Jeonghan berlari kecil menuju seberang rumahnya, ia melihat Seungcheol yang sedang sibuk memindahkan barang-barang.

“Mas?”

Seungcheol menghentikan kegiatannya dan menatap Jeonghan. “Adek duduk dulu gih, makanannya lagi dipesen.”

Jeonghan pun menurut, ia duduk di kursi lipat yang sudah Seungcheol sediakan.

“Ini kenapa ada tendanya mas?”

“Biar kayak lagi main kemah-kemahan.” Jawab Seungcheol. Setelah semuanya selesai, Seungcheol ikut duduk disebelah Jeonghan.

“Adek bawa apa?” Tanya Seungcheol

“Buah potong, tadinya mau aku cemilin sambil nonton Netflix eh mas ngajakin makan yaudah aku bawa aja, mas mau gak?” Tanya Jeonghan

“Boleh, tapi tolong suapin ya? Mas mau bales chat abang ojol dulu nih biar ga nyasar.”

Jeonghan tersenyum malu mendengar ucapan Seungcheol. Dasar buaya. Jeonghan pun menusuk satu buah dengan garpunya dan ia sodorkan ke mulut Seungcheol, dengan senang hati Seungcheol menerimanya.

“Adek makan juga dong, masa mas doang? Atau mau disuapin juga?” Goda Seungcheol.

Jeonghan menggeleng cepat. “Adek bisa sendiri.” Kemudian ia memakan buahnya. Tanpa ia sadar, kalau tingkah nya membuat Seungcheol gemas.

Keduanya memakan buah-buahan yang Jeonghan bawa sambil menunggu pesanan makanan mereka.

“Mas Seungcheol lagi sendiri juga di rumah?” Tanya Jeonghan.

Seungcheol mengangguk, kemudian pandangannya terfokus pada bibir Jeonghan yang basah karena buah, dengan reflek ia menyapukan jarinya pada bibir Jeonghan.

Pandangan mereka bertemu. Dada Jeonghan berdebar karena perlakuan Seungcheol, sedangkan dada Seungcheol berdebar karena ia merasakan kenyalnya bibir Jeonghan walau lewat jarinya.

“Permisi.” Buru-buru Seungcheol menarik jarinya, membuat keduanya salah tingkah. Seungcheol langsung buru-buru menuju abang ojol yang membawa pesanannya—sebenarnya niatnya untuk menutupi dirinya yang sedang salah tingkah. Sedangkan Jeonghan, langsung meneguk air mineral yang Seungcheol sediakan, untuk mendinginkan otaknya sejenak.

“Nah, ayo makan.” Ucap Seungcheol, mencairkan suasana.

“Banyak banget mas?”

“Artinya adek harus makan yang banyak.” Seungcheol membukakan perekat yang ada di bungkus makanan dan menaruhnya di depan Jeonghan. Seungcheol memesan beberapa menu daging sapi di salah satu restoran.

“Gak muat perut adek kalo segini banyak mas.” Ucap Jeonghan.

Seungcheol tertawa. “Sebisanya aja dek, kalo ga abis gapapa.”

Jeonghan pun melahap makanan yang disediakan, mulutnya penuh dengan nasi dan daging. Seungcheol tertawa memperhatikan Jeonghan yang makan seperti anak kecil.

Jeonghan bilang tidak sanggup makan banyak, tapi ternyata ia habis 2 rice bowl sapi panggang.

“Mas kok gak makan?” Tanya Jeonghan.

“Mas kenyang liat kamu makan, gak makan berapa lama,hm?”

Jeonghan menyengir. “Adek belum makan dari siang.”

“Kok bisa sih? Kenapa? Nanti sakit loh kalo telat makan.”

“Males mas makan sendiri.” Jawab Jeonghan.

“Yaudah besok-besok kalo lagi ga ada temen makan, kasih tau mas ya? Nanti mas temenin.” Ucap Seungcheol sambil mengelus-elus kepala Jeonghan. Jeonghan mengangguk.

“Mas ayo makan dulu.”

“Iya-iya ini mas makan.”

. . . . . . . . . . . . .

“Emang papa mamanya adek pulang kapan?”

“Lusa.”

“Terus adek sendirian di rumah sampe lusa?”

“Kayaknya sih mas.”

“Emang mbak mu kemana?”

“Mbak Jani tuh kalo papa mama pergi pasti ikutan pergi, jadinya ya gini adek sendirian terus di rumah.”

“Yaudah, nanti kalo adek bete main ke rumah mas aja, kalo lagi ga pergi ada bunda di rumah.”

“Emang boleh mas? Nanti bunda nya mas ga seneng lagi kalo adek main.”

“Bunda tuh malah seneng kalo ada temennya, karena anak-anaknya pada ga suka di rumah jadi kadang dia ngeluh kesepian jadi kalo ada adek kan bunda ada temennya.”

Jeonghan mengangguk senang. Lalu keduanya sama-sama terdiam menikmati udara malam.

“Adek sadar ga sih daritadi?”

“Sadar apa mas?”

“Adek manggil diri sendiri dengan sebutan adek.”

Jeonghan menatap Seungcheol. “Aku ga sadar, maaf ya mas.”

“Gapapa, mas seneng dengernya. Gemes.” Seungcheol menjawil hidung Jeonghan.

“Aku juga senang.”

“Seneng apa?”

“Seneng dipanggil adek sama mas.”