling mendesah ketika kenikmatan yang mereka ciptakan menjadi satu. Jeonghan tidak perduli, ia butuh pelepasannya. Ia butuh Mingyu untuk membantunya.

“Mika, sorry.”

“Mmhhm... ahhh... Haa...

“Jeonghan, mulai detik ini kamu milik saya.”

“Kenapa sih dek mukanya di tekuk gitu?” Tanya Jeonghan ketika melihat Chan murung.

“Kak, a, menurut kalian Seungkwan tuh ada rasa juga ga sih sama aku?” Tanya Chan.

“Lah emang selama ini kamu ngerasanya gimana?” Tanya Seokmin

“Ngerasanya ya ada, tapi kok akhir-akhir ini kayaknya dia kayak ngejauh ya?” Chan merasa akhir-akhir ini ia dan Seungkwan menjadi jauh. Bukan karena jaraknya, tapi Chan merasa Seungkwan menjauhinya.

“Ya karena jarak kali, dek. Kan Paris-Jakarta beda 6jam, mungkin pas kamu chat Seungkwan lagi sibuk, lagian kesibukan Seungkwan ga cuma ngurusin kamu aja dek.” Ucap Jeonghan.

Chan menghela nafasnya. “Aku tuh nyusahin banget ya? Kayak anak kecil, kayak ga tau kesibukan orang-orang. Harusnya aku tau ga semua orang musti ngurusin aku.” Jeonghan menatap Seokmin, merasa bersalah sepertinya ia salah berbicara.

“Chan, maksud kak Han ga gitu.” Ucap Seokmin, tapi Chan buru-buru memasang earphonenya, mencoba tidak mendengarkan apapun lagi. Ini harinya, tapi kenapa malah ia rusak dengan pikiran jeleknya?

Akhirnya Seokmin dan Jeonghan membiarkan Chan menenangkan pikirannya.

. . . . . . . . . . . . . .

Team rempong kali ini sudah menyiapkan kejutan untuk Chan. Pule squad beserta pacar mereka dan keluarga Seokmin menunggu di rumah.

“Kok lama banget ya?” Tanya Jeongyeon

“Macet kali dek.” Jawab Soonyoung.

Tapi beberapa menit kemudian Jeonghan memberi tahu ke Soonyoung kalau mereka hampir sampai, mungkin sekitar 20 menit lagi.

“Pokonya teriak happy birthday Chan semua ya. Yang kompak.” Ucap Soonyoung dan semua orang mengangguk.

Suara mobil Seokmin sudah terdengar memasuki pekarangan rumah. Wonwoo mematikan semua lampu di ruang tengah, dan mereka sudah bersiap diposisi mereka. Dengan Seungkwan yang berada ditengah memegang kue. Deg-degan pastinya, ini pertama kalinya ia memberi kejutan untuk seseorang, karena dulu mantan kekasihnya tidak suka dirayakan seperti ini. Seungkwan bahkan tidak tau apakah Chan akan suka? Karena jujur saja dari dulu ia sangat ingin merayakan ulang tahun kekasihnya dengan orang-orang banyak.

Cklekkkkkk

Chan membuka pintu rumahnya, dan mendapati rumah yang gelap, kemudian ia menyalakan senter di ponselnya, mengarahkan ke arah depannya. Saat menyorot ke depan, ia mendapati muka Seungkwan, terkejut tentu saja, ia bahkan menjatuhkan ponselnya.

“Happy birthday, Chan.” Saat sudah mengambil ponselnya, lampu dinyalakan. Dan di sana lengkap, ada keluarganya dan ada teman-teman Seokmin, di sana tentu saja ada orang yang selama ini mencuri perhatiannya.

“Muka gue serem banget ya sama lo jatoh?” Tanya Seungkwan.

Chan menggeleng. “Kaget.”

“Tiup, Chan. Keburu meleleh.” Ucap Jisoo

Lalu Chan mendekat ke arah Seungkwan yang membawa kue, mengucapkan permohonan, kemudian meniup lilin itu, dan tersenyum pada Seungkwan.

“Makasih.” Dan Seungkwan mengangguk.

. . . . . . . . . . . . . .

Acara berlanjut sampai malam, dan puncaknya adalah barbeque-an. Semua orang sibuk menyiapkan apa-apa saja yang dibutuhkan, tak terkecuali Chan dan Seungkwan.

“Duduk aja sih, capek kan?” Ucap Seungkwan ketika ia melihat Chan ke sana kemari membantunya.

“Masa aku biarin kamu ngangkat sendirian.” Jawab Chan.

Seungkwan menatap Chan. “Aku cowok juga kalo kamu lupa.”

Chan ikut menatap Seungkwan. “Aku ga lupa, cuma kalo ada aku ya manfaatin aja, jangan capek-capek. Percuma aku nge-gym kalo kamu apa-apanya masih sendiri.” Chan kembali melanjutkan kegiatannya.

Pipi Seungkwan merona seketika. Kemudian ia membiarkan Chan melakukan untuknya.

“Chan?”

“Hm?” Tanpa menoleh ke arah Seungkwan.

“Aku belum beli kado.”

Chan menatap Seungkwan. “Ga usah gapapa kak, doanya aja.” Kembali melanjutkan pekerjaannya.

“Kalo aku aja, gimana?”

Chan kembali menatap Seungkwan. “Maksudnya?”

“Kalo aku jawab aku mau jadi pacar kamu, bisa jadi kado kamu gak?”

sedangkan ditempat lain.

Jeonghan mengerang ketika dadanya digigiti oleh Seokmin.

“A, ntar pada nyariin ih.” Jeonghan berkali-kali mencoba melepaskan kepala Seokmin dari dadanya.

“Dikit atuh yang, kangen aku.” Seokmin masih mencoba merangsang Jeonghan.

Jeonghan mendongak, menggigit bibir bawahnya untuk menahan desahannya agar tak sampai keluar. Jujur, ia juga kangen disentuh bahkan dimasuki oleh Seokmin, tapi ya ga pas banyak orang juga. Apalagi ada keluarga Seokmin dibawah, apa jadinya kalau mereka dengar?

Seokmin melepaskan kulumannya, kemudian menatap Jeonghan yang berantakan.

“Aa bantuin keluar ya, buy?” Seokmin sudah bersiap akan mengocok milik Jeonghan dan miliknya.

Jeonghan menahannya dan berbalik membelakangi Seokmin. “Masukin aja, a. Tapi jangan lama-lama nanti pada nyariin.”

Setelahnya, terdengar suara-suara aneh dari dalam sana. Untungnya tidak ada yang berada dilantai atas sekitar kamar Seokmin, kecuali satu orang.....

“Brengsek, sempet-sempetnya anjir.”

Jeonghan berlari kecil menuju seberang rumahnya, ia melihat Seungcheol yang sedang sibuk memindahkan barang-barang.

“Mas?”

Seungcheol menghentikan kegiatannya dan menatap Jeonghan. “Adek duduk dulu gih, makanannya lagi dipesen.”

Jeonghan pun menurut, ia duduk di kursi lipat yang sudah Seungcheol sediakan.

“Ini kenapa ada tendanya mas?”

“Biar kayak lagi main kemah-kemahan.” Jawab Seungcheol. Setelah semuanya selesai, Seungcheol ikut duduk disebelah Jeonghan.

“Adek bawa apa?” Tanya Seungcheol

“Buah potong, tadinya mau aku cemilin sambil nonton Netflix eh mas ngajakin makan yaudah aku bawa aja, mas mau gak?” Tanya Jeonghan

“Boleh, tapi tolong suapin ya? Mas mau bales chat abang ojol dulu nih biar ga nyasar.”

Jeonghan tersenyum malu mendengar ucapan Seungcheol. Dasar buaya. Jeonghan pun menusuk satu buah dengan garpunya dan ia sodorkan ke mulut Seungcheol, dengan senang hati Seungcheol menerimanya.

“Adek makan juga dong, masa mas doang? Atau mau disuapin juga?” Goda Seungcheol.

Jeonghan menggeleng cepat. “Adek bisa sendiri.” Kemudian ia memakan buahnya. Tanpa ia sadar, kalau tingkah nya membuat Seungcheol gemas.

Keduanya memakan buah-buahan yang Jeonghan bawa sambil menunggu pesanan makanan mereka.

“Mas Seungcheol lagi sendiri juga di rumah?” Tanya Jeonghan.

Seungcheol mengangguk, kemudian pandangannya terfokus pada bibir Jeonghan yang basah karena buah, dengan reflek ia menyapukan jarinya pada bibir Jeonghan.

Pandangan mereka bertemu. Dada Jeonghan berdebar karena perlakuan Seungcheol, sedangkan dada Seungcheol berdebar karena ia merasakan kenyalnya bibir Jeonghan walau lewat jarinya.

“Permisi.” Buru-buru Seungcheol menarik jarinya, membuat keduanya salah tingkah. Seungcheol langsung buru-buru menuju abang ojol yang membawa pesanannya—sebenarnya niatnya untuk menutupi dirinya yang sedang salah tingkah. Sedangkan Jeonghan, langsung meneguk air mineral yang Seungcheol sediakan, untuk mendinginkan otaknya sejenak.

“Nah, ayo makan.” Ucap Seungcheol, mencairkan suasana.

“Banyak banget mas?”

“Artinya adek harus makan yang banyak.” Seungcheol membukakan perekat yang ada di bungkus makanan dan menaruhnya di depan Jeonghan. Seungcheol memesan beberapa menu daging sapi di salah satu restoran.

“Gak muat perut adek kalo segini banyak mas.” Ucap Jeonghan.

Seungcheol tertawa. “Sebisanya aja dek, kalo ga abis gapapa.”

Jeonghan pun melahap makanan yang disediakan, mulutnya penuh dengan nasi dan daging. Seungcheol tertawa memperhatikan Jeonghan yang makan seperti anak kecil.

Jeonghan bilang tidak sanggup makan banyak, tapi ternyata ia habis 2 rice bowl sapi panggang.

“Mas kok gak makan?” Tanya Jeonghan.

“Mas kenyang liat kamu makan, gak makan berapa lama,hm?”

Jeonghan menyengir. “Adek belum makan dari siang.”

“Kok bisa sih? Kenapa? Nanti sakit loh kalo telat makan.”

“Males mas makan sendiri.” Jawab Jeonghan.

“Yaudah besok-besok kalo lagi ga ada temen makan, kasih tau mas ya? Nanti mas temenin.” Ucap Seungcheol sambil mengelus-elus kepala Jeonghan. Jeonghan mengangguk.

“Mas ayo makan dulu.”

“Iya-iya ini mas makan.”

. . . . . . . . . . . . .

“Emang papa mamanya adek pulang kapan?”

“Lusa.”

“Terus adek sendirian di rumah sampe lusa?”

“Kayaknya sih mas.”

“Emang mbak mu kemana?”

“Mbak Jani tuh kalo papa mama pergi pasti ikutan pergi, jadinya ya gini adek sendirian terus di rumah.”

“Yaudah, nanti kalo adek bete main ke rumah mas aja, kalo lagi ga pergi ada bunda di rumah.”

“Emang boleh mas? Nanti bunda nya mas ga seneng lagi kalo adek main.”

“Bunda tuh malah seneng kalo ada temennya, karena anak-anaknya pada ga suka di rumah jadi kadang dia ngeluh kesepian jadi kalo ada adek kan bunda ada temennya.”

Jeonghan mengangguk senang. Lalu keduanya sama-sama terdiam menikmati udara malam.

“Adek sadar ga sih daritadi?”

“Sadar apa mas?”

“Adek manggil diri sendiri dengan sebutan adek.”

Jeonghan menatap Seungcheol. “Aku ga sadar, maaf ya mas.”

“Gapapa, mas seneng dengernya. Gemes.” Seungcheol menjawil hidung Jeonghan.

“Aku juga senang.”

“Seneng apa?”

“Seneng dipanggil adek sama mas.”

Jeonghan memarkirkan sepedanya, lalu ia masuk ke dalam warung kopi itu.

“Bang, mau kacang ijo nya seporsi dibungkus ya.” Ucap Jeonghan pada Abang warkop.

“Oke mas, duduk dulu.” Jeonghan mengangguk dan langsung duduk di bangku yang ada di sana.

“Eh ketemu lagi.” Jeonghan menoleh dan melihat Seungcheol di ambang pintu. Kemudian Seungcheol duduk di sebelah Jeonghan dengan salah satu temannya di sebelahnya.

“Beli apaan?” Tanya Seungcheol.

“Bubur kacang ijo, mas.”

“Enak disini, ketagihan dah.” Sikap sok akrab Seungcheol dicibir oleh Hansol. Kemudian Seungcheol dan Hansol memesan kopi, Hansol juga memesan indomie kuah favoritnya.

“Mas, ini buburnya.” Ucap Abang warkop

“Oh iya.” Jeonghan merogoh kantong celananya beberapa kali, tapi nihil ia tidak mendapatkan sepeser uang pun di kantongnya. Seungcheol, Hansol dan Abang warkop memperhatikan Jeonghan yang ketakutan karena tidak menemukan yang ia cari.

“Udah ntar barengin gue aja.” Ucap Seungcheol.

“Maaf ya mas ngerepotin lagi.” Ucap Jeonghan lirih.

“Santai aja, Han. Lo kesini naik apa? Mau gue anterin dulu?”

Jeonghan menggeleng cepat. “Aku naik sepeda, mas. Btw, aku bayarnya besok ya mas?”

“Kagak usah diganti, ikhlas gue.”

“Yah aku ga enak, ngerepotin mas terus tadi siang juga mas gak mau dibayar.” Ucap Jeonghan

“Namanya tetangga harus saling bantu, Han. Udah sana balik, keburu kemaleman.”

Jeonghan mengambil bubur kacang ijo pesanannya. “Kalo gitu aku duluan ya mas.” Jeonghan pergi ketika Seungcheol mengangguk.

Belum sempat keluar dari warkop itu, Seungcheol menghentikannya.

“Boleh deh di ganti.” Ucap Seungcheol

“Besok ya mas? Atau nanti mas pulang jam berapa? Nanti Han anterin ke rumah.”

“Bukan uang.”

Jeonghan mengernyitkan keningnya. “Terus?”

“Gantinya pake nomor hp lo aja.”

Seungcheol membantu Jeonghan berjalan masuk ke dalam rumahnya.

“Tas nya masih di mobil, Cheol? Biar papa ambil.” Ucap papa Jeonghan

“Pa, gak usah. Biar Cheol aja nanti papa sama mama di dalem aja.” Papa Jeonghan pun mengangguk.

“Cherr, si oney mau dateng.” Ucap Jeonghan

“Sama Seokmin?”

Jeonghan mengangguk. “Bentar lagi sampe katanya.”

“Oke sayang.”

Seungcheol berlari kecil menuju mobilnya untuk mengambil barang-barang Jeonghan.

“Berry di dalem?” Tanya oney

Seungcheol mengangguk.

“Mau gue bantuin mas?” Tanya Seokmin

“Engga, ini terakhir. Masuk sana.”

Akhirnya Joshua dan Seokmin masuk ke dalam rumah Jeonghan. Mereka disambut oleh kedua orang tua Jeonghan dan Jeonghan.

“Jadi repot-repot segala kamu bawa makanan, Josh.” Ucap mama Jeonghan

“Gak repot Tante, lagian Tante kan pasti ga sempet masak, mau beli juga pasti kelamaan.”

“Yaudah ayo kita makan semua.” Ucap papa Jeonghan.

Akhirnya mereka semua langsung menyantap makanan yang Joshua bawa.

“Ma, Jun mana?” Tanya Jeonghan.

“Di kamar, Han.”

“Gak diajak makan?”

“Tadi udah papa suruh turun, katanya nanti.”

Jeonghan mengangguk dan kembali makan. Beberapa menit kemudian Jun benar keluar dari kamarnya menuju meja makan. Ia cukup menebalkan mukanya di depan semua orang. Lo pasti bisa, Jun.

“Makan dek.” Ucap Jeonghan. Jun menatap Jeonghan dan mengangguk, kemudian ia makan tanpa berbicara apapun lagi.

Setelah makan, mereka semua masih di sana. Seungcheol membantu mengupas kulit jeruk untuk Jeonghan. Tangan Jeonghan masih sakit sedikit karena peristiwa kemarin tapi sudah lebih baik.

“Ma, pa, aku mau ngomong sesuatu sama kalian. Sama Jeonghan juga.” Ucapan Jun membuat semua orang di depannya menatapnya.

“Mau ngomong apa dek?” Tanya mamanya.

“Aku udah dapet dokter untuk penyakit ku.”

“Oh ya? Bagus dong, mulai kapan dek? Ntar kakak temenin ya.” Ucap Jeonghan.

Jun menggeleng. “Gak usah, lo doain aja gue cepet sembuh. Lagian gue ga dapet dokter disini.”

“Terus dimana?” Tanya papanya.

“Aussie.” Ucapan Jun membuat semua orang terkejut.

“Kenapa jauh banget? Lo emang ga cocok sama Hao?” Kali ini Seungcheol yang bertanya.

“Cocok kok, kata Hao juga gue udah mulai membaik.”

“Terus kenapa jauh banget?” Tanya mamanya.

“Karena Wonwoo dipindah ke sana dari kantornya.”

“Wonwoo?” Tanya Jeonghan

Jun mengangguk. “Jun udah mutusin mau hidup baru sama Wonwoo di sana, pa ma.”

. . . . . . . . . . . . .

Jun mengatur nafasnya sebelum masuk ke kamar Jeonghan.

Tok tok tok tok

“Masuk.”

Jun membuka kenop pintu kamar Jeonghan dan menyembulkan kepalanya. “Gue ganggu bentar boleh?”

“Yang lama juga gapapa, sini.” Jeonghan menerimanya dengan senang.

Jun masuk ke dalam, kemudian ia duduk di sebelah Jeonghan.

“Gimana keadaan lo?” Tanya Jun

“Udah lebih baik kok, cuma masih pusing dikit. Dikit doang.” Jawab Jeonghan.

Jun mengangguk. Kemudian keheningan menyelimuti mereka beberapa menit.

“Jeonghan?”

“Ya?”

“Sorry. Sorry udah bikin lo jadi begini.”

“Iya dek, aku udah maafin kok.”

“Gue sebenernya malu banget sama kalian, gue udah jahat banget, gue ngancurin hidup semua orang, dan sekarang gue minta pengampunan dari kalian.”

“Dek, udah ya? Gak usah dibahas lagi. Aku sama Cheol udah maafin kamu kok. Kita berdua udah ga marah sama kamu.”

Jun mengangguk. “Maaf juga karena gue belom bisa jadi adek yang baik buat lo.”

“Dengan kamu mau sembuh aja kamu udah jadi adik baik buat aku.”

“Jeonghan, gue boleh peluk lo?”

Jeonghan mengangguk sambil merentangkan kedua tangannya. Jun memeluk Jeonghan dengan erat. Bahkan ia menangis. Ini pertama kalinya mereka berpelukan sambil menangis lagi.

“Aku berdoa kamu sembuh cepet, jangan mikirin semua yang udah terjadi, kamu fokus sama pengobatan kamu aja di sana.”

Jun mengeratkan pelukannya pada Jeonghan. “Sorry sekali lagi, kak. Kalau gue boleh minta sama Tuhan, gue bakal minta jadi adek lo lagi di kehidupan gue selanjutnya.”

. . . . . . . . . . . . .

Jun keluar dari kamar Jeonghan sambil mengelap bekas air matanya. Di depan kamar Jeonghan ia bertemu Seungcheol. Ternyata Seungcheol sudah di sana sejak tadi.

“Gue minta maaf. Maaf gue ancurin hidup lo dari dulu.” Ucap Jun pada Seungcheol.

Seungcheol mengangguk. “Gue udah maafin lo, Jun.”

“Gue titip Jeonghan.”

“Tanpa lo minta gue bakal jaga Jeonghan terus. Lo ga usah khawatir, fokus sama penyembuhan lo aja. Gue pastiin Jeonghan baik-baik aja selama sama gue.”

Jun mengangguk. “Gue tau lo, mas. Thanks.”

“Btw, gimana akhirnya bisa sama nu?” Tanya Seungcheol

Jun tersenyum, menerawang jauh ketika ia dan Wonwoo saling menemukan. “Gue salah sangka ternyata.”

“Salah sangka gimana?”

“Ternyata selama ini yang gue mau bukan lo mas, tapi Wonwoo. Gue biasa aja waktu liat lo sama Jeonghan, tapi gue ga bisa liat lo sama Wonwoo.”

Seungcheol tertawa kecil, lalu ia mengangguk dan menepuk-nepuk pundak Jun.

“Gue pun ngerasa kalo bukan gue akar masalahnya.”

Jun mengangguk.

Setelah itu Jun pamit masuk ke kamarnya. Sedangkan Seungcheol masuk ke kamar Jeonghan.

“Cherr, besok temenin aku mau gak?”

“Kemana?”

“Anter Jun.”

Seungcheol tersenyum dan mengangguk. “Mau, sayang.”

Skip time.

Jeonghan menyamankan posisinya di pelukan Seungcheol.

“Capek ya?”

Jeonghan mengangguk. “Padahal cuma kayak gitu tapi capek banget.”

“Karena emang harus istirahat dulu, makannya aku belum berani ngajak kamu begituan.”

“Tapi aku pengen.” Ucap Jeonghan sambil memanyunkan bibirnya.

Seungcheol mengecup sekilas bibir Jeonghan. “Aku juga pengen, tapi aku tahan. Tunggu kamu sehat total ya, sayang.”

“Okay.” Jeonghan memainkan jarinya di dada Seungcheol.

“Berr?”

Jeonghan mendongak menatap Seungcheol. “Kenapa?”

“Ada ga yang kamu pengen lagi selain pengen itu?”

Jeonghan berpikir, lalu menggeleng. “Gak tau kayaknya ga ada.”

“Aku ada.”

“Pengen apa?”

“Pengen nikah.” Jeonghan menegakkan tubuhnya ketika mendengar ucapan Seungcheol.

“Sama siapa?” Tanya Jeonghan cepat.

Seungcheol menatapnya bingung. “Ya sama kamu, emang sama siapa lagi?”

“Huft kirain sama siapa.” Jeonghan bernafas lega.

Seungcheol menjawil hidung Jeonghan. “Aku masih disini setelah hampir seminggu nungguin kamu karena paduka masih pengen dipeluk terus-terusan, kamu masih mikir aku mau nikah sama siapa,hm?” Jeonghan tertawa kemudian ia mengecup bibir Seungcheol.

“Sorry, kirain kamu berubah pikiran karena aku banyak mau.”

“Kan aku udah bilang, aku ga bakal sama siapa-siapa kalo bukan sama kamu.”

Jeonghan memeluk erat tubuh Seungcheol. “Aku juga pengen, cherr.”

“Pengen apa?”

“Nikah sama kamu.”

Seungcheol merapihkan bekas makan siang Jeonghan, ia juga membersihkan tangan serta mulut Jeonghan setelah usai makan. Jeonghan merasa tampak terharu, karena diperlakukan layak oleh Seungcheol.

“Dokter belum kunjungan yang?” Tanya Seungcheol

“Tadi aku tanya, abis makan siang.”

Seungcheol mengangguk, kemudian ia kembali berkutat dengan laptopnya. Karena harus menunggui Jeonghan ia harus membawa kerjaannya kemana-mana, tapi jelas itu keinginannya. Ia ingin merawat Jeonghan. Anggap aja latihan.

“Cherr?”

Seungcheol mendongak menatap Jeonghan. “Apa? Kamu butuh apa? Mau minum?”

“Bukan, aku ga butuh apa-apa.”

“Terus kenapa sayang?” Tanya Seungcheol sambil mendekat ke arah Jeonghan. Kembali meninggalkan kerjaannya.

Jeonghan mengambil kedua tangan Seungcheol dan ia genggam erat. “Mau makasih.”

“Makasih untuk apa? Emang aku ngapain?”

“Ih, kamu kan ngerawat aku terus udah seminggu ini kamu ga kemana-mana disini doang.”

“Ya terus aku harus kemana? Aku pergi kalo kamu pergi.”

“Iya makannya aku mau makasih sama kamu, kamu jadi harus susah payah buat nungguin aku.”

“Iya sama-sama sayang, harusnya kamu ga usah makasih karena ini emang kewajiban aku.”

“Bukan kewajiban kamu tau.”

“Yaudah anggep aja aku lagi latihan.”

“Latihan apa?”

“Latihan jadi suami yang baik.”

Ucapan Seungcheol membuat Jeonghan bersemu. Dan Seungcheol selalu suka jika Jeonghan bersemu.

“Berr, aku cium boleh gak sih?” Jeonghan menatap Seungcheol.

“Aku abis minum obat, cherr. Pait nanti.”

“Gapapa, biar aku tau rasa paitnya yang bikin kamu ngerengek terus.”

Jeonghan tertawa, lalu ia mengangguk sambil merentangkan kedua tangannya. Seungcheol memajukan kepalanya untuk melahap bibir Jeonghan, kedua tangan Jeonghan ia sampirkan ke leher nya.

Keduanya sama-sama terbuai, jujur sudah cukup lama kedua bibir mereka tidak bersentuhan. Seungcheol memperdalam ciumannya membuat Jeonghan melenguh ketika langit-langit mulutnya serta lidahnya di hisap oleh Seungcheol. Posisi keduanya yang awalnya saling berhadapan, kini Jeonghan sudah berbaring dengan bibir keduanya yang masih menyatu. Tangan Seungcheol pun masuk ke dalam baju Jeonghan, mengelus-elus perut datar Jeonghan sesekali ia menyentuh kedua puting Jeonghan.

Tubuh Jeonghan melengkung ketika Seungcheol mencubit pelan salah satu putingnya. Sakit tapi nikmat juga. Ketika Jeonghan terbuai, Seungcheol dengan cepat membuka kancing baju Jeonghan. Tapi untungnya Jeonghan cukup sadar. Ia menghentikan Seungcheol yang hampir membuka seluruh kancingnya.

“Kita di rumah sakit, cherr.” Ucap Jeonghan ketika mereka sudah saling melepaskan.

Seungcheol menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Jeonghan. “Sorry, berr.”

“No, gapapa sayang. Cuma kita di rumah sakit bisa aja tiba-tiba suster masuk.” Ucap Jeonghan sambil mengelus-elus punggung Seungcheol.

“Maaf juga aku kelewat batas.”

“Gapapa sayang, kalo di kamar mungkin aku bakal kasih cuma kita di rumah sakit. Ntar aja ya kalo udah pulang?”

Seungcheol menatap Jeonghan. “Boleh?”

“Ya boleh, kan udah pernah juga.”

Senyum Seungcheol merekah dan kembali memeluk Jeonghan. “Makasih sayang.” Jeonghan tertawa melihat tingkah Seungcheol.

. . . . . . . . . . . .

“Tapi kamu udah yakin, Jun?”

“Daripada aku disini, mending aku ikut kamu ke sana kan nu?”

Wonwoo memeluk Jun. “Thank you, Jun.”

“Tapi kamu temenin aku berobat ya, nu?”

Wonwoo melepaskan pelukannya dan menatap Jun. “Pasti. Aku pasti temenin kamu. Sampai kapanpun, Jun.”

Jun kembali memeluk Wonwoo. Mengecupi pundak laki-laki itu, mengucapkan terima kasih karena sudah mau menemaninya.

“Sorry aku ajak kamu jauh dari keluarga ya, Jun.”

Jun mengeratkan pelukannya pada Wonwoo. “Kemanapun kamu pergi aku bakal selalu ikut, nu.”

Ini hari kedua Jeonghan dirawat, dan Seungcheol masih setia menemaninya.

“Kamu ga pulang?” Tanya Jeonghan dengan menggenggam tangan Seungcheol.

“Kan kamu belum pulang, masa aku pulang sendirian?”

Jeonghan tertawa. “Maksud aku ga bosen nungguin aku terus?”

“Gak lah, masa bosen. Aku seneng malah nemenin kamu.”

“Maksudnya seneng aku dirawat?”

“Nemenin kan ga cuma pas dirawat, pas sehat juga aku seneng nemenin.” Jeonghan tersenyum, kemudian ia mengecup tangan Seungcheol yang tadi ia genggam.

“Cherr, Jun gimana?”

“Aku masih belum dapet kabar dari Hao, berr. Jun juga ga secepat itu mau jujur.”

“Aku marah cherr sama dia, tapi aku ga bisa liat papa sedih.”

“Aku tau posisi kamu ga enak, cuma ini kriminal sayang, kamu hampir mati kemarin.”

“Terus gimana baiknya cherr?”

“Aku nunggu kabar Hao dulu ya, nanti aku pikirin lagi yang penting kamu sehat dulu.” Ucap Seungcheol

Jeonghan mengangguk. “Aku kangen kkumma deh.”

“Kkumma juga kangen kamu, mana ada anak ga kangen papanya.”

Jeonghan cemberut. “Kasian dia, Daddy nya ga pulang-pulang.”

“Kan ada neneknya, anggep aja Daddy sama papanya lagi bulan madu.”

“Bulan madu di rumah sakit.”

“Mau?”

“Apa?”

Seungcheol tersenyum misterius sambil menaik-turunkan aslinya menggoda Jeonghan, dan dibalas cubitan diperut oleh Jeonghan. “Mesum.”

. . . . . . . . . . . . . .

Jun terus bungkam ketika Minghao bertanya.

“Jun, lo bisa cerita sama gue.” Kalimat yang terus-menerus Minghao ucapkan pada Jun.

Jun menatapnya dengan tatapan dingin. “Lo dibayar berapa sama Seungcheol?”

“Bayaran gue bukan urusan lo, lagian gue bener-bener mau bantu lo.”

Jun berdiri dan masih menatap Minghao. “Apa yang terjadi sama gue juga bukan urusan lo. Dan bilang sama Seungcheol, gue lebih baik di penjara dibanding harus cerita sama lo.” Jun pergi meninggalkan Minghao yang tidak berkutik.

Tapi sebelum Jun masuk ke kamarnya. Minghao berdiri membelakanginya.

“Seungcheol bilang dia bakal nikah sama Jeonghan dalam waktu dekat, ada atau ga ada lo, jadi oke gue bakal bilang kalo lo mau dipenjara.” Ucapan Minghao membuat amarah Jun memuncak, ia menatap vas bunga yang ada di sana. Kemudian ia mengambil dan melemparnya ke arah Minghao dan mengenai pundak Minghao.

Minghao meringis merasakan sakit di pundaknya, tapi ia hanya diam tanpa menoleh pada Jun. Namun, beberapa menit kemudian ia mendengar seseorang kesulitan bernafas. Minghao menatap Jun, kemudian ia berlari ke arah Jun.

“Jun, tarik nafas buang pelan-pelan. Ulangin terus, Jun.” Minghao berlari mengambil segelas air, dan memberikannya pada Jun, Jun menerimanya tetapi tangannya mengalami tremor hebat sehingga gelas itu terjatuh.

Minghao berlari mengambil ponselnya, ia menghubungi Mingyu yang berada di luar ruangan. Beberapa menit kemudian Mingyu masuk, dan terkejut melihat betapa berantakannya ruangan itu.

“Yang, kenapa?”

“Gyu, kita harus cepet bawa Jun ke rumah sakit.”

Mingyu langsung memapah Jun, sedangkan Minghao menghubungi temannya yang bekerja di rumah sakit, setelah itu ia menghubungi Seungcheol memintanya untuk datang ke sana juga.

. . . . . . . . . . . . .

Seungcheol berlari menuju Minghao dan Mingyu yang berada di depan sebuah ruangan.

“Hao, gimana?”

“Lagi ditanganin temen gue mas.”

“Hao, tapi sebenernya ada apa?”

Minghao menatap Seungcheol. “Ini masih dugaan gue, mas. Jun mengidap intermittent explosive disorder.”

“Itu apa?”

“Intermittent explosive disorder itu episode impulsif, agresif, serta perilaku kekerasan yang terjadi secara berulang atau tiba-tiba. Kondisi ini bisa juga diartikan sebagai ledakan kemarahan secara verbal pada situasi yang tidak seharusnya, mas. Mereka bisa menghancurkan atau ngelempar benda atau bahkan melakukan kekerasan sama orang lain.”

Seungcheol terkejut setelah mendengar ucapan Minghao. Ia tidak menyangka kalau Jun akan seperti itu.

“Penyebabnya apa Hao?”

“Bisa dari lingkungan, genetik atau cara kerja otak yang terjadi dari biasanya. Biasanya orang yang mengidap ini setelah episode marahnya kelar dia akan lega mas, tapi akan menyesal juga karena udah ngelakuin itu.”

“Tadi lo bilang dari genetik? Ada kemungkinan dari papanya?”

“Bisa jadi mas, siapa tau dulu dia pernah diperlakukan ga baik sama papanya atau siapapun di keluarganya.”

Saat sedang berbincang, dokter yang juga temen Minghao keluar.

“Gimana, Hyun?”

Dokter Hyuna menghela nafasnya. “Bener, ko. Dia harusnya cognitive behavioral therapy.”

“Itu apa lagi ya dok?” Tanya Seungcheol.

“Kognitif terapi itu salah satu jenis psikoterapi yang bertujuan untuk memperbaiki proses pola pikir (kognitif) dan perilaku pasien.” Jelas dokter Hyuna

“Lebih kayak diajak ke psikolog mas, biar lebih terbuka. Tapi kalo di rumah bisa sih mas, kayak ikut yoga atau meditasi.” Lanjut Minghao.

“Tapi untuk saat ini, biarin disini dulu aja ya ko biar dapet perawatan juga.” Ucap dokter Hyuna.

“Lakuin yang terbaik dok untuk adik saya.” Ucap Seungcheol.

“Pasti mas, saya akan bantu pelan-pelan dan tentu Minghao juga bisa bantu.” Seungcheol menatap Minghao dan mengangguk.

“Kalau begitu saya permisi dulu.” Dokter Hyuna pun pergi, meninggalkan mereka bertiga.

“Tapi yang metode kamu tadi aja ga berhasil, terus mau coba itu lagi?” Tanya Mingyu.

“Mas, ada orang yang Deket banget sama Jun? Sahabatnya mungkin.”

Seungcheol mengangguk. “Ada, Hao.”

. . . . . . . . . . . . . . .

Pagi hari yang cerah tapi tidak untuk Jun. Ia duduk sambil menatap ke luar ruangannya. Tidak memperdulikan dokter atau suster yang masuk, sampai akhirnya.....

“Jun?”

Jun menoleh. “Wonwoo.”

“Apa kabar?” Wonwoo sebisa mungkin menahan air matanya. Ia marah dengan Jun, tapi ia juga sedih melihat Jun yang seperti itu, tubuhnya kurus, matanya sayu, dan tidak ada senyum diwajahnya.

Jun meraba, meminta diraih oleh Wonwoo dan secepat mungkin Wonwoo meraihnya, memeluk Jun seperti dulu. Air mata keduanya sama-sama mengalir dari kedua mata mereka.

“Wonwoo, gue capek. Gue mau sembuh, won. Tolong.”

Seungkwan keluar dengan baju santainya dan muka yang memerah, Chan berpikir kalau laki-laki itu masih terus menangis.

“Ngapain lu?” Tanya Seungkwan dengan suara seraknya.

“Nih.” Chan memberikan dua buah paperbag lumayan besar pada Seungkwan.

“Apaan nih? Lu ngasih gue kado?”

“Iye, kan kemaren lu ngasih gue juga.”

“Lah gua ngasih lu karena lu ngasih duluan itu juga gue patungan sama Hansol, kalo sekarang ngasih lagi besok lu ultah gua ngasih lagi?”

“Kagak usah, lagian gua ngasih ikhlas kagak ngarep dikasih lagi. Dah ye gue balik, di makan tuh kue nya jangan sampe engga.” Chan sudah akan memakai helmnya dan bergegas pulang, memang niatnya hanya memberikan itu pada Seungkwan.

“Chan?” Seungkwan meremat ujung jaket Chan, Chan menatapnya bingung.

“Apaan?”

“Nyokap bokap gue lagi keluar bentar, temenin gue dong.”

. . . . . . . . . . . . .

Berniat hanya menemani sebentar sampai kedua orang tua Seungkwan pulang, malah akhirnya menjadi lama karena hujan turun.

“Oh jadi Chan ini adiknya Seokmin ya.” Ucap mama Seungkwan

“Iya Tante, cuma emang katanya ga mirip sih.” Chan menjawab dengan canggung.

“Mirip kok, sama-sama ganteng.”

“Dih ganteng darimana?” Tanya Seungkwan sarkas.

“Kwan gak boleh gitu ah.” Ucap mamanya memperingati.

“Udah kerja atau masih kuliah, Chan?” Kali ini papa Seungkwan yang bertanya.

“Masih nyari yang tetap om, selama ini bantu temen di bisnis wo keluarganya.” Jawab Chan

“Bagus itu, daripada di rumah aja kan?”

“Iya om, lumayan juga uangnya jadi ga usah minta aa lagi.”

Malam itu mereka menikmati makanan yang disediakan oleh mama Seungkwan dengan sedikit berbincang-bincang.

Skip time.

Seungkwan membawakan cemilan untuk Chan dan papa nya yang sedang bermain catur.

“Pa ini cemilannya.” Seungkwan menaruhnya di atas meja, kemudian ia duduk di sebelah Chan.

“Skakmat, om.” Papa Seungkwan menepuk keningnya karena ini sudah 2x ia kalah dengan Chan.

“Papa kalah mulu.” Ucap Seungkwan

“Chan jago banget, beda sama pacarmu itu Kwan.” Seungkwan tersenyum kecut. Iya, kedua orang tua belum tau perihal kandasnya hubungannya dengan Hansol.

“Hansol jago om, cuma ngalah aja kali sama om biar dikasih restu.” Ucap Chan mencairkan suasana.

Papa Seungkwan tertawa. “Mungkin ya, Chan. Kapan-kapan kesini lagi, besok om yang kalahin kamu.”

“Siap om, kalo ada waktu Chan kesini lagi.”

“Ya sudah, om tinggal dulu kalian ngobrol aja.” Papa Seungkwan menepuk pundak Chan sebelum menghilang masuk ke kamarnya.

Sepeninggalan papanya, Seungkwan menyandarkan tubuhnya di kursi yang ia duduki.

“Gue belum bilang papa mama.” Ucap Seungkwan

“Gapapa, berproses aja. Gak usah semuanya langsung secara bersamaan kak.” Ucap Chan, ia mengambil kue yang tadi Seungkwan bawa.

“Chan, lo tau kan kenapa gue putus sama Hansol?” Tanya Seungkwan

“Gak tau sih, kan lu mah ga pernah cerita.” Jujur saja, Chan tidak mau ikut campur dalam urusan hidup seseorang, apalagi ia tidak terlalu akrab dengan Hansol. Ia kenal Hansol ya karena pacar Seungkwan, beda dengan ia yang akrab dengan Seungkwan, karena memang keduanya kenal lebih lama.

“Gue sama Hansol itu beda agama, Chan. Keluarganya dia baik sama gue, cuma untuk terima gue kayaknya susah banget.” Ucap Seungkwan.

“Kan baru pacaran dah kak.” Jawab Chan

“Iya, cuma kan gak tau akhirnya gimana. Kalo akhirnya gue sama dia lanjut, siapa yang bakal ngalah? Kan gak mungkin kita nikah beda agama, bisa ditendang keluar gue sama papa.”

“Tapi papa mama lu tau kalo Hansol beda sama lu?”

Seungkwan mengangguk. “Puncaknya waktu puasa, terus mau sholat berjamaah papa sempet ngajak Hansol tapi gue bilang kalo Hansol beda sama kita.”

“Terus reaksi papa lu gimana?”

“Papa diem aja, terus yaudah. Gue pikir yaudah, tapi pas Hansol pulang papa ngajak gue ngobrol. Intinya, mungkin kita masih jauh dari kata nikah, cuma kalo kelamaan dan akhirnya nyampe kejenjang itu papa ga izinin gue ikut Hansol. Papa juga larang gue ngajak Hansol.”

“Rumit sih emang cinta beda agama. Lu kayak disuruh milih tuhan lu atau pasangan lu? Cuma ya balik lagi, kalo lu milih pasangan lu coba dipikir-pikir lagi karena masa lu mau ninggalin tuhan lu demi orang yang ga bisa ngasih lu apa-apa? Kan semua yang kita punya dari tuhan, ya kan?”

“Iya Chan, makannya gue sama dia pisah sekarang. Kalo nanti malah makin sakit. Gue sayang banget sama dia, dia pun begitu cuma ya emang ga bisa barengan lagi.”

“Udah sabar aja, ntar lu dapet gantinya kok. Lagian kita hidup berpasang-pasangan kan? Santai aja.” Ucap Chan sambil menepuk-nepuk pundak Seungkwan.

“Lu sok tua banget ternyata.” Ucap Seungkwan sambil mendorong tangan Chan dari pundaknya.

Chan memutar bola matanya jengah. “Udah ah balik, udah malem.”

Chan mengambil tas dan ponselnya. “Nyokap bokap lu tidur kah kak?” Seungkwan berjalan menuju kamar kedua orang tuanya, melongok sebentar lalu menutup kembali pintunya.

“Nyokap tidur, bokap di kamar mandi kayaknya. Ntar gue salamin.”

Chan mengangguk. “Balik yak. Jangan nangis terus, capek mata lu.” Chan kembali menepuk-nepuk Seungkwan tapi kali ini di kepalanya. Dengan cepat Seungkwan menyingkirkan tangan itu.

“Dah sana balik.” Ucap Seungkwan kesal.

Chan tertawa. “Gitu dong kesel, gue lebih seneng liat lu marah-marah dibanding nangis kayak gini. Kak, mungkin gue ga tau rasanya jadi lu, cuma gue tau kok rasanya ga bisa sama orang yang kita mau. Cuma lu harus inget, ga semua tokoh bisa dalam cerita yang sama. Jadi mungkin aja, Hansol di cerita lu cuma figuran yang lewat bukan jadi pemeran utama yang bakal nemenin lu.” Kali ini Chan lebih berani dengan mengelus-elus rambut belakang Seungkwan.

Seungkwan melengkungkan bibirnya, air matanya sudah siap jatuh sekarang.

“Jangan nangi lagi.”

“Chan?”

“Hm?”

“Gue boleh peluk lo gak?” Tanya Seungkwan sebelum tangisnya pecah dipelukan Chan. Chan memeluknya dengan erat. Ini yang Seungkwan harapkan, ia ingin dipeluk saat ini. Seungkwan mengeratkan pelukannya, menyembunyikan wajahnya di pundak Chan sambil meredam suara tangisnya.

“Kak, bakal ada pelangi setelah hujan. Lo boleh sedih, tapi jangan terlalu berlarut ya? Jangan biarin kesedihan lo itu ngambil senyum lo. Gue ga suka liatnya.” Seungkwan tidak menjawab ucapan Chan, tapi ia merasakan debaran kencang di dadanya. Dan malam itu menjadi saksi bisu untuk keduanya.