Ini hari kedua Jeonghan dirawat, dan Seungcheol masih setia menemaninya.

“Kamu ga pulang?” Tanya Jeonghan dengan menggenggam tangan Seungcheol.

“Kan kamu belum pulang, masa aku pulang sendirian?”

Jeonghan tertawa. “Maksud aku ga bosen nungguin aku terus?”

“Gak lah, masa bosen. Aku seneng malah nemenin kamu.”

“Maksudnya seneng aku dirawat?”

“Nemenin kan ga cuma pas dirawat, pas sehat juga aku seneng nemenin.” Jeonghan tersenyum, kemudian ia mengecup tangan Seungcheol yang tadi ia genggam.

“Cherr, Jun gimana?”

“Aku masih belum dapet kabar dari Hao, berr. Jun juga ga secepat itu mau jujur.”

“Aku marah cherr sama dia, tapi aku ga bisa liat papa sedih.”

“Aku tau posisi kamu ga enak, cuma ini kriminal sayang, kamu hampir mati kemarin.”

“Terus gimana baiknya cherr?”

“Aku nunggu kabar Hao dulu ya, nanti aku pikirin lagi yang penting kamu sehat dulu.” Ucap Seungcheol

Jeonghan mengangguk. “Aku kangen kkumma deh.”

“Kkumma juga kangen kamu, mana ada anak ga kangen papanya.”

Jeonghan cemberut. “Kasian dia, Daddy nya ga pulang-pulang.”

“Kan ada neneknya, anggep aja Daddy sama papanya lagi bulan madu.”

“Bulan madu di rumah sakit.”

“Mau?”

“Apa?”

Seungcheol tersenyum misterius sambil menaik-turunkan aslinya menggoda Jeonghan, dan dibalas cubitan diperut oleh Jeonghan. “Mesum.”

. . . . . . . . . . . . . .

Jun terus bungkam ketika Minghao bertanya.

“Jun, lo bisa cerita sama gue.” Kalimat yang terus-menerus Minghao ucapkan pada Jun.

Jun menatapnya dengan tatapan dingin. “Lo dibayar berapa sama Seungcheol?”

“Bayaran gue bukan urusan lo, lagian gue bener-bener mau bantu lo.”

Jun berdiri dan masih menatap Minghao. “Apa yang terjadi sama gue juga bukan urusan lo. Dan bilang sama Seungcheol, gue lebih baik di penjara dibanding harus cerita sama lo.” Jun pergi meninggalkan Minghao yang tidak berkutik.

Tapi sebelum Jun masuk ke kamarnya. Minghao berdiri membelakanginya.

“Seungcheol bilang dia bakal nikah sama Jeonghan dalam waktu dekat, ada atau ga ada lo, jadi oke gue bakal bilang kalo lo mau dipenjara.” Ucapan Minghao membuat amarah Jun memuncak, ia menatap vas bunga yang ada di sana. Kemudian ia mengambil dan melemparnya ke arah Minghao dan mengenai pundak Minghao.

Minghao meringis merasakan sakit di pundaknya, tapi ia hanya diam tanpa menoleh pada Jun. Namun, beberapa menit kemudian ia mendengar seseorang kesulitan bernafas. Minghao menatap Jun, kemudian ia berlari ke arah Jun.

“Jun, tarik nafas buang pelan-pelan. Ulangin terus, Jun.” Minghao berlari mengambil segelas air, dan memberikannya pada Jun, Jun menerimanya tetapi tangannya mengalami tremor hebat sehingga gelas itu terjatuh.

Minghao berlari mengambil ponselnya, ia menghubungi Mingyu yang berada di luar ruangan. Beberapa menit kemudian Mingyu masuk, dan terkejut melihat betapa berantakannya ruangan itu.

“Yang, kenapa?”

“Gyu, kita harus cepet bawa Jun ke rumah sakit.”

Mingyu langsung memapah Jun, sedangkan Minghao menghubungi temannya yang bekerja di rumah sakit, setelah itu ia menghubungi Seungcheol memintanya untuk datang ke sana juga.

. . . . . . . . . . . . .

Seungcheol berlari menuju Minghao dan Mingyu yang berada di depan sebuah ruangan.

“Hao, gimana?”

“Lagi ditanganin temen gue mas.”

“Hao, tapi sebenernya ada apa?”

Minghao menatap Seungcheol. “Ini masih dugaan gue, mas. Jun mengidap intermittent explosive disorder.”

“Itu apa?”

“Intermittent explosive disorder itu episode impulsif, agresif, serta perilaku kekerasan yang terjadi secara berulang atau tiba-tiba. Kondisi ini bisa juga diartikan sebagai ledakan kemarahan secara verbal pada situasi yang tidak seharusnya, mas. Mereka bisa menghancurkan atau ngelempar benda atau bahkan melakukan kekerasan sama orang lain.”

Seungcheol terkejut setelah mendengar ucapan Minghao. Ia tidak menyangka kalau Jun akan seperti itu.

“Penyebabnya apa Hao?”

“Bisa dari lingkungan, genetik atau cara kerja otak yang terjadi dari biasanya. Biasanya orang yang mengidap ini setelah episode marahnya kelar dia akan lega mas, tapi akan menyesal juga karena udah ngelakuin itu.”

“Tadi lo bilang dari genetik? Ada kemungkinan dari papanya?”

“Bisa jadi mas, siapa tau dulu dia pernah diperlakukan ga baik sama papanya atau siapapun di keluarganya.”

Saat sedang berbincang, dokter yang juga temen Minghao keluar.

“Gimana, Hyun?”

Dokter Hyuna menghela nafasnya. “Bener, ko. Dia harusnya cognitive behavioral therapy.”

“Itu apa lagi ya dok?” Tanya Seungcheol.

“Kognitif terapi itu salah satu jenis psikoterapi yang bertujuan untuk memperbaiki proses pola pikir (kognitif) dan perilaku pasien.” Jelas dokter Hyuna

“Lebih kayak diajak ke psikolog mas, biar lebih terbuka. Tapi kalo di rumah bisa sih mas, kayak ikut yoga atau meditasi.” Lanjut Minghao.

“Tapi untuk saat ini, biarin disini dulu aja ya ko biar dapet perawatan juga.” Ucap dokter Hyuna.

“Lakuin yang terbaik dok untuk adik saya.” Ucap Seungcheol.

“Pasti mas, saya akan bantu pelan-pelan dan tentu Minghao juga bisa bantu.” Seungcheol menatap Minghao dan mengangguk.

“Kalau begitu saya permisi dulu.” Dokter Hyuna pun pergi, meninggalkan mereka bertiga.

“Tapi yang metode kamu tadi aja ga berhasil, terus mau coba itu lagi?” Tanya Mingyu.

“Mas, ada orang yang Deket banget sama Jun? Sahabatnya mungkin.”

Seungcheol mengangguk. “Ada, Hao.”

. . . . . . . . . . . . . . .

Pagi hari yang cerah tapi tidak untuk Jun. Ia duduk sambil menatap ke luar ruangannya. Tidak memperdulikan dokter atau suster yang masuk, sampai akhirnya.....

“Jun?”

Jun menoleh. “Wonwoo.”

“Apa kabar?” Wonwoo sebisa mungkin menahan air matanya. Ia marah dengan Jun, tapi ia juga sedih melihat Jun yang seperti itu, tubuhnya kurus, matanya sayu, dan tidak ada senyum diwajahnya.

Jun meraba, meminta diraih oleh Wonwoo dan secepat mungkin Wonwoo meraihnya, memeluk Jun seperti dulu. Air mata keduanya sama-sama mengalir dari kedua mata mereka.

“Wonwoo, gue capek. Gue mau sembuh, won. Tolong.”