thatausaha

Setelah mendapat kabar kalau Mingyu sudah menunggu dibawah, Minghao secepat kilat berlari untuk menemui pujaan hatinya itu.

Minghao sudah cukup lama menyukai sahabat kakak sepupunya itu, tapi apa boleh buat ia tidak berani mengatakannya apalagi setelah tau kalo Mingyu menyukai sekretaris nya sendiri—Seungkwan.

“Maaf nunggu lama ya pak.”

“Engga kok, saya juga baru sampai. Sabuk pengamannya jangan lupa ya?”

Minghao buru-buru memakai sabuk pengamannya. Lalu mobil Mingyu berjalan menuju sebuah restoran.

“Emang gak jauh pak dari kantor bapak kesini? Macet lagi orang pada pulang kantor.”

Mingyu tersenyum tapi tetap fokus menyetir. “Kebetulan apartemen saya sama Seungcheol satu gedung jadi lumayan deket kesini.”

“Oh saya baru tau kalo bapak sama pak Seungcheol apartemennya samaan.”

“Yang tau cuma Seungcheol dan Seungkwan aja, Minghao. Bahkan mama papa saya ga tau.”

“Eh pak, manggilnya Hao aja. Kepanjangan kalo Minghao.”

“Oh gapapa ya? Soalnya Seungcheol pernah bilang kalo kamu gak suka kalo dipanggil Hao sama yang bukan keluarga.”

Minghao ingin mengutuk kakak sepupunya itu saat ini juga. Bikin malu aja.

“Gapapa pak, kan bapak sahabatnya mas jadi masih di anggap keluarga sama saya.”

Mingyu mengangguk. “Saya pikir emang kamu mau ngajakin saya jadi keluarga kamu.” Minghao membelalakkan matanya terkejut ketika Mingyu berkata seperti itu.

Mingyu bisa sedikit melihat dari ekor matanya ekspresi wajah Minghao yang terkejut, lalu ia tersenyum. Lucu juga.

Sesampainya di restoran itu, keduanya masuk secara bersamaan. Setelah duduk dan memesan makanan, hening menyelimuti mereka sampai beberapa menit kemudian makanan yang mereka pesan datang.

“Makan yang banyak, Hao. Kamu kurus banget.”

“Badan saya emang segini pak, gak bisa nambah lagi.”

“Masa sih? Cacingan kamu?”

Minghao memutar bola matanya. “Gen pak dari papa saya.” Mingyu tertawa. “Saya bercanda, Hao. Maaf ya kalo bikin kamu kesal.”

“Eh engga gitu pak, saya cuma kasih tau kalo mau makan sebanyak apapun badan saya cuma segini-gini aja.”

Mingyu mengangguk. “Berarti pas sih.”

Minghao meminum sodanya. “Pas apanya, pak?”

“Pas di pelukan saya.”

Uhuk

Minghao terbatuk-batuk karena mendengar ucapan Mingyu. Mingyu ikut panik ketika Minghao tidak berhenti batuk.

“Pak jangan gini dong.”

“Jangan gini gimana?”

“Ya jangan gini, jangan bertingkah seakan-akan bisa digapai.”

Mingyu tertawa. “Kamu mau gapai saya? Emangnya saya keliatan susah digapai ya?”

“Tuh bapak tau. Bapak sama saya tuh kayak bumi sama langit, jauh banget. Jadi saya sadar diri aja sih.”

“Loh emang apa yang ngebedain? Kita kan sama aja di mata tuhan.”

“Iya di mata tuhan sama aja, cuma kan mata tuhan sama mata orang tua bapak beda.”

Mingyu terdiam. Lalu Minghao jadi tidak enak hati.

“Maaf ya pak, gak bermaksud bahas yang dulu-dulu.”

“Seungcheol cerita ya?”

“Iya pak, tapi saya kok pak yang maksa jadi ini bukan salahnya mas. Maaf sekali lagi kalo saya lancang pengen tau urusan bapak.”

Mingyu tersenyum. “Gapapa, Hao. Kayaknya cepet atau lambat kamu juga wajib tau.”

“Hah? Emang kenapa pak?”

Mingyu tersenyum dan menggeleng. “Nanti aja, sekarang abisin dulu makanan kamu. Tadi mau denger cerita saya kan?”

. . . . . . . . . . . . .

Minghao memakan dessert yang ia pesan tadi sambil mendengarkan Mingyu bercerita.

“Jadi ya gitu, Clara itu gak suka sama orang-orang kayak kita, orang-orang yang suka sama sesama. Pas kejadian itu, semua orang natap saya rendah bahkan mama papa saya sendiri. Cuma Seungcheol yang gak seperti itu. Akhirnya Seungcheol ngebela saya. Kamu bisa bayangin kan Hao, gimana hancurnya saya waktu itu? Di hari ulang tahun saya sendiri saya hancur.”

Luka masa lalu yang selalu mingyu kubur akhirnya terbuka. Masa lalu yang membuatnya menjadi tidak memiliki sahabat lain selain Seungcheol.

Beberapa tahun yang lalu, saat ulang tahunnya tepat saat ia juga diangkat menjadi pewaris tunggal keluarga Kim. Clara, yang mengaku sahabatnya tega menusuknya dari belakang. Clara tau tentang orientasi seksualnya, dan ia yang membeberkan semuanya itu di depan semua orang. Sehabisnya, semua orang termasuk keluarganya mencemooh dirinya. Kalau saja waktu itu tidak ada Seungcheol, mungkin dia sudah nekat melakukan bunuh diri.

“Kok jahat banget ya pak, terus si Clara Clara itu minta maaf gak sama bapak?”

“Boro-boro minta maaf, Clara malah bilang harusnya saya makasih sama dia karena dia udah ngasih tau saya kalo itu salah.”

“Dih, apa banget coba. Nih ya pak saya pernah baca katanya kalo mau nasehatin orang ya dengan suara kecil aja, kalo kayak gitu mah emang dia mau mempermalukan bapak. Parah sih.

“Tapi kamu mau tau gak apa yang paling parah?”

“Apa pak?”

“Sebenernya Clara suka sama saya, dia pernah nembak saya dulu tapi saya tolak karena saya tau Seungcheol suka sama dia dan karena saya emang ga suka sama dia. Dari situ dia mulai pakai cara-cara curang buat ngehancurin saya.”

Speechless. Satu kata yang Minghao rasakan saat itu.

“Termasuk sama pacar bapak yang dulu itu? Yang cewek?”

Mingyu mengangguk. “Termasuk dia.”

“Tapi kenapa pak? Maksud saya kan bapak ga sama laki-laki.”

“Ya karena dia gak suka aja ada yang bisa dapetin saya.”

“Tapi mas tau pak kalo Clara sukanya sama bapak?”

“Tau kayaknya.”

“Tapi ya pak, kira-kira mas selingkuh ga sih?”

Mingyu meminum minumannya. “Saya yakin engga. Soalnya saya udah wanti-wanti dia. Seungcheol lebih takut saya marah ketimbang dia gak bahagia.”

. . . . . . . . . . .

Mobil Mingyu berhenti di depan rumah Minghao.

“Makasih ya pak udah di anterin, di ajak makan juga.”

“Sama-sama, Hao.”

“Pak Mingyu mau mampir dulu?”

“Ga enak udah malem, kapan-kapan aja ya Hao.”

“Oh oke, gapapa. Yaudah saya turun dulu ya pak.”

Saat akan membuka pintu mobil, Mingyu menahan tangan Minghao.

“Kenapa pak?”

“Kamu besok ada acara gak?”

“Besok di rumah aja sih pak, libur saya biasanya di rumah.”

“Kalo saya ajak pergi mau?”

“Kemana?”

“Saya baru beli yacht, kamu mau nemenin saya nyobain itu gak?”

Ketika masuk ke kamar, Seungcheol mendapati Jeonghan yang sedang memainkan ponselnya.

“Cepet banget????” Ucap Jeonghan yang kaget melihat Seungcheol sudah berada di kamarnya.

“Kamu sih bikin saya buru-buru.”

“Papa lo tinggal?”

“Engga dong, tadi saya pamit dulu. Sekarang papa juga udah masuk ke kamar.”

“Lo pamit apa?”

“Saya bilang sama papa kalo kamu mau nunjukin sesuatu.”

Jeonghan terperangah mendengar ucapan suaminya itu. “Kok gitu sih ngomongnya?”

“Loh kan kamu yang chat tadi kayak gitu.”

“Ya tapi kan malu kali mas.”

“Tapi kan saya ga bilang nunjukin apanya, walaupun tadi papa nanya sih. Tapi kan ga mungkin saya bilang kalo kamu mau nunjukin baj—.” Ucapan Seungcheol terhenti ketika Jeonghan menutup mulutnya.

“Jangan dilanjut.”

Seungcheol tertawa. “Jadi gimana? Jadi mau kasih unjuk?”

“Lo mau liat emangnya?”

“Kalo saya bilang mau, kamu bakal langsung pake?”

“Ya iya????”

“Oke, saya mau liat.”

Jeonghan menatap ragu Seungcheol, tapi dia tetap berjalan ke arah tas yang ia bawa kemarin. Mengambil baju tipis itu. Lalu berjalan menuju kamar mandi, tapi sebelumnya Seungcheol menghentikannya.

“Tapi saya cuma dikasih unjuk aja?”

“Hah?”

“Gak boleh pegang atau bahkan bukain?”

Jeonghan mati kutu. Niatnya ingin mengerjai Seungcheol malah ia yang kena batunya.

“Jeonghan?” Panggil Seungcheol ketika Jeonghan tidak menjawab.

“Boleh.”

“Boleh apa?”

“Boleh pegang, boleh bukain juga.” Ucap Jeonghan sambil berjalan cepat ke dalam kamar mandi.

. . . . . . . . . . .

Jeonghan berjalan ragu mendekati Seungcheol yang belum melihatnya karena masih fokus pada ponselnya—mengecek kerjaannya untuk Senin besok.

“Mas?”

Seungcheol mengalihkan pandangannya pada Jeonghan, menatap Jeonghan—yang sedang menutupi tubuhnya yang agak terbuka— dari atas sampai bawah. Mulutnya terbuka lebar, ia bahkan beberapa kali ia menelan ludah. Ia sudah pernah melihat tubuh polos Jeonghan dan berhasil membuat nafsunya bangkit, tapi kenapa ketika Jeonghan mengenakan baju itu rasanya nafsunya makin tinggi.

“Mas, elo jangan liatin gue kayak gitu dong. Kalo jelek bilang, biar gue ganti.”

Seungcheol tersadar dari lamunannya. Ia menaruh ponselnya di atas laci. Lalu mendekati Jeonghan—menatap Jeonghan penuh minat. Sesekali ia membasahi bibirnya yang mengering.

“Siapa bilang jelek?”

“Ya itu elo liatnya begitu.”

“Saya malah terpana banget. Jeonghan, kayaknya saya harus banyakin beliin kamu baju-baju kayak gini ya? Soalnya kamu cocok banget pake ini. Kulit putih kamu dipadukan sama baju kayak gini makin bikin saya tegang.” Tubuh Jeonghan ikut menegang ketika Seungcheol mengelusi kulitnya dengan lembut.

Jeonghan mengigit bibir bawahnya, menahan desahannya.

“Jeonghan, saya izin sentuh kamu lebih ya?”

Jeonghan memejamkan matanya ketika kedua tangan Seungcheol sesekali meremat pinggangnya—memberikan elusan-elusan kecil di sana.

“Jeonghan?”

“Mas Seungcheol, tolong.”

“Tolong apa, hm?” Seungcheol menjilati belakang telinga Jeonghan dengan sensual. Sesekali ia meniupinya, membuat Jeonghan bergelinjang kegelian. Jeonghan bahkan merasakan kalau bagian bawahnya sudah becek—kejantanannya sudah mengeluarkan pre-cum. Sial, baru disentuh saja sudah membuat Jeonghan ingin mengeluarkan cairannya.

“Tolong apa, dek?”

Kalau saja Seungcheol tidak menahannya mungkin Jeonghan sudah terjatuh karena tiba-tiba saja kakinya melemas.

“Mas Seungcheol—nghhh—tolong.”

“Ngomong yang bener, dek.”

“Mas Seungcheol, tolong. Tolong masukin gue. Lubang gue gatel banget. Pengen dimasukin. Pengen ditumbuk kenceng sama mas. Please.”

Setelah itu, tubuh Jeonghan melayang karena Seungcheol mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di ranjang.

Seungcheol mencium ganas bibir Jeonghan—membuat Jeonghan kewalahan mengimbanginya. Seungcheol menggigit bibir bawah Jeonghan, meminta akses masuk ke dalam mulut hangat itu. Ketika Jeonghan membukanya, Seungcheol langsung melesakkan lidahnya ke dalam mulut Jeonghan. Menggelitik langit-langit mulut Jeonghan dengan lidahnya—sementara tangannya berkelana ke tubuh Jeonghan yang lainnya.

Geraman Jeonghan teredam karena ciuman mereka. Jeonghan menancapkan kukunya di punggung Seungcheol.

Hah, hah, hah.

Nafas Jeonghan terengah-engah ketika Seungcheol menyudahi ciuman mereka. Seungcheol menatapnya dengan tatapan penuh nafsu.

“Mas, buka ya dek?” Jeonghan mengangguk.

Seungcheol membuka ikatannya dengan giginya. Nafas Jeonghan tercekat ketika ia bisa merasakan bibir kenyal Seungcheol mengenai pinggangnya. Kemudian baju itu terlepas dari tubuh Jeonghan.

“Nghh—.” Seungcheol mengecupi paha mulus Jeonghan sampai ke paha dalamnya. Seungcheol mengangkat sebelah kaki Jeonghan kemudian ia taruh di atas pundaknya.

“Akhhhhhh—.” Jeonghan menggeliat hebat ketika lidah panas Seungcheol membelai lubangnya.

“Mmhhm... ahhh! Ah! Ah! Haa...” Seungcheol mengocok kejantanan Jeonghan ketika lidahnya masih di lubang Jeonghan.

“ANGHHHHHHHHH—.” Jeonghan mengeluarkan cairannya, mengenai perutnya bahkan dagunya karena Seungcheol mengarahkan kejantanannya ke arah sana.

Seungcheol bangkit, ia menatap Jeonghan yang sudah berantakan—bahkan basah karena cairannya dan keringat menyatu.

“Kenapa dijilat, mas?” Tanya Jeonghan dengan nafas tersengal.

“Kita kan ga bawa lubricant. Nanti sakit.”

“Tapi jorok ga sih?”

“Manis. Kamu manis sampai ke dalam-dalam, Jeonghan. Saya jadi pengen makan kamu lagi, lagi dan lagi.”

Wajah Jeonghan bersemu merah ketika Seungcheol memujinya. Seungcheol tersenyum ketika melihat Jeonghan bersemu. Ia mengelus pipi Jeonghan—sampai ibu jarinya sampai di bibir Jeonghan. Mengelusnya. Menekannya.

Jeonghan kemudian membuka mulutnya—Seungcheol dengan lembut memasukan ibu jarinya ke dalam mulut Jeonghan. Jeonghan mengemut jari itu dengan sensual—dengan tatapan yang tidak lepas dari Seungcheol.

Sementara mulutnya masih mengulum jari itu, tangan Jeonghan bergelirya kebagian bawah Seungcheol yang masih berbalut celananya—tapi sangat menegang.

Jeonghan melepaskan kulumannya. “Buka ya, mas?”

Seungcheol mengangguk, lalu ia menjatuhkan dirinya disebelah Jeonghan. Jeonghan langsung berlutut ditengah-tengah kaki Seungcheol. Membuka celana Seungcheol yang mengetat. Dengan gerakan sensual—sambil menatap Seungcheol yang menatapnya— Jeonghan menurunkan celana luar beserta celana dalam Seungcheol.

Kejantanan Seungcheol berdiri tegak di depan Jeonghan. Jeonghan menelan ludahnya, sejujurnya ia masih sering terkejut dengan ukuran Seungcheol. Tapi sebisa mungkin ia tetap waras.

Kemudian Jeonghan membawa kejantanan itu masuk ke mulutnya. Membelai dengan lidahnya. Seungcheol menutup mulutnya dengan tangannya ketika Jeonghan mengulum kejantanannya dengan lihai. Kepalanya terjatuh di atas bantal—dengan mulut meracau nikmat—sebelah tangannya ia taruh di atas kepala Jeonghan, sedikit membantu Jeonghan agar lebih memasukkannya ke dalam—sampai mengenai ujung langit-langit mulut Jeonghan.

“Ouhhhh—.” Satu lenguhan keluar dari mulut Seungcheol ketika Jeonghan mengemut kedua bola kembarnya.

Hampir beberapa menit akhirnya Seungcheol merasakan akan keluar. Bukannya meminta Jeonghan berhenti, Seungcheol malah makin menekan kepala Jeonghan bahkan ia juga menggerakkan pinggulnya sedikit—membuat Jeonghan terbatuk-batuk.

“Anghhhhhhhhhh—.” Seungcheol keluar di dalam mulut Jeonghan. Masih dengan menekan kepala Jeonghan, ia mengeluarkan cairannya di sana.

Uhuk, uhuk.” Jeonghan terbatuk-batuk karena ia harus menelan semua cairan Seungcheol.

“Maaf, Jeonghan. Saya ga sengaja neken kepala kamu.” Seungcheol ikut mengelap bibir Jeonghan yang masih ada sisa-sisa cairan miliknya.

“Gapapa mas, gue kaget aja tadi.” Kemudian Jeonghan membuka baju Seungcheol. Mengecupi leher Seungcheol—bahkan meninggalkan tanda kemerahan di sana. Setelah puas dengan leher Seungcheol, Jeonghan menurunkan ciumannya pada dada Seungcheol, lalu mengecupi kedua tonjolan kecil milik Seungcheol. Seungcheol mendongakkan kepalanya ketika Jeonghan menggigit kecil salah satu putingnya.

Lalu Seungcheol mendorong tubuh Jeonghan. Ia sudah tidak bisa menahannya lagi.

“Saya gak kuat. Langsung aja ya?”

Jeonghan mengangguk dan menyamakan posisinya. Dengan Seungcheol yang sudah mengecek kembali lubangnya. Ketika ia rasa masih longgar, Seungcheol memasukkan kejantanannya dengan perlahan.

Jeonghan meringis ketika lubangnya di terobos masuk. Ia meremas lengan Seungcheol.

“AKHHHHH—.” Jeonghan berteriak ketika kejantanan Seungcheol berhasil masuk ke dalamnya.

Seungcheol mendiamkan dulu miliknya di dalam Jeonghan ketika ia tau Jeonghan masih kesakitan.

“Gerak, mas.”

Seungcheol mulai menggerakkan pinggulnya ketika Jeonghan memintanya bergerak. Ritme nya masih pelan, Jeonghan bahkan bisa merasakan kenikmatan walaupun belum terlalu besar.

“Mas, agak kenceng.”

“Nanti sakit.”

“Tapi ini kurang berasa.”

Akhirnya Seungcheol menambah ritme gerakannya menjadi lebih kencang. Jeonghan mencengkram erat lengan Seungcheol ketika tubuhnya terlonjak-lonjak.

“Nghhh—mas.”

Jeonghan menggelengkan kepalanya ketika pusing karena nikmat menderanya. Ini baru yang Jeonghan mau.

“Mmhhm... ahhh! Ah! Ah!...”

Suara desahan Jeonghan terdengar sampai ke luar kamarnya. Ia tidak perduli kalau ada yang mendengar, ia hanya ingin mengeluarkan suaranya.

“Akhhhh—.” Jeonghan terpekik ketika Seungcheol membalikkan tubuhnya tiba-tiba—menjadi memunggungi suaminya itu.

Plakkkkkkkk

Jeonghan mendongak ketika Seungcheol memukul pipi bokongnya. Sakit dan nikmat yang ia rasakan secara bersamaan membuat nafsunya makin tinggi.

Plakkkkkkkk

Kedua kalinya Seungcheol memukul pipi bokongnya.

“Mas, aku mau keluar.”

Seungcheol makin menggerakkan pinggulnya dengan cepat.

“ANGHHHHH—.” Jeonghan mengeluarkan cairannya dan mengenai spreinya. Seungcheol membiarkan Jeonghan melepaskan orgasmenya terlebih dahulu. Ketika ia rasa sudah cukup, ia kembali menggerakkan pinggulnya.

Mulut Jeonghan kembali mengeluarkan suara-suara desahannya.

“Mas Seungcheol—nghhhh.”

Seungcheol makin menggerakkan pinggulnya ketika ia merasakan orgasme hampir sampai. Jeonghan hanya bisa mendesah dan meremat sprei di depannya.

“Jeonghan, saya mau keluar.”

“ahhh! Ah! Ah! Haa....”

“ARGHHHHH—.” Teriak Seungcheol ketika ia berhasil mengeluarkan cairannya di dalam Jeonghan. Diikuti dengan Jeonghan yang keluar untuk ketiga kalinya. Jeonghan ambruk seketika, tangannya sudah tidak kuat menopang berat tubuhnya.

Nafas keduanya terengah-engah. Seungcheol melepaskan kejantanannya dari lubang Jeonghan. Kemudian ia menjatuhkan dirinya disebelah Jeonghan. Mengatur nafasnya, lalu menatap Jeonghan yang terungkap di sebelahnya.

“Hey, jangan tidur dulu. Mas bersihin dulu ya?” Jeonghan mengangguk lalu Seungcheol membantunya membalikkan tubuhnya.

Seungcheol bangkit dan memunguti baju dan celananya lalu secepat kilat ia memakainya kembali—karena ia sama sekali tidak terkena cairan Jeonghan. Setelahnya Seungcheol langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk mengambil baskom isi air dan handuk kecil.

Setelah membersihkan Jeonghan dan mengganti pakaiannya Seungcheol ikut terlelap di sebelah Jeonghan yang sudah lebih dulu terlelap.

Seungcheol keluar dari kamarnya, ia berjalan menuju kamar Jeonghan. Jeonghan di dalam yang sedang memainkan ponselnya terkejut ketika pintu kamarnya dibuka tiba-tiba.

“Masih sakit?” Tanya Seungcheol

Jeonghan menggeleng. “Kenapa mas? Laper? Mau gue masakin apa?”

“Iya nih laper, tapi makan di luar yuk? Kita setelah nikah ga pernah jalan keluar.”

“Boleh, gue siap-siap dulu.”

“Mau saya bantu?”

“Yang ada ga jadi makan diluar.” Seungcheol tertawa lalu ia keluar dari kamar Jeonghan.

. . . . . . . . . . .

Jeonghan sibuk membolak-balik daging yang ia masak tadi. Sedangkan Seungcheol hanya diam sambil menikmati es krim yang tadi ia pesan.

“Han, kamu ada kepikiran mau bulan madu gak sih?”

“Engga, lagian ngapain? Kan kita di rumah berdua doang.”

“Gak pengen jalan-jalan kemana gitu?” Jeonghan menggeleng.

“Tapi kalo ada negara atau kota yang pengen kamu datengin, bilang ya. Nanti kita ke sana.”

“Emangnya elo ga sibuk mas?”

“Ya sibuk, cuma kan nyenengin suami juga harus.”

“Gapapa kok mas, sering-sering ajak gue makan diluar aja juga gue udah seneng.”

“Gampang banget nyenengin kamu.”

“Gampang kalo ga ada waktunya mah sama aja susah mas.”

“Iya sih, cuma mas serius kalo kamu pengen kemana kasih tau aja ya.” Jeonghan mengangguk. lalu ia memberikan mangkuk isi daging-daging yang sudah matang ke Seungcheol.

. . . . . . . . . . . .

“Mas, gue tuh boleh ga sih nginep di rumah mama?”

“Ya boleh, kenapa engga?”

“Ya kali aja, gue tiba-tiba kangen sama rumah.”

“Kita nikah kan bukan berarti mas jauhin kamu sama orang tua kamu. Kalo kamu kangen ya boleh aja kamu nginep ke sana. Mau kapan? Nanti saya ikut, kan saya belum pernah nginep di sana juga.”

“Lusa aja kali ya mas? Kan weekend juga tuh.”

“Boleh, nanti kita berangkat Jum'at malem aja. Biar kamu lebih lama di sana.”

“Asik, makasih mas Seungcheol.”

“Sama-sama, Jeonghan.”

“Han?”

“Hm?”

“Mau tidur di kamar saya?”

Jeonghan tampak berpikir. “Tidur doang kan?”

“Iya, takut ya kamu saya apa-apain?”

“Bukan takut, cuma masih nyeri aja.”

“Sampe sekarang? Mau saya pakein salep lagi?”

“Gak usah, ntar malah gak jadi tidur doang.” Seungcheol tertawa. “Janji ga bakal lebih dari ngasih salep.”

“Gak usah gapapa mas, udah gapapa cuma nyeri dikit.”

“Yaudah, kasih tau kalo masih sakit ya.” Jeonghan mengangguk.

“Yuk?”

Jeonghan mengangguk lalu mereka berdua masuk ke dalam kamar Seungcheol.

Jeonghan menggeliat tidak nyaman, ia merasakan perutnya begah. Pastinya ini ulah suaminya yang 4 kali mengeluarkan cairannya di dalam miliknya.

Jeonghan menatap laki-laki yang sedang tertidur pulas di sebelahnya. Semalam untuk pertama kalinya ia disentuh secara intim oleh suaminya itu. Jeonghan tidak tau apakah dia sudah mencintai Seungcheol atau belum, yang ia tau ia nyaman ketika berada di samping Seungcheol. Dia ingin selalu melihat wajah Seungcheol. Dia ingin melakukan semuanya dengan suaminya itu.

“Nghh.” Seungcheol merenggangkan otot-otot tubuhnya. Kemudian menatap Jeonghan yang sudah lebih dulu bangun.

“Udah bangun daritadi?”

Jeonghan mengangguk. “Perut gue ga enak banget, begah gitu rasanya.”

Seungcheol melirik jam weker di atas laci. Jam 2 siang.

“Mau saya bikinin teh anget?”

“Gak usah, gue bikin sendiri aja.”

“Ga sakit emang?”

Jeonghan terdiam. Ia baru ingat, kalau ia dan Seungcheol baru melakukannya lagi tadi—morning sex—yang semalam saja masih nyeri, ini lagi ditambah.

“Lagian elo sih, nafsu banget.”

Seungcheol tertawa. “Siapa yang ga nafsu kalo kamu mondar-mandir gak pake celana?”

“Ya abis celana gue kan kena peju, terus mau ambil yang baru males.”

“Yaudah berarti bukan salah saya dong?”

“Nyebelin.”

Seungcheol tertawa lagi. “Kamu mau makan apa? Gak mungkin masak kan?”

“Apa aja deh mas, gak enak banget perut gue.”

“Yaudah saya pesenin yang anget-anget. Kamu mau mandi? Kalo mau saya angkat ke kamar mandi, sekalian saya mau bikinin kamu teh anget.”

Jeonghan mengangguk. Seungcheol langsung membopong tubuh Jeonghan dan membawanya ke kamar mandi. Sedangkan ia bergegas menuju dapur untuk membuat teh anget.

. . . . . . . . . . . .

“Jadi elo bolos?”

“Bisa dibilang gitu.”

“Harusnya elo jadi contoh yang baik dong buat para karyawan lo.”

“Siapa suruh tadi kamu—.” Ucapan Seungcheol terputus karena Jeonghan menutup mulutnya dengan tangannya.

“Yaudah iya gue minta maaf karena udah bikin lo jadi bolos kerja.” Seungcheol tertawa.

“Yaudah tidur lagi sana, capek kamu pasti.”

“Iyalah, gila kali. Semalem 3 ronde, terus tadi nambah sekali. Ga waras.”

“Harusnya kamu seneng dong.”

“Kenapa?”

“Artinya suami kamu masih perkasa. Masih kuat.”

“Idih najis, lo ternyata mesum juga ya mas.”

“Mesum sama suami sendiri. Atau boleh saya mesum sama yang lain?”

“Coba aja, kalo ga abis itu ilang itu punya lo gue tebas.”

Seungcheol tertawa lagi. “Iya, bercanda saya juga.”

“Gak boleh.”

“Apa?”

“Sama yang lain. Gue aja.”

Seungcheol tersenyum. “Iya, sama kamu aja.”

“Tapi mau gak?”

“Mau apa?”

“Mau liat gue pake kado yang dari mas Mingyu?”

Seungcheol tersenyum lagi. “Mau, Jeonghan.”

Jeonghan berguling-guling di atas ranjangnya. Ia bosan, tidak bisa tidur tapi tidak tau harus apa.

Tok tok tok tok

“Masuk.”

Pintu terbuka, muncullah Seungcheol dengan rambut acak-acakannya.

“Kirain udah tidur, gue chat ga dibales.”

“Saya ga bisa tidur juga, kamu kenapa ga bisa tidur?”

“Gak tau nih, apa karena gue tidur siang tadi ya? Mas sendiri kenapa?”

“Pusing.” Tidak bohong, hanya saja Seungcheol juga merasakan kecemasan dalam dirinya.

“Kerjaannya lagi banyak ya?”

“Bukan Jeonghan, bukan kerjaan.”

Seungcheol tidak menjawab, ia ikut merebahkan tubuhnya di samping Jeonghan. Jujur, ini pertama kalinya mereka tidur di atas ranjang yang sama.

“Mau gue pijetin mas?”

Seungcheol menggeleng. “Gak usah gapapa, Han.”

“Biar enakan gitu, kalo begini lo keliatan banget lagi pusingnya.”

Seungcheol mengambil tangan Jeonghan lalu menaruhnya di kepalanya. “Di elus-elus aja.”

Jeonghan menurut, ia mengelus-elus kepala Seungcheol sesekali memberikan pijatan halus di sana. “Mas Seungcheol, kalo ada apa-apa lo boleh cerita sama gue. Kita udah janji depan Tuhan kalo bakal susah seneng bareng-bareng.”

Seungcheol memejamkan matanya menikmati elusan di kepalanya. Ia juga bisa menghirup aroma parfum yang Jeonghan gunakan. Lavender yang mampu membuat kecemasan Seungcheol menghilang seketika. Jeonghan merasakan ketika Seungcheol yang tiba-tiba saja mendekat ke arahnya. Menyembunyikan wajahnya di ceruk lehernya. —Seungcheol bahkan mengendus aroma parfum Jeonghan.

Jeonghan secara cepat sadar dari lamunannya, ia menepuk-nepuk punggung Seungcheol yang ada di pelukannya.

Tapi tiba-tiba saja nafas Jeonghan memburu, karena Seungcheol yang secara tiba-tiba juga mengecupi lehernya. Seungcheol bahkan dengan berani menggigit kecil leher Jeonghan. Jeonghan yakin besok pagi lehernya akan merah-merah.

“Jeonghan?”

Jeonghan mencoba meraba kesadarannya. “Ya mas?”

“Saya tidur disini boleh?”

Jeonghan menggigit bibir bawahnya dan mengangguk. “Boleh, mas.”

“Kalau mas ngelakuin lebih, boleh?”

Nafas Jeonghan tercekat. Jantungnya berdegup kencang. Jeonghan mengangguk.

“Mas izin bikin kamu jadi milik mas seutuhnya ya?”

Setelahnya Jeonghan tidak ingat lagi apa yang Seungcheol katakan. Yang ia tau ia dan Seungcheol sama-sama saling memberikan kenikmatan untuk mereka. Dan yang ia tau malam itu, ia dan Seungcheol sama-sama menjadi milik satu sama lain.

Seungcheol membuka pintu apartemennya, ia mendapati Jeonghan yang sedang menonton TV. Tapi ketika Jeonghan melihat Seungcheol yang baru masuk apartemen mereka ia langsung bergegas menuju Seungcheol, mengambil jas dan tas yang Seungcheol tenteng daritadi.

“Mau mandi dulu atau langsung makan?”

“Mandi dulu aja deh.”

“Oke, gue angetin makanannya ya.” Jeonghan masuk lebih dulu ke kamar Seungcheol, untuk menaruh barang yang tadi ia bawa. Kemudian ia mengambilkan baju ganti untuk suaminya itu. Sebenarnya Jeonghan hanya refleks melakukan itu, karena ia suka lihat mamanya menyiapkan kebutuhan papanya.

Seungcheol hanya melihat gerak-gerik Jeonghan dari belakang. Seungcheol merasa kalau Jeonghan sedang sangat berusaha menjadi suami yang baik. Kemudian ada tekad dalam hatinya, kalau ia harus melakukan hal yang sama.

“Kenapa masih disini? Udah sana mandi. Atau mau bawa bajunya ke kamar mandi?” Tanya Jeonghan yang melihat Seungcheol malah melamun dibelakangnya.

Seungcheol mengangguk. “Saya bawa ke dalem aja.” Jeonghan langsung menyerahkan baju yang tadi ia pilih.

“Yaudah, gue keluar. Baju kotornya taro keranjang ya mas.” Ujar Jeonghan sambil keluar dari kamar Seungcheol.

. . . . . . . . . . . .

Saat ini keduanya sedang menikmati makanan yang Jeonghan masak. Seungcheol akui keahlian Jeonghan memasak tidak bisa diragukan lagi.

“Besok mau sarapan apa? Atau buat makan malem lo ada yang lagi dipengenin gitu?”

Jeonghan melihat Seungcheol yang berpikir.

“Saya lagi ke pengen rawon. Kalo sarapan sih apa aja.”

“Rawon ya? Gue ga pernah bikin sih, tapi nanti gue coba.”

“Kalo ga bisa gapapa Han, nanti mas beli di luar aja buat makan malem kita.”

“Gak usah, gue bisa kok cuma emang belum pernah aja. Tapi bisa, pasti.”

Seungcheol tertawa kecil melihat semangat Jeonghan.

“Kamu tuh bisa masak dari kapan emang? Kayaknya udah jago banget, ini aja enak banget.”

“Em, dari kapan ya? Gue juga lupa, kayaknya sih dari SMA. Tapi gue jarang masak mas, kalo mama lagi pergi aja.”

“Lama juga ya, pantes enak.”

“Soalnya dulu mama tuh suka bilang kalo nanti gue nikahnya sama cowok mau gak mau gue yang harus bisa ngurusin rumah, sampe masak. Jangan sampe nanti yang jadi suami gue ga betah di rumah karena gue ga bisa masak akhirnya ya mau gak mau gue belajar, daripada suami gue makan di rumah orang lain.”

“Kenapa mama bilangnya begitu?”

Jeonghan meneguk air putihnya. “Lo tuh tau gak sih mas kalo gue bisa hamil?”

Uhuk

“Serius?”

Jeonghan mengangguk. “Ga banyak sih laki-laki yang bisa hamil, cuma gue salah satunya.”

“Oh pantesan mama saya setuju sama kamu. Kamu bisa kasih keturunan.”

“Tapi lo sebelumnya pernah punya pacar cowok, mas?”

Seungcheol menggeleng. “Kamu sih yang pertama.”

“Udah yang pertama, langsung jadi suami lagi. Apa ga kaget lo mas?”

“Engga sih, soalnya sekeliling saya banyak yang dengan sesama. Contohnya si Mingyu, Minghao juga.”

“Eh mas, Hao tuh suka ya sama mas Mingyu?”

“Kenapa kamu nanya begitu?”

“Soalnya kalo lagi ada mas Mingyu, Hao tuh ngeliatinnya kayak berbinar-binar. Kayak ada love love di matanya.”

Seungcheol tertawa lagi. “Iya dia suka sama Mingyu, cuma kayaknya Mingyu ga tau.”

“Kenapa gak lo comblangin aja mas?”

Seungcheol mengambil buah jeruk yang ada di atas meja. “Karena Mingyu belum kelar sama masa lalunya. Kata orang, jangan pernah berhubungan sama orang yang belum kelar sama masa lalunya. Kamu cuma bakal jadi bayang-banyangnya si orang yang dulu aja.”

. . . . . . . . . .

Setelah makan mereka memutuskan untuk menonton TV sebentar.

“Oh ya mas, itu kado yang dari mas Mingyu. Mau liat gak?” Tapi belum dijawab Jeonghan sudah mengambil kotak yang diberikan Mingyu.

Seungcheol merasa ia benar-benar harus mengutuk Kim Mingyu.

“Gue tuh gak tau ini salah kirim atau gimana, cuma kata Jisoo ini namanya baju haram. Maksudnya haram apa ya mas? Terbuat dari kulit babi gitu?”

Kalau saja ini sedang waktunya bercanda, mungkin Seungcheol akan tertawa keras. Tapi tidak saat ini. Seungcheol bahkan melihat wajah Jeonghan yang benar-benar meminta kejelasan karena tidak tau dengan barang ini. Ada secercah kebahagiaan di hati Seungcheol karena Jeonghan mungkin belum pernah memakai baju-baju itu di depan orang lain.

“Aduh saya juga jadi bingung jelasinnya gimana. Soalnya ini agak sensitif.”

“Sensitif gimana?”

“Gini, Jeonghan maaf ya sebelumnya. Tapi saya boleh tanya dulu sama kamu?”

“Tanya apa? Tanya aja.”

“Kamu pernah melakukan hubungan intim sama pacar kamu dulu?”

Jeonghan sedikit menunduk, lalu menggeleng. “Gue paling jauh cuma ciuman aja mas. Papa bilang ga boleh kelewat batas.”

Seungcheol bisa bernafas lega akhirnya.

“Gini, jadi ini itu baju untuk pasangan yang udah menikah.”

“Terus gunanya apa? Ini tipis banget loh.”

Seungcheol mengusap tengkuknya—menandakan ia sedang grogi. “Ya gunanya untuk menggoda pasangannya, buat melakukan hubungan badan.”

Seungcheol sebenarnya takut akan reaksi Jeonghan. Tapi yang ia lihat malah Jeonghan yang terlihat masih memandangi baju-baju itu. Lalu tiba-tiba saja Jeonghan mengangguk. Seungcheol mengernyitkan keningnya. Apa maksudnya ini?

Jeonghan bangun dari duduknya tiba-tiba saja.

“Loh mau kemana?”

“Mau nyobain, mas Seungcheol mau liat gak?”

Hah?

“Kan tadi lo yang bilang buat pasangan yang udah menikah. Kita kan udah nikah, terus dapet baju ini artinya gue harus pake dong?”

Seungcheol kelabakan.

“Engga, engga harus sekarang Jeonghan. Ini kalo nanti kamu udah siap, saya udah siap. Gak harus detik ini juga.”

Jeonghan menatap Seungcheol. “Dari awal nikah gue udah siap kok mas, lagian itu kan kewajiban gue sebagai pasangan lo, mas—.”

Bulu kuduk Seungcheol meremang.

“—emangnya mas Seungcheol, ga mau?”

restu

Saat ini Seungcheol, Sooyoung dan Siwon sudah berada di rumah keluarga Lee. Kedatangan mereka kemari bukan hanya untuk bersilaturahmi tapi juga untuk meminta izin meminta Jeonghan pada kedua orang tuanya.

“Jadi Seungcheol ini kerja sama lo, won?”

“Iya, tapi jabatannya udah tinggi. Mampulah dia ngehidupin anak lo.”

“Jadi kesini mau ngapain, mas Seungcheol?” Tanya Donghae

Seungcheol tiba-tiba saja merasakan kerongkongan kering.

“Saya secara pribadi kesini mau melamar Jeonghan, om Donghae.”

“Yakin? Kan baru kenal sama Jeonghan, yakin mau nikah sama dia? Jeonghan ini keliatannya aja galak, padahal mah manja, cengeng, berisik. Yakin mas Seungcheol mau seumur hidup sama yang modelan begini? Kalo om sih males, bikin hidup ga tenang.”

Jeonghan memukul lengan Donghae pelan. “Papa ih.”

“Yakin kok om, kalo om izinin saya mau minta izin untuk gantiin tugas om biar nanti Jeonghan manjanya, cengengnya, berisiknya ke saya aja. Itu juga kalo om izinin.” Wajah Jeonghan memanas ketika mendengar ucapan Seungcheol. Tiba-tiba saja detak jantungnya berdegup kencang.

“Ya om pribadi sih setuju-setuju aja, lagian om kan udah tau bibit, bebet, bobot nya mas Seungcheol. Tapi balik lagi ke Jeonghan nya, dia mau apa engga. Kalo Jeonghan gak mau om ga bisa maksa.”

Jeonghan menunduk ketika semua mata memandangnya. Gugup rasanya ada diposisi ini.

“Jeonghan, mau menikah sama mas?” Tanya Seungcheol

Jeonghan mengangguk kecil.

“Dijawab dong mas nya, masa kayak gitu.” Ucap Donghae

“Iya Han, mau mas.”

Mereka semua tersenyum bahagia, Sooyoung dan Yoona berpelukan karena akhirnya mereka menjadi besan.

Seungcheol mengeluarkan kotak beludru dari kantongnya.

“Ini simbolis aja, kalau nanti kita nikah mas ganti cincinnya.” Seungcheol menyematkan cincin itu ke jari manis Jeonghan.

“Nah karena udah sah, ayo sekarang kita makan. Yoona udah siapin makanan spesial buat kita semua.”

. . . . . . . . . . .

Seungcheol duduk di ayunan yang berada di halaman belakang. Sambil menyesap es sirup, ia menghubungi Mingyu.

“Mas Seungcheol, pudding buatan mas Jeonghan, tadi dia nyuruh aku ngasih ke mas.” Seungcheol melihat seorang wanita yang lebih muda dari Jeonghan. —Jeonghan versi cewek menurut Seungcheol.

“Makasih, Jeongyeon ya?”

Jeongyeon mengangguk. Lalu tanpa permisi ia duduk di sebelah Seungcheol.

“Mas Jeonghan itu walaupun nyebelin, tapi orangnya baik banget. Dia pernah berantem sama orang yang pernah jahatin aku padahal dia ga bisa berantem sampe babak belur. Pulang-pulang ketauan papa, tapi dia gak bilang kalo abis nolongin aku, akhirnya dia marahin sama papa.” Seungcheol menatap Jeongyeon yang menatap kosong depannya.

“Mas Jeonghan itu payah. Dia ga pernah bisa main game, tapi dia usaha terus biar bisa dan biar bisa nemenin aku main. Mas Jeonghan itu penakut, dia takut banget sama hantu sama petir tapi dia berusaha berani pas ujan gede ada petir dan tiba-tiba listrik mati juga pas mama papa ga di rumah cuma buat nenangin aku yang takut gelap.”

“Jadi itu yang papa maksud Jeonghan selalu jadi pijakan adiknya.” Batin Seungcheol

Seungcheol melihat Jeongyeon yang menghela nafasnya.

“Tapi walaupun kayak gitu, aku sayang banget sama dia. Aku sedih pas mas Jeonghan mau nikah, itu artinya dia bakal pergi dari rumah. Terus nanti siapa yang nemenin aku kalo tiba-tiba listrik mati dan papa mama ga ada? Siapa nanti yang bakal nemenin aku main game? Siapa yang nanti bakal nolongin aku kalo ada yang jahat sama aku?”

Seungcheol bisa melihat air mata Jeongyeon terjatuh tapi langsung ia hapus.

“Tapi mama bilang, kalo mas Jeonghan gak nikah nanti gak ada yang jagain mas Jeonghan kalo ada yang jahat sama dia, gak ada yang nenangin dia kalo ada petir, aku jawab ke mama kalo aku bisa tapi kata mama mas Jeonghan butuh orang lain yang lebih kuat dari aku atau bahkan dari mas Jeonghan sendiri.”

Jeongyeon menatap Seungcheol dengan lelehan air mata di pipinya.

“Mas Seungcheol, kalo mas gak bisa jaga mas Jeonghan dengan baik bilang ke aku, biar aku ambil lagi mas Jeonghan nya. Kalo mas ga bisa sayang sama mas Jeonghan, kasih tau aku. Biar aku yang sayang terus sama mas Jeonghan. Kalo mas ga bisa bahagiain mas Jeonghan, kasih tau aku. Biar aku yang bikin mas Jeonghan bahagia.”

“Jeongyeon, mas ga bisa janji sama kamu tapi mas bakal usahain semuanya. Jeongyeon, mas minta izin untuk ngejaga mas Jeonghan seperti mas Jeonghan jaga kamu, mas minta izin untuk nenangin kalo mas Jeonghan takut kayak mas Jeonghan nenangin Jeongyeon. Boleh ya?”

Jeongyeon mengangguk. “Boleh, mas Seungcheol.” Lalu Jeongyeon bangkit dari duduknya karena ia melihat Jeonghan yang akan menghampiri mereka. “Jangan bilang-bilang mas ya, nanti dia besar kepala.” Seungcheol mengangguk sambil tersenyum.

“Ngapain lo? Ngisengin mas Seungcheol ya?”

“Kepo banget sih lo.” Ucap Jeongyeon sambil menjulurkan lidahnya pada Jeonghan dan berlari masuk.

“Lo ga diapa-apain kan mas sama anak nakal itu?”

Seungcheol menggeleng. “Ngobrol biasa aja kok.”

“Puddingnya mau nambah lagi mas?”

“Gak usah, makasih.”

“Gak enak ya?”

“Enak kok, cuma mas masih kenyang aja. Nanti kalo mau mas ambil sendiri.”

“Yaudah gue bungkusin buat di rumah ya?” Seungcheol mengangguk. Lalu ia menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Menyuruh Jeonghan untuk duduk. Dan Jeonghan mengikutinya.

“Jeonghan?”

“Ya mas?”

“Makasih ya.”

Jeonghan mengernyitkan keningnya. “Makasih kenapa? Karena dibikinin pudding? Cuma pudding mas.”

“Makasih karena udah jadi anak pertama yang kuat, yang selalu bisa diandalkan di keluarga. Nanti setelah menikah, saya harap kamu bisa mengandalkan saya. Jangan takut keliatan lemah dihadapan saya, karena kamu boleh ngelakuin hal itu. Kamu gak usah berusaha ngelindungin apapun, karena itu akan jadi tugas saya.”

Jeonghan menggigit bibir bawahnya, lalu ia mengangguk.

“Mas Seungcheol?”

“Ya?”

“Gue mau peluk, boleh gak?”

Seungcheol mengangguk dan tersenyum lalu merentangkan kedua tangannya. Jeonghan masuk meringsek ke dalam pelukan hangat Seungcheol.

“Makasih mas. Makasih karena udah milih gue.”

Jisoo dan Jeonghan yang lebih dulu datang, karena memang keduanya datang bersama-sama. Jeonghan memesan es campur terlebih dulu sambil menunggu Sowon.

“Tadinya gue mau ngajak si mas kesini, sekalian ngenalin ke lu berdua.”

“Terus kenapa ga jadi?”

“Sibuk dia.”

“Cakep banget ya Han?”

“Lumayan sih, ntar aja gue kenalin. Dia bilang mau ngenalin gue sama temennya juga sih.”

Jisoo mengangguk. Ia memasukkan buah melon ke mulutnya.

“Lo gak ada yang mau diceritain gitu ke gue, Soo?”

“Tentang?”

“Ya apa kek, tentang lo sama Seokmin mungkin. Gue liat kemaren lo dijemput sama dia.”

“Gue ga ada apa-apa sama dia, Han. Temenan aja.”

“Tumben banget mau temenan sama orang lain.”

“Gue ngerasa makin butuh temen lain sih, apalagi elo mau nikah kan? Makin jarang ketemu, karena pasti lo sibuk ngurusin laki lo.”

“Tapi kan masih ada Sowon?”

Jisoo terdiam. Ia menatap ke arah depannya sambil menyeruput es nya.

“Soo?”

“Hm?”

“Kenapa ga coba bilang?”

“Bilang apa?”

“Bilang kalo lo suka sama Sowon?”

Jisoo terkejut.

“Lo—.” Ucapan Jisoo terputus ketika ia melihat Jeonghan mengangguk.

“Gue tau kok Soo, gue temenan sama lo ga cuma setahun dua tahun. Kita temenan udah lama bahkan lebih lama daripada kita temenan sama Sowon. Jadi mau gimana elo nutupin, gue tetep bakal tau.”

Jisoo menghela nafasnya.

“Dari semester 3 kayaknya, Han. Gue ga tau kenapa, awalnya tiba-tiba aja kalo deket dia gue deg-degan. Gue seneng kalo deket sama dia, gue seneng liat ketawanya, seneng liat semangatnya. Sampe akhirnya gue sadar kalo gue suka sama dia. Tapi—.”

“—tapi akhirnya elo pendem karena elo tau dia suka sama gue?”

Lagi-lagi Jisoo terkejut.

“Gue juga tau kalo dia suka sama gue. Udah lama juga sih, tapi ga selama elo. Gue juga ga tau dari kapan, tapi mayan lama sih. Tapi elo tau kan Soo, kalo gue ga akan pernah mau sama temen gue sendiri? Makannya gue pura-pura gak tau.”

Kali ini Jisoo yang menatap Jeonghan.

“Gue ga mau kalo nantinya gue sama dia gagal, dan berakibat sama pertemanan kita.”

“Tapi lo suka sama dia?”

Jeonghan menggeleng. “Selain karena pertemanan, juga karena gue ga pernah ada rasa sama dia. Ga tau kenapa, gue ga bisa liat dia lebih dari seorang teman.”

Lalu keduanya sama-sama terdiam.

“Tapi kalo lo mau sama dia, gapapa Soo. Jangan terpaku sama kata-kata gue.”

Jisoo menggeleng. “Kayaknya ga lagi deh, Han. Sejak gue tau dia suka sama lo, gue udah berusaha ngilangin perasaan gue ke dia, ya walaupun sulit. Sulit banget, karena kita masih sering ketemu.”

“Terus lo keputusan lo apa?”

“Gue mau berhenti Han. Berhenti ngejar yang gak mungkin. Dan mungkin gue mau buka hati buat orang yang bener-bener sayang sama gue.”

“Seokmin?”

Jisoo mengangkat bahunya. “Gak tau, tapi bisa dicoba.”

Jeonghan merangkul pundak sahabatnya itu.

“Gue doain yang terbaik buat lo, Soo.”

“Lo juga ya, Han. Semoga yang ini beneran buat lo.”

“Aamiin, kita harus bahagia. Oke?”

“Oke.” Keduanya tertawa.

“Eh eh sorry, gue telat. Lagi ngomongin apa sih? Pake rangkul-rangkulan segala.”

“Kelamaan lo, laper banget gue.” Ucap Jeonghan

“Ngobrolin apa Soo?”

“Ngobrolin lo lama banget, sampe gue laper banget.” Jeonghan dan Jisoo tertawa lagi melihat muka Sowon yang cemberut.

“Sowon, gue izin ngelepasin lo ya?”

Jeonghan mengatur nafasnya ketika saat ini ia sedang berada di depan rumah keluarga Choi. Padahal ia sudah kenal dengan kedua orang tua Seungcheol, ia juga sudah pernah makan berdua Seungcheol tapi ini tetap membuatnya gugup. Pasalnya, dulu sewaktu pacaran dia tidak pernah yang namanya diajak berkenalan dengan keluarga sang pacar.

“Jeonghan, lo bisa.” Ucapnya menyemangati dirinya sendiri.

Jeonghan memencet bel yang terdapat di rumah itu. Hampir 3x ia memencet, sampai akhirnya pintu terbuka. Dan Seungcheol yang membukanya.

“Kok ga chat aja?”

“Hp nya di bawah banget, jadi susah ambilnya.” Ucap Jeonghan dengan senyum gugup.

Seungcheol mengangguk dan mempersilahkan Jeonghan masuk. “Naik apa tadi? Kenapa gak mau saya jemput aja?”

“Jadinya muter-muter ga sih mas kalo lo yang jemput? Btw gue naik taksi tadi.”

“Ya gapapa, kan saya yang ajakin. Harusnya saya juga yang minta izin ke mama papa kamu.”

“Gak usah tadi gue udah bilang kok, Tante Soo juga pasti udah ngomong sama mama.”

Seungcheol dan Jeonghan sampai di depan meja makan sudah tertata banyak makanan.

“Jeonghan, kok ga mau dijemput aja sih sama mas?” Tanya Tante Sooyoung ramah, Sooyoung juga mengecup pipi kanan kiri Jeonghan.

“Kasian mas nya Tante, nanti jadi muter-muter. Lagian Han bisa sendiri.” Jeonghan mendekati Siwon dan menyalami calon papa mertuanya itu.

“Jeonghan, apa kabar?”

“Baik om, om sendiri gimana?”

“Om baik-baik aja. Cuma agak sibuk di kantor.” Jeonghan mengangguk menanggapinya.

“Yuk langsung makan aja. Kamu pasti udah laper kan Han?” Jeonghan mengangguk malu.

Lalu mereka menikmati makanan yang sudah disediakan.

. . . . . . . . . . . .

Saat ini mereka berada di ruang tengah rumah keluarga Choi. Sambil menikmati cemilan yang sudah disediakan juga.

“Tapi yang kemarin tuh udah ga ganggu kamu kan Han?” Tanya Siwon sambil menyeruput kopi nya.

“Udah engga kok, om. Aku nya sih yang menghindar, tapi katanya dia masih suka nanyain aku ke temen-temen ku.”

“Dia tuh barengan sama kamu?”

“Dia sempet cuti kuliah dulu, Tante. Jadinya sekarang bareng Han, cuma yang Han tau dia belum sampe tahap skripsi.”

“Bagus deh Han kamu lepas dari dia, gak baik gitu masa depannya.” Jeonghan mengangguk. Lalu meminum jus melon miliknya. Sedangkan Seungcheol hanya diam, mendengarkan sesekali ia mengecek ponselnya.

“Mingyu gimana, mas?” Tanya Siwon

“Aman pa, mau ngobrol sama mamanya katanya. Cuma belum tau kapan, paling nanti mas yang temenin.”

“Iya, harus ditemenin. Takutnya aneh-aneh itu anak.” Ucap Sooyoung

“Tapi seharusnya orang tuanya ga gitu, Soo. Masa cuma karena status sosial dia mau ngeliat anaknya kayak gitu.”

“Mungkin mama nya Mingyu mau Mingyu dapet yang terbaik.”

“Loh emang yang dulu dan sekarang itu bukan yang terbaik? Gini ya, kalo kita cari orang yang sempurna gak bakal pernah dapet. Karena ga ada manusia yang 100% sempurna. Lagian suatu hubungan itu kan yang penting dua-duanya mau nerima kekurangan masing-masing.” Siwon menjeda ucapannya.

“Kalo kayak gitu berarti orang tuanya Mingyu ga percaya kalo bisa Mingyu dapet yang terbaik. Padahal Mingyu udah gede udah bisa bedain mana yang serius mana yang cuma main-main. Itulah kenapa aku gak mau ikut campur masalah jodohnya mas. Aku selalu bilang sama mas kalo emang cocok ya dijalanin aja.”

Mereka semua hanya diam, mencerna omongan Siwon.

“Kamu juga mas, kamu mengiyakan maunya mama mu nih. Untuk jadiin Jeonghan suami kamu. Yang harus kamu inget, kamu ngambil anak sulung keluarga orang lain. Harus dijaga segimana papanya ngejaga dia. Harus di sayang, segimana mamanya sayang sama dia. Harus bisa jadi pijakan segimana dia jadi pijakan adiknya.”

Jujur, Jeonghan ingin menangis saat itu juga. Tidak tau kenapa ucapan Siwon membuatnya terharu.

“Iya pa.”

“Kalo dia salah jangan dipukul, dikasih tau yang bener. Papa nyuruh kamu belajar bela diri bukan untuk mukul seseorang tapi untuk ngejaga seseorang itu. Ngomong yang alus, jangan pake suara tinggi. Kita kan ga tau, Jeonghan pernah dibentak papanya apa engga, kasarnya papa nya gak pernah kok kamu yang masih orang baru seenaknya.”

“Iya pa, mas usaha biar mas ga ngelakuin hal-hal yang bikin Jeonghan sedih.”

“Aduh, mama jadi mau nangis. Terharu, akhirnya mas nikah.”

“Iya, jadi mas minta restu sama mama papa buat nikahin Jeonghan. Bawa Jeonghan ke keluarga kita. Doain semoga mas bisa jadi kepala keluarga yang baik dan benar.” Ucapan Seungcheol membuat Sooyoung menitikkan air matanya.

“Mama bakal doain yang terbaik buat mas, sama Jeonghan ya. Harus akur, kalo beda pendapat bicarakan baik-baik. Karena menikah itu bukan hanya satu orang, tapi dua. Kalian harus menyatukan dua kepala di dalam satu rumah.” Ucap Soonyoung sambil memeluk kedua anaknya itu.

“Harus inget juga mas, kalo bukan hanya dua kepala aja yang harus disatukan. Tapi dua keluarga. Kalo kamu bikin Jeonghan sedih, yang malu bukan cuma kamu tapi papa mama juga.”

Seungcheol mengangguk. “Mas ngerti pa. Makasih ya pa ma udah mau kasih restu buat mas sama Jeonghan. Sekarang mas mau minta tolong juga sama papa mama, untuk anter mas ke rumah Jeonghan minta Jeonghan baik-baik ke keluarganya.”

“Pasti, mas. Papa akan anter kamu untuk masuk ke keluarga Jeonghan.”

. . . . . . . . . . .

Jeonghan hanya diam sejak tadi. Ia benar-benar tidak menyangka akan ada di titik ini.

“Jeonghan, kenapa?” Tanya Seungcheol

Lamunan Jeonghan buyar ketika mendengar suara Seungcheol.

“Gapapa mas, mikirin yang tadi aja. Gue beneran ga nyangka ternyata bentar lagi gue nikah.”

Seungcheol hanya tersenyum menanggapinya.

“Mas?”

“Hm?”

“Kalo nanti gue salah atau ga nurut sama lo, jangan dipukul ya? Lo marahin aja gue.”

“Jeonghan, tadi kamu dengar kan gimana saya janji sama papa mama saya? Itu artinya saya juga harus janji sama tuhan. Kalo saya gak akan pernah pukul kamu. Kamu inget janji saya yang itu.”

Jeonghan mengangguk. Lalu ia kembali diam sampai rumahnya.

“Mau masuk dulu mas?” Tanya Jeonghan sudah keluar dari mobil, saat ini ia berada di sebelah Seungcheol yang masih di dalam mobil.

“Kayaknya ga usah deh, udah malem juga ga enak sama tetangga, bertamu malam-malam. Papa mama kamu pasti lagi istirahat. Titip salam aja ya, nanti saya kabarin lagi kapan kesini sama mama papa saya.”

Jeonghan mengangguk. “Iya mas.”

“Yaudah saya pulang. Selamat malam Jeonghan.”

“Jangan lupa kabarin ya mas, met malam juga.”

Seungcheol masih setia menunggu Mingyu yang masih belum kelar menangis. Sudah 2x Mingyu merasakan hal yang sama, kejadian beberapa tahun lalu kembali terjadi saat ini.

“Di—dia pergi, Cheol. Dia ninggalin gue, kayak Marsya ninggalin gue.” Mingyu baru mau berbicara setelah hampir 1 jam menangis.

“Gyu, lo ga mau coba tanya nyokap lo dulu?”

Mingyu menggeleng. “Gue udah yakin ini pasti ulah dia. Dia yang dari dulu ga suka kalo gue bukan sama yang selevel. Padahal kita di mata tuhan sama kan, Cheol?”

Seungcheol tidak menjawab, ia masih sibuk menenangkan sahabatnya itu.

“Gue juga udah bilang sama Seungkwan, kalo gue bakal milih dia apapun yang terjadi. Tapi ternyata Seungkwan gak sesayang itu sama gue ya, Cheol?”

“Gyu, lo ga boleh ngomong kayak gitu. Lo belom tau dari sisi Seungkwan. Sampe sekarang pun elo belom tau kan dari sisi Marsya? Ini kenapa gue bilang kenapa elo ga coba tanya nyokap lo dulu. Kita gak tau apa yang nyokap lo omongin ke mereka.”

Mingyu terdiam, selama ini ia hanya tau kenapa mami nya tidak setuju dia dengan pilihannya. Tapi tidak pernah tau apa yang maminya katakan pada mereka.

“Tapi gue ga mau ketemu mami lagi, setiap gue liat mami yang gue inget cuma gimana caranya dia nyingkirin orang yang gue sayang.”

“Tapi kalo bukan lo, siapa lagi? Kalo ga lo tanya, apa elo mau kejadian ini ke ulang ketiga kalinya?”

Seungcheol benar. Bisa-bisa dia akan dinikahkan dengan orang yang tidak ia sayang. Dia tidak mau berumah tangga dengan orang asing.

“Jadi gue harus nanya ya, Cheol?”

“Iya, seenggaknya lo tau dulu. Tapi setelah lo tau, gue harap lo ga marah besar sama nyokap lo. Lo harus tau juga mungkin nyokap lo ngelakuin ini demi kebaikan lo. Kita ga pernah tau isi hati seseorang, Gyu.”

Setelah ucapan Seungcheol itu, Mingyu menjadi lebih diam. Sebenarnya ia sedang meresapi kata-kata Seungcheol.