Done.

Jeonghan sedang membantu Juno bersiap-siap, karena malam ini mereka akan merayakan ulang tahun Jeonghan bersama.

“Sayang, kamu liat jam tangan aku gak? Yang dari kamu itu.”

“Di tempat jam kamu gak ada emang mas? Biasanya kalo aku nemu ditempat lain aku taro situ lagi.”

Seungcheol akhirnya membuka laci khusus jam tangannya.

“Oh ya ada yang.”

“Jangan kebiasaan kenapa sih mas, nanti kalo diambil Juno terus dibanting gimana?”

“Ya tinggal beli lagi??”

“Jangan boros, jam tangan kamu tuh mahal-mahal. Satu jam tangan kamu aja bisa buat bayar sekolah Juno sampe SMA kali.”

Seungcheol tertawa lalu ia mendekati suaminya itu.

“Oke papa, lagian kan sekarang kartu aku kamu yang pegang semua jadi aku ga bisa boros.” Seungcheol memeluk Jeonghan dari belakang.

“Juno, sama om Chan dulu ya? Nanti papa samperin.” Juno tidak menjawab tapi ia pergi dari kamar orang tuanya itu.

Jeonghan membalikkan tubuhnya menghadap Seungcheol. Ia mengalungkan tangannya di leher Seungcheol. Lalu berjinjit sedikit untuk mengecup bibir suaminya itu.

“Mas Seungcheol, makasih ya buat semuanya. Kamu pake repot-repot bikin acara segala buat aku.”

“Sayang, ini cuma makan malem biasa. Tiap tahun kita ngelakuin ini kan? Jadi kamu gak usah bilang makasih sama aku. Aku yang harusnya bilang makasih sama kamu. Makasih udah kuat waktu itu.”

Flashback on

Jadi pada saat kejadian beberapa tahun yang lalu, Jeonghan mengalami koma selama 5 bulan lamanya. Dokter bilang, tubuh Jeonghan menolak untuk diberikan obat-obatan oleh dokter—sehingga membuatnya tidak sadarkan diri. Dokter bilang juga kalau Jeonghan mengalami depresi jadi ia tidak mau menerima apapun di tubuhnya.

Selama 5 bulan juga hidup Seungcheol hancur. Dia harus menyaksikan orang yang dia sayang hanya terbaring lemah di sana. Rasanya ingin menyerah pada saat itu juga, tapi untungnya Seungcheol punya keluarga dan teman-teman yang mau membantunya.

Awalnya Jeonghan hanya tidak menerima pengobatan, tapi bulan ke-5 tubuhnya drop terus menerus, dokter berkata kalau pengobatan terakhir yang mereka lakukan ditolak juga oleh Jeonghan, dokter tidak bisa memaksa lagi, dokter juga meminta semua pihak mengikhlaskan Jeonghan untuk pergi.

Dan benar, tubuh Jeonghan lagi-lagi menolak. Dan pada saat itu juga pihak keluarga memutuskan untuk mengikhlaskan Jeonghan. Malam terakhir sebelum dokter melepaskan alat-alat yang melekat pada tubuh Jeonghan, Seungcheol membawa Juno ke sana. Seungcheol ingin Juno lihat seperti apa wajah papanya—walaupun ia tau kalau Juno tidak akan mengerti. Tapi malam itu, Juno tidak berhenti menangis. Seungcheol juga tidak tau kenapa, tapi Juno terus-terusan meminta untuk di dekatkan oleh Jeonghan. Akhirnya Seungcheol menaruh Juno tepat disebelah Jeonghan. Juno menangis meraung-raung tepat di telinga Jeonghan—membuat hati Seungcheol juga sakit. Tapi Jeonghan sama sekali tidak merespon, membuat Seungcheol makin yakin kalau memang seharusnya ia mengikhlaskan Jeonghan pergi.

“Jeonghan, mungkin ini terakhir kalinya Juno liat kamu. Maaf ya Juno ganggu tidur kamu. Capek ya, sayang? Maaf ya mas egois karena udah nahan Han disini, sekarang gapapa kalo Han mau pergi. Mas dan Juno sudah ikhlas. Tolong jaga mas sama Juno dari atas sana ya sayang. Mas sayang sekali sama kamu. See you next time, papa Jeonghan.”

Seungcheol mengambil Juno dan akan membawanya pergi tapi baru selangkah dari ranjang Jeonghan, tiba-tiba saja alat yang membantu Jeonghan bertahan hidup bereaksi. Seungcheol membalikan tubuhnya, ia melihat jemari Jeonghan bergerak. Dengan cepat ia memencet bel untuk memanggil dokter. Setelah dokter sampai, Seungcheol diminta keluar ruang terlebih dahulu. Di luar ia mencoba menghubungi keluarganya, ia juga meminta Jisoo menghubungi teman-temannya.

Saat semua sudah berkumpul, tepat saat dokter keluar dari ruang Jeonghan.

“Gimana Dok?”

Mereka semua melihat dokter itu tersenyum.

“Pak Seungcheol, mungkin ini adalah doa dari bapak sekeluarga—.”

“—pak Jeonghan berhasil melewati masa koma nya.”

Ucapan dokter membuat semuanya menangis, ini yang mereka harapkan. Jeonghan kembali pada mereka.

“Tapi saran saya untuk dijenguk besok pagi saja karena pak Jeonghan masih dalam masa pemulihan. Kalau begitu saya permisi.”

Setelahnya, keadaan Jeonghan benar-benar membaik. Lalu setahun kemudian Seungcheol dan Jeonghan memutuskan untuk menikah, disusul oleh Soonyoung lalu Mingyu—yang ternyata mengikuti jejak Seungcheol—lalu yang terakhir Juna.

Oh ya, dan untuk Rachel saat ini Rachel berada di salah satu rumah sakit jiwa. Setelah melakukan percobaan pembunuhan akhirnya ia dicek kejiwaannya dan benar Rachel ternyata depresi berat karena kehilangan suami, calon anaknya dan kedua orang tuanya di dalam penjara.

Flashback off

Seungcheol memajukan kepalanya untuk mencium Jeonghan. Keduanya sama-sama saling menikmati ciuman mereka. Tidak ada nafsu di sana, hanya ada perasaan cinta keduanya yang makin besar setiap waktunya.

“Mas—.” Jeonghan mendorong tubuh Seungcheol yang menurutnya sudah mulai nakal.

“Dikit lagi, yang.”

Jeonghan menggeleng. “Yang ada kita malah berakhir di kasur.”

“Udah lama yang, kangen aku kayanya.”

Jeonghan mengelus pipi Seungcheol. “Nanti kelar acara, mau gak Juno dititipin ke mami?”

. . . . . . . . . . . .

Acara berlangsung dengan meriah, walaupun kata Seungcheol hanya sederhana tapi tidak bagi Jeonghan. Ini benar-benar mewah, tapi karena ini hari baiknya dia tidak mau berdebat dengan suaminya itu. Tapi ga tau kalau besok-besok.

“Cia mana Soo?” Tanya Jeonghan ketika melihat Jisoo yang mendekat ke arahnya.

“Sama bapaknya.”

Lalu keduanya sama-sama terdiam, menikmati makanan mereka.

“Han/Soo.”

Keduanya tertawa.

“Lo duluan deh, Han.”

“Gue cuma mau bilang makasih sama lo. Karena elo yang paling berjasa di hidup gue, gue ga tau deh kalo ga ada elo gimana. Makasih juga udah mau bantu rawat bapak sama Chan selama gue koma. Jisoo, bahkan kata makasih aja ga cukup untuk gue sampein ke elo. Maaf kalo gue pernah bikin lo kesel, maaf kalo gue ga ikutin kata-kata lo. Jisoo tapi gue sayang banget sama lo—.” Belum selesai Jeonghan berbicara, Jisoo sudah memeluknya. Jeonghan membalas pelukan sahabatnya itu. Mereka bahkan sama-sama menangis.

“—Jeonghan gue juga sayang banget sama lo. Kalo gue ga sayang sama lo gue ga bakal tahan sama lo. Jeonghan, harusnya gue yang bilang makasih ke elo, ke bapak karena kalo ga ada kalian mungkin gue udah jadi gelandangan sekarang, atau bahkan udah mati karena gue ga tau harus gimana. Jeonghan, jadi bagian dalam hidup lo adalah salah satu yang paling gue syukuri. Maaf kalo gue suka keterlaluan, tapi makasih juga karena lo sekarang gue hidup bahagia sama Mingyu, sama cia.”

Jeonghan melepaskan pelukan mereka. Ia menghapus air mata Jisoo.

“Jisoo, janji sama gue kita harus bahagia terus. Janji sama gue kita bakal kayak gini sampe maut memisahkan kita.”

“Gue janji, Han.”

. . . . . . . . . . .

“Udah dong yang, mau nangis sampe kapan? Cia nanti bangun denger suara kamu.”

“Mingyu, aku tuh—dulu kayak pernah nyelametin negara sampe aku dapet kehidupan kayak gini.” Jisoo masih menangis ketika mereka pulang.

“Iya-iya, tapi udah ya? Matanya kasian itu, capek. Udah ya.” Mingyu menenangkan Jisoo—sambil menyetir.

“Mingyu?”

“Ya papa Chu?”

“Makasih ya, makasih udah milih aku. Makasih udah sabar sama aku. Makasih udah percaya sama aku. Aku gak tau kalo bukan sama kamu, aku masih bisa bahagia kayak gini apa engga.”

“Soo, kamu tau gak?”

“Apa?”

“Sebelum kamu terima aku jadi pacar kamu, aku selalu berdoa sama tuhan biar kamu mau jadi pacar aku, setelah kamu jadi pacar aku aku berdoa lagi biar kamu jadi orang terakhir di hidup aku, dan setelah kamu jadi orang itu, aku masih berdoa sama tuhan aku minta sama tuhan biarin aku ngebahagian kamu, biarin aku ganti semua waktu kamu yang kamu pake buat nangis aku ganti dengan hal-hal bahagia. Jisoo, dapet kamu itu udah kayak mukjizat dalam hidup aku. Bahkan mama sampe bingung kenapa aku sampe segininya mertahanin kamu aku sendiri gak tau kenapanya tapi yang aku tau aku maunya sama kamu. Aku mau ngelawatin dunia ini sama kamu. Cuma kamu, Soo. Kalo waktu itu kamu gak mau sama aku, aku gak mau nikah. Aku mendingan sendirian daripada harus ga sama kamu.”

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Mingyu menatap Jisoo yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Soo, jangan nangis lagi.”

“Mingyu, bisa minggir dulu gak?”

“Hah? Kenapa yang?”

“Aku mau peluk kamu, mau cium kamu.”

Mingyu tertawa. “Ga di rumah aja yang?”

“Boleh. Mumpung cia udah tidur, dia kan agak kebo ya kayak kamu. Kamu mau aku pake warna apa?”

“Warna apa apanya yang?”

Baju dinasnya, kamu mau aku pake warna apa?”

“Yang ini serius? Kamu ga capek?”

“Mingyu, aku ga bisa kasih kamu apa-apa karena kamu bisa punya sendiri tanpa aku kasih. Waktu itu kamu juga bilang kalau kamu seneng sama badan aku, jadi aku mau bikin kamu seneng. Walaupun sedikit.”

“Udah gila, mana ada sedikit. Ini mah lebih banyak dari dari apa yang gua dapet.”

Jisoo tertawa. “Jadi gimana, mau aku pake warna apa?”

“Yang, ini serius kan?”

Jisoo mengangguk. “Reward buat Kim Mingyu karena udah jadi suami+ayah yang sabar buat Jisoo dan cia.”

“Yang gila dah lu, masa di mobil banget bilangnya. Untung gua sadar kalo ga nabrak dah nih.”

“Hehehehe Mingyu, kamu kan ga akan pernah biarin aku sama cia kesakitan.”

“Arghhh ga bisa ni gua, yang gua izin ngebut dikit tapi hati-hati ya.”

Jisoo mengangguk dan tertawa. Dia selalu suka Mingyu yang apa adanya seperti ini. Eh, kayaknya dia selalu suka Mingyu deh. 25/7 for Kim Mingyu.

“Yang?”

“Hm?”

“Warna item seksi dah.”

“Oke, Daddy gu.”

Selamat hilang kewarasan, Kim Mingyu.

. . . . . . . . . . .

Seungcheol melihat Jeonghan yang baru masuk ke dalam kamar mereka, setelah menidurkan Juno. Seungcheol melihat gerak-gerik Jeonghan yang ke sana kemari.

“Mas, mau yang ini atau yang ini?”

Sama halnya dengan Jisoo, Jeonghan juga bertanya terlebih dahulu pada suaminya itu.

“Yang, kayaknya langsung aja deh.”

“Loh mas ga mau liat aku pake ini dulu? Udah ga bagus ya mas kalo aku yang pake?”

“Eh engga yang, ngaco aja. Bagus banget itu. Cuma mas mau kasih tau kamu dulu.”

“Kasih tau apa?”

“Itu bajunya di simpen dulu aja ya?”

“Kenapa?”

“Hehehehe mas mau ajak Han bulan madu. Kan kita belum bulan madu dari habis nikah. Jadi, mas mau liat Han pake itu tapi view nya laut.”

Seungcheol bisa melihat warna merah di wajah Jeonghan.

“Jadinya itu aku simpen dulu?”

Seungcheol mengangguk. “Kamu ada berada deh yang?”

“Aku ada sekitar 3 sih. Kenapa?”

“Kalo aku robek gapapa?”

“Ya gapapa ga sih? Kamu beli itu buat aku tujuannya emang itu kan?”

“Hehehehe paling ngerti deh kamu. Aku tambahin ya yang? 2 aja kok.”

Jeonghan tersenyum dan mengangguk. “Lakuin yang kamu mau mas, aku seneng kalo mas mas seneng.”

Seungcheol menarik Jeonghan untuk duduk di pangkuannya.

“Sebenernya mas lebih suka liat Han gak pake apa-apa. Cuma kalo Han pake itu, cantiknya Han nambah 3x lipat. Jangan pernah mikir mas ga suka sama badan Han ya.”

“Iya mas, maaf ya kalo kata-kata Han bikin mas sedih. Han cuma takut mas udah ga tertarik sama Han lagi.”

“Mana ada, liat Han dari jauh pake baju rapih aja masih suka bangun.”

“Ya iya, otak kamu kan ke sana terus.”

Seungcheol tertawa. “Papa, hari ini ayah boleh minta jatah ga ya?”

Kali ini Jeonghan yang tertawa. “Boleh, ayah.”

“Love you, pa.”

“Love you too, ayah.”

End.

(Untuk narasi kotornya dipikirin sendiri aja ya wkwkwkwk jangan minta karena udah ga ada yang perlu dilanjut. Makasih.)