Jeonghan bermain game di ponselnya, beberapa menit yang lalu Seungcheol pamit untuk pergi ke kantor sebentar dan Seungcheol bilang kalau nanti Wonwoo akan datang. Saat ini Juno sedang tertidur pulas karena di timang-timang Seungcheol tadi.

Tok tok tok tok

“Masuk.”

Seorang suster masuk, Jeonghan bingung karena ia tidak memanggil suster.

“Permisi pak Jeonghan, saya mau minta sampel darah nya ya?” Jeonghan yang tidak paham untuk apa hanya mengangguk. Saat suster itu menyuntiknya, ia masih terfokus pada ponselnya.

“Sudah pak, terima kasih. Saya pergi dulu, kalau butuh apa-apa tinggal panggil saja.”

“Terima kasih sus.”

Setelah suster itu pergi, tiba-tiba saja Jeonghan ingin buang air kecil. Karena tidak ada yang bisa membantunya, ia memutuskan untuk bergerak sendiri. Tapi ketika ia berhasil bangun, kepalanya pusing tiba-tiba. Dan semuanya gelap seketika untuk Jeonghan.

Pintu terbuka, dua orang laki-laki masuk dan langsung membawa Jeonghan pergi.

Sementara itu, Wonwoo sudah sampai di rumah sakit saat ini ia sudah menuju ruangan Jeonghan. Ketika sampai di depannya ia mengetuk pintu tapi tidak ada sautan, pikirnya Jeonghan tidur ketika ia masuk tidak ada siapa-siapa hanya ada Juno yang masih tertidur. Wonwoo masih berpikir positif, mungkin Jeonghan di kamar mandi. Tapi hampir 30 menit tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang di kamar mandi. Dengan cepat Wonwoo langsung membuka pintu kamar mandi dan tidak ada siapapun.

Wonwoo panik, ia berlari keluar—tempat resepsionis tapi tidak ada orang sama sekali. Wonwoo sempat kembali ke kamar itu, ia mengambil Juno. Di gendongnya Juno, lalu ia pergi menuju dimana ada suster atau pekerja di rumah sakit itu. Tapi nihil, tidak ada satupun petugas di sana. Padahal itu siang hari.

Saat kalut, Wonwoo bertemu Mingyu yang menatapnya bingung.

“Won, kenapa?”

“Mingyu, Jeonghan gak ada. Dia ga ada di ruangannya.”

“Hah? Yang bener lo?” Mingyu langsung berlari menuju ruangan Jeonghan dan benar, tidak ada siapapun di sana.

“Gimana bisa won?”

“Gue juga ga tau, gue sampe sana gak ada siapapun cuma ada Juno. Gue pikir Jeonghan di kamar mandi tapi gue tungguin ga ada tanda-tanda ada orang di sana pas gue cek emang ga ada orang.”

Mingyu mengusakkan rambutnya frustasi.

“Ini suster nya pada kemana semua?” Lalu Mingyu melihat salah seorang OB. “Pak, ini penjaganya pada kemana? Susternya juga?”

“Loh Dok, semua penjaga termasuk suster pada dikumpulin di aula. Katanya mau ada arahan.”

“Arahan apanya, saya dokter disini tapi gak tau bakal ada arahan.” Mingyu kalut, lalu ia berlari ke arah aula dan benar mereka semua di sana kecuali yang di UGD.

“Siapa yang suruh kalian kesini?”

“Tadi ada yang bilang Dok, makannya kita semua kesini.” Jawab salah satu suster.

“Dan semuanya kesini? Ga ada yang jaga satu pun? Kalo tiba-tiba ada yang butuh kalian sekarang tapi kalian ga ada gimana? Gimana mereka bisa dapet bantuan?” Mingyu murka. Semuanya hanya diam, mereka takut. Mingyu termasuk dokter yang ramah, tidak pernah marah. Tapi saat ini mereka melihat sisi lain Mingyu.

“Siapa yang suruh kalian?” Tapi tidak ada yang menjawab.

“SAYA TANYA SEKALI LAGI SIAPA YANG SURUH KALIAN?” Mingyu berteriak di depan semua orang.

“Pasien saya, Jeonghan hilang. Dia tidak ada ditempatnya, bahkan anaknya ditinggal sendiri. Dan waktu saya liat tidak ada petugas yang berjaga. Kepada siapa saya harus bertanya? Anaknya yang masih bayi umur 3 hari?”

“Mungkin kabur, Dok.”

Mingyu maju, menatap tajam seorang petugas yang tadi berbicara.

“Orang bodoh mana yang kabur sehabis operasi caesar?”

Mingyu menatap semua orang di sana.

“Saya ingatkan pada kalian, kalau ternyata ini karena kecerobohan kalian semua. Saya pastikan kalian dapat surat peringatan atau bahkan surat mutasi. Ingat itu.” Mingyu pergi dengan marah. Bisa-bisanya mereka melupakan kewajiban mereka untuk menjaga pasien karena sebuah kabar yang tidak tau dari mana asalnya.

Mingyu kembali ke Wonwoo yang masih berada di depan ruangan Jeonghan dengan Juno di gendongannya.

“Gyu, gimana?”

“Mereka bahkan gak tau won siapa yah nyuruh.”

“Gimana bisa, Gyu?”

“Gue ga tau, lo udah hubungin Seungcheol?”

“Gue hubungin Juna, karena kata Juna pak Seungcheol lagi ada meeting. Tapi gue bilang sama Juna untuk pelan-pelan ngasih taunya.”

“Gue kasih tau Jisoo dulu.”

Wonwoo mengangguk.

Skip time

Setelah mendengar berita itu, Seungcheol mengamuk di rumah sakit.

“Kalo kayak gini siapa yang tanggung jawab, gong?”

Mingyu tidak menjawab. Karena ia tidak tau apa jawabannya.

Seungcheol terduduk lemas, menangis. Sepertinya susah sekali untuk bahagia, batin Seungcheol.

“Seungcheol?”

“Mami, Jeonghan gak ada mi. Jeonghan kemana mi?” Seungcheol menangis di pelukan maminya.

“Mas tenang ya, papi udah suruh semua anak buahnya untuk cari Jeonghan.”

Tiba-tiba ponsel Seungcheol berdering, tapi Seungcheol tidak menggubrisnya.

“Mas Seungcheol maaf, tapi apa gak di angkat dulu? Takutnya penting, atau bahkan dari kak Jeonghan.” Ucap Jihoon. Jihoon diberitahukan oleh Soonyoung, Soonyoung juga meminta Jihoon agar menemani Seungcheol di sana—untuk menggantikannya sementara.

Akhirnya Seungcheol mengangkat telpon itu.

“Halo?”

“Sayang, halo.”

Deg!

“Rachel?”

. . . . . . . . . . .

Jeonghan terbangun karena rasa sakit yang teramat sangat di bagian perutnya. Tapi ia tidak bisa memegang perutnya karena tangannya di ikat kebelakang.

“Tol—ong arghh.” Bahkan ia tidak kuat untuk berteriak.

Lalu tiba-tiba pintu terbuka, Jeonghan melihat seorang wanita yang masuk ke dalam ruangan itu.

“Siapa kamu?”

“Halo, Jeonghan.”

Jeonghan ingat suara itu. Rachel.

“Mba Rachel?”

“Oh kamu masih inget aku. Apa kabar?”

“Mba, ini apa? Kenapa Mba culik saya? Salah saya apa? Tolong lepasin mba, perut saya sakit banget.”

Rachel mendekati Jeonghan, lalu mencengkram kuat rahang Jeonghan.

“Salah lo banyak. Lo rebut suami gue, dan gara-gara lo gue kehilangan janin gue. Semua kesialan gue gara-gara lo, Jeonghan brengsek.” Sebelah tangan Rachel menekan perut Jeonghan. Membuat Jeonghan meringis keras ketika ia merasakan sakit yang luar biasa.

“Mba—akhhhhh.”

“Lo harus mati, Jeonghan.” Rachel semakin menekan perut Jeonghan. Jeonghan menangis merasakan perutnya sakit sekali. Dalam hatinya meminta tolong pada Tuhan agar di kuatkan, dan terus memanggil-manggil nama Seungcheol.

Saat sedang menyiksa Jeonghan, tiba-tiba saja pintu terbuka dengan kencang.

Brakkkkkk

Rachel dan Jeonghan terkejut. Dalam sisa kesabarannya Jeonghan melihat Seungcheol di sana.

“Sayang, kamu udah dateng?” Rachel menyambut Seungcheol dengan riang. Ia bahkan tidak perduli dengan Jeonghan yang kesakitan.

Rachel meminta Seungcheol datang, tapi seorang diri. Rachel mengancam akan menyakiti Jeonghan kalau Seungcheol membawa orang lain.

“Lepasin Jeonghan.”

“Oke, aku bakal lepasin Jeonghan. Asal kamu juga ngelakuin hal yang sama.”

“Maksud kamu?”

“Lepasin Jeonghan. Juga.”

“Gila kamu, chel.”

Tiba-tiba saja Rachel tertawa.

“Udah berkali-kali aku bilang, kalau aku gak bisa dapetin kamu maka ga ada satupun orang yang bisa dapetin kamu juga termasuk jalang ini.”

“JEONGHAN BUKAN JALANG.”

“Oh jelas dia jalang, dia goda kamu Cheol. Dia bikin kamu berpaling dari aku.”

“Harusnya kamu sadar chel, kalo kamu juga ikut serta dalam perpisahan kita. Kalo aja kamu gak keras kepala untuk gak hamil, mungkin kita ga ada kayak gini. Sekarang giliran ada orang lain yang bisa gantiin posisi kamu, kamu marah. Kamu egois chel.”

“Aku akan tetap egois kalo berhubungan sama kamu, Cheol.”

Rachel mendekati Jeonghan, ia mengambil sebuah silet dari kantong celananya.

“Chel, jangan gila kamu.” Saat Seungcheol akan mendekat, tiba-tiba ada dua orang laki-laki yang menahan tubuhnya.

“Jangan mendekat. Atau aku akan tambahin sakit untuk dia.”

Rachel kembali menekan perut Jeonghan, ia tertawa ketika Jeonghan kesakitan.

“Mas, tolong—.” Jeonghan benar-benar tidak kuat lagi.

“Rachel, kamu bisa bunuh Jeonghan.”

“Emang itu tujuan aku. Biar gak ada yang ganggu kamu.”

“Chel, aku mohon. Tolong jangan sakitin Jeonghan, dia abis operasi.”

“Aku gak perduli, Cheol. Dia harus ngerasain sakitnya aku.”

Ntah setan apa yang merasuki Rachel, dengan pelan ia arahan silet yang tadi ia bawa. Kemudian ia torehkan di kulit mulus Jeonghan.

“RACHEL.”

Tapi Rachel hanya tertawa. Ia kembali menyilet Jeonghan. Seungcheol memberontak. Ia tidak sanggup melihat Jeonghan seperti itu.

“Rachel aku mohon tolong jangan sakitin Jeonghan lagi. Aku bakal lakuin apapun asal kamu lepasin Jeonghan.”

“Walaupun harus ngelepasin dia?”

Seungcheol memejamkan matanya. “Walaupun aku harus ngelepasin Jeonghan.”

“Liat kan Jeonghan, lo itu ga diinginkan sama dia. Buktinya dia milih lepasin lo. Lo itu sampah, Jeonghan.”

“AKHHHHHHH—.” Jeonghan berteriak ketika Rachel kembali menekan perutnya.

BUKKKKKKKKKK

dua orang laki-laki yang memegang Seungcheol terjatuh begitu saja. Seungcheol, Jeonghan, Rachel melihat siapa yang datang.

“Masih ingat saya, Bu Rachel?” Orang itu tersenyum manis.

“Wonwoo?”

“AKU BILANG JANGAN BAWA ORANG, SEUNGCHEOL.” Rachel berteriak di depan Seungcheol.

Saat lengah, seseorang lagi masuk ke sana.

“LEPASIN GUE.” Rachel memberontak ketika Soonyoung menahan kedua tangannya dibelakang.

“Won, let's go.” Ucap Soonyoung. Seungcheol tidak tau apa yang mereka rencanakan.

“Jadi gini pak, saya ga sengaja nemuin cairan ini di deket ranjang Jeonghan. Saya gak tau ini carian apa, tapi bisa kita tau kalo dicoba. Ke Bu Rachel mungkin.” Ucap Wonwoo

Rachel makin memberontak. “JANGAN MACEM-MACEM, WONWOO.”

“Saya cuma penasaran Bu. Maaf ya.” Secepat kilat Wonwoo langsung menancapkan jarum suntik pada Rachel. Tapi Rachel masih memberontak, jadi jarum itu sedikit terdorong dan membuat kulit Rachel terluka.

Setelah itu, hampir 5 menit cairan itu baru bereaksi. Rachel merasakan kepalanya pusing.

Rachel pingsan tiba-tiba.

“Dan ternyata, obat tidur.” Ucap Soonyoung. Dibantu anak buah papi Seungcheol, Rachel mereka bawa. Seungcheol langsung membuka ikatan Jeonghan dan menggendongnya.

“Han, kuat ya sayang. Maaf mas gak bisa bantu apa-apa tadi.”

Jeonghan menatap Seungcheol lemah. Ia mengelus pipi Seungcheol dengan tangannya yang lemah. Darahnya keluar dengan banyak, perutnya sakit. Benar-benar seperti ingin mati.

“Cheol, ajak Jeonghan ngobrol terus. Jangan biarin dia tidur. Kalo dia nutup matanya—” Mingyu tidak melanjutkan ucapannya, tapi Seungcheol tau maksudnya.

“Sayang, tadi Juno nangis kayaknya dia tau papa nya di sakitin. Tapi pasti sekarang dia udah tenang, karena papanya kuat. Ya kan sayang?”

Jeonghan tersenyum lemah, ia masih belum berbicara.

“Han, nanti kita nikah dengan mewah mau ya? Mas mau kasih tau ke orang-orang mas punya Han. Orang-orang pasti iri karena gak punya Han di hidup mereka.” Ucap Seungcheol yang tetap tegar du depan Jeonghan tapi air matanya tetap jatuh.

Jeonghan menghapus air mata Seungcheol. “Jang—an nang—is, m—as.”

“Han, kamu harus kuat. Juno sama mas butuh Han, jangan mau kalah sayang, ada mas. Mas mohon.”

“Mas Seungcheol ma—af.”

Seungcheol menggeleng ribut. “Gak sayang, kamu ga salah. Bukan kamu yang salah.”

“Ma—af bu—at m—as se—dih. Ma—af bu—at m—as ce—rai sa—ma m—ba ra—chel.”

“Bukan, bukan salah Han.” Seungcheol menangis sejadi-jadinya. Mingyu dan Juna yang berada di kursi depan juga tidak bisa menahan kesedihan mereka, Juna bahkan beberapa kali menghapus air matanya.

“M—as seung—cheol.”

“Ya sayang? Han mau apa?”

“A—ku ngan—tuk. A—ku ti—dur ya—.”

“Han, kali ini mas ga izinin Han tidur. Kamu harus bangun sayang, mas mohon. Han, tolong.”

Jeonghan selalu menuruti apapun kemauan Seungcheol. Tapi untuk kali ini, Jeonghan tidak menuruti kemauan Seungcheol.

Jeonghan menutup matanya.