Jeonghan memasukkan password apartemen, lalu kemudian masuk dan disambut oleh ruangan gelap seperti tak berpenghuni. Ia berjalan menyalakan lampu dan menaruh barang-barang yang tadi ia bawa.

Sebelumnya, ia sudah menghubungi Minghao terlebih dahulu sebelum ke apartemen. Dan Minghao menitipkan beberapa obat—yang katanya milik Seungcheol. Setelah itu, Jeonghan berkutat di dapur membuatkan makan malam untuk Seungcheol, karena Minghao bilang Seungcheol tidak mau memakan apapun.

Hampir 30 menit semuanya sudah siap. Jeonghan mengambil nampan dan menaruh semua masakannya di atas sana lalu membawanya ke kamar Seungcheol.

Ketika masuk, Jeonghan mendapati Seungcheol yang sedang tertidur pulas—dengan wajah lebam—Jeonghan meringis melihatnya.

“Pasti sakit ya mas?” Jeonghan mengelusi bekas luka itu. Membuat Seungcheol meringis. Seungcheol membuka matanya, melihat ada Jeonghan di sana. Kemudian ia mengucek-ngucek matanya.

“Hahaha gak mungkin Jeonghan disini. Dia kan benci banget sama gue.” Ucap Seungcheol, lalu ia menyampingkan tubuhnya membelakangi Jeonghan.

“Mas Seungcheol, bangun dulu.” Jeonghan menepuk-nepuk pundak Seungcheol membuat Seungcheol membalikkan lagi tubuhnya.

“Jeonghan?” Seungcheol terduduk karena terkejut.

“Iya ini gue, kenapa sih lo kayak liat hantu aja.”

“Jeonghan, ini beneran kamu?”

“Ck, banyak tanya. Makan nih, abis itu minum obat baru boleh tidur lagi.” Jeonghan menyerah nampan isi makanan pada Seungcheol.

“Kamu kesini malem-malem gini? Di anter siapa?”

“Papa.”

“Terus kamu nginep kan? Atau papa nungguin?”

“Papa udah balik. Nanti kalo lo udah minum obat gue baru pulang. Cepetan di makan.”

Seungcheol menatap lapar makanan itu, dengan cepat ia memakannya. Jujur saja, ia sangat lapar tapi kepalanya pusing sehingga dia tidak bisa keluar hanya untuk memasak atau memesan makanan—menatap layar hp nya pun dia tidak kuat.

Jeonghan memberikan gelas berisi air putih pada Seungcheol. Seungcheol menerimanya dan menghabiskan hampir setengah dari gelasnya. Beberapa menit kemudian ia sudah menyelesaikan makannya. Jeonghan juga langsung memberikan obat yang tadi Minghao kasih padanya untuk Seungcheol minum.

Setelah selesai semua, Jeonghan menyuruh Seungcheol untuk tidur lagi, sementara ia harus mencuci piring bekas makan Seungcheol.

Sekitar 15 menit kemudian, Seungcheol merasakan tubuh panas seketika. Ia merasa aneh karena tiba-tiba saja ia ingin melakukan hubungan intim.

Nghhh—.

“Masa tiba-tiba banget sih? Apa karena ada Jeonghan jadi pengen, apalagi gue udah malah ga ngeluarin.” Seungcheol merasakan bagian bawah mengeras begitu saja.

“Gue kira lo udah tidur.” Seungcheol terkejut mendengar suara Jeonghan yang tiba-tiba masuk ke kamarnya.

“Jeonghan, tadi kamu ada campurkan sesuatu gak ke makanan atau minuman saya?”

Jeonghan bingung, seingatnya ia tidak memasukkan apapun ke dalam makanan ataupun minuman.

“Mas, lo kenapa? Kok keringetan gitu? Lo keracunan ya?”

“Jeonghan, tolong—nghhh— jawab.”

“Gue ga masukin sesuatu yang bahaya kok. Cuma obat, itu juga dikasih sama Hao, katanya bisa nuruin demam.”

“Obat? Masih ada obatnya? Boleh saya liat?”

Jeonghan mengangguk lalu berlari menuju dapur, mengambil obat yang ia maksud.

“Nih mas.” Jeonghan memberikannya pada Seungcheol. Lalu Seungcheol membaca nama obat itu.

“Ini dari Hao?” Jeonghan mengangguk.

Blue wizard.

“Shit.” Umpat Seungcheol. Dan ini baru pertama kalinya Jeonghan mendengar Seungcheol mengumpat.

“Mas, kenapa? Lo beneran keracunan ya? Kita ke dokter sekarang ayo.”

Seungcheol menggeleng. Ia menggigit bibir bawahnya menahan desahannya.

“Sekarang, kamu keluar dari kamar kunci pintunya dari luar.”

“Hah? Kenapa? Gue ga mau lo mati di kamar karena keracunan, mas. Ayo ke rumah sakit aja.”

“Jeonghan, tolong nurut sekali aja. Ini bahaya buat kamu.”

“Mas Seungcheol lo kenapa? Jangan bikin gue takut.”

“Jeonghan, keluar ya?” Seungcheol melembutkan suaranya.

Jeonghan menggeleng. “Gue ga mau keluar, lo harus kasih tau gue Lo kenapa? Seenggaknya biar gue tau gue harus apa.”

“Jeonghan, kamu gak harus apa-apa. Cukup keluar aja dulu ya? Kalo nanti udah, baru boleh masuk lagi.”

“Gak, ini salah gue. Gue yang nyampurin obat itu. Lo kenapa?”

“ARGHHHHH SAYA HORNY.”

Jeonghan terkejut. Baru kali ini juga Seungcheol berteriak—kecuali saat akan 'keluar'—di depannya.

“Lo horny? Kok bisa?”

Seungcheol mengambil obat yang tadi, lalu ia menunjukkannya pada Jeonghan.

“Kamu tau obat ini obat apa?”

“Obat demam kan?”

Seungcheol menggeleng. “Bukan.”

“Terus apa?” Jeonghan ikut panik. Karena takut ia malah benar-benar meracuni Seungcheol.

“Ini obat perangsang, Jeonghan.”

Jeonghan terkejut bukan main, ia benar-benar tidak tau menahu tentang obat itu.

“Mas, gue—gue gak tau.”

Seungcheol mengangguk, lalu ia bangkit dari tempat tidur sedikit mendorong Jeonghan dengan pelan untuk keluar dari kamarnya.

“Mas—.”

“Jeonghan, saya mohon ya kamu nurut dulu sama saya. Kalau kamu mau pulang boleh, hati-hati ya. Kalo bisa minta jemput papa lagi, maaf saya lagi ga bisa nganter kamu.”

“Mas tunggu dulu—.”

“Jeonghan, saya udah beneran ga kuat—.”

“—kalo ga kuat ya ayo makannya lakuin. Mumpung ada gue.”

“Jeonghan—.”

“Lagian gue masih suami lo.”

“Jeonghan, jangan ya. Saya gak mau nyakitin kamu lagi.”

“Kalo lo tolak gue, malah gue sakit hati. Mau gue nangis lagi?” Seungcheol menggeleng.

Lalu Jeonghan berbalik mendorong Seungcheol masuk lagi ke kamarnya. Mendorong hingga Seungcheol terjatuh di ranjang.

“Kepala lo masih pusing kan?”

Seungcheol mengangguk.

“Yaudah biar gue aja yang di atas, lo tinggal bantu gue dari bawah.”